Wahyudi Thamrin

Tan Malaka, Pahlawan Nasional Yang Dianggap Tak Ada...



Tan Malaka muda bersekolah di sekolah guru (Kweekschool), Bukittinggi. Ia adalah anak paling cerdas, ia cepat sekali menghapal, jenius dalam soal bahasa. Untuk bahasa Belanda-nya sendiri ia mendapatkan nilai tertinggi, ia juga pembaca buku yang rakus, kegemaran Tan Malaka sejak kecil adalah berenang di kali setelah berenang ia sering merenung di atas batu kali besar, ia merenung tentang bagaimana air kali bergerak, pikirannya terserap dalam logika-logika paling dasar tentang keadaan. Memang Tan Malaka sering berpikir bagaimana kerja alam, sesuatu yang ia pahami kelak dalam buah tulisnya “Materialisme, Dialektika dan Logika” atau Madilog, sebuah ilmu alamiah dasar tentang rasionalisme, empirisme dalam melihat alam materi, tanpa tahayul, tanpa mitos.

Kecerdasan Tan Malaka membuat guru-gurunya mensponsori pembiayaan kepergian Tan Malaka ke Haarlem Belanda dan dipinjami dana dari ‘Engku Fonds’ untuk bersekolah ke Rijks Kweekschool, di Belanda dengan situasi prihatin Tan Malaka menjalani pendidikan yang berat. Tahun 1919, ia kembali ke Indonesia, ia bekerja di Perkebunan Deli. Saat itu perkebunan Deli, salah satu maskapai perkebunan menggunakan sebuah desa, dijadikan semacam desa ‘potemkin’ untuk memamerkan bahwa pengusaha perkebunan bisa berbuat baik kepada kaum pribumi.

Legenda Tan Malaka, dan menjadi bahan kekaguman banyak generasi muda dari generasi muda jaman Sumpah Pemuda tahun 1920-an, sampai dengan jaman modern sekarang ini, adalah kisah pelariannya. Pelariannya itulah yang kemudian menimbulkan legenda, sekaligus mengabarkan kepada dunia Internasional tentang Indonesia yang berdentam-dentam melawan penjajahan di tanah kolonial, pelarian Tan Malaka selalu ditunggu banyak intelektual-intelektual besar di Asia, seperti di Filipina, Singapura, Malaya, Hong Kong bahkan sampai ke Kanton, Cina.

Kisah pelarian Tan Malaka selalu jadi berita-berita besar di koran-koran luar negeri, dan ini mirip ‘The Jackal’ jaman modern, sebuah perlawanan otak yang beradu dengan kekerasan intelijen. Tan Malaka menyerahkan seluruh hidupnya untuk diburu dan bertarung dengan kematian di tiap detiknya.
Awal dari petualangan politiknya adalah ketika Tan Malaka bertemu dengan Semaun di Prambanan, setelah itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan banyak tokoh kiri dalam tubuh Sarekat Islam yang mulai bergerak dan berdiri tegak menuntut kemerdekaan Indonesia. ‘Pemberontakan bersenjata adalah sesuatu yang tak terhindari dalam situasi jaman bergolak ini’. Itu prinsip kaum kominis pedjuang dijamannya tentang sebuah Indonesia baru. Tan Malaka dijadikan pemimpin PKI di jam-jam pertama, setelah Sneevliet pergi.

Tan Malaka adalah pemimpin yang penuh perhitungan, ia tak mau Indonesia jatuh ke tangan Moskow juga jatuh ke tangan Imperialisme barat, seperti Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. ‘Kesadaran Tan Malaka’ sedikit banyak dipengaruhi ketika ia bertemu dengan Bapak Kemerdekaan Cina, ‘Sun Yat Sen, pada suatu senja di tahun 1922. Nasionalisme dan Kebangsaan adalah bentuk geopolitik masa depan, bukan Komintern atau Internasionalisme, hanya nasionalisme-lah yang bisa memperbaiki keadaan, menghormati kehidupan manusia di dalamnya, membebaskan pranata-pranata masyarakat dari penindasan kapitalisme” ini kesadaran tahap pertama Tan Malaka.

Tan Malaka-pun hadir di Kongres Komintern 1921, di depan Jenderal Radek dan Jenderal Zinoviev, Tan Malaka membongkar kesadaran bahwa Gerakan Islam di Djawa itu memiliki semangat revolusioner, apa yang terjadi pada Sarekat Islam dengan mempertentangkan SI dengan Komunisme adalah mainan Intelijen Belanda, dan tidak seharusnya gerakan kemerdekaan sebuah bangsa meninggalkan Umat Islam yang radikal dan bertanggung jawab terhadap keadilan di tengah masyarakat. Pidato Tan Malaka Komintern di tengah markas Komunis, Sovjet inilah yang justru mengenalkan Islam dalam alur gerak positif bagi ‘pembebasan manusia atas penindasannya’. Kelak di masa Revolusi 1945, Tan Malaka sering mengeluarkan pernyataan “Islam adalah darah dalam tubuh bangsa Indonesia’
.
Di tahun 1926, Tan Malaka menolak kelompok Prambanan yang dipimpin Alimin dan Muso untuk memberontak, karena perhitungan Tan Malaka, Sovjet Uni dibawah Stalin belum berani buka front dengan Belanda yang didekeng Inggris, apalagi mereka adalah sekutu dalam komitmen perjanjian Versailles 1919, sebuah perjanjian yang menghentikan perang dunia I, dimana Sovjet Uni, Perancis dan Inggris merupakan negara sekutu berhadapan dengan Jerman. Bila anak-anak kominis nekat angkat senjata, maka gerakan politik di Indonesia akan hancur.

Benar saja pemberontakan di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat gagal total. Belanda menangkapi 1.300 aktivis kemerdekaan, dibuang ke Digoel, sebagian digantung mati, ratusan pucuk senjata api dan beberapa peti berisi bom ditemukan. Tan Malaka kesal sekali dengan peristiwa ini, alih-alih para pemimpin kominis klik Prambanan mengoreksi diri atas kegagalannya, mereka malah menyalahkan Tan Malaka yang tak ikut memberontak, sejak itu Tan Malaka dicap sebagai ‘Trotskys’ sebuah julukan hina yang berasal dari nama pemimpin Komunis era Lenin yang melawan Stalin. Tan Malaka lari ke Singapura disana ia membuat tulisan tentang ‘Massa Actie’ sebuah tulisan yang berisi ‘syarat-syarat dasar agar sebuah gerakan massa berhasil mencapai tujuan’.

Sial bagi Tan Malaka, walaupun ia menentang pemberontakan ala Muso dan Alimin, namun Tan Malaka dimasukkan sebagai orang nomor satu yang harus dibunuh oleh Intel Belanda. Kemudian intel Belanda mengirim kontak kawat kepada Inggris agar menangkap Tan Malaka hidup atau mati.
Disinilah episode pelarian Tan Malaka. Tan Malaka, lari ke Penang, dari Penang ia menyamar ke Filipina sebagai Ellias Fuentes, di Filipina ia membangun jaringan gerakan kemerdekaan nasional, di Manila pada sebuah pertemuan rahasia dengan banyak pemimpin-pemimpin nasional Filipina, Tan Malaka berbicara soal ‘Gagasan Kemerdekaan Indonesia’.

Gagasan Kemerdekaan Indonesia ala Tan Malaka ini amat mempengaruhi agresivitas pejuang kemerdekaan Filipina. Kehadiran Tan Malaka di Manila tercium intel Inggris yang meminta intel Amerika Serikat (AS, adalah negara yang secara de facto menguasai filipina tahun 1920-an). Untuk membredel Tan Malaka, tapi rencana ini tercium pers, baik pers Inggris di Hong Kong ataupun di Filipina mendukung Tan Malaka, cerita pelarian Tan Malaka adalah cerita petualangan yang banyak digemari kaum muda di tahun 1920-an, ia dianggap sebagai legenda hidup yang terus diburu.
Tan Malaka lari ke Hong Kong lalu ke Kanton, disana ia menyamar jadi guru bahasa Inggris, Tan Malaka senang menikmati kota Shanghai, ia menyaksikan sendiri degup gagasan nasionalisme. Sebelum masuk ke Hongkong dengan nama samaran Ong Song Lee, Tan Malaka bersama Soebakat dan Djamalludin Tamin mendirikan sebuah partai rahasia yang bernama ‘Partai Republik Indonesia’ atau PARI. Partai ini adalah partai bawah tanah yang tidak boleh diketahui PKI, karena bila Komunis tau maka ini dianggap sebagai partai pembelot, karena doktrin komunisme melarang pemimpin komunis mendirikan Partai diluar Partai Komunis yang mengikuti garis Moskow.

Di Amoy, Cina Tan Malaka mendirikan sekolah bahasa, disini ia juga berhadapan dengan perang yang berkecamuk. Jepang mulai bertingkah di Cina, pertempuran-pertempuran kecil sering terjadi di depan matanya, ia menuliskan hal ini dengan amat filmis di bukunya ‘Dari Pendjara ke Pendjara’.
Di Indonesia sendiri petualangan Tan Malaka menjadi legenda paling digemari, seorang penulis asal Medan bernama pena : Matu Mona menuliskan legenda Tan Malaka dengan amat mahir, ia bahkan memasukkan unsur-unsur mistik (sebuah unsur yang mungkin jadi bahan ketawaan Tan Malaka yang rasional) seperti : Tan Malaka bisa menghilang atau Tan Malaka kebal peluru, tapi tulisan Tan Malaka inilah yang menjadi bahan imajinasi anak-anak muda Indonesia untuk menggerakkan sebuah keadaan agar Indonesia bisa Merdeka.

Ketika Jepang berhasil membom Pearl Harbour, Tan Malaka sedang menyamar di Singapura ia menyaksikan jaman yang sudah amat berubah, pergerakan kemerdekaan Indonesia tinggal beberapa inci lagi. Tan Malaka harus pulang, kepulangan Tan Malaka ini dihadang oleh ombak besar, ia menghadapi pertarungan kematian di tengah laut hanya dengan naik kapal kecil kepunyaan orang Cina dan ia menulis itu dalam ‘Dari Penjara ke Penjara’. Perjalanan pulang Tan Malaka dari Singapura ke Indonesia adalah lebih berat dari perjalanan Lenin pulang dari Bern, Swiss ke Moskow dengan Kereta Api.

Tahun 1942 Tan Malaka sampai di Djakarta, ia mencari pekerjaan. Ia mengontrak rumah di Rawadjati, Kalibata. Rumahnya amat dekil, kumuh dan layaknya seperti kandang kambing tapi dari rumah itulah ia menyusun pemikirannya yang tertuang dalam Madilog.

Perlu dicatat awal Kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka-lah yang banyak dicari pemuda Indonesia untuk menjadi Proklamator, tapi Tan Malaka memang belum ditemukan, barulah setelah Tan Malaka, pilihan jatuh ke tangan Sjahrir untuk memerdekakan Indonesia, namun menurut Maruto Nitimihardjo, salah seorang saksi penting Proklamasi 1945, Sjahrir takut menerima tanggung jawab itu. –jadi, memang takdir sejarah kemerdekaan ini dibacakan oleh Sukarno dan Hatta, sekaligus mereka berdua yang menjamin dan menaruh leher atas kemerdekaan Republik.

Setelah kemerdekaan di masa Revolusi 1945-1949, Tan Malaka mengambil peranan penting, ia satu-satunya orang yang dipercaya kaum muda diluar Sukarno, bahkan Jenderal Sudirman menaruh ideologi dan perjuangannya segaris dengan pemikiran Tan Malaka : Merdeka 100%.
Tan Malaka mati dibunuh di Djawa Timur, banyak yang mengira Tan Malaka dibunuh karena menolak dengan keras rencana perjanjian Konferensi Medja Bundar (KMB) 1949.

–Sejarah adalah tragedi demi tragedi, di seluruh hidup Tan Malaka, sejarahnya adalah kumpulan kesengsaraan bagaimana seorang anak manusia menginginkan kemerdekaan bagi bangsanya, dan menghilangkan penindasan bagi umat manusia. Tan Malaka adalah pahlawan di atas para pahlawan………–
Jakarta, 2 Juni 2012
Anton DH Nugrahanto