TIGA MINGGU yang lampau Inggris-Nica dengan alasan yang dicari-cari dan berputar-putar dari tempo ke tempo, memajukan tuntutan pada kota Surabaya: supaya rakyat dan tentara dilucuti senjatanya. Maksudnya ialah supaya sesudah rakyat dan tentara dilucuti senjatanya, barulah Nica mau berunding dengan para pemimpin rakyat.
Tuntutan itu cuma satu artinya: Rakyat Indonesia lebih dahulu mesti dilucuti senjatanya. Kemudian akan dijajah kembali oleh Belanda, dengan Inggris sebagai pembantunya.
Rakyat Surabaya tak mau dilucuti senjatanya dan tak mau dijajah kembali. Tak mau pula ia berunding dengan senjata musuh di depan dadanya. Ini cocok dengan kemauan Rakyat Indonesia seluruhnya. Cocok pula dengan anjuran para pemimpin terkemuka di zaman Jepang. Cocok pula dengan semangat kemerdekaan yang sudah didengungkan selama 40 tahun. Cocok dengan hak dan kehormatan suatu Negara Merdeka.
Inggris-Nica dalam hakikatnya mau menjajah. Tuntutannya di atas tadi yang ditolak oleh rakyat Surabaya, dilaksanakannya dengan serangan gabungan dari laut, darat, dan udara.
Serangan yang sedahsyat-dahsyatnya selama ini.
Tiga minggu lamanya rakyat Surabaya sudah menahan serangan ini.
Hampir berbarengan dengan serangan Suarabaya, dengan maksud begitu juga dan alasan sejenis itu juga —yakni alasan “macan mau memakan anak kambing” menurut cerita terkenal— dengan alasan pura-pura itu sedang terjadi pertarungan hebat di Semarang, Ambarawa, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Sumatera. Di mana-mana rakyat menang kalau cuma menjumpai perlawanan pasukan melawan pasukan.
Tak ada pasukan Inggris-Nica yang bersenjata lengkap yang bisa menahan serangan pasukan Indonesia bersenjata serba kurang. Inggris bisa menang cuma dengan senjata luar biasa, yang membuat “orangnya” Inggris-Nica tak kelihatan lagi. Makin dekat ke pantai makin besar keuntungan dan kekuatan Inggris. Makin jauh dari pantai makin besar pula keuntungan dan kekuatan Indonesia. Dari Magelang Inggris-Nica sudah terusir sama sekali! Selalu saja Inggris, Belanda, Gurkha ... ataupun Jepang lari tunggang langgang kalau berhadapan pasukan melawan pasukan, orang melawan orang!
Rakyat Indonesia sudah menyambut “PERANG” yang tiada dinyatakan dengan “PERANG”. Rakyat kita sudah benar sikapnya! Rakyat sedang berjuang mati-matian membela sikapnya yang benar itu. Rakyat Indonesia sedang membikin sejarah buat Negara Indonesia dan dunia lain. Rakyat Indonesia ada di bawah pengobaran dunia. Kalah atau menangnya kelak Rakyat Indonesia tiadalah terletak pada kalah atau menangnya berjuang dalam peperangan yang tak sama persenjataan itu!
Kalah atau menangnya itu terletak pada “salah atau benarnya”. Ia mengambil “sikap” terhadap kecerobohan. Dan juga pada lemah atau kuat imannya memegang sikap yang sudah diambilnya. Seandainya pada tanggal 10-11 November itu rakyat Surabaya bertekuk lutut terhadap tuntutan yang melanggar hak dan kehormatannya sebagai bangsa merdeka, maka dunia luar dan anak cucu Rakyat Indonesia sekarang akan mengutuki sikap bertekuk lutut itu.
"Muslihat" ditulis Tan Malaka tahun 1945 disela-sela perlawanan rakyat bertempur
melawan Belanda yg terkenal dengan Peristiwa 10 November 1945.
Selengkapnya
Klik !
Tan Malaka: Muslihat (1945)
http://www.marxistsfr.org/…/archive/malaka/1945-Muslihat.htm