gambar net. |
Ta rem Kureta api manurun, sebuah istilah yang sering saya dengar saat awal awal kenal duduk mengopi di warung. Bahasa ini sering terlontar oleh para senior saya saat mengungkapkan hal-hal yang tidak mungkin tercegah.
Jika topik pembicaraan mengenai sebuah kemajuan atau ada suatu kegiatan yang mendapat tantangan namun tak mungkin di cegah, maka istilah ma rem kureta api manurun (ngerem kereta api yang lagi di jalan turunan) terlontar dari mulut mereka.
Hal ini sepertinya banyak menjadi nyata saat ini. Banyak perubahan-perubahan yang awalnya di tolak di tengah masyarakat umum akhirnya tetap terlaksana.
Ada gaya penolakan dengan kepongahan bahwa yang telah ada lebih baik dan ada yang dengan black campaing akan dampaknya.
Seperti penolakan terhadap kehadiran pusat perbelanjaan modern di ranah minang. Berbagai alasan muncul baik langsung amupun melalui media-media lokal akan penolakan ini. Dengan alasan kehadiran pusat perbelanjaan modern ini akan mematikan usaha dagang masyarakat kecil di sekitar.
Hal ini juga tidak bisa di nafikan kebenarannya. Kehadiran pusat perbelanjaan modern akan menggilas usaha dagang lokalan alias tradisional. Namun apakah pedagang kecil atau tradisional akan mampu bertahan dalam gelombang kemajuan iptek yang sangat pesat?
Seperti cerita pedagang tanah abang yang pernah dimuat salah satu media online beberapa waku lalu. Dimana para pedagang grosiran yang bermodal cukup wah akhirnya tumbang ditangan pedagang yang hanya bermodal handphone android. Dengan hanya pajang foto di media sosial mereka bisa raup untung besar.
Apalagi saat ini kecendurangan gaya belanja tanpa tawar hanya lihat daftar harga, maka pusat perbelanjaan modern akan laris manis. Dan bagaimana nasib pedagang tradisional yang masih bertahan dengan gaya lama berjualan?
Jika tidak ingin pedagang tradisional terlindas modernisasi zaman, butuh kearifan pemerintah untuk membina bagaimana mereka bisa bersaing dengan usaha usaha yang sudah duluan maju. Kelompok usaha kecil dan menengah butuh peningkatan kualitas dan kuantitas dan bersaing. Setiap jenis produk harus bisa menyetarakan dengan yang sudah duluan masuk pusat perbelanjaan modern.
Tidak sedikit yang dijual di pusat perbelanjaan modern itu berasal dari daerah, hanya menang di kemasan dan pelabelan. Kenapa hal ini tidak bisa di tularkan bagi mereka yang masih berkutat dengan gaya tradisional?
Sekarang apakah kita akan tetap dengan teriakan anti ini atau anti itu tanpa solusinya? Mungkin kedepan sudah ada pendampingan atau bimbingan untuk usaha usaha kecil bagaimana bisa dikemas layaknya di supermarket. Dan tersedia outlet yang di kelola kelompok usaha kecil dan menengah yang isinya dipasok dari masyarakat sekitar.
Jika usaha usaha lokal sudah bisa di kemas dengan sistem terkini bukan tidak mungkin akan mampu bersaing dengan market berlabel smart yang lagi trend hari ini.