Ketua KSBN ( Komite Seni Budaya Nusantara ) Hendardji Soepandji |
Pemerintah Indonesia diminta memberikan dukungan penuh saat penyambutan Napak Tilas Ekspedisi Magelhaens di Kota Tidore, Maluku Utara, lewat Sails Tidore pada 2021 tersebut.
Begitu juga masyarakat dan Pemerintah Kota Tidore harus mempersiapkan momentum itu sebagai awal kebangkitan, apalagi Tidore memiliki sejarah besar di masa lalu. Demikian kesimpulan yang terangkum dalam Seminar Nasional Tidore-Ternate, Titik Temu Peradaban Timur Barat di Aula Sultan Nuku, Kantor Wali Kota Tidore, kemarin.
Dalam kegiatan yang dibuka Wali Kota Tidore Ali Ibrahim itu hadir Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid sebagai pembicara kunci serta pembicara-pembicara lainnya, seperti Ketua Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Hendardji Soepandji, Sultan Tidore ke-37 Husain Sjah, Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi, Budayawan Taufik Rahzen, Perdana Menteri Kesultanan Tidore Amin Farouk, dan Peneliti Madya Balai Arkeologi Maluku Wuri Handoko.
Menurut Sultan Tidore Husain Sjah, di masa lalu, Tidore adalah salah satu dari empat kerajaan besar di kawasan timur. Tiga lainnya adalah Ternate, Jailolo, dan Bacan. Tidore sendiri memiliki wilayah kekuasaan sangat luas, yakni sepertiga wilayah Indonesia di antaranya menguasai Pulau Seram, Pulau Gorom, Sangihe Talaud, hingga wilayah Papua, Papua Nugini (PNG), dan Solomon, negara kepulauan di Samudra Pasifik selatan yang terletak di bagian timur PNG.
“Kami juga memiliki raja yang menjadi pahlawan nasional, yakni Sultan Nuku. Dalam perjuangannya, Beliau menghabiskan 27 tahun melawan Belanda dan hanya satu tahun mengisi istana. Kami juga punya pahlawan lainnya yang ada di Afrika Selatan, yakni Tuan Guru Imam Abdullah bin Qodi Abdul Salam.
Semua itu menjadi bagian kebesaran kesultanan ini,” kata Sultan saat menjadi pembicara seminar. Tak kalah penting, dalam sejarahnya Tidore dan Ternate juga menjadi pusat penghasil rempah-rempah, yakni pala dan cengkeh, yang kemudian menjadi rebutan dunia di masa lalu.
Sebab dari kawasan itu negaranegara Eropa, seperti Portugal, Spanyol, dan Belanda, mendapatkan rempah-rempah. Bahkan, di Tidore pula sejarah perjalanan Ferdinand Magelhaens tercatat sebagai ekspedisi yang melegenda hingga saat ini.
Penjelajah asal Portugis itu berlayar pada 1519 menuju kawasan timur melalui jalur barat hingga akhirnya tiba di Tidore pada 1521. Perjalanan itu juga disebut-sebut sebagai pembuktian teori bumi itu bulat.
Sejarah itu pula akan diulang 15 negara anggota jaringan global Magelhaens (GNMC) lewat ekspedisi akbar Napak Tilas Magelhaes pada 2019-2021 dan Tidore menjadi titik akhir persinggahan dari 23 kota di dunia yang akan dilalui.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Faridmenyatakan, untukmenghadapi kegiatan Napak Tilas Magelhaens tersebut, Tidore bukan hanya harus mempersiapkan infrastruktur-infrastruktur pendukung, tapi juga membentuk sebuah cerita atau narasi tentang kejayaan sebuah kawasan.
“Kami berharap kegiatan itu bisa terlaksana dengan baik. Menurut saya sudah waktunyaTidore bangkit,” ujarnya. Ketua KSBN Hendardji Soepandji juga menilai, pemerintah dan masyarakat Kota Tidore harus siap menyambut tapak tilas 500 tahun perjalanan Magelhaens yang akan digelar pada 8 November hingga 18 November 2021.
Salah satunya dengan menggelar kegiatan Sails Tidore yang melibatkan jaringan GNMC. “Kegiatan ini harus bermanfaat bagi pemerintah dan rakyat setempat sehingga modernisasi Tidore perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat,” ujar Hendardji.
Menurut Hendardji, penyelenggaraan kegiatan tersebut tidak hanya seremonial semata, tapi harus mampu mengerahkan segenap potensi yang dimiliki Maluku Utara, khususnya Tidore.
Termasuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada budaya dan kearifan lokal, di antaranya pengembangan wisata bahari di Malut, pengolahan potensi laut yang bisa memberikan kesejahteraan masyarakat nelayan, dan peningkatan peran kuliner berbasis pada potensi laut.(rilis IPJI)