Wahyudi Thamrin

Atlantis dan Aslia ,Inspirasi Plato dan Mimpi Tan Malaka



Oleh: Devy Kurnia Alamsyah, SS*
“Maluku (is) het verleden, Java (is) het heden, and Sumatera (is) de toekomst.”
(Madilog, 1946)

Apakah yang muncul di benak Anda ketika kata Atlantis terdengar di telinga? Bagi yang sedikit mendapat pengetahuan tentu ingatannya akan tertuju ke berbagai persepsi fiksi mengenai sebuah benua dengan teknologi termaju dan kemudian hilang begitu saja dari peta dunia. Memang, sudah banyak novel maupun film yang mengutarakan Atlantis itu apa; mulai dari dimana lokasinya hingga ke asumsi-asumsi “penghilangan” benua maju itu. Salah satu pendapat umum yang beredar adalah keterkaitan penguasaan teknologi dengan kesombongan manusia itu sendiri sehingga peradaban Atlantis hancur sebagai akibat dari kesalahan manusia. Ada yang bilang kehancuran itu adalah hukuman dari Langit. Namun, dari kesemuanya itu selama ini Atlantis diyakini dunia modern (baca: Barat) terletak bukan di sini.

Pertanyaan dan pernyataan mengenai Atlantis seakan menggema kembali ketika Prof. Arysio Santos menelurkan bukunya yang terjemahannya diterbitkan bulan November lalu. Buku itu berjudul ATLANTIS-The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization). Apa yang menarik dari buku itu adalah hasil dari penelitian selama 30 tahun yang dilakukan Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil itu tenyata berujung kepada sesuatu yang dekat dengan kita sesungguhnya. Atlantis, Surga yang Hilang, itu ternyata ada di Indonesia. Lokasi yang tepatnya adalah Sumatera. Pertanyaannya, di Sumatera bagian manakah Atlantis itu berada?
Atlantis dan Pulau Emas

Prof. Arysio Santos berangkat dari satu-satunya teks modern tentang Atlantis yang dibuat oleh Plato, filsuf kenamaan Yunani. Plato menghasilkan dua “kitab” tentang Atlantis; Timaeus dan Criteas yang diyakini Prof. Santos isi buku itu sesuai dengan kondisi geografis Indonesia dulu dan sekarang. Plato dikisahkan mendapat pengetahuan tentang Atlantis melalui cerita Solon. Solon mendapatkan legenda “Surga yang Hilang” itu dari pendeta-pendeta Mesir. Sementara pendeta Mesir itu mendapatkan cerita ini dari orang-orang Hindu. Satu hal lagi yang menarik, Prof. Santos meyakini bahwa Hinduisme itu bukan berasal dari India melainkan dari Indonesia. Indonesia, bagi Prof. Santos, adalah pusat atau asal kelahiran peradaban dunia. Peradaban India, Cina, Mesir, Aztec, Inca, dll dianggap sebagai peradaban turunan dari peradaban Atlantis (Indonesia).
Prof. Santos membandingkan naskah Plato dengan epik Ramayana dan Mahabrata serta beberapa naskah Jawa kuno sebelum menyempurnakan asumsinya tentang Atlantis. Plato menegaskan Atlantis sebagai negeri tropis berlimpah mineral dan kekayaan hayati pada zaman Es Pleistosen. Plato sesungguhnya membangun kerangka-kerangka gagasannya dalam membentuk negara modern dengan menjadikan Atlantis sebagai acuan. Mimpi-mimpinya mengenai konsep dialektika, demokrasi, egaliterianisme, dan Republik justru diambil Plato dari Atlantis. Bahkan sepertinya kita menjadi sadar bagaimana konsep mimesis Plato hadir. Plato sendiri mencoba meniru konsep Atlantis dalam karya-karyanya. Sekarang, jika memang Atlantis itu memang benar adalah Indonesia, atau lebih tepatnya Sumatera, tentu Anda akan tahu di Sumatera bagian mana yang paling menjunjung apa yang dianggap Plato itu penting ada dalam peradaban modern.
Namun kemudian, semua kemegahan itu lenyap tiba-tiba tersapu bencana mahadahsyat sebagai akibat dari meletusnya Gunung Berapi Krakatau 11.600 tahun yang lalu. Letusan itu telah menciptakan gempa bumi dan tsunami yang seratus kali lebih besar jika dibandingkan dengan yang terjadi di Aceh tahun 2004. Pada masa itulah Jawa dan Sumatera menjadi pulau yang terpisah dan tenggelamnya sebagian Nusantara.
Kelahiran epik Ramayana dan Mahabarata, diyakini Prof. Santos, sangat terkait dengan kedatangan bangsa Dravida (Atlantis) ke India. Rahwana, Raja Lanka (Alengka) dari Pulau Swarnadwipa, yang digambarkan sebagai antagonis dalam epik Ramayana membuktikan “kedatangan’ bangsa Indonesia ke India. Dengan menciptakan Rahwana sebagai “musuh” dan Hanuman sebagai “penghianat bangsa Dravida”, bangsa India mengkonstruksi dan melegitimasi kekuasaan Arya-Semit di India. Hinduisme yang dibawa dari Indonesia kemudian mengalami modifikasi di sana. Oleh karena itu, setelah Atlantis tenggelam Hinduisme dari India mulai dibawa kembali ke Indonesia. Bahkan, dicurigai Sidharta Gautama itu justru adalah salah seorang Pangeran dari Nusantara. Bandingkanlah ketika di jaman Sriwijaya, justru Sumatera adalah pusat penyebaran dan pendidikan agama Budha bukan di India. Pada zaman Hindu, Sumatera itu dulunya bernama Swarnadwipa yang artinya adalah Pulau Emas. Bandingkan pula dengan sebutan Yunani untuk Sumatera; Chrisye yang berarti sama. Bahkan apa yang kini dikenal Sri Lanka itu keliru, karena Lanka yang sebenarnya adalah Sumatera itu sendiri.
Tentu asumsi-asumsi ini mesti dijajaki kembali kebenarannya. Permasalahannya adalah yang mesti kita hadapi adalah kemapanan dari peradaban Barat (Eropa) yang terlanjur sudah berurat berakar dalam metode pendidikan universal. Akan menjadi sesuatu yang berat untuk bisa merubah peta sejarah dunia. Penemuan Prof. Santos ini akan menjadi polemik panjang yang luar biasa jika “disetujui” oleh akademisi-akademisi dunia. Tak hanya sejarah nasional yang akan berubah tapi sejarah dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa siap kita untuk sebuah perubahan?
Aslia; Masa Depan Dunia?
Konsep Aslia pertama kali dikumandangkan oleh Tan Malaka, Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Pandan Gadang, Sumatera Barat. Tan Malaka dalam magnum opus-nya, Madilog, menyebut Aslia sebagai akronim dari Federasi Asia dan Australia. Jika Plato memimpikan Atlantis sebagai acuan utopis peradaban modern maka Tan Malaka bermimpi Aslia sebagai simbol peradaban modernnya. Kata Aslia itu sendiri sering diartikan sebagai Asia Asli atau Indonesia Asli dan sepertinya asumsi ini tak sepenuhnya salah.
Madilog ditulis oleh Tan Malaka di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta dari tahun 1942 hingga tahun 1943. Namun baru pada tahun 1946 karya agung itu diterbitkan. Kata Aslia beberapa kali muncul di dalam Madilog, padahal sebenarnya Tan Malaka sudah menyiapkan satu buku khusus tentang Gabungan Aslia namun tak sempat terbit. Dalam pandangan Tan Malaka, orang yang disebut Hamka sebagai pemikir Muslim modern terbesar Indonesia, proses teknologi adalah salah satu basis pemikiran dan cara pandang Indonesia modern yang dituangkannya dalam Madilog. Penggabungan filsafat Minang (tradisional) dan modern sangat kentara di beberapa bagian buku.
Tan Malaka menyimbolkan peradaban Indonesia modern (Aslia) itu laksana kereta api dan dengan cendekiawan Minang sebagai lokomotifnya. Aslia sebagai bentuk poskapitalis dianggap Tan Malaka memiliki level yang lebih advance jika dibandingkan dengan konsep Indonesia Asli di Zaman Besi dulu. Jika dalam konsep Minangkabau, peradaban mereka dimulai dari sekitar Gunung Merapi yang kemudian menjadi “Ibu” (heartland) yang melahirkan seluruh alam Minangkabau maka dalam konsep Aslia Tan Malaka juga memberi heartland-nya. Karakter dan posisi geografis dari Aslia cukup penting untuk kita bahas. Pusat Aslia, bagi tokoh yang disebut M.Yamin sebagai Bapak Republik Indonesia ini, terletak “segaris dengan sumbu (ekuator), dekat khatulistiwa, yang kira-kira ditentukan oleh garis Bonjol-Malaka”. Masa depan dan eksistensi federasi ini ditentukan oleh titik pusat ini. Karena dalam sejarahnya, siapapun yang bisa menaklukkan titik ini dapat menaklukkan Indonesia secara keseluruhan. Bagi Tan Malaka sendiri titik ini sangat strategis, diplomatis dan bernilai ekonomi.
Ada hal yang menarik, jika tak mau dibilang suatu kebetulan belaka, ketika Prof. Santos akhirnya menemukan titik tepat dimana “Pulau Atlantis” itu berada. “Pulau Atlantis” merujuk kepada Swarnadwipa (Pulau Emas) yang merupakan nama lain Sumatera di zaman Hindu. Di pulau inilah terdapat Istana Lanka, ibukota kerajaan Rahwana, nama lain dari imperium Atlantis. Lanka dianggap sebagai lokasi awal Meridian 00 yang tepat berada di atas pusat Sumatera; lokasi tak terbantahkan SurgaBumi. Jadi, bisa diambil pemahaman bahwa titik 0 dunia bukanlah di Greenwich. Jika kita bandingkan dengan axis Aslia-nya Tan Malaka tentu kita akan bertanya kenapa bisa sekebetulan ini lokasinya. Plato dan Tan Malaka sepertinya merujuk ke dua hal yang serupa; Sumatera.
Satu alasan yang ingin diajukan Tan Malaka dalam Madilog adalah mereformulasi slogan “Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini dan Sumatera adalah masa depan,” menjadi “Sumatera adalah pelopor (pioneer), Jawa adalah masa kini dan masa depannya Indonesia akan kembali ke Sumatera.” Dulu ketika Tan Malaka keluar dari PKI dan Komintern (Komunis Internasional) ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada tahun 1927. Lalu kemudian pada tahun 1946 ia rubah menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional yang bagi Tan Malaka adalah “arti luas” dari Pari.
Jika Plato melalui Prof. Santos menyanjung Sumatera sebagai Atlantis, asal peradaban dunia, dan Tan Malaka memimpikan Sumatera sebagai pusat peradaban modern dunia maka generasi muda (Sumatera) saat ini justru kehilangan mimpi-mimpi besarnya. Tanah kelahiran dirasa tak cukup signifikan dalam meningkatkan kreativitas dan standar hidup sehingga mereka berlomba-lomba meninggalkan tanah kelahirannya. Tak ada lagi pendidikan kerakyatan bermutu, tak ada lagi penerbitan-penerbitan bermutu dan kini, sayangnya, tak ada lagi pemikir-pemikir besar yang lahir dari Pulau Emas ini. Malahan baru-baru ini Kompas memberitakan sebuah penemuan bahwa di Muara Jambi ditemukan situs kuno yang jauh lebih besar diameternya daripada candi Borobudur. Kebesaran Sumatera di masa lalu mulai kembali diteliti oleh bangsa asing. Dimanakah peran kita sebagai anak muda dalam hal ini?

Disampaikan di Student Center Universitas Putra Indonesia (UPI) Padang, 21/1/10
*Mahasiswa Magister Ilmu Susastra Universitas Indonesia,
Periset National Press Club of Indonesia, dan
Redaktur Jurnal Yayasan Suluh Nuswantara Bakti