Wahyudi Thamrin

Politik Baliho dan Semantikal Cak Imin


Oleh Agus Hernawan

Di Rakernas IV dan HUT ke-6 NasDem,  Surya Paloh mendeklarasikan Jokowi sebagai capres 2019. Setelah itu, berturut-turut Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura, Perindo, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) mendeklarasikan mantan Walikota Solo ini. Belum lama, Rakernas III PDIP merekomendasi Jokowi sebagai capres 2019.

Siapa wakil Jokowi, masih tanda tanya. Juga ada yang jadi tanda tanya lain di publik. Mengapa PKB masih diam?

Politik Baliho
Baliho Cak Imim Cawapres 2019 bertebaran di ruang-ruang publik se-Republik. Secara visual, baliho Cak Imin menjawab pertanyaan di atas (“Mengapa PKB masih diam?”). Politik baliho ini juga jadi pesan verbal ke Jokowi. Pesan yang sama juga dikirim ke Tengku Umar. “Jika belum paham mau ane, baca baliho saja!”
Lewat politik baliho, PKB tengah memainkan positioning. Posisi historis PKB di Pilpres 2014 sangat jelas.  Selain memberi warna hijau di kubu Jokowi-JK yang mayoritas diisi partai nasionalis, PKB berperan memenangkan Jokowi-JK di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I Yogyakarta.

Tandem PDIP-PKB di Pilpres 2014 lumayan sukses menyatukan santri-abangan, nahdiyin-marhaen. Apa yang tak bisa dilakukan PPP di kubu Prabowo-Hatta, termasuk PAN di D.I Yogyakarta.

Dilihat dari sisi political marketing, strategi canvassing lewat baliho langsung menohok banyak hal. Pertama, ia coba memagari “rumah” yang jadi basis pendukung tradisional PKB dari dikuasai tamu politik musiman.

Kedua, ia menegaskan maunya PKB. Posisi lima besar perolehan suara di 2014 dengan mengantongi 8,04 persen kursi di DPR jelas modal politik yang cukup buat PKB. Kursi cawapres bisa dianggap realistik. Ketiga, melalui politik baliho, target realistik itu di-direct selling ke dalam ruang-ruang kesadaran pemilih.

Menarik ialah simultanitas atau keserentakan baliho Cak Imin. Ini membuat cara komunikasi politik yang konvensional jadi unik dan nakal. Publik dibuat terpengarah. Seperti kisah Bandung Bondowoso membangun candi dalam semalam. Alhasil, keunikan dan kenakalan itu segera ditransfer ke dunia daring. Memiral lewat kicauan di group-group WhatsApp.

Agaknya, Jokowi dan partai pendukungnya perlu  berhitung.  Dan, ini bisa jadi dilematis. Di satu sisi, PKB sudah mematok harga untuk mengantarkan Jokowi ke tujuan dua periode. Di sisi yang lain, meniadakan PKB jelas akan menyisakan ruang kosong yang sulit tergantikan.
Semantikal Cak Imin.

Pertanyaan berikutnya, ke mana PKB sekiranya tidak di gerbong Jokowi pada Pilpres besok?
Pascapolitik baliho, muncul berita rencana pertemuan Prabowo Subianto dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imim). Apakah pertemuan itu cuma membahas soal Pilgub Jateng sebagaimana diberitakan? Tentu tidak. Koalisi PKB dengan Gerindra memenuhi syarat Presidential Threshold.

“Jika Prabowo Subianto dan Cak Imin dipasangkan sebagai capres-cawapres pada Pilpres 2019 mendatang, niscaya pasangan ini akan bisa secara bulat merebut suara di Pulau Jawa.” Pernyataan Arief Poyuono, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, mempertegas jawaban pertanyaan di atas.

Sekiranya PKB bertemu Gerindra, diikuti lahirnya koalisi Demokrat-PAN-PKS, Pilpres 2019 bisa saja diramaikan tiga pasang kandidat. Tiga pasang kandidat lebih menyegarkan. Broad-based participation minimal tidak begitu tajam terpolarisasi. Namun, bagi kubu Jokowi, kontestasi dengan tiga pasangan kandidat  lebih menguras energi. Atau, malah jadi boomerang.

Pilgub DKI kemarin sudah mengajarkan prestasi kepemimpinan, ditambah kegaharan kicau di dunia daring, belum cukup.  Perlu nyali bertarung dan berbecek-becek di basis riil, terutama untuk memenangkan Pulau Jawa. Kehadiran partai baru (PSI dan Perindo) di kubu Jokowi tidak cukup sebagai katub penyelamat. Lewat simultanitas politik baliho,  PKB menunjukkan mereka punya militansi itu.

Hal senada jika Pilpres jadi gelaran tarung ulang Jokowi versus Prabowo. Pernyataan Arief Poyuono bisa terbukti. Penguasa basis di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan broad-based participation terbesar pertama dan kedua di Indonesia adalah Gerindra dan PKB. Di Jawa Tengah, pada Pileg 2014, perolehan suara PKB urutan ketiga setelah PDIP dan Golkar. Perolehan suara PKB hanya selisih tipis dengan Golkar, (Golkar: 2.497.282 suara,
PKB: 2.305.444 suara).

Untuk Jawa Tengah, faktor kepemimpinan Ganjar yang dinilai mengecewakan dapat jadi deposit negatif secara politik ke depan. Di kasus Semen VS Samin misalnya, Ganjar justru membuat blunder. Ia menertawakan aksi semen kaki petani yang dimotori kalangan Samin. Sebaliknya, PKB dan Gerindra menunjukkan sikap responsif. Implikasi jangka pendek ialah Pilgub Jawa Tengah 2018 nanti. Koalisi PKB-Gerindra-PKS-PAN punya peluang besar memenangkan Jawa Tengah.

Di tengah menguatanya populisme agama, diperparah kegagalan KPU mendorong kontestasi elektoral kita menjadi apa yang disebut Sherry A. Arnstein sebagai cornerstone of democracy, posisi Cak Imin dan PKB menjadi sangat penting. Mengabaikan Cak Imin dan PKB bisa berarti “bunuh diri” bagi Jokowi.
Nah, selamat berhitung Pakde. Dan, segera kita bikin baliho.