JAKARTA - Pemerintah terus menjaga agar komposisi bauran energi (energy mix) pembangkit tetap optimal. Upaya ini ditempuh melalui pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero 2018-2027.
Dalam RUPTL tersebut, Pemerintah telah menetapkan target bauran energi pembangkit hingga akhir 2025 untuk Batubara sebesar 54,4%, Energi Baru Terbarukan (EBT) 23,0%, Gas 22,2% dan Bahan Bakar Minyak (BBM) 0,4%.
"Pemerintah telah mengesahkan bauran energi pembangkit dalam RUPTL PLN. Kami melihat terutama rencana bauran EBT akan meningkat dari 12,4% di tahun 2018 menjadi 23% di 2025 nanti," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta, Selasa (20/3).
Proyeksi tersebut, lanjut Agung, diasumsikan apabila semua pekerjaan penyelesaiaan proyek pembangkit tidak mengalami kendala yang berarti sehingga bisa beroperasi sesuai target.
Dalam 10 tahun mendatang, kapasitas pembangkit di seluruh Indonesia akan mendapat tambahan sebesar 56 GW. PLTU Batubara akan mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 26,8 GW atau 47,8%. Selain itu, ada juga tambahan dari PLT Gas dan Uap (PLTGU) 10,4 GW atau 18,6%, PLTG/PLTMG 3,8 GW atau 6,8%.
Dari EBT sendiri akan mendapat tambahan kapasitas dari PLT Air 8,3 GW sebesar 14,8%, PLT Panas Bumi 4,6 GW atau 8,2% dan beberapa pembangkit lainnya berbahan bakar Solar, Sampah, Biogas dan Biomassa sebesae 2,1 GW atau sekitar 3,7%.
"Khusus untuk EBT pada tahun 2025 mudah-mudahan kalau sesuai RUPTL kapasitasnya bisa bertambah sebesar 7,3 GW," jelas Agung.
Strategi Pengembangan
Pemenuhan pasokan listrik di beberapa wilayah tertentu akan diutamakan melalui pengembangan kapasitas pembangkit. Selain untuk memenuhi pertumbuhan beban, faktor keandalan pasokan jadi titik tekan atas antisipasi melonjaknya kebutuhan listik selama 10 tahun mendatang.
"Pengembangan kapasitas ini akan diarahkan sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam mengembangkan EBT dan program 35.000 MW," tandas Agung.
Sesuai persetujuan Menteri ESDM, imbuh Agung, pengembangan pembangkit oleh PT PLN berpegang pada prinsip biaya penyediaan listrik rendah (least cost) dengan tetap memenuhi kecukupan daya dan tingkat keandalan wajar dalam industri tenaga listrik.
Pemerintah juga terus mendorong PLN mengoptimalkan penggunaan EBT dengan mempertimbangkan efisiensi harga dan menjaga keseimbangan supply dan demand serta status kesiapan pembangkit.
Indikasi pemilihan lokasi pembangkit juga bagian tak kalah penting. Dengan begitu, pengembangan kapasitas pembangkit secara tidak langsung akan memperhatikan ketersediaan energi primer setempat, kedekatan pusat beban, regional balance, topologi jaringan transmisi, kendala sistem transmisi hingga hingga permasalahan teknis, lingkungan maupun sosial.
Daerah penghasil batubara, misalnya. Jenis pembangkit yang lebih tepat diprioritaskan untuk dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang atau pengembangan pembangkit berbasis gas di sekitar mulut sumur gas (wellhead).
"Kondisi ini sesuai dengan yang apa yang diinisiasikan oleh Menteri Jonan atas pembangunan pembangkit di dekat lokasi bahan baku agar bisa menekan biaya produksi sehingga menjadi lebih efisien," jelas Agung.
Hal yang sama juga terjadi pada proyeksi pengoperasian pembangkit. Pembangkit pemikul beban puncak terus diupayakan untuk tidak menggunakan BBM. Penggunaaan BBM hanya akan dipakai sebagai penyangga (buffer) dalam mempercepat ketersediaan daya sebelum energi primer tersedia lebih ekonomi.
PLN merencanakan akan mengoptimalkan potensi gas, seperti Liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG) ataupun potensi hidro, seperti PLT Air peaking dengan reservoir dan pumped storage sebagai pembangkit pemikul beban puncak.
Sementara, Mobile Power Plant (MPP) bisa digunakan untuk pemikul beban kecil karena pembuatnya yang terbilang singkat dan mobile ataupun PLT Gas dan Uap (PLTGU) untuk pemikul beban menengah(relis imo)
Dalam RUPTL tersebut, Pemerintah telah menetapkan target bauran energi pembangkit hingga akhir 2025 untuk Batubara sebesar 54,4%, Energi Baru Terbarukan (EBT) 23,0%, Gas 22,2% dan Bahan Bakar Minyak (BBM) 0,4%.
"Pemerintah telah mengesahkan bauran energi pembangkit dalam RUPTL PLN. Kami melihat terutama rencana bauran EBT akan meningkat dari 12,4% di tahun 2018 menjadi 23% di 2025 nanti," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi di Jakarta, Selasa (20/3).
Proyeksi tersebut, lanjut Agung, diasumsikan apabila semua pekerjaan penyelesaiaan proyek pembangkit tidak mengalami kendala yang berarti sehingga bisa beroperasi sesuai target.
Dalam 10 tahun mendatang, kapasitas pembangkit di seluruh Indonesia akan mendapat tambahan sebesar 56 GW. PLTU Batubara akan mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 26,8 GW atau 47,8%. Selain itu, ada juga tambahan dari PLT Gas dan Uap (PLTGU) 10,4 GW atau 18,6%, PLTG/PLTMG 3,8 GW atau 6,8%.
Dari EBT sendiri akan mendapat tambahan kapasitas dari PLT Air 8,3 GW sebesar 14,8%, PLT Panas Bumi 4,6 GW atau 8,2% dan beberapa pembangkit lainnya berbahan bakar Solar, Sampah, Biogas dan Biomassa sebesae 2,1 GW atau sekitar 3,7%.
"Khusus untuk EBT pada tahun 2025 mudah-mudahan kalau sesuai RUPTL kapasitasnya bisa bertambah sebesar 7,3 GW," jelas Agung.
Strategi Pengembangan
Pemenuhan pasokan listrik di beberapa wilayah tertentu akan diutamakan melalui pengembangan kapasitas pembangkit. Selain untuk memenuhi pertumbuhan beban, faktor keandalan pasokan jadi titik tekan atas antisipasi melonjaknya kebutuhan listik selama 10 tahun mendatang.
"Pengembangan kapasitas ini akan diarahkan sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam mengembangkan EBT dan program 35.000 MW," tandas Agung.
Sesuai persetujuan Menteri ESDM, imbuh Agung, pengembangan pembangkit oleh PT PLN berpegang pada prinsip biaya penyediaan listrik rendah (least cost) dengan tetap memenuhi kecukupan daya dan tingkat keandalan wajar dalam industri tenaga listrik.
Pemerintah juga terus mendorong PLN mengoptimalkan penggunaan EBT dengan mempertimbangkan efisiensi harga dan menjaga keseimbangan supply dan demand serta status kesiapan pembangkit.
Indikasi pemilihan lokasi pembangkit juga bagian tak kalah penting. Dengan begitu, pengembangan kapasitas pembangkit secara tidak langsung akan memperhatikan ketersediaan energi primer setempat, kedekatan pusat beban, regional balance, topologi jaringan transmisi, kendala sistem transmisi hingga hingga permasalahan teknis, lingkungan maupun sosial.
Daerah penghasil batubara, misalnya. Jenis pembangkit yang lebih tepat diprioritaskan untuk dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang atau pengembangan pembangkit berbasis gas di sekitar mulut sumur gas (wellhead).
"Kondisi ini sesuai dengan yang apa yang diinisiasikan oleh Menteri Jonan atas pembangunan pembangkit di dekat lokasi bahan baku agar bisa menekan biaya produksi sehingga menjadi lebih efisien," jelas Agung.
Meminimalkan BBM
Pergeseran menuju energi primer yang optimal diharapkan meminimalkan penggunaan BBM. Tercatat pemakaian BBM untuk pembangkit listrik dari 11,4 juta kiloliter pada tahun 2011 menjadi hanya 6,3 juta KL pada 2017.Hal yang sama juga terjadi pada proyeksi pengoperasian pembangkit. Pembangkit pemikul beban puncak terus diupayakan untuk tidak menggunakan BBM. Penggunaaan BBM hanya akan dipakai sebagai penyangga (buffer) dalam mempercepat ketersediaan daya sebelum energi primer tersedia lebih ekonomi.
PLN merencanakan akan mengoptimalkan potensi gas, seperti Liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG) ataupun potensi hidro, seperti PLT Air peaking dengan reservoir dan pumped storage sebagai pembangkit pemikul beban puncak.
Sementara, Mobile Power Plant (MPP) bisa digunakan untuk pemikul beban kecil karena pembuatnya yang terbilang singkat dan mobile ataupun PLT Gas dan Uap (PLTGU) untuk pemikul beban menengah(relis imo)