,-Dinamika politik jelang pemilu presiden (Pilpres) 2019 merupakan tantangan bagi masyarakat Minang. Tantangan dan kesempatan ini seharus tidak dilewatkan begitu saja bagi tokoh tokoh Minang.
Sekaranglah saatnya tokoh minang unjuk gigi, menjaga tradisi untuk menjaga keutuhan bangsa. Disebut tantangan, karena sejumlah tokoh minang sebelumnya sejak jaman penjajahan, proklamasi dan pasca proklamasi mampu unjuk diri berperan untuk misi kebangsaan. Sebut saja Tuanku Imam Bonjol, Muhammad Hatta, M. Nasir, dan Sahrir. Serta masih banyak lagi tokoh minang yang tidak diragukan lagi perannya menjaga keutuhan bangsa. Nama besar mereka dikenang sampai saat ini karena ikut berperan disaat negara genting, butuh solusi dan perlu langkah cepat.
Kita contohkan Sahrir, langkah cepat dan tegasnya menculik bung Karno dan bung Hatta berujung dipercepatnya Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. Jika saat itu Sharir dan kawan kawan hanya manut pada janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan, mungkin arwah para pahlawan lainnya akan meratap, karena nilai perjuangan mereka tak dianggap jika pada akhirnya Indonesia merdeka bukan hasil perjuangan namun "hadiah dari Jepang".
Contoh lainnya M. Natsir tidak kalah pentingnya keputusan yang diambilnya. Pada 1950 ketika Indonesia terbelah dengan ambisi banyak parpol dan berseberangan jalan dengan Panglima Besar Revolusi Bung Karno, Natsir tampil dengan Mosi Integral, tepatnya 3 April 1950. Keputusannya membuat Indonesia kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya berhasil diadu domba Belanda dan berbentuk negara serikat, RIS. Ketika itu Indonesia dipecah menjadi negara Serikat hasil dari Konferensi Meja Bundar di Denghaag, 27 Desember 1949. Setidaknya ada 16 Negara Bagian yang terbentuk di seluruh Wilayah Indonesia.
Kondisinya sekarang tidak jauh berbeda, Indonesia seperti terbelah dalam dua kubu besar yang berseberangan. Kubu pemerintahan sekarang dan kubu oposisi. Dari sudut kacamata demokrasi itu bisa dianggap lumrah dan itulah demokrasii, tapi 2019 itu akan beda, taruhannya "keutuhan bangsa". Ibarat falsafah Minang "manang jadi abu, kalah jadi arang". Jika kubu pemerintah yang menang, maka situasi nasional akan makin bergejolak. Sebaliknya jika kubu oposisi yang terpilih maka pendukung pemerintahan akan resah.
Mereka yang oposisi akan makin bergejolak karena saat ini semua kebijakan pemerintah dianggap tidak sesuai janji dan tidak terlihat menyejahterakan rakyat. Sementara kubu pemerintahan akan resah jika kubu oposisi yang menang. Pasalnya kebijakan yang sebelumnya diambil bisa saja diganti dan menyulitkan posisi mereka yang terlanjur sudah menikmati kebijakan pemerintahan.
Disii lain sejak pilkada dan pemilu menggunakan sistem pemilu langsung, rata rata berujung sengketa dan dibawa ke sidang.
Penyebabnya, karena mental demokrasi kita belum utuh, terutama terkait kesiapan untuk kalah dan siap menang.
Sejatinya ketika sudah kalah, maka dia akan dukung sepenuhnya kebijakan kubu lawan. Boleh kritik tapi tidak merecoki atau menghambat.
Kemunculan figur alternatif lah yang sangat dibutuhkan. Figur itu harus yang bisa menjembatani aspirasi kedua kubu yang berseberangan. Disinilah kesempatan tokoh minang muncul untuk mengulang sejarah. Tokoh yang bisa memberikan solusi, kebijakan tegas dan bisa diterima semua rakyat. Tokoh yang hadir dari sebuah musyawarah dan mufakat menjaga keutuhan bangsa. Orang Minang punya banyak tokoh, tinggal pilih dan apungkan ke permukaan. Bisa tulen Minangnya, bisa juga yang ada campuran darah Minangnya.
Belakangan sejumlah lembaga survey mulai merilis sejumlah nama tokoh yang didaulat untuk menduduki tampuk pimpinan pemerintahan pada 2019 mendatang. Di antaranya, presiden incumbent Joko Widodo, Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, hingga nama pakar hukum dan sekaligus Ketua Umum Partai PBB Yusril Ihza Mahendra.
Orang Minang yang banyak tergabung dalam sejumlah organisasi kekeluargaan bisa saja rembug untuk memunculkan figur ideal. Agar nantinya figur tersebut sama sama didukung oleh semua orang Minang dan diterima kepemimpinannya secara nasional. Tokoh tersebut bisa saja langsung didapuk untuk jadi kandidat atau sebatas menjadi sosok penengah kondisi perpolitikan Indonesia yamg mulai terbelah.
Sebelumnya nama nama tokoh Minang yang sudah menjadi bidikan publik di antaranya Rizal Ramli dan Irwan Prayitno. Nama lain yang punya silsilah darah Minang, Yusril Ihza Mahendra. (**)
Oleh: Rony Rahmatha Tuanku Imam (Sekjen DPP Minang Sakato)
Sekaranglah saatnya tokoh minang unjuk gigi, menjaga tradisi untuk menjaga keutuhan bangsa. Disebut tantangan, karena sejumlah tokoh minang sebelumnya sejak jaman penjajahan, proklamasi dan pasca proklamasi mampu unjuk diri berperan untuk misi kebangsaan. Sebut saja Tuanku Imam Bonjol, Muhammad Hatta, M. Nasir, dan Sahrir. Serta masih banyak lagi tokoh minang yang tidak diragukan lagi perannya menjaga keutuhan bangsa. Nama besar mereka dikenang sampai saat ini karena ikut berperan disaat negara genting, butuh solusi dan perlu langkah cepat.
Kita contohkan Sahrir, langkah cepat dan tegasnya menculik bung Karno dan bung Hatta berujung dipercepatnya Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. Jika saat itu Sharir dan kawan kawan hanya manut pada janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan, mungkin arwah para pahlawan lainnya akan meratap, karena nilai perjuangan mereka tak dianggap jika pada akhirnya Indonesia merdeka bukan hasil perjuangan namun "hadiah dari Jepang".
Contoh lainnya M. Natsir tidak kalah pentingnya keputusan yang diambilnya. Pada 1950 ketika Indonesia terbelah dengan ambisi banyak parpol dan berseberangan jalan dengan Panglima Besar Revolusi Bung Karno, Natsir tampil dengan Mosi Integral, tepatnya 3 April 1950. Keputusannya membuat Indonesia kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya berhasil diadu domba Belanda dan berbentuk negara serikat, RIS. Ketika itu Indonesia dipecah menjadi negara Serikat hasil dari Konferensi Meja Bundar di Denghaag, 27 Desember 1949. Setidaknya ada 16 Negara Bagian yang terbentuk di seluruh Wilayah Indonesia.
Kondisinya sekarang tidak jauh berbeda, Indonesia seperti terbelah dalam dua kubu besar yang berseberangan. Kubu pemerintahan sekarang dan kubu oposisi. Dari sudut kacamata demokrasi itu bisa dianggap lumrah dan itulah demokrasii, tapi 2019 itu akan beda, taruhannya "keutuhan bangsa". Ibarat falsafah Minang "manang jadi abu, kalah jadi arang". Jika kubu pemerintah yang menang, maka situasi nasional akan makin bergejolak. Sebaliknya jika kubu oposisi yang terpilih maka pendukung pemerintahan akan resah.
Mereka yang oposisi akan makin bergejolak karena saat ini semua kebijakan pemerintah dianggap tidak sesuai janji dan tidak terlihat menyejahterakan rakyat. Sementara kubu pemerintahan akan resah jika kubu oposisi yang menang. Pasalnya kebijakan yang sebelumnya diambil bisa saja diganti dan menyulitkan posisi mereka yang terlanjur sudah menikmati kebijakan pemerintahan.
Disii lain sejak pilkada dan pemilu menggunakan sistem pemilu langsung, rata rata berujung sengketa dan dibawa ke sidang.
Penyebabnya, karena mental demokrasi kita belum utuh, terutama terkait kesiapan untuk kalah dan siap menang.
Sejatinya ketika sudah kalah, maka dia akan dukung sepenuhnya kebijakan kubu lawan. Boleh kritik tapi tidak merecoki atau menghambat.
Kemunculan figur alternatif lah yang sangat dibutuhkan. Figur itu harus yang bisa menjembatani aspirasi kedua kubu yang berseberangan. Disinilah kesempatan tokoh minang muncul untuk mengulang sejarah. Tokoh yang bisa memberikan solusi, kebijakan tegas dan bisa diterima semua rakyat. Tokoh yang hadir dari sebuah musyawarah dan mufakat menjaga keutuhan bangsa. Orang Minang punya banyak tokoh, tinggal pilih dan apungkan ke permukaan. Bisa tulen Minangnya, bisa juga yang ada campuran darah Minangnya.
Belakangan sejumlah lembaga survey mulai merilis sejumlah nama tokoh yang didaulat untuk menduduki tampuk pimpinan pemerintahan pada 2019 mendatang. Di antaranya, presiden incumbent Joko Widodo, Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, hingga nama pakar hukum dan sekaligus Ketua Umum Partai PBB Yusril Ihza Mahendra.
Orang Minang yang banyak tergabung dalam sejumlah organisasi kekeluargaan bisa saja rembug untuk memunculkan figur ideal. Agar nantinya figur tersebut sama sama didukung oleh semua orang Minang dan diterima kepemimpinannya secara nasional. Tokoh tersebut bisa saja langsung didapuk untuk jadi kandidat atau sebatas menjadi sosok penengah kondisi perpolitikan Indonesia yamg mulai terbelah.
Sebelumnya nama nama tokoh Minang yang sudah menjadi bidikan publik di antaranya Rizal Ramli dan Irwan Prayitno. Nama lain yang punya silsilah darah Minang, Yusril Ihza Mahendra. (**)
Oleh: Rony Rahmatha Tuanku Imam (Sekjen DPP Minang Sakato)