Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si. |
Politik dan Hukum sebagai
ilmu adalah dua ilmu yang berbeda dan berdiri sendiri atau disebut monodisiplin.
Setiap ilmu membangun teori-teorinya sendiri. Meskipun kemudian setiap ilmu
bisa digabungkan dengan ilmu lainnya dan disebut sebagai multidisiplin. Namun
dalam praktik, tidak lebih mudah memisahkan antara politik dan hukum. Memahami
realitas praktis dalam politik dan hukum justru lebih mudah dengan berlandaskan
teori, meskipun membangun teori tidak boleh terlepas dari pemahaman atas
realitas praktis. Sehingga mengaitkan dan merelasikan Politik dan Hukum secara
ajeg sebagi ilmu dan menjadikannya multidisiplin maka harus memahami Politik
Hukum dan Hukum Politik sebagai ilmu untuk menganalisis realitas politik dalam
memproduksi hukum dan menjadikan hukum sebagai landasan politik.
Politik Hukum (Law Politics)
dan Hukum Politik (Political Law)
RKUHP
Politik Hukum lebih mudah
dipahami sebagai (proses) politik dalam membentuk (produk) hukum, dengan
kalimat lain, hukum adalah produk (dari) politik. Sedangkan Hukum Politik lebih
mudah dipahami sebagai hukum menjadi dasar dalam berpolitik, atau berpolitik
harus berlandaskan pada hukum yang ada. Dalam politik hukum kemudian dapat
dipahami bahwa isi dari (produk) hukum adalah arahan (cara-cara yang bisa
dilakukan) bagi tercapainya dan terwujudnya tujuan-tujuan dalam (tindakan)
berpolitik. Dengan demikian maka (tindakan) berpolitik selanjutnya memiliki
pedoman atau panduan yang jelas atau presisi dalam penegakan hak dan kewajiban,
pemberian penghargaan atas kepatuhan dan sanksi atas pelanggaran dalam hal
obligasinya, terutama ketika kemudian ada lembaga-lembaga yang didelegasikan
untuk menegakkan hukum tersebut.
Sehingga, dalam
mendiskusikan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dapat
dipahami dengan sebuah rancangan perundang-undangan yang dihasilkan dari proses
politik dan akan digunakan kelak sebagai dasar untuk berpolitik selanjutnya.
Sebuah KUHP dirancang untuk digunakan dalam penyelenggaraan sebuah negara
dengan tatanan sosial-politik yang khas dari negara tersebut. Menjadi masuk
akal jika sebuah negara seperti Indonesia membentuk KUHP-nya sendiri secara
mandiri dan tidak lagi menerapkan produk hukum warisan dari kolonialisasi.
Sebab justru tidak masuk akal atau tidak logis jika warisan kolonial
dilestarikan oleh sebuah negara yang merdeka. Bahkan kolonialisme itu sendiri
meskipun ada secara teoritis di dunia (akademik), namun dalam praktik
bernegara-bangsa, realitas kolonialisasi justru semakin tidak masuk akal dan
tidak logis jika masih ada dan dipertahankan di muka bumi.
RKUHP sebagai Politik Hukum Kontekstual Indonesia
RKUHP yang nantinya akan
menghasilkan KUHP bagi Indonesia, maka harus dirancang dan dihasilkan dengan
melihat berbagai aspek yang menuntun pada kontekstualitasnya sebagai produk
hukum. Aspek-aspek tersebut yang pertama adalah Aspek Kesejarahan (Historical) yang material dari bangsa
dan Negara Indonesia. Ketika negara ini diciptakan sebagai sintesis dari
perlawanan atas kolonialisasi negara-bangsa lain dan memerdekakan diri untuk
mewujudkan hak asasi, maka tujuan yang hendak dicapai adalah demokrasi. Dengan
demikian maka ketika menciptakan atau merancang KUHP semangat yang harus dijaga
adalah KUHP yang menjamin demokrasi tersebut.
Namun demokrasi yang
dimaksud juga harus menyesuaikan dengan aspek yang kedua yaitu Aspek
Pandangan-dunia (World-view). Aspek
ini diciptakan dari kemampuan berpikir dalam melihat dan menilai lebih jauh dan
luas dari realitas dunia sebagai sistem kehidupan sosial yang besar dan bahkan
membentuk struktur internasional dengan pola-pola interaksi tertentu. Pandangan–dunia
di dalamnya terdapat pengetahuan fundamental atau mendasar tentang eksistensi
manusia dan masyarakat yang memiliki emosi, nilai, norma, dan etika yang
membentuk tema kehidupan bersama. Oleh sebab itu maka KUHP yang dirancang harus
berlandaskan pada pandangan-dunia yang mengakui hak asasi manusia sebagai hal
fundamental, eksistensi kehidupan manusia dan masyarakat yang secara individual
dan sosial memiliki emosi, nilai-nilai, norma dan etika yang disepakati
bersama. Pandangan-dunia ini seringkali disamakan dengan ideologi, meskipun
tidak jarang juga dibedakan, dan jika ideologi yang disepakati di Negara
Indonesia adalah Pancasila, apakah RKUHP yang dirancang merefleksikan itu?
Oleh sebab itu akhrinya
harus merujuk pada yang ketiga yakni Aspek Sosio-kultural (Socio-cultural) di mana KUHP yang dirancang tidak bisa berbeda atau
bahkan mengkhianati sosio-kultur yang ada dan terbentuk di Indonesia. Aspek
sosio-kultur berkenaan dengan segala segi sosial dan budaya masyarakat,
sehingga harus mau dan mampu terlebih dahulu merumuskan segi-segi tersebut
untuk menjadikannya sebagai landasan RKUHP. Dalam konteks ini, tidak mudah
memang dan tidak bisa dipaksakan pilihan-pilihan pragmatis dalam merancang KUHP
untuk memuaskan hanya salah satu atau sebagian dari pihak-pihak yang ada dalam
keseluruhan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.
Terakhir adalah Aspek
Kemauan Politik (Political Will),
dalam hal ini secara bersama mau membangun politik yang mampu dikonstruksikan
dari aspek kesejarahan bangsa dan negara yang materail, tidak pragmatis namun
berideologi yang jelas dan tegas untuk membangun demokrasi, juga tidak
melupakan dan meninggalkan aspek sosio-kultur sebagai dasar mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga RKUHP tidak hanya menjadi
perdebatan dan pertarungan politik sesaat yang pragmatis, parsial dalam melihat
dan menilai setiap bagian-bagiannya, dan akhirnya hanya merefleksikan sebuah
produk hukum dari warisan kolonial menjadi kreasi panduan bernegara hukum tanpa
ideologi.
Virtuous Setyaka,
S.IP., M.Si.
*Dosen Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Andalas, Padang, Sumatera Barat, Indonesia.
**Mahasiswa
Doktoral (S3) Hubungan Internasional, PPS FISIP, Universitas Padjadjaran,
Bandung, Jawa Barat, Indonesia.