Dalam masyarakat Minangkabau lama, laki-laki yang belum menikah punya kebiasaan tidur surau dan makan di lapau. Di Minangkabau ada dua jenis lapau yang, karena fungsi sosial budayanya yang khas, tidak otomatis dapat dipadankan dengan kata warung dalam bahasa Indonesia. Walaupun demikian, toh foto ini diberi judul Een warong op de pasar te Paja Komboeh, Sumatra (Sebuah warung di Pasar Payakumbuh, Sumatra [Barat]).
Di Minangkabau ada lapau untuk minum-minum saja dan makan camilan seperti goreng-gorengan, lepat sagan dan beberapa jenis lepat lainnya, jenis-jenis roti lokal, dan lain sebagainya. Lapau jenis ini biasanya disebut lapau kopi. Selain itu ada lapau nasi yang khusus menyediakan nasi dengan lauk-pauknya, biasanya untuk makan siang. Meskipun demikian, kadang-kadang ada seorang pemilik lapau kopi yang juga punya lapau nasi, tapi tempatnya selalu dibedakan.
Laki-laki yang pergi ke lapau untuk mangopi biasanya memakai berbagai macam pakaian. Dari pakaian seseorang kita dapat melihat status sosial dan jenis pekerjaan orang itu. Di darek adalah biasa pula kita lihat beberapa laki-laki memakai jas resmi ala Barat walau biasanya jasnya sudah tua pergi ke lapau. Di lapau kopi orang bisa duduk berlama-lama sambil maota (ngobrol dengan nuansa debat) tentang berbagai isu sosial-politik yang lagi hangat. Lihatlah refleksinya dalam cerpen A.A. Navis Politik Warungkopi (dalam antologi Hujan Panas dan Kabut Musim. Bukittinggi & Jakarta: N.V. Nusantara, 1963: 23-360).
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan potret klasik sebuah lapau nasi di Payakumbuh. Foto ini (14 x 23, 5 cm.) dibuat sekitar tahun 1911 oleh mat kodak Jean Tulp Demmeni. Laki-laki dengan baju lengan panjang, sarung (kain palakaik), dan kopiah adalah pemandangan yang lumrah pada waktu itu. Tampaknya lapau nasi ini, yang tak disebutkan nama pemiliknya, terbilang laris juga: kelihatan agak antri orang makan di sana, walaupun sebenarnya lapau nasi ini tidak permanen bentuknya karena hanya berupa pondok beratap daun kelapa dan dilingkungi kain terpal agar pengunjung terlindung dari sinar matahari. Tapi mungkin gulai cancang atau randang baluik-nya terasa garamnya. Lagi pula harganya tampaknya cukup murah: [v]oor een paar centen heef hij een copieus diner (dengan beberapa sen saja orang sudah bisa makan malam dengan mewah [di lapau ini]), kutip pengarang buku tempat foto ini dimuat.
Makan lamak sambil duduk mencangkung dan setelah itu bersendawa bebas tanpa dilihat dengan pandangan aneh oleh orang sekeliling, sudah lama tak bisa saya lakukan di Negeri Atas Angin, tempat saya dilarikan nasib sekarang. Rindu saya pada suara: Tambuah ciek meja duo, agiah kuah gulai jariang!
Sumber: Suryadi – Leiden, Belanda (rubrik Minang Saisuak)