Padang,-Tahun 2018-2019 akan menjadi salah satu bagian dari sejarah bagi Republik Indonesia karena momentum politik. Populer disebut “tahun politik” di Indonesia karena ada pemilihan umum (pemilu) baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Pada 2018 akan digelar 171 pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung, dan pemilihan legislatif (pileg) serta pemilihan presiden (pilpres) pada 2019.
Meskipun sepanjang tahun dan di tahun-tahun yang lainnya sebenarnya politik selalu ada dan berlangsung. Politik adalah bagian dari keseharian yang tidak akan pernah berhenti sampai berhentinya kehidupan manusia dan peradaban masyarakat manusia. Politik adalah tentang pengelolaan kehidupan sehari-hari yang diinstitusionalisasikan, dilembagakan, dan diorganisasikan.
Bercumbu dengan Bencana!Bercumbu dengan bencana (flirting with disaster) juga menjadi istilah yang popular bagi para ahli dan pegiat yang aktif dalam kebencaan di Indonesia. Dapat dipahami sebagai memikirkan sesuatu (dalam hal ini bencana) dengan cara yang biasa saja. Disebut bercumbu karena terkesan hanya main mata, bermainan-main saja, dan mungkin menyentuh di permukaan saja dalam menghadapi permasalahan bencana atau bahaya. Padahal kita tahu bahwa melakukan sesuatu yang kita tahu seharusnya tidak kita lakukan itu dapat menyebabkan kita mengalami masalah yang lebih serius.
Seperti yang pernah Penulis sampaikan: perdebatan, diskusi, atau dialog tentang politik bencana dan bencana politik masih menjadi sesuatu yang dihindari atau masih langka di forum-forum formal. Bahkan menjelang 20 tahun reformasi di Indonesia pada 2018 ini. Padahal persoalan politik bencana dan bencana politik tidak bisa dihadapi dengan main-main.
Kaum Muda, baik para ilmuwan muda maupun pegiat muda (atau keduanya tidak terpisahkan) dalam kebencanaan di Indonesia, menyadari bahwa suara mereka harus didengar oleh siapa saja, terutama para pemimpin di negeri ini baik di daerah maupun di pusat. Suara-suara Kaum Muda diharapkan didengar untuk bisa terlibat dalam pengelolaan atau tata kelola bencana (disaster governance) agar bercumbu dengan bencana tidak menyebabkan masyarakat secara umum dan menyeluruh, mengalami masalah yang lebih serius bahkan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana caranya?
Bercumbu dengan Politik?Maka Kaum Muda sebagai ilmuwan dan pegiat kebencanaan di Indonesia yang menyadari bahwa politik bencana harus lebih serius diperhatikan agar tidak menjadi bencana (politik), perlu untuk melangkah dalam tahapan-tahapan berikut:
pertama, ketika berwacana atau membangun diskursus kebencanaan di dalam forum-forum ilmiah harus lebih meningkatkan kajian tentang politik dan pemerintahan kebencanaan secara terbuka dan langsung. Meskipun hal tersebut bukan tidak ada atau belum dilakukan sama sekali selama ini, misalnya yang Penulis temukan dalam Kumpulan Abstrak Karya Tulis Ilmiah Kebencanaan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Kelima Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) yang bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana Universitas Andalas (PSB Unand), dan disusun oleh Komite Siaga Bencana Mahasiswa Universitas Andalas (Kosbema Unand) tahun 2018. Ada dua abstrak makalah yang secara langsung ditulis, yaitu tentang “optimalisasi regulasi lokal sebagai refleksi tanggung jawab pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam melalui koordinasi antar daerah”, dan “peran pemerintah daerah untuk kesiapsiagaan penyandang disabilitas dalam menghadapi bencana alam di Kota Padang”. Mungkin harus lebih massif ditingkatkan bahkan sampai pada tahap adanya rekomendasi khusus yang dihasilkan untuk disampaikan kepada pemerintah di berbagai tingkatan. Terutama oleh para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan yang memiliki latar belakang disiplin ilmu di bidang sosial dan politik.
Kedua, momentum “tahun politik” harus dimanfaatkan terkait dengan wacana atau diskursus tentang “bercumbu dengan bencana”. Kesadaran para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan dalam politik diantaranya adalah kesadaran sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, baik pilkada, pileg, dan pilpres. Sebagai pemilih muda, mereka harus mampu memilih calon pemimpin daerah dan pemimpin pusat, baik pemimpin di legislatif maupun eksekutif, yang sensitif dengan pengelolaan bencana dengan lebih baik. Tanpa memperhatikan hal tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam keterlibatan di bidang politik dan pemerintahan, maka para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan akan kehilangan satu momentum penting di tahun politik tersebut.
Ketiga, untuk terus didengar suaranya dalam pengelolaan bencana di Indonesia dan di dunia, maka para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan harus memiliki organisasi dan jejaring yang kuat. Dalam perspektif Penulis, pengorganisasian dan pembangunan jejaring tersebut baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional dapat dilihat sebagaimana organisasi masyarakat sipil dalam struktur dan sistem politik pemerintahan di tingkat negara dan internasional. Untuk itu, tidak hanya berbekal ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam kebencanaan saja, namun juga dibekali dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam pengorganisasian, pembangunan jejaring, dan juga perpolitikan.
Keempat, ketika tahapan ketiga tersebut mampu diwujudkan dan dibangun dengan baik oleh para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan di Indonesia, maka kemungkinan mereka untuk didengar suaranya bukanlah sesuatu yang mustahil. Lebih dari itu, bahkan para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan akan mampu mengajukan calon-calon pemimpin bangsa dan negara dari kalangan mereka sendiri. Sehingga ketika ada yang menjadi pemimpin bangsa dan negara, akan ada para pembuat keputusan dan pengambil kebijakan yang sungguh-sungguh sadar pentingnya politik bencana agar tidak terjadi bencana politik.
Penulis: Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.
*Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang.
**Mahasiswa Doktoral (S3) Hubungan Internasional, PPS FISIP, Universitas Padjadjaran, Bandung.
***Inisiator Pembentukan Komite Siaga Bencana Mahasiswa (KOSBEMA), Universitas Andalas, Padang.
Meskipun sepanjang tahun dan di tahun-tahun yang lainnya sebenarnya politik selalu ada dan berlangsung. Politik adalah bagian dari keseharian yang tidak akan pernah berhenti sampai berhentinya kehidupan manusia dan peradaban masyarakat manusia. Politik adalah tentang pengelolaan kehidupan sehari-hari yang diinstitusionalisasikan, dilembagakan, dan diorganisasikan.
Bercumbu dengan Bencana!Bercumbu dengan bencana (flirting with disaster) juga menjadi istilah yang popular bagi para ahli dan pegiat yang aktif dalam kebencaan di Indonesia. Dapat dipahami sebagai memikirkan sesuatu (dalam hal ini bencana) dengan cara yang biasa saja. Disebut bercumbu karena terkesan hanya main mata, bermainan-main saja, dan mungkin menyentuh di permukaan saja dalam menghadapi permasalahan bencana atau bahaya. Padahal kita tahu bahwa melakukan sesuatu yang kita tahu seharusnya tidak kita lakukan itu dapat menyebabkan kita mengalami masalah yang lebih serius.
Seperti yang pernah Penulis sampaikan: perdebatan, diskusi, atau dialog tentang politik bencana dan bencana politik masih menjadi sesuatu yang dihindari atau masih langka di forum-forum formal. Bahkan menjelang 20 tahun reformasi di Indonesia pada 2018 ini. Padahal persoalan politik bencana dan bencana politik tidak bisa dihadapi dengan main-main.
Kaum Muda, baik para ilmuwan muda maupun pegiat muda (atau keduanya tidak terpisahkan) dalam kebencanaan di Indonesia, menyadari bahwa suara mereka harus didengar oleh siapa saja, terutama para pemimpin di negeri ini baik di daerah maupun di pusat. Suara-suara Kaum Muda diharapkan didengar untuk bisa terlibat dalam pengelolaan atau tata kelola bencana (disaster governance) agar bercumbu dengan bencana tidak menyebabkan masyarakat secara umum dan menyeluruh, mengalami masalah yang lebih serius bahkan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana caranya?
Bercumbu dengan Politik?Maka Kaum Muda sebagai ilmuwan dan pegiat kebencanaan di Indonesia yang menyadari bahwa politik bencana harus lebih serius diperhatikan agar tidak menjadi bencana (politik), perlu untuk melangkah dalam tahapan-tahapan berikut:
pertama, ketika berwacana atau membangun diskursus kebencanaan di dalam forum-forum ilmiah harus lebih meningkatkan kajian tentang politik dan pemerintahan kebencanaan secara terbuka dan langsung. Meskipun hal tersebut bukan tidak ada atau belum dilakukan sama sekali selama ini, misalnya yang Penulis temukan dalam Kumpulan Abstrak Karya Tulis Ilmiah Kebencanaan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Kelima Ikatan Ahli Bencana Indonesia (IABI) yang bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana Universitas Andalas (PSB Unand), dan disusun oleh Komite Siaga Bencana Mahasiswa Universitas Andalas (Kosbema Unand) tahun 2018. Ada dua abstrak makalah yang secara langsung ditulis, yaitu tentang “optimalisasi regulasi lokal sebagai refleksi tanggung jawab pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam melalui koordinasi antar daerah”, dan “peran pemerintah daerah untuk kesiapsiagaan penyandang disabilitas dalam menghadapi bencana alam di Kota Padang”. Mungkin harus lebih massif ditingkatkan bahkan sampai pada tahap adanya rekomendasi khusus yang dihasilkan untuk disampaikan kepada pemerintah di berbagai tingkatan. Terutama oleh para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan yang memiliki latar belakang disiplin ilmu di bidang sosial dan politik.
Kedua, momentum “tahun politik” harus dimanfaatkan terkait dengan wacana atau diskursus tentang “bercumbu dengan bencana”. Kesadaran para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan dalam politik diantaranya adalah kesadaran sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, baik pilkada, pileg, dan pilpres. Sebagai pemilih muda, mereka harus mampu memilih calon pemimpin daerah dan pemimpin pusat, baik pemimpin di legislatif maupun eksekutif, yang sensitif dengan pengelolaan bencana dengan lebih baik. Tanpa memperhatikan hal tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam keterlibatan di bidang politik dan pemerintahan, maka para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan akan kehilangan satu momentum penting di tahun politik tersebut.
Ketiga, untuk terus didengar suaranya dalam pengelolaan bencana di Indonesia dan di dunia, maka para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan harus memiliki organisasi dan jejaring yang kuat. Dalam perspektif Penulis, pengorganisasian dan pembangunan jejaring tersebut baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional dapat dilihat sebagaimana organisasi masyarakat sipil dalam struktur dan sistem politik pemerintahan di tingkat negara dan internasional. Untuk itu, tidak hanya berbekal ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam kebencanaan saja, namun juga dibekali dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam pengorganisasian, pembangunan jejaring, dan juga perpolitikan.
Keempat, ketika tahapan ketiga tersebut mampu diwujudkan dan dibangun dengan baik oleh para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan di Indonesia, maka kemungkinan mereka untuk didengar suaranya bukanlah sesuatu yang mustahil. Lebih dari itu, bahkan para ilmuwan dan pegiat muda kebencanaan akan mampu mengajukan calon-calon pemimpin bangsa dan negara dari kalangan mereka sendiri. Sehingga ketika ada yang menjadi pemimpin bangsa dan negara, akan ada para pembuat keputusan dan pengambil kebijakan yang sungguh-sungguh sadar pentingnya politik bencana agar tidak terjadi bencana politik.
Penulis: Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.
*Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang.
**Mahasiswa Doktoral (S3) Hubungan Internasional, PPS FISIP, Universitas Padjadjaran, Bandung.
***Inisiator Pembentukan Komite Siaga Bencana Mahasiswa (KOSBEMA), Universitas Andalas, Padang.