Sudut Payakumbuh Saisuak

Salingka Luak,-Payakumbuh adalah salah satu kota penting di pedalaman Minangkabau. Kota ini menjadi titik penghubung penting antara wilayah Minangkabau dengan daerah-daerah timur yang sekarang masuk wilayah Provinsi Riau. Karena peran strategisnya itu, Payakumbuh berkembang cukup pesat.

Mengutip Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Payakumbuh#Sejarah), dikatakan bahwa “kota Payakumbuh terutama pusat kotanya dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sejak keterlibatan Belanda dalam Perang Paderi, kawasan ini berkembang menjadi depot atau kawasan gudang penyimpanan dari hasil tanam kopi dan terus berkembang menjadi salah satu daerah administrasi distrik pemerintahan kolonial Hindia-Belanda  [di pedalaman Minangkabau pada] waktu itu.

Menurut tambo setempat, dari salah satu kawasan di dalam kota ini terdapat suatu nagari tertua yaitu nagari Aie Tabik dan pada tahun 1840, Setelah 8 tahun Belanda Menginjakan kakinya di daerah ini. Belanda membangun jembatan batu untuk menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat kota sekarang. Jembatan itu sekarang dikenal juga dengan nama Jembatan Ratapan Ibu.

Payakumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan telah menjadi pusat pelayanan pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan terutama bagi Luhak Limo Puluah [Koto]. Pada zaman pemerintahan Belanda, Payakumbuh adalah tempat kedudukan asisten residen yang menguasai wila­yah Luhak Limo Puluah, dan pada zaman pemerintahan Jepang, Payakumbuh menjadi pusat kedudukan pemerintah Luhak Limo Puluah.”

Foto klasik yang kami turunkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini membawa pembaca bernostalgia ke kota Payakumbuh di akhir 1920-an. Foto ini memperlihatkan sebuah sudut kota Payakumbuh. Mengutip keterangan yang menyertai foto ini: “Gambar ini menyatakan sebahagian dari pada soeatoe pasar dalam kota Pajakomboeh. Djalan yang terbentang itoe, ialah djalan ke Batang Tabit, soeatoe tempat mandi jang airnja djernih lagi sedjoek.” Pada masa itu, Payakumbuh sudah dihubungkan dengan jalan kereta api dari Bukittinggi, Padang, Pariaman, Padang Panjang, Solok, dan Sawahlunto. Jalur kereta api di Sumatra’s Westkust pertama kali dibangun tahun 1887, yaitu dari tambang batubara Ombilin di Sawahlunto ke Padang.

Dalam foto ini kelihatan gedung-gedung pertokoan utama di kedua sisi jalan ke Batang Tabik. Sudah lama saya tidak ke Payakumbuh, kotanya penyair Gus TF dan Iyut Fitra ini. Mungkin gedung-gedung itu sudah lenyap dimakan zaman, atau mungkin masih ada yang tersisa. Jika masih ada yang bertahan, tentu bagus dilestarikan, sebagai jalan untuk merujuk masa lalu sebuah kota yang benama Payakumbuh. Dalam melestarikan warisan sejarah, seiya sekatalah hendaknya para pejabat yang megang tampuk kekuasaan. Satukan pendapat, jangan bagai kata pantun: “Payambuh banyak sianik / Mamutuih lalu ka Kuantan / Inyo ndak namuah kuniang dek kunik / Aden ndak nio lamak dek santan”.

Sumber: Suryadi – Leiden University, Belanda | Singgalang, Minggu, 3 Juli 2016 (Sumber foto: Majalah Pandji Poestaka, No. 41, Tahoen VI, 22 Mei 1928: 739) (rubrik minang saisuak)