Padi hibrida
merupakan salah satu teknologi di bidang pemuliaan tanaman yang dapat
digunakan sebagai alternatif peningkatan produktivitas padi nasional
melalui pemanfaatan fenomena heterosis yang terdapat pada turunan
pertama (F1) suatu persilangan. Benih padi hibrida berbeda dengan
inbrida dalam hal genetik, harga benih, dan status biji hasil panen (F2)
yang tidak dapat dibudidayakan kembali karena akan mengalami degradasi
(penurunan) hasil. Potensi hasil yang lebih tinggi dibanding padi
inbrida, menjadi alasan utama pemanfaatan hibrida.
Kementerian
Pertanian (Kementan) melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB
Padi) memberikan dukungan penuh dalam penelitian dan pengembangan padi
hibrida di Indonesia yang sudah dimulai sejak 1984. Kementan merupakan
satu-satunya institusi pemerintah yang fokus pada pengembangan padi
hibrida mulai dari skala riset (melalui BB Padi – Badan Litbang
Pertanian), bantuan benih padi hibrida sebagai upaya peningkatan tingkat
adopsi (Direktorat Perbenihan - Ditjen TP), sampai dengan alih
teknologi hingga komersialisasi dan menyebar luas di masyarakat
(difasilitasi oleh BPATP – Badan Litbang Pertanian).
Kepala Badan
Litbang Pertanian, Dr. Fadjry Djufry mempertegas bahwa modernisasi
pertanian merupakan salah satu arah kebijakan yang ditetapkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024,
jelasnya.
Disebutkan dalam
RPJMN, Kementan menetapkan langkah operasional untuk mendukung program
tersebut melalui pengembangan kawasan berbasis korporasi petani. Hal ini
sudah dimulai oleh Badan Litbang Pertanian pada 2017 dengan melakukan
kegiatan demonstration farming padi hibrida skala luas berbasis
korporasi di Tabanan, Bali dan Gelar Teknologi di Yogyakarta
bekerjasama dengan International Rice Research Institute.
Kedua kegiatan
melibatkan mitra swasta, petani, petani penangkar, pemilik penggilingan
secara terintegrasi. Hal ini menjadi poin penting bahwa pengembangan
padi hibrida paling tepat adalah berbasis korporasi.
Kementan pada
kurun waktu 2002 – 2017 menyediakan dana penelitian padi hibrida tidak
hanya melalui DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), namun juga
melalui dana penelitian yang diperoleh dari program-progam unggulan
kerjasama lainnya. Dari hasil penelitian BB Padi 2002 – 2019, telah
dilepas 21 varietas unggul hibrida dengan potensi hasil tinggi. Beberapa
keunggulan lainnya, ketahanan terhadap hama dan penyakit utama dan
mutu, dengan rata-rata produksi benih 1,5-2 ton per hektare (ha).
Dukungan penelitian juga dilakukan untuk optimasi teknologi budidaya dan
produksi benih F1 hibrida.
Saat ini telah
dilakukan sinergitas Kementan melalui kerja sama dengan pemerintah
daerah, perusahaan nasional maupun multinasional untuk melakukan
komersialisasi varietas padi hibrida yang telah dilepas secara nasional.
Beberapa perusahaan yang mengembangkan padi hibrida milik Kementan,
antara lain PT Petrokimia Gresik yang melisensi Hipa18, PT Bayer
Indonesia melisensi Hipa 20, PT. Saprotan Benih Utama yang melisensi
Hipa12 dan Hipa 14.
Dr. Yudhistira
Nugraha, Peneliti BB Padi mengungkap bahwa keberhasilan adopsi suatu
teknologi sangat tergantung pada 3 komponen yaitu teknis, adopsi dan
respon pasar. Kelemahan yang terjadi pada salah satu komponen berimbas
pada tingkat adopsi teknolologi tersebut. Tingkat adopsi teknologi padi
hibrida masih rendah yaitu di bawah 5% pada kurun waktu 2013 – 2017.
Rendahnya adopsi
padi hibrida di tingkat petani dibandingkan total luas lahan yang
ditanami padi di Indonesia, diantaranya disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu produksi benih padi hibrida memerlukan proses yang rumit
dibandingkan dengan padi inbrida. Produksi benih padi hibrida melibatkan
galur mandul jantan yang secara alamiah memiliki rendemen benih lebih
rendah dibandingkan padi normal, yaitu sekitar 1,5 ton per ha.
Karena itu, harga
benih padi hibrida lebih mahal dibandingkan dengan benih padi Inbrida.
Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan benih hibrida di toko
pertanian, karena terbatasnya jumlah produsen (penangkar benih) padi
hibrida.
Faktor kedua
adalah produktivitas varietas unggul hibrida memberikan keunggulan
heterosis sekitar 10% dibandingkan padi inbrida, padahal pada tingkat
penelitian dan pengkajian bisa mencapai 15-20%.
Capaian heterosis
ditingkat petani, jika dihitung pada skala ekonomi petani kecil tidak
memberikan dampak yang berarti, namun jika di hitung secara akumulasi
nasional kenaikan hasil tersebut akan memberikan kontribusi signifikan
terhadap peningkatan produksi padi.
Faktor berikutnya
yaitu masih adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap padi hibrida.
Mereka mengganggap padi hibrida adalah padi yang perlu mendapat
perlakuan istimewa dan menjadi sumber hama dan penyakit, jelasnya.
Kenyataannya padi
hibrida dapat ditanam sebagaimana padi Inbrida sesuai dengan rekomendasi
dari hasil uji adaptasi yang dilakukan pada saat proses pelepasan
varietas.
"Saat ini telah
banyak dilepas padi hibrida yang tahan terhadap hama dan penyakit utama
padi, karena menjadi persyaratan wajib dari Kementan untuk pelepasan
varietas unggul baru," ungkap Dr. Priatna Sasmita Kepala BB padi.
Hal ini
memperlihatkan bahwa dalam ketahanan hama dan penyakit di padi hibrida
ditentukan oleh adanya gen ketahanan yang ada pada tetuanya, sehingga
padi hibrida pun dapat menjadi pilihan petani untuk mendapatkan hasil
yang menggembirakan.