Wahyudi Thamrin

Hasil Pengembangan Padi Hibrida Mampu Tingkatkan Produksi 10-20%



Padi hibrida merupakan salah satu teknologi di bidang pemuliaan tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif peningkatan produktivitas padi nasional melalui pemanfaatan fenomena heterosis yang terdapat pada turunan pertama (F1) suatu persilangan. Benih padi hibrida berbeda dengan inbrida dalam hal genetik, harga benih, dan status biji hasil panen (F2) yang tidak dapat dibudidayakan kembali karena akan mengalami degradasi (penurunan) hasil. Potensi hasil yang lebih tinggi dibanding padi inbrida, menjadi alasan utama pemanfaatan hibrida.

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) memberikan dukungan penuh dalam penelitian dan pengembangan padi hibrida di Indonesia yang sudah dimulai sejak 1984. Kementan merupakan satu-satunya institusi pemerintah yang fokus pada pengembangan padi hibrida mulai dari skala riset (melalui BB Padi – Badan Litbang Pertanian), bantuan benih padi hibrida sebagai upaya peningkatan tingkat adopsi (Direktorat Perbenihan - Ditjen TP), sampai dengan alih teknologi hingga komersialisasi dan menyebar luas di masyarakat (difasilitasi oleh BPATP – Badan Litbang Pertanian).

Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Fadjry Djufry mempertegas bahwa modernisasi pertanian merupakan salah satu arah kebijakan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, jelasnya.

Disebutkan dalam RPJMN, Kementan menetapkan langkah operasional untuk mendukung program tersebut melalui pengembangan kawasan berbasis korporasi petani. Hal ini sudah dimulai oleh Badan Litbang Pertanian pada 2017 dengan melakukan kegiatan demonstration farming padi hibrida skala luas berbasis korporasi di Tabanan, Bali dan Gelar Teknologi di Yogyakarta  bekerjasama dengan International Rice Research Institute.

Kedua kegiatan melibatkan mitra swasta, petani, petani penangkar, pemilik penggilingan secara terintegrasi. Hal ini menjadi poin penting bahwa pengembangan padi hibrida paling tepat adalah berbasis korporasi.

Kementan pada kurun waktu 2002 – 2017 menyediakan dana penelitian padi hibrida tidak hanya melalui DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), namun juga melalui dana penelitian yang diperoleh dari program-progam unggulan kerjasama lainnya. Dari hasil penelitian BB Padi 2002 – 2019, telah dilepas 21 varietas unggul hibrida dengan potensi hasil tinggi. Beberapa keunggulan lainnya, ketahanan terhadap hama dan penyakit utama dan mutu, dengan rata-rata produksi benih 1,5-2 ton per hektare (ha). Dukungan penelitian juga dilakukan untuk optimasi teknologi budidaya dan produksi benih F1 hibrida.

Saat ini telah dilakukan sinergitas Kementan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah, perusahaan nasional maupun multinasional untuk melakukan komersialisasi varietas padi hibrida yang telah dilepas secara nasional. Beberapa perusahaan yang mengembangkan padi hibrida milik Kementan, antara lain PT Petrokimia Gresik yang melisensi Hipa18, PT Bayer Indonesia melisensi Hipa 20, PT. Saprotan Benih Utama  yang melisensi Hipa12 dan Hipa 14.

Dr. Yudhistira Nugraha, Peneliti BB Padi mengungkap bahwa keberhasilan adopsi suatu teknologi sangat tergantung pada 3 komponen yaitu teknis,  adopsi dan respon pasar. Kelemahan yang terjadi pada salah satu komponen berimbas pada tingkat adopsi teknolologi tersebut.  Tingkat adopsi teknologi padi hibrida masih rendah yaitu di bawah 5% pada kurun waktu 2013 – 2017.

Rendahnya adopsi padi hibrida di tingkat petani dibandingkan total luas lahan yang ditanami padi di Indonesia, diantaranya disebabkan oleh tiga faktor, yaitu produksi benih padi hibrida memerlukan proses yang rumit dibandingkan dengan padi inbrida. Produksi benih padi hibrida melibatkan galur mandul jantan yang secara alamiah memiliki rendemen benih lebih rendah dibandingkan padi normal, yaitu sekitar 1,5 ton per ha.

Karena itu, harga benih padi hibrida lebih mahal dibandingkan dengan benih padi Inbrida. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan benih hibrida di toko pertanian, karena terbatasnya jumlah produsen (penangkar benih) padi hibrida.

Faktor kedua adalah produktivitas varietas unggul hibrida memberikan keunggulan heterosis sekitar 10% dibandingkan padi inbrida, padahal pada tingkat penelitian dan pengkajian bisa mencapai 15-20%.
Capaian heterosis ditingkat petani,  jika dihitung pada skala ekonomi petani kecil tidak memberikan dampak yang berarti, namun jika di hitung secara akumulasi nasional kenaikan hasil tersebut akan memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi padi.

Faktor berikutnya yaitu masih adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap padi hibrida. Mereka mengganggap padi hibrida adalah padi yang perlu mendapat perlakuan istimewa dan menjadi sumber hama dan penyakit, jelasnya.

Kenyataannya padi hibrida dapat ditanam sebagaimana padi Inbrida sesuai dengan rekomendasi dari hasil uji adaptasi yang dilakukan pada saat proses pelepasan varietas.

"Saat ini telah banyak dilepas padi hibrida yang tahan terhadap hama dan penyakit utama padi, karena menjadi persyaratan wajib dari Kementan untuk pelepasan varietas unggul baru," ungkap Dr. Priatna Sasmita Kepala BB padi.


Hal ini memperlihatkan bahwa dalam ketahanan hama dan penyakit di padi hibrida ditentukan oleh adanya gen ketahanan yang ada pada tetuanya, sehingga padi hibrida pun dapat menjadi pilihan petani untuk mendapatkan hasil yang menggembirakan.