Wahyudi Thamrin

BERSYUKUR

  

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

  

Syukur Penjual Jasa Perbaikan

Mang udin begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut “Tukang Sol”. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang verharap, nanti sore hari Mang Udin membawa uang utnuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambal berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itupun hanya perbaikan kecil.

 

Perut mulai keroncongan. Hanya ada air the bekal dari rumah yang menganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa kerumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

 

Abang ini sudah dapat uang, banyak nich.” pikir Mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini, Bang? Sepertinya laris nich?” kata Mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu Bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata Mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata Mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata Bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu, Bang?” tanya Mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi azan Zuhur.” kata Bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang berkah.”

Akhirnya, Mang Udin mengikuti Bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hafal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut. 

Setelah shalat, Bang Soleh mengajak Mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja Mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya Mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, Mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur Abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan berkah.” kata Bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” Jawab Bang Soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata Mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata Bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa. “Apa kabar Mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata Mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu Mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki yang berkah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya Mang Udin penasaran.

“Tawakal, ridha, dan sabar.” kata Bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran Abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak cocok. Mungkin keyakinan Mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana Mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas Bang Soleh sambil tetap tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh Bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin, Bang?” kata Mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, Bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya Bang Soleh.

“Tidak.”

 

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” Lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memerhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin mengangguk-angguk. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“Ya, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih Bang.” kata Mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi Zuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimis bahwa hidup akan lebih baik.

 

Sang Kaya dan Pak Tua

Jarang sekali manusia yang mampu menangkap sinyalsinyal rezeki dari Tuhan, karena matahatinya dibutakan oleh ketidakyakinan akan jaminan-Nya dan kurangnya bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Manusia, memang makhluk yang paling cepat keluh kesahnya. Jika minta rezeki ingin disegerakan dan harus terlihat secara konkrit, padahal jika ditangkap dengan antena syukur, sebenarnya Tuhan itu telah membanyak memberi nikmat, yang tak diminta makhluk pun akan dan sudah Dia berikan.

Alkisah ada seseorang yang sangat kaya raya sedang mengamat-amati tanah yang telah dimilikinya yang sangat terbentang luas. Tetapi setiap melihat sebidang tanah kecil yang ada di antara tanah miliknya, mulailah hatinya tidak nyaman dan semakin lama semakin mendidih karena begitu kesal dan geram disebabkan tanah petak kecil tersebut tidak mau dijual kepadanya.

Memang sebetulnya tidak berpengaruh apapun terhadap kekayaannya, tetapi rasanya sungguh tidak puas andaikata masih ada pemilik lain di sekitar rumahnya. Sudah hampir dua tahun dirinya memendam dongkol dan pikirannya dibuat pusing oleh tanah mungil yang tidak mau dijual kepadanya ini, sehingga hampir tidak ada waktu untuk menikmati tanah yang begitu luas miliknya sendiri. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar lirih penuh kesyahduan bergetar penuh kekhusyuan menyebut, “Alhamdulillah ya Allah, alhamdulillah ya Allah…., Alhamdulillah…” dan suara itu benar-benar menggugahnya menembus relungrelung kalbu yang selama ini selalu gersang resah gelisah, bagai air bening nan sejuk yang dirasakan bagi yang sangat dahaga kehausan.

Semakin sungguh-sungguh didengar, maka semakin bergetarlah hatinya turut menikmati orang yang tengah syahdu memuji Tuhannya, sehingga tanpa terasa berlinanglah air matanya. Sungguh tetesan yang sangat langka, air mata yang sudah lama sekali tidak menetes bahkan mungkin terasa sudah lupa bagai tidak memiliki air mata.

Setelah berupaya mencari sumber suara tersebut, akhirnya ditemukannya sebuah rumah sederhana, berlantai tanah, beratap daun-daun kurma, dan berdinding bilik. Dari jendela tua yang terbuka tampaklah seseorang tengah duduk bersimpuh di atas tikar menghadap kiblat, nampak air mata bercucuran sampai membasahi janggutnya, “Alhamdulillah ya Allah, alhamdulillah ya Allah…, Alhamdulillah….!” “Assalamu‟alaikum!” sapaan yang segera dijawabnya dengan penuh getaran keikhlasan dan tampak bertambah dijiwai pujian kepada Allah, „Alhamdulillah…‟ Dan sang tamu pun menyapa, “Pak! Saya ini adalah tamu, lihatlah saya.” Dan ketika tuan rumah itu menoleh serta merta bertambah deraslah cucuran air matanya dan tidak terputus lisannya bertahmid, “Alhamdulillah ya Allah….”

Dengan penuh rasa heran dan haru, sang tamu agak memaksa untuk mendapat jawaban. “Katakan Pak! apa yang menyebabkan Bapak begitu larut dan tampak memuji Allah seperti itu? Saya pun mendengar dan memerhatikannya ikut hanyut merasakan nikmat bergetarnya kalbu ini.” Lalu beliau menjawab, betapa dirinya merasa dicelupkan dalam samudra nikmat yang tiada bertepi, yang seakan-akan tiada satupun yang tidak dapat disyukuri.

“Syukur ditakdirkan jadi manusia normal tidak jadi hewan. Syukur ditakdirkan jadi muslim tidak menjadi kafir. Syukur diberi nikmatnya iman bisa beramal, tidak menjadi fasik atau munafik. Syukur otak bisa berpikir normal sehingga dapat mencari dan menemukan kegunaan dan kebesaran Allah yang dapat menuntunnya menemukan kebenaran dan arti hidup ini.”

“Syukur bahwa Allah tidak pernah lupa memberi makan dan minum sehingga tubuh bisa kuat untuk beribadah. Syukur Allah memberi tempat berteduh sehingga dapat beristirahat dengan layak.”

“Syukur karena Allah selalu memberi sesuatu untuk menutup aurat. Bahkan ketika mendengar suara tuan mengucapkan salam, saya merasa harus semakin bersyukur karena masih memiliki telinga yang masih bisa mendengar. Dan teringatlah betapa dengan telinga ini dapat mendengar ilmu, nasihat-nasihat, ayat-ayat Allah dan seruan kepada kebaikan.”

“Dan ketika menoleh tuan, lalu saya teringat akan karunia mata yang masih sehat yang harus disyukuri, dan terkenanglah dengan mata ini saya menatap wajah orang tua, istri, anak-anak, guru-guru, sahabat-sahabat. Dan yang lebih utama sekali bisa membaca, menuntut ilmu serta bisa membaca Al-Quran–surat dari Allah tercinta.” Syukur masih memiliki hati yang bisa merasakan kasih sayang dan nikmatnya iman, begitu ucap orang itu.”

Setelah mendengar ungkapan tersebut, orang kaya itu tercengang, dalam dan lama sekali, seakan telah menemukan sesuatu yang hilang. Seusai berpamitan dan melangkah menuju rumahnya, pikirannya tidak bisa lepas sedikit pun dari pengalaman yang dia alami. Bahkan ketika sampai di rumah pun seluruh waktunya terus terkuras untuk mengenang peristiwa yang dilihatnya.

Terpikir olehnya betapa beruntungnya orang yang sederhana tadi, walaupun memiliki harta hanya alakadarnya tetapi begitu bahagia menikmati dan mensyukuri nikmat yang ada.  Sungguh berlainan dengan keadaan dirinya, walaupun hartanya melimpah ruah tetapi begitu sulit hatinya untuk mensyukuri nikmat, begitu langka menikmati ketenteraman, ketenangan, dan kesejukan kalbu, selalu galau memikirkan yang tidak ada, selalu saja merasa ada yang kurang. Bagai meminum air laut, semakin diminum semakin bertambah haus.

Akhirnya, dia merasa telah mendapat pelajaran mahal yang tidak ternilai harganya dan memutuskan untuk berterimakasih pada Pak Tua tersebut dengan memberinya sebuah rumah yang lengkap dengan segala fasilitas yang ada, bahkan termasuk untuk kebutuhan sehari-hari pun telah dijamin sepenuhnya.

 

Hartawan, Dua Putra dan Hakim

Segera kembalilah sang “kaya” menemui Pak Tua sederhana, dan menyampaikan ucapan terimakasih serta permohonan untuk menerima hadiah sebagai tanda terimakasihnya. Namun jawaban dari sang “miskin” sungguh diluar dugaannya, yang berkata, “Hai manusia malang, dengan nikmat seperti ini saja saya sudah sangat repot untuk mensyukurinya, apalagi jika mendapatkan yang lebih banyak….!” Maka semakin lunglailah sang “kaya” merasakan kemiskinan, kerendahan dan kehinaan pribadinya.

Andaikata kita berani jujur kepada diri sendiri, betapa sering kita pun berperilaku mirip dengan orang kaya tersebut. Selalu saja diperbudak oleh keinginan yang tidak ada habisnya, tidak pernah puas oleh apa yang telah ada, diperbudak oleh sesuatu yang belum dimiliki, selalu membandingkan dengan yang lebih tinggi, lebih bagus, lebih kaya. Akibatnya semua nikmat yang ada terasa sangat kurang, sangat sedikit, sedih dan menyesal plus malu dan minder. Akibatnya apa yang telah dimiliki, jangankan bisa dinikmati malah menjadi biang kesengsaraan. Bukan karena tiada memiliki sesuatu, melainkan karena tiada memiliki rasa syukur.       

Suatu ketika seorang hartawan kaya meninggal dunia dengan sebelumnya telah menuliskan terlebih dahulu pembagian harta untuk kedua orang putranya. Istrinya sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya.

Sepanjang hidup, si hartawan mengumpulkan hartanya satu per satu sedikit demi sedikit sehingga ia sangat mengenal semua harta miliknya. Oleh karena itu ia dapat membagi semua hartanya menjadi dua dengan nilai kurang lebih sama. Akan tetapi karena jenis-jenis harta itu tidak persis sama yang diterima oleh masing-masing anaknya maka keduanya dengan penuh iri menganggap bahwa anak yang lain mendapatkan warisan lebih banyak dibanding dirinya.

Setelah upacara penguburan yang meriah, kedua putra tersebut segera saling ribut dan bersikeras bahwa orang tuanya telah bertindak tidak adil karena anak yang lain mendapatkan harta warisan yang lebih banyak dari dirinya.

Karena keributan yang tak kunjung selesai dan bahkan makin memuncak, orang-orang sekitar mengusulkan keduanya untuk membawa masalah mereka ke pengadilan. Berharap bisa memenangkan pengadilan karena merasa dirinyalah yang paling benar dimana warisan saudaranya lebih banyak dari yang dimiliki, kedua putra yang seakan melupakan bahwa mereka bersaudara dan datang dari orang tua yang sama, akhirnya sepakat untuk mencari penyelesaian melalui jalur hukum.

Di pengadilan, sang Hakim yang dikenal sangat pandai dalam menangani kasus-kasus yang rumit, dengan sabar dan hati-hati mendengarkan keterangan dari kedua orang putra orang kaya tersebut secara bergantian.

Setelah berpikir sejenak Sang Hakim yang bijak pun berkata mereka, “Tuliskanlah semua harta kekayaan yang dikatakan oleh orang tuamu telah diwariskan untuk kalian masing-masing. Jangan sampai ada yang ketinggalan karena harta yang ternyata tidak tercantum dalam tulisan tersebut akan menjadi milik umum”. Demikian teliti keduanya dalam melakukan inventarisasi dan menuliskan semuanya dalam daftar masing-masing.

Sang Hakim dengan sabar menunggu sampai keduanya selesai menulis dan kemudian bertanya, “Apakah semuanya sudah lengkap kalian tuliskan ?”. Keduanya mengiyakan.

Hakim tersebut kemudian meminta keduanya untuk saling bertukar daftar dan memeriksa secara teliti daftar dari saudaranya. “Apakah kalian masih merasa bahwa warisan dari saudaramu lebih banyak dari yang kalian terima untuk diri masing-masing?”. Tanpa ragu keduanya segera menjawab, “Iya Pak Hakim, orang tua saya memang tidak adil. Harta yang diwariskan kepada saudara saya jauh lebih banyak daripada yang kuperoleh. Kami meminta penyelesaian yang seadil-adilnya”. “Baiklah, karena kalian masing-masing menganggap bahwa daftar harta yang dimiliki oleh saudara kalian jauh lebih banyak dari daftar kalian sendiri maka silakan untuk saling menukarkan daftar masing-masing dan harta dalam daftar tersebut sekarang menjadi milik kalian”.

Sungguh suatu penyelesaian masalah yang cerdas dan adil atas permasalahan yang rumit itu. Sang Adik merasa harta Sang Kakak lebih banyak dari dia, sedangkan Sang Kakak merasa hartanya Sang Adiklah yang memiliki harta lebih banyak dari dia. Dengan kata lain, masing-masing dari mereka menginginkan harta saudaranya yang lain. Semua penyelesaian yang bijaksana ketika Sang Hakim memberi saran agar kedua harta mereka ditukar.  Pertanyaannya adalah apakah mereka akan merasa puas setelah harta mereka ditukar?

Inilah yang sering terjadi pada kita, kita sering melihat orang lain lebih baik, lebih makmur, lebih kaya, lebih pandai, lebih sukses, lebih menarik dan berbagai “lebihlebih” lainnya. Kita sering melihat keluar. Merasa iri atas apa yang telah dicapai oleh orang lain. Jarang sekali diri ini bersyukur atas segala rezeki yang diterima. Padahal, bisa terjadi sebenarnya malah orang lain yang kita pandang “lebih” itu ternyata sebenarnya menganggap dirinya kalah dibandingkan dengan kita. Orang lain sebenarnya juga merasa iri atas segala kelebihan-kelebihan yang ada pada diri kita.

Mulailah kita menerima atas segala rezeki yang diberikan oleh Allah untuk kita. Mulailah kita menjadi orang yang bersyukur. Menerima keadaan diri sendiri apa adanya dengan selalu berikhtiar untuk menjadi lebih baik dan lebih lagi. Jadi marilah kita terus bersyukur karena syukur itu adalah jalan yang mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan kedalam hidup kita.

 

Syukur Kerbau, Kelelawar dan Cacing

Suatu hari, Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril segera pergi menemui si Kerbau.

Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, “Hai kerbau, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah sebagai seekor kerbau?” Si kerbau menjawab, “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, daripada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri”. Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril segera pergi menemui seekor kelelawar.

Malaikat Jibril mendatanginya seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, “Hai kelelawar, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor kelelawar?!” “Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya”, jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

Malaikat Jibril bertanya kepada si cacing, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan Allah SWT sebagai seekor cacing?!” Si cacing menjawab, ” Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal saleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya”. 

Melihat kepada yang lebih rendah dari kita dan melihat sisi kebaikan dari penciptaan Tuhan akan melahirkan kekuatan syukur. Sebaliknya, melihat sisi kekurangan diri dan negatif thinking kepada Pendesain Sejati (Tuhan) akan membuat kita menjadi ahli kufur dan akan tumbuh menjadi manusia paling menderita di dunia.

Maka, terimalah segala sesuatu dengan rasa syukur. Lihatlah kekurangan sebagai kelebihan. Dan, urailah benang-benang kenikmatan dari Tuhan. Walaupun Anda tidak mampu menghitungnya, tapi ingat dan hitunglah apa yang telah dia berikan kepada kita.

Tirulah kerbau, kelelawar dan cacing dalam persoalan syukur.

 

 

Pelajaran dari Tikus

Beberapa waktu yang lalu, di Afrika Selatan hidup seorang petani yang memiliki sebidang tanah pertanian. Pada awalnya, lahan tersebut sangat produktif dan menghasilkan. Namun, karena sifat dasar manusia mudah tergiur untuk mendapatkan kekayaaan banyak secara instan, ia pun mulai berpaling. Suatu hari, tersiar kabar bahwa beberapa puluh kilometer dari tempat tinggalnya ditemukan harta karun berupa biji emas. Masyarakat di daerah tersebut berbondong-bondong memburu daerah tersebut, termasuk sang petani. Biji emas tersebut memang ada, namun tidak banyak. Hal ini cukup membuat sang petani dan beberapa kelompok masyarakat di sana penasaran.

Mengingat perjalanan untuk memburu harta karun membutuhkan biaya maka sang petani untuk menjual ladangnya kepada orang lain. Biaya hasil penjualan ladangnya tersebut digunakan untuk hidup di area penambangan biji emas. Setelah sekian lama mencoba mendulang emas, ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Biji emas yang pernah diperolehnya adalah emas muda dan itu pun tidak seberapa. Sang petani mulai kecewa dan putus asa. Tabungan hasil penjualan ladangnya semakin hari semakin menipis. Pada suatu hari, dalam keadaan putus asa, ia “linglung” dan terjatuh ke sungai yang arusnya deras hingga mati tenggelam.

Sementara itu, orang yang membeli ladang si petani awalnya tidak terlalu serius untuk menggarap ladang yang telah dibelinya. Ia berpikir untuk investasi masa depan saja. Hingga pada suatu hari, ketika sedang membersihkan ladang yang baru dibelinya tersebut, ia menemukan sebuah batu yang berkilat-kilat. Penemuan ini membuat tanda tanya besar baginya, “Batu apakah ini? Mungkinkah berlian?”

Potongan batu tersebut kemudian dibawa ke tukang perhiasan di kota. Hasil analisis tukang perhiasan tersebut membuat ia tercengang tak percaya. Batu berkilat itu ternyata berlian dengan mutu tinggi. Secara diam-diam, ia mengumpulkan batu-batu yang ada di ladangnya dengan sedikit menggali dan menemukan berlian-berlian yang sangat banyak. Dalam waktu singkat, sang pembeli ladang petani tersebut menjadi kaya raya dan memiliki ratusan potongan berlian bermutu tinggi. Si petani yang menjual ladangya tidak menyadari bahwa selama ini ia telah “tidur dan bekerja” di atas tanah yang banyak berliannya. 

Rasa tidak puas dan selalu merasa tidak cukup, apalagi didorong oleh keinginan yang kuat dalam mendapatkan sesuatu secara instan, terkadang membuat tindakan yang dilakukan tidak melalui pertimbangan moral yang kuat. Semua proses yang konsisten dengan memerhatikan aspek moral dalam upaya mengumpulkan sedikit demi sedikit harta, baik harta kekayaan itu digunakan untuk kebahagiaan keluarga maupun untuk berbagi dengan sesama.

Seorang filsuf, dalam ceramah spiritualnya, pernah mengemukakan anekdot dengan cara yang sedikit kocak dan menggelitik tentang seorang pekerja. Waktu sang pekerja baru masuk (mungkin masih calon pegawai/karyawan percobaan), pertanyaan sehari-harinya, “Hari ini kita makan apa, ya?” Ketika ia sudah diangkat menjadi karyawan tetap dan dipercaya memegang beberapa proyek, pertanyaannya berkembang, “Hari ini kita makan di mana, nih?” Lalu, ketika ia sudah menduduki jabatan puncak dan strategis, pertanyaan pun berkembang lagi, “Hari ini dengan siapa kita makan?”

“Cukupkanlah apa yang ada padamu!” Demikian bunyi sebuah tulisan yang indah. Definisi “cukup” ini sangat relatif. Bahkan, dalam perbincangan di kantin kerapkali definisi “cukup” ini diplesetkan atau dijadikan bahan tertawaan. Misalnya, jika ingin mengganti rumah harus cukup uangnya, kalau mau membelikan mobil untuk tiap anak.

 

Syukur itu “Walaupun”

Satu definisi yang menyentuh nurani mengenai definisi “cukup” ini adalah ketika „tangan terangkat ke atas dan kepala tengadah kepada Sang Pencipta untuk mengucap syukur, serta kaki yang melangkah untuk berbagi kepada sesama‟. Di situlah definsi “cukup” memiliki arti yang sesungguhnya.

Melakukan investasi masa depan tidaklah salah. Tidak ada satu kitab suci pun yang melarang untuk menjadi orang kaya. Justru bagaimana cara yang benar dalam memeroleh kekayaan itu harus dijadikan fokus utama. Jika kita memeroleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar, pada akhirnya akan habis juga dengan cara bagaimana kita memerolehnya. Setelah memilikinya, lebih baik kita berbagi dan memberikan kesempatan pada orang lain untuk bersukacita bersama atas apa yang kita miliki.

Tidaklah mengherankan jika diamati fenomena masyarakat yang ada saat ini. Mereka yang banyak harta, namun sulit sekali untuk membagikan apa yang dimilikinya. Mereka terlihat murung, takut (was-was), dan tidak ceria dengan harta yang dimilikinya. Namun, mereka yang menganggap bahwa apa yang dimilikinya saat ini adalah titipan Ilahi, akan terdorong untuk berbagi kasih dan member sehingga kehidupannya akan terlihat tenang, nyaman, dan penuh suka cita.

             

Balbalan adalah seorang wiraniaga makanan yang sungguh luar biasa. Aktivitasnya sehari-hari adalah menjual produk makanan anak-anak dari pintu ke pintu (door to door service). Setiap pagi, Alban–demikian Balbalan biasa dipanggil–berangkat ke kantornya untuk mengambil barang-barang yang akan dijual menggunakan sepeda motornya berjarak kurang lebih 15 km. Hingga suatu kali, tiba-tiba motornya ditabrak sebuah truk yang dikemudikan secara ugal-ugalan di sebuah jalan by pass. Dia pingsan dan kakinya remuk hingga harus diamputasi. Sejak sadar dan mendengar kakinya diamputasi, dunia terasa gelap dan putus sudah harapan serta cita-cita yang sudah diimpikannya selama ini menjadi sales manager di perusahaan tersebut.

Tindakan amputasi merupakan satu-satunya jalan untuk membuat dia lebih sehat dan pulih mengingat kakinya remuk. Bertambah remuk lagi perasaannya ketika ia menandatangani surat pernyataaan kesanggupan untuk diamputasi. Operasi pun dilakukan untuk mengangkat kaki kanannya.

Sejak diamputasi dan tinggal sementara di ruang pemulihan, Balbalan betul-betul berubah dan terus menerus menyesali dirinya. Suatu ketika, seorang laki-laki memakai kursi roda datang menghampirinya. Kedua kaki laki-laki itu telah diamputasi.

“Hai anak muda, mengapa engkau bersedih dengan hilangnya kaki kananmu? Mestinya kau bersyukur masih selamat. Banyak orang yang meninggal dalam kecelakaan di jalan by pass tersebut. Sekarang, kau buktikan pada lingkungan sekelilingmu, bahkan teman-teman di kantormu bahwa walaupun kakimu sudah diamputasi, penjualan barang-barangmu tidak menurun. Buktikan mimpi-mimpimu itu menjadi kenyataan dan kalahkan dirimu sendiri yang selalu ingin dimanjakan dan melakukan pembenaran diri.

Selamat berjuang, jangan lupa tetap berdoa!” kata laki-laki itu mantap sambil berlalu dari ruangan tersebut.

Perkataan laki-laki tersebut sungguh menyentuh dan memotivasi dirinya untuk bangkit, walaupun dirinya kini cacat dan tidak memiliki kaki. Dengan susah payah, Balbalan belajar berjalan menggunakan kaki palsu dan menerima keadaan diri.

Tiga tahun kemudian, ia bisa mewujudkan mimpinya menjadi sales manager dengan satu kaki. Bahkan tidak hanya itu, kariernya bakal menanjak dengan cepat mengingat selalu menjual dengan jumlah yang tinggi dibanding rekan-rekannya.

Balbalan telah menjadi motivator ulung di perusahaannya. Pengalaman hidupnya sungguh menjadi penguat keyakinan sekaligus motivasi bagi armada pemasarannya. 

Syukur itu adalah “walaupun”. Orang yang mampu mengelola kelemahan dan kekurangan dengan sikap “walaupun” akan tumbuh menjadi manusia prestatif.

Perlu diketahui bahwa sejarah dunia tidak sedikit diisi oleh goresan tinta emas tokoh-tokoh yang walaupun cacat, tetapi bisa menunjukkan prestasi melebihi mereka yang memiliki fisik normal dan lengkap. Sebut saja Beethoven, sejak usia dua puluh tahun telah menderita tuli.

Ketika Beethoven tidak mampu lagi bermain di muka umum, ia disibukkan dengan membuat syair-syair lagu dan musik yang luar biasa. Walaupun mengalami cacat tuli, Beethoven ternyata telah mengarang 9 simfoni, 32 sonata untuk piano, 5 concerto piano, 10 sonata untuk piano dan biola, serta serentetan kuartet string, music vokal, music teater, dan lain-lain. Bahkan menjelang meninggalnya, dunia tahu bahwa mereka tidak memahami dirinya maupun musiknya. Namun, dengan senyum sukacita dia mengatakan, “Saya akan mendengarnya di surga kelak.”

Sejarah lain mencatat, walaupun dia terkenal sebagai pelajar yang lambat memahami pelajaran, bahkan beberapa dokter syaraf menduga ia terkena autisme sehingga ia susah dididik, ia tetap menjadi orang “besar” karena kekurangannya itu. Itulah kisah Albert Einstein.

Istilah “walaupun” sebenarnya menegaskan bahwa setiap manusia masih memiliki potensi dan harapan yang lebih baik meski dalam kekurangan yang amat sangat. Istilah “walaupun” juga, dapat diartikan sebagai upaya membantah setiap kelemahan diri dan mengubah cara pandang untuk menjadikan setiap kelemahan itu menjadi peluang untuk maju.

Kelemahan yang dimaksud tidak hanya menyangkut kelemahan fisik, mental, dan kecerdasan, namun juga kedudukan atau status sosial yang dianggap sebagian orang lemah, seperti pelaksana umum (office boy) di kantor. Walaupun hanya sebagai pelaksana bagian umum, namun ia mampu membuat perbedaan dan melayani dengan hati yang diliputi kasih dan sukacita.

Jadi, masalahnya bukan pada apa yang kurang, melainkan bagaimana cara pandang seseorang terhadap kekurangan yang dimiliki sehingga mampu menggunakan istilah “walaupun” untuk meraih peristiwa yang lebih besar lagi.