Oleh :
Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. WILAYAH ALAM MINANGKABAU
1. Wilayah Darek
Wilayah
darek adalah daerah asli Minangkabau, yakni Luhak
Nan Tigo. Dalam kisah tambo, luhak artinya berkurang.
a. Luhak Tanah Datar
Luhak Tanah Datar
disebut juga luhak nan tuo karena
luhak ini adalah luhak yang mula-mula ada di Minangkabau. Ungkapan khas luhak
ini: Buminyo lembang, ayianyo tawa,
ikannyo banyak. Ini menggambarkan masyarakatnya yang ramai statusnya tidak
merata.
Dahulu, ketika nenek
moyang orang Minangkabau masih tinggal di puncak gunung Merapi, ada tiga sumur
(luhak). Salah satu dari ketiga sumur itu ada terletak di tanah yang datar.
Orang yang biasa minum dari sumur tersebut pindah ke suatu tempat, yang
kemudian dinamakan Luhak Tanah Datar, sesuai tempat sumur mereka.
Asal-usul Luhak Tanah Datar
Nenek moyang orang
Minangkabau pertama-tama membuat nagari di Pariangan Padang Panjang. Lama
kelamaan nagari itu terasa sempit karena penduduk berkembang juga, dan akhirnya
mereka mencari daerah baru. Salah satu daerah itu adalah daerah yang tidak
datar. Tanahnya berbukit-bukit dan berlembah-lembah. Nama tempat itu mereka
tetapkan sesuai dengan kondisi daerahnya, yakni Luhak Tanah Datar. Luhak di
sini mengandung makna „kurang‟, jadi daerah yang tanahnya kurang datar.
b. Luhak Agam
Luhak Agam disebut juga luhak nan tangah karena setelah
berdirinya Luhak Tanah Datar, Luhak Agam lah yang berdiri. Ungkapan khas luhak
ini: Buminyo angek, ayianyo karuah,
ikannyo lia. Ini menggambarkan masyarakatnya yang berwatak keras,
masyarakatnya heterogen, persaingan hidup tajam.
Asal-usul Luhak Agam
Di Gunung Merapi
terdapat pula sumur (luhak) yang ditumbuhi rumput mensiang (agam). Mereka yang
biasa minum di sumur itu pindah ke suatu tempat. Tempat pindahnya itu kemudian
dinamakan sesuai nama sumur tempat mereka biasanya minum, yakni Luhak Agam.
Setelah rombongan ke
Tanah Datar berangkat dari Pariangan Padang Panjang, berangkat pulalah
rombongan kedua menuju utara. Di tempat tujuannya itu mereka menemukan daerah
yang dipenuhi oleh tumbuhan mensiang (agam). Akhirnya tempat itu dinamakan
Lubuak Agam yang kemudian berubah menjadi Luhak Agam.
c. Luhak Limopuluah Kota
Luhak Limopuluah Kota disebut juga luhak nan bungsu karena luhak ini adalah luhak yang terakhir berdiri di Minangkabau. Ungkapan khas luhak ini: Buminyo sajuak, ayianyo janiah, ikannyo jinak. Ini menggambarkan masyarakatnya yang homogen dan penuh kerukunan, memiliki ketenangan dalam berpikir.
Asal-usul Luhak Limopuluah Kota
Sumur yang ketiga di
puncak Gunung Merapi menjadi tempat minum 50 keluarga. Kemudian mereka pindah
ke sebelah timur Gunung Merapi dan memberi nama tempat baru itu dengan Luhak
Limopuluah, kemudian ditambah dengan “kota” di belakangnya.
Berangkat sebanyak 50
orang dari Pariangan. Sampai di suatu tempat mereka bermalam. Pagi-pagi
ternyata anggota rombongan kurang lima orang, entah ke mana. Jadi anggota
rombongan telah berkurang (luhak). Lalu anggota rombongan yang tinggal membuat
daerah baru yang diberi nama Luhak Limopuluah Kota.
2. Wilayah Rantau
Wilayah
rantau Minangkabau adalah daerah luar Luhak Nan Tigo yang awalnya merupakan
tempat mencari kehidupan bagi orang Minangkabau. Selain itu juga ada daerah Ujuang darek kapalo rantau, yakni daerah
perbatasan wilayah luhak dan rantau. Masing-masing luhak memiliki wilayah
rantau sendiri.
a. Rantau Luhak Tanah Datar
Masyarakat Luhak Tanah
Datar merantau ke arah barat dan tenggara. Daerah rantaunya: Rantau Nan Kurang
Aso Duo Puluah: Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang Koto, Benai, Pangian,
Basra, Sitanjua, Kopa, Taluak Ingin, Inuman, Surantiah, Taluak Rayo, Simpang Kulayang,
Ayia Molek, Pasia Ringgit, Kuantan, Talang Mamak, Kualo Tuok.
Rantau Pasisia Panjang
(Rantau Banda Sapuluah): Batang Kapeh, Kuok, Surantiah, Ampiang Perak, Kambang,
Lakitan, Punggasan, Ayia Haji, Painan Banda Salido, Tarusan, Tapan, Lunang, Silauik,
Indropuro.
Daerah ujuang darek
kapalo rantaunya adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin,
Toboh Pakandangan, Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang, Tujuah Koto, dan Sungai
Sariak.
b. Rantau Luhak Agam
Penduduk Luhak Agam
menyebar ke arah utara dan arah barat. Daerah rantaunya adalah sepanjang pantai
Lautan Hindia, Pasaman Barat, Pasaman Timur, Panti, Rao, Lubuak Sikapiang.
Daerah ujuang darek kapalo rantaunya adalah Palembayan, Silaras Ayia, Lubuak
Basuang, Kampuang Pinang, Simpang Ampek, Sungai Garinggiang, Lubuk Bawan, Tigo
Koto, Garagahan, dan Manggopoh.
c. Rantau Luhak Limopuluah
Kota
Wilayah rantau Luhak
Limopuluah Kota memasuki daerah Riau daratan sekarang, yakni Rantau Kampar Kiri
dan Rantau Kampar Kanan. Daerah rantaunya meliputi Manggilang dan Tanjuang
Balik, Pangkalan dan Koto Alam, Gunuang Malintang, Muaro Peti, Tanjuang Baringin
sampai Rokan Pandalian, Sangingi, Gunuang Sailan, Kuntu dan Lipat Kain, Ludai
dan Ujuang Bukik, Sanggan dan Tanjuang Balik, Tigo Baleh Koto Kampar,
Sibiruang, Gunuang Malelo, Tabiang dan Tanjuang, Gunuang Bungsu, Muaro Takuih,
Pangkai dan Binamang, Tanjuang Abai dan Pulau Gadang, Baluang Koto Sitangkai,
Tigo Baleh dan Lubuak Aguang, Limo Koto Kampar Kuok dan Silaio, Bangkinang dan
Rumbio, Ayia Tirih, Taratak Buluah, Pangkalan Indawang, Pangkalan Kapeh, dan
Pangkalan Sarai dan Koto Laweh.
d. Rantau Nan Sambilan
(Negeri Sembilan)
Daerah rantau ini
terletak di Malaysia sekarang. Negerinya adalah Sungai Ujong, Jelebu, Rembau,
Segamat, Naniang, Kelang, Pasir Besar, dan Jelai.
3. Wilayah Pasisia
Wilayah
pasisia adalah daerah sepanjang pantai barat Pulau Sumatra bagian tengah,
membentang dari perbatasan Minangkabau dengan Tapanuli Selatan hingga Muko-Muko
(Bengkulu). Wilayah pasisia lazim dibagi dua:
a. Pasisia Tiku Pariaman
Ranah Pasisia: Silauak
jo Lunang, Indropuro dan Ayia Haji, Pungasan jo Sungai Tunu, Labuah Balai
Salasa, Surantiah dan Sungai Sirah, Lakitan dan Koto Baru, Kambang dan Ampiang
Parak, Taratak dan Batang Kapeh, Salido dan Painan, Lumpo dan Asam Kumbang,
Bayang Koto Barapak, Tarusan Koto Sabaleh.
Padang Salapan Suku:
Lubuak Kilangan, Nan Duo Puluah, Pauah Limo, Pauah Sambilan, Sungai Sapiah,
Lubuak Minturun, Koto Tangah, Lubuak Buayo.
Piaman Laweh: Kasang dan
Duku, Sintuak dan Lubuak Aluang, Sunua dan Kurai Taji, Toboh dan Pakandangan,
Tiku dan Pariaman, Nareh dan Sungai Limau, Malai Sungai Garinggiang, Limo Koto
dan Kampuang Dalam, Sungai Sariak Nan Sabarih, Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang.
b. Pasisia Pasaman
Daerahnya adalah: Sasak dan Kinali, Parik Batu
dan Koto Baru, Padang Tujuah dan Aua Kuniang, Lubuak Pudiang dan Ayia Gadang,
Sontang Muaro Kiawai, Sungai Aua dan Ujuang Gadiang, Parik dan Ayia Bangih,
Pinaga dan Kajai, Talu dan Sinurut, Cubadak dam Simpang Tonang, Rao dan Padang
Nunang, Panti Lubuak Sikapiang, Bonjo dan Kumpalan, Malampeh Alahan Mati Cadang
Panjang dan Aia Manggi.
B. PULAU ANDALAS
Menurut
bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami Pulau
Andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja. Beliau datang ke mari dari tanah
besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua-tua, dan beliau ke sini bersama-sama
dengan enam belas orang laki-laki perempuan dari kasta Catri. Selain itu
dibawanya juga Kucing Hitam Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.
Dikatakan
Kucing Hitam, Harimau Campo dan lainlainnya itu, sekali-kali bukanlah bangsa
binatang, tetapi manusia juga. Mereka dijuluki dengan nama itu karena sesuai
tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya perempuan dan dipelihara oleh ninik
Sri Maharaja Diraja seperti memelihara anaknya sendiri.
Ninik
Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu
jati. Mula-mula beliau terlihat Pulau Jawa itu. Yang tampak hanya puncak Gunung
Serang dan di puncak gunung itu perahu beliau tertumbuk batu karang sehingga
mengalami kerusakan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Pada saat itu
menitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada mereka yang berada di atas perahu
itu: “Barangsiapa yang dapat memperbaiki perahu ini seperti sediakala, akan
hamba ambil sebagai menantu.”
Mendengar
titah itu, beberapa orang cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar
dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, lima orang tukang
segera bekerja dan perahu itu dapat mereka perbaiki kembali. Ninik Sri Maharaja
Diraja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang
tersebut.
Kemudian
perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu ketika mereka melihat sebuah gosong
tersembur dari dalam laut. Tergilang-gilang kelihatan dari jauh, kira-kira
sebesar telur ayam, hilang timbul dilamun ombak. Setelah sampai di situ kiranya
ada tanah lebar dengan datarannya. Berlabuhlah Sri Maharaja Diraja di atas
gosong itu. Gosong itu adalah puncak Gunung Merapi yang sekarang ini. Di
sanalah berdiam Sri Maharaja Diraja bersama dengan para pengikutnya. Itulah
ninik kita yang mula-mula mendiami Pulau Andalas, hingga menjadi sebutan juga
oleh orang tuatua dengan memakai pantun ibarat:
Di mana mulanya terbit pelita
Di balik tanglung nan berapi;
Di mana mulanya ninik kita
Ialah di puncang Gunung Merapi
Kata
orang yang menceritakan, tatkala ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak
Gunung Merapi itu, beliau berdoa kepada Allah supaya disurutkan air laut.
Dengan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, air laut itu semakin hari semakin susut
juga dan bertambah lebar tanah daratan hingga nyatalah tempat itu adanya di
atas gunung yang amat besar.
Kata
sahibulhikayat, tatkala beliau masih berdiam di puncak gunung itu, dengan
takdir Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang-orang yang bernama Kucing
Siam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam tadi, masing-masing
melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula istri Sri Maharaja Diraja
melahirkan seorang anak perempuan pula.
Sekalian
anak-anak itu dipelihara oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan kasih sayang
yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak-anak itu besar, mereka
dinikahkan oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan lima orang tukang yang
memperbaiki perahu tadi.
Begitulah
tersebut dalam Tambo Alam Minangkabau, benar atau tidaknya wallahu a‟lam, pulang maklum kepada para pembaca.
C. GALUNDI NAN BASELO DAN GUGUK AMPANG
Setelah
beberapa lama mereka berdiam di puncak gunung itu, air laut sudah berangsur
susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu pun
berpindah ke sebuah lekung di pinggang Gunung Merapi itu. Oleh ninik Sri
Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan Si Timbago. Di situlah pada masa
dahulu ada Si Rangkang nan Badangkang. Di situ pula untuk pertama orang
menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum, karena di
sekitar itu tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.
Selanjutnya
mereka pun membuat sepiring sawah bernama sawah setampang benih. Disebut
setampang benih karena dengan padi yang setampang itu sudah mencukupi untuk
makan orang di saat itu, karena mereka belum banyak. Padi itu pula yang menjadi
asal padi yang ada sekarang, sepanjang cerita orang tua-tua.
Lama
kelamaan tumbuh pula galundi di sekitar itu dan di antara pohon galundi yang
tumbuh di batu hampar, uratnya tidak mencekam ke tanah melainkan bersela-sela
saja sepenuh batu hampar itu. Oleh karena melihat keadaan pohon galundi itu,
maka ninik Sri Maharaja Diraja menamakan tempat itu Galundi Nan Baselo. Setelah
beberapa lama mereka diam di Galundi Nan Baselo, air laut bertambah susut juga
dan daratan bertambah luas juga, maka Catri Bilang Pandai mencari tanah yang
lebih baik untuk mereka huni.
Ditemukanlah
sebuah guguk di sebelah kanan dari Galundi Nan Baselo tadi, dan sekalian
orang-orang berada di Galundi Nan Baselo berpindah ke tempat baru itu. Tempat
itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Catri Bilang Pandai dengan
nama Guguak Ampang.
D. NAGARI PARIANGAN DAN PADANG PANJANG
Tidak
berapa lama di antaranya, orang-orang yang menetap di Guguak Ampang berpindah
pula dengan membuat setumpuk tanah yang datar di baruh Guguak Ampang itu.
Tanah di sini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong-bondong membuat tempat tinggal di tempat yang baru ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja beserta Catri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Parhurungan. Guguak Ampang tadi pada saat ini bernama Guguak Atas.
Lama kelamaan orang pun bertambah kembang juga, dan kampung Parhurungan bertambah maju. Orang-orang semakin hari semakin riang pula. Atas prakarsa ninik Sri Maharaja Diraja beserta orang cerdik pandai pada masa itu, dibuatlah semacam permainan anak nagari seperti pencak silat, tari payung dan bermacam-macam peralatan untuk gung dan talempong, gendang, serunai rabab, kecapi dan lain-lain sehingga menjadikan orang bertambah riang juga di setiap waktu.
Susana masyarakatnya yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja Diraja dan Catri Bilang Pandai untuk mengganti nama kampung itu dengan nama Pariangan.
Kemudian karena orang bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar di suatu tanah di sebelah kanan Pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan pula orang-orang dari Pariangan membuat tempat tinggal di situ.
Lama-kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Catri Bilang Pandai kampung yang baru itu dinamakan Padang Panjang, sebab yang pertama kali daerah itu adalah hulubalang raja yang menyandang pedang nan panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin hari semakin ramai, dan kedua kampung itu di bawah hukum ninik Sri Maharaja Diraja.
Pada
suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung Pariangan dan Padang Panjang
untuk mendirikan sebuah balairung tempat raja duduk menghukum (memerintah)
beserta orang-orang besar lainnya Datuk Suri Diraja, Catri Bilang Pandai yang
bernama Indra Jati. Balairung itu didirikan di dalam kampung Pariangan, dihiasi
dengan lapik lalang.
Ruangnya
hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balairung Saruang. Di
situlah tempat ninik Sri Maharaja Diraja beserta orang-orang besarnya itu
menghukum pada masa itu.
E. PENGHULU PERTAMA
Lama pula antaranya bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Catri Bilang Pandai, serta orang-orang dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi. Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi ketua yang memerintah dan menghukum orang di bawah raja.
Adapun
orang yang akan ditanam jadi ketua adalah orang yang akan menjadi penghulu
orang banyak itu, dengan fungsi antara lain:
Kusuik nan ka manyalasaikan
Karuah nan ka manjaniahkan
Sasek nan ka maimbau
Taluncua nan ka maelokan.
Itulah
orang yang akan memimpin orang banyak di
bawah ninik Sri Maharaja Diraja. Di dalam permusyawaratan itu dicapai kata
sepakat yakni akan menanam dua orang ketua, seorang di Pariangan dan seorang
lagi di Padang Panjang. Hasil kesepakatan itu dikembalikan kepada ninik Sri Maharaja
dan beliau menyetujuinya.
Pada
kesempatan itu Datuk Suri Diraja bertitah,
“Berbahagialah kamu sekalian, telah sama-sama sepakat untuk menanam dua orang ketua yang akan menjadi penghulu oleh kamu sekalian. Apa nama panggilan dan pangkat bagi ketua tadi. Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja, “Telah puas kami bersamasama mencari nama pangkat dan nama panggilan ketua kami, namun tidak dapat oleh kami, melainkan sebuah kata „ketua‟ saja. Oleh sebab itu kami serahkan saja kepada Tuanku semua, apa yang baik bagi Tuanku, kami menurut saja.”
Setelah
itu bertitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada sekalian banyak orang itu,
“Adapun orang yang akan kita jadikan ketua itu tentulah akan dipilih dari kita
yang hadir ini, orang yang lebih pandai dan baik tingkah lakunya. Sebab orang
itu:
Pai
tampek batanyo
Pulang tampek babarito
Orang itulah yang akan memelihara buruk baiknya kita sekalian, tempat kita mengadukan segala baik dan buruk. Orang itu yang akan menimbang mudharat dan manfaat di atas kita sekalian serta menghukum barang sesuatunya buruk dan baik. Oleh sebab itu sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan benar orang itu dengan semulia-mulianya daripada kita yang banyak ini. Kita tuakan orang itu dengan kata mufakat bersama dan tuanya kita samakan dengan orang tua ninik mamak kita yaitu „Datuk‟ namanya. Dengan demikian kepadanya kita panggil Datuk meskipun umurnya lebih muda daripada kita.
Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup di dunia ini. Jikalau kita berinduk dan tiada turut-menurut, niscaya tiadalah kita akan mendapatkan keselamatan.”
Mendengar
penitahan dari ninik Sri Maharaja Diraja itu, senanglah hati sekalian orang
banyak itu. panggilan Datuk itu sampai sekarang tidak berubah. Itulah asal
mulanya maka segala penghulu itu
dipanggil orang Datuk dan disebut orang juga ninik mamak, sebab pangkat dan
derajatnya telah disamakan dengan ninik dari pada mamaknya orang banyak.
Setelah putus kata mufakat, diadakan helat jamu di kampung Pariangan dan Padang Panjang. Pada masa itu ditetapkan kedua penghulu tadi, seorang di Pariangan bergelar Datuk Bandaro Kayo dan seorang dari Padang Panjang bergelar Datuk Maharajo Basa. Itulah penghulu pertama yang ada di pulau Andalas, yang disebut juga Pulau Perca.
Adapun Datuk Suri Diraja bukanlah penghulu yang diangkat orang, beliau itu diberi nama seperti itu hanya karena beliau berkarib dengan raja. Beliau dipanggil Datuk hanya karena tuanya saja, dan lagi beliau adalah orang cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, tempat orang berguru bertanya pada masa itu di Pariangan Padang Panjang, serta menjadi guru bagi ninik Sri Maharaja Diraja.
Dengan
bertambah ramainya orang di Pariangan Padang Panjang, oleh ninik Sri Maharaja
Diraja dengan mufakat segala isi kampung diberi nama nagari Pariangan Padang
Panjang. Sampai saat ini nama itu tidak pernah dirubah orang dan itulah negeri
tertua di Pulau Andalas ini.
F. SILSILAH
Menurut tambo, ninik Sri Maharaja Diraja dengan istrinya yang bernama Indo Jalito memeroleh sepasang anak. Yang laki-laki bernama Suri Dirajo, sedangkan yang perempuan bernama Indah Juliah. Indah Juliah menikah dengan raja yang dinamai Rusa yang datang dari laut, mahkotanya bercabang tiga. Raja ini kemudian bergelar Sultan Sri Maharaja Diraja. Mereka memeroleh seorang anak bernama Paduka Basa yang setelah dewasa bergelar Datuk Ketumanggungan, penggagas lareh Koto Piliang dan yang menemukan Luhak Agam.
Setelah raja ini meninggal dunia Indah Juliah menikah dengan Indra Jati (Catri Bilang Pandai). Pernikahan ini melahirkan banyak anak. Dua orang yang terpenting ialah Sutan Balun yang kemudian bergelar Datuk Parpatih Nan Sabatang, dan Si Kalap Dunia yang kemudian bergelar Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego.
Datuk Parpatih Nan Sabatang dikenal sebagai penggagas Lareh Bodi Caniago dan yang menemukan Luhak Tanah Datar, sedangkan Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego terkenal sebagai penemu Luhak Limopuluah Kota.
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau dan curaian orang tua-tua, setelah dewasa anak ninik Sri Maharaja Diraja yang bernama Sutan Paduka Basa, dan anak-anak Catri Bilang Pandai yang bernama Sutan Balun dan Si Kalab Dunia, atas kesepakatan anak nagari Pariangan Padang Panjang dan anak nagari Sungai Tarab, diangkat menjadi penghulu.
Sutan Paduka Basa bergelar Datuk Ketumanggungan, Sutan Balun bergelar Datuk Parpatih Nan Sabatang, dan Si Kalab Dunia bergelar Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego. Beliau-beliau itulah penghulu ninik kita, yang sangat cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, lagi keramat ketiganya. Beliau bertiga menata adat limbago untuk kita orang Alam Minangkabau.
Kata ahli adat, setelah Sutan Balun diangkat menjadi penghulu, beliau pergi berlayar ke luar dari Pariangan Padang Panjang, hendak pergi tamasya ke pulau Langgapuri (Serindip-Cylon). Dalam perjalanan kembali pulang, di tengah lautan beliau mendapat sebatang kayu yang berisi lengkap di dalamnya segala perkakas untuk pertukangan, seperti kapak, lading (golok), pahat dan perpatih. Oleh sebab itu beliau digelari orang Datuk Parpatih Nan Sabatang Kayu, kemudian ditetapkan dengan gelar Datuk Parpatih Nan Sabatang saja.
Adapun kayu berisi alat perkakas itu yang ditemukannya itu, berasal dari peninggalan kapal Nabi Nuh. Perkakas itu diletakkan orang di dalam lobang sebuah pohon kayu dan hanyut ke laut. Dengan karunia Allah kayu itulah yang ditetapkan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang. Benar atau tidaknya cerita ini, wallahu a’lam.
Diceritakan kembali, sesudah ninik yang bertiga itu diangkat orang menjadi penghulu, semenjak itulah beliau berusaha mencari ikhtiar memperbaiki nagari dan memperluas jajahan di tanah Alam Minangkabau serta berusaha membuat macam-macam aturan adat limbago yang akan dipakai orang di dalam nagari yang telah beliau dirikan itu, untuk penjaga kesentosaan dan keselamatan orang yang berada di dalam nagari.
Adat
lembaga yang beliau tinggalkan itu menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau
sampai sekarang. Adat lembaga itu amat baik dan sempurna aturannya, tidak dapat
disanggah oleh seorang jauhari pun, mempunyai akal budi yang sempurna. Bila ada
orang yang mengubah atau merusak warisan beliau itu, tak dapat tidak pastilah
mendatangkan kesusahan dan kerugian besar bagi dirinya serta bagi semua orang
di dalam nagari sampai kepada anak cucunya.
G. DATUK PARPATIH NAN SABATANG DAN DATUK KETUMANGGUNGAN
Suku
bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, memercayai dengan penuh
keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan
Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masihb hidup subur di dalam masyarakat
Minangkabau, baik yang ada di Minangkabau sendiri maupun yang ada di
perantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada
petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah
Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada
bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Parpatih Nan Sabatang
dengan tokoh Dewa Tuhan Parpatih yang
tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan
selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Parpatih sebagai salah
seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi
tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu
adalah sama dengan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau
pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Parpatih Nan Sabatang itu adalah seorang tokoh historis dalam sejarah
Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai
peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain mengenai
kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah adanya Batu Batikam
di Dusun Tuo Limo Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda
persetujuan antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk
Parpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan
bagi anak cucunya di kemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh
adat itu terjadi sedikit kesalahpahaman.
Adanya
Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini
membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah
Minangkabau, bukan sekadar sebagai dongeng saja sebagaimana dikatakan ahli-ahli
barat.
Bukti
lain dalam hikayat raja-raja Pasai, dikatakan bahwa dalam salah satu
perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk
Parpatih Nan Sabatang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh
itu dalam sejarah Minangkabau.
Di
Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan
tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Parpatih. Malahan peraturan adat yang
berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya.
Hal ini juga merupakan petunjuk kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabatang dalam
sejarah Minangkabau.
Setelah
terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau,
maka ada hal sedikit yang kurang benar dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan
bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam
kerajaan Adityawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam prasasti
Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk
menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada
di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya.
Maka
oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama
mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabat dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara
Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumenggungan adalah dua orang
bersaudara satu ibu berlainan ayah. Karena ada sedikit perbedaan karena ada
sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan tambo mengenai siapa ayah dan ibu
dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan
perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya (Puti Indo Jelita),
berasal dari yang berdarah luhur atau keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari
Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Catri Bilang Pandai suami kedua ibunya yang
berasal dari India Selatan.
Perbedaan
darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan
dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu
yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh
historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang
dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.
Menurut
tambo dan cerita urang tuo-tuo, dari
Pasumayan Koto Batu ini kemudian dibuka nagari Pariangan dan Padang Panjang.
Inilah asal muasalnya peradaban Minangkabau, sehingga 2 daerah ini disebut
sebagai: Tampuk Tangkai Alam Minangkabau. Undang-undang yang berlaku pada masa
itu disebut “Undang-undang Si Mumbang Jatuah”. Intinya: Siapa yang membunuh ia dibunuh
Tiada boleh disanggah
Tiada boleh ditentang
Siapa kuat dia kudrat
Siapa kuasa ia berjaya
Semua keputusan di tangan raja.
Sri
Maharaja Diraja mempunyai permaisuri Indo Jelita (Putra Indra Jati), di mana
kemudian lahir putra mahkota bernama Sutan Paduka Basa. Tetapi belum lagi putra
mahkota besar, Sri Maharaja Diraja wafat sehingga tampuk dipegang orang kedua
bernama Datuk Suri Dirajo. Puti Indo Jalito pun kemudian menikah dengan
Penasihat almarhum raja, Catri Bilang Pandai bergelar Indra Jati lalu lahirlah
seorang putra bernama Sutan Balun.
Sutan
Paduka Basa bergelar Datuk Ketumanggungan, sedangkan Sutan Balun bergelar Datuk
Parpatih Nan Sabatang. Jadi sebenarnya mereka bersaudara satu ibu, beda ayah
saja. Mereka meneruko (membuka) rantau-rantau baru. Mula-mula di Sungai Jambu,
lalu dari sini Datuk Ketumanggungan
membuka nagari Bungo Satangkai, sedang Datuk Parpatih Nan Sabatang
membuka nagari Limo Kaum.
Dari
sinilah timbul perbedaan dalam menerapkan hukum. Jika Datuk Ketumanggungan
tetap setia dengan Undangundang Si Mumbang Jatuah yang keras dan kuasa mutlak
di tangan seseorang, maka Datuk Parpatih Nan Sabatang menyesuaikannya dengan
menerapkan “Undang-undang Si Lamo-lamo atau Si Gamak-gamak”. Lalu undang-undang
itu diperbaharui lagi dengan “Undang-undang Tarik Baleh” yang berasaskan pada
kebijakan meletakkan keputusan melalui pertimbangan yang masak untuk mengetahui
manfaat dan mudharatnya. Hukum dijatuhkan kepada siapa yang melanggar peraturan
tetapi tidak serta merta melainkan diselidiki terlebih dahulu agar dapat
diberikan suatu keputusan yang seadil-adilnya.
Perubahan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang ini dianggap terlalu radikal oleh abang tirinya Datuk Ketumanggungan yang ingin mempertahankan Undangundang Si Mumbang Jatuah yang telah diasaskan ayahandanya Sri Maharaja Diraja. Sehingga hampir timbul selisih di antara dua saudara itu. Tetapi untunglah perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan dengan kebijakan ninik mamak dan urang basa serta keinsyafan pribadi kedua datuk ini. Upacara damai mengakhiri perselisihan ini dimanterai dengan menusuk keris di batu. Wujudnya adalah “Batu Batikam” yang sampai pada hari ini masih dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum.
Hasil dari perundingan damai itu ialah bahwa undangundang lama dapat diperbandingkan dengan alasan-alasan yang wajar. Dan keputusan diambil adalah setelah adanya kaji-selidik dan mufakat bersama.
Selanjutnya
dalam perkembangannya bahwa nagarinagari di Alam Minangkabau mengamalkan suatu
Undangundang baru yang merupakan perpaduan dari hukum lama dan baru.
Undang-undang itu dikenal dengan sebutan “Undangundang Nan Doupuluah”. Ia
disusun oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang. Adakah ia Datuk yang asli atau
keturunannya tiada jawaban yang pasti. Tetapi satu hal bahwa gelaran ini memang
dipusakai/menurun ke warisnya, dan mengingat jangka waktu dari zaman Sutan
Balun (Pra Hindu) ke penyusunan Undang-undang Nan Duopuluah (zaman Islam) maka
kemungkinan bahwa penyusunnya adalah keturunan Datuk Parpatih Nan Sabatang yang
asli.
Contoh
penyesuaian ini adalah dalam bidal adat, mulamula (zaman pra Islam):
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo pado pangulu
Pangulu barajo pado mufakaik
Mufakat basandi alua jo patuik
Alua basandi bana Bana
badiri surang.
(Kemenakan
beraja ke mamak
Mamak
beraja pada penghulu
Penghulu
beraja pada mufakat
Mufakat
bersendi alur dan patut
Alur bersendi benar
Benar berdiri sendiri).
Datuk
Parpatih Nan Sabatang menambahkan ketika
Islam masuk:
Adaik basandi syarak
Syarak basandi Kitabullah
Syarak mangato
Adaik mamakai Kawi kato
syarak Lazim kato adaik.
(Adat bersendi syarak
Syarak
bersendi Kitabullah
Syarak
mengata
Adat memakai Kawi kata syarak Lazim kata adat).
H. SUNGAI TARAB NAGARI TUA
Seiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di nagari Pariangan Padang Panjang bertambah ramai juga, sedangkan nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang daerah yang baru.
Setelah bulat mufakat, mendakilah ninik Sri Maharaja Diraja ke puncak Gunung Merapi hendak melihat di mana tanah yang baik dan subur akan tempat memindahkan orangorang itu. Setibanya beliau di puncak gunung itu, memandanglah beliau ke segala arah. Pandang jauah dilayangkan, pandang dakek ditukiakkan.
Kelihatan oleh beliau setumpuk tanah-tanah gosong yang ditumbuhi rimba di baruh gunung itu, arah ke sebelah selatan yang kelihatannya tanahnya banyak berpasir. Gosong-gosong itu adalah puncak-puncak bukit yang tersembur dari permukaan pada laut pada waktu itu.
Setelah itu beliau kembali turun, dan bersama-sama dengan Catri Bilang Pandai beliau pergi kelihatan tanah itu dengan berlayar. Pelayaran beliau itu hanya menelusuri tepi Gunung Merapi saja dan akhirnya beliau sampai di tepi pantai, lalu berlabuh dan langsung memeriksa tanah tadi. Didapati oleh beliau tanah itu lebih luas dari Pariangan Padang Panjang dan tampaknya lebih baik dan lebih besar. Di sebelah mudik tanah itu ada pula sebidang padang pasir yang amat luas yang sangat baik untuk tempat orang bermain dan bergembira.
Setelah ada keyakinan bagi ninik Sri Maharaja Diraja dan Catri Bilang Pandai, lalu keduanya kembali ke Pariangan untuk menjemput orang-orang yang akan mendiami tempat itu. Beliau membawa tujuh orang karib ba‟id beliau laki-laki dan perempuan, begitu pun Catri Bilang membawa pula enam belas orang, yaitu delapan pasang suami-istri.
Setelah mereka tiba di tanah tadi, mereka mulai membuka ladang, berladang mencencang melateh, membuat teratak di tempat itu. Lama kelamaan teratak itu menjadi sebuah dusun bernama dusun Gantang Tolan dan Binuang Sati. Kemudian dusun itu bertambah lama bertambah ramai pula. Maka dibuat orang pula pinggir dusun itu sebuah koto tempat berkampung, berumah tangga. Dari koto itulah orang-orang berulang-ulang ke ladangnya yang di dusun tadi.
Semakin lama di dalam koto tadi orang semakin bertambah ramai juga, lalu koto itu pun dijadikan orang nagari, diberi nama nagari Bunga Setangkai. Dinamai Bunga Setangkai karena sewaktu Sri Maharaja Diraja sampai di situ beliau mendapatkan setangkai bunga yang harum baunya, dan di bawah bunga itu ada pula sebuah batu luas dan datar. Panjangnya tujuh tapak Sri Maharaja Diraja. Batu itu oleh beliau diberi nama „Batu Tujuh Tapak‟. Sampai sekarang batu itu masih ada di dalam nagari Bunga Setangkai.
Adapun padang pasir yang di mudik nagari Bunga Setangkai, lama kelamaan ditumbuhi oleh kayu-kayuan, sehingga kemudian menjadi rimba yang berkampungkampung. Pada akhirnya daerah itu menjadi nagari yang diberi nama nagari Pasir Luas, takluk kepada nagari Bunga Setangkai.
Di dalam nagari Bunga Setangkai dibuat orang sebuah balairung tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan Catri Bilang Pandai menghukum. Dekat balairung itulah Sri Maharaja Diraja membuat istana tempat diam.
Kemudian keluarlah sebuah mata air di bawah sebuah pohon yang bernama tarab di halaman istana Sri Maharaja Diraja. Air yang keluar sangat jernih dan sejuk serta besar sehingga menjadi suatu anak sungai, oleh sebab itu Catri Bilang Pandai memberi nama Sungai Tarab. Karena sungai itu sangat termasyhur, nama Bunga Setangkai dilupakan orang sehingga nagari itu berubah nama menjadi nagari Sungai Tarab.
Di dalam nagari Sungai Tarab ditanam orang delapan orang penghulu yang diambil dari dalam tiap-tiap kaum ornag yang delapan pasang yang mula-mula mencencang melateh nagari tersebut. Penghulu yang delapan itu memerintah orang dalam nagari Sungai Tarab dan menguasai masing-masing kaumnya. Penghulu itu bernama „Datuk nan Delapan Batur‟, yakni delapan batu kedudukan dahulu. Kemudian setiap penghulu itu membuat pula sebuah balairung sehingga disebut orang pula Delapan Balai kedudukan Datuk nan Delapan Batur.
Delapan balai kemudian menjadi delapan suku yang terbagi atas dua kampung. Satu kampung di mudik (Sungai Tarab) dengan lima balai, dan satu lagi di hilir dengan tiga balai sehingga kampung itu dinamakan Tiga Batur. Setelah berkoto, bernagari dan berpenghulu yang akan memelihara orang di dalam nagari Sungai Tarab, ninik Sri Maharaja Diraja merasa senang sekali dan beliau beserta Catri Bilang Pandai kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang.
Meninggalnya Sri Maharaja Diraja
Sri Maharaja Diraja meninggal di Pariangan Padang Panjang, yaitu beberapa waktu kemudian setelah beliau kembali dari Sungai Tarab. Sepeninggal beliau jabatan raja di Pariangan Padang Panjang tidak ada karena beliau tidak mempunyai waris. Posisi beliau dijabat oleh karib beliau yang ada di Sungai Tarab.
Adapun yang memerintah di nagari Pariangan Padang Panjang sepeninggal Sri Maharaja Diraja adalah Datuk Bandaro Kayo, Datuk Maharaja Basa, Datuk Suri Dirajo, Catri Bilang Pandai dan Catri Reno Sudah. Sedangkan yang memerintah di Sungai Tarab dipegang oleh Datuk nan Delapan Batur, dibantu oleh Datuk Suri Dirajo dan Catri Bilang Pandai, mewakili karib Sri Maharaja Diraja.
Puti Jamilan
Setelah beberapa lama Sri Maharaja Diraja meninggal dunia, Tuan Putri Indo Jelita janda beliau, kawin dengan Indra Jati yang bergelar Catri Bilang Pandai.
Dari
perkawinan itu beliau berputra enam, dua orang lakilaki, pertama bernama Sutan
Balun dan yang kedua bernama Si Kalab Dunia, dan empat orang perempuan bernama
Puti Reno Sudi, Puti Reno Mandi, Puti Reno Judah, dan yang bungsu bernama Puti
Jamilan. Tuan Puti Jamilan ini kawin dengan karib Sri Maharaja Diraja yang
menjadi raja di Sungai Tarab itu.
I. NAGARI LIMO KAUM
Kata ahli adat, pada suatu ketika Datuk Parpatih Nan Sabatang bersama lima pasang suami istri berlayar ke luar dari nagari Pariangan Padang Panjang menuju tanah lapang yang ditumbuhi rimba berkampung-kampung. Di situ kelima pasang tadi mencencang melateh membuat ladang dan dusun tua. Di situ Datuk Parpatih Nan Sabatang membuat rumah di bawah kayu Bodi Nago Taran, kemudian dibuatnya pula sebuah balai di dusun tua itu yang berparit dan berpagar batu.
Sebab itu balai tadi dinamakan Balai Batu, lalu dibuat pula sebuah kubu di baruh dusun tua tadi, yang dinamai Kubu Rajo. Lama kelamaan berkembang pula orang yang lima pasang tadi. Karena orang sudah ramai, dibuat pula lima buah kampung seedaran dusun tua tadi, yang bernama kampung Balai Batu, kampung Kubu Rajo, kampung Belah Labuh, kampung Dusun Tua (Kota Gadis) dan Kampung Kampai (Piliang). Kelima kampung ini akhirnya dinamai kampung Limo Kaum.
Kemudian menyusul pula dua belas pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang yang dipimpin oleh seorang penghulu yang bergelar Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Penghulu ini badannya besar dan panjang kira-kira sepuluh hasta panjangnya. Sampai sekarang masih ada kubur beliau di kampung Pariangan, yang dikenal juga dengan nama kubur Datuk Tan Tejo Gurano.
Mereka sampai di nagari yang bernama Jambu sekarang ini dan tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke nagari Limo Kaum karena tidak ada jalan ke sana. Lalu berkata Datuk Tan Tejo kepada orang-orang yang dibawanya itu, “Ka niaklah (ke marilah) kita berbalik”. Lalu surutlah mereka kembali sampai di sebuah dusun yang mereka beri nama Keniak.
Rupanya yang dimaksud dengan „ka niak‟ oleh Datuk Tan Tejo tadi adalah kampung Tabek sekarang ini. Di situ mereka berladang dan membuat taratak. Datuk Tan Tejo membuat sebuah tebat besar, lalu dibuat orang pula setumpak sawah dekat tebatnya itu dan di mudik sawah itu dibuat pula taratak. Lama-lama taratak menjadi dusun dan dusun menjadi kampung pula yang bernama kampung Sawah Tangah. Akhirnya kedua belas pasang itu terbagi dua. Sebagian tinggal bersama beliau di kampung Tabek dan sebagian lagi menetap di kampung Sawah Tangah.
Lama kelamaan berkembang pula orang di kampung Tabek dan Sawah Tangah itu. Datuk Tan Tejo mendirikan sebuah balai di kampung Tabek yang tonggaknya dari teras jilatang dan parannya dari akar lundang, sedang tabubnya dibuat dari batang pulut-pulut, yang digetang dengan jengat tuma dan gendangnya dari padang seleguri. Itulah keganjilan yang dibuat oleh Datuk Tan Tejo Maharaja Nan Gadang. Sampai kini tonggak teras jilatang dan gendang seleguri itu masih ada di kampung Tabek itu. Selanjutnya karena telah berkembang juga, maka kampung Tabek dan kampung Sawah Tangah dijadikan orang menjadi sebuah nagari yang bernama nagari Tabek Sawah Tangah.
Oleh karena nagari Tabek Sawah Tangah itu telah menjadi ramai dan sesak pula, maka pecahan orang-orang yang dua belas pasang tadi pergi berladang merambah rimba kecil di kepala dusun tua tempat Datuk Parpatih Nan Sabatang tadi. Tempat itu dinamai orang Parambahan.
Dari Parambahan itu dibuat sebuah labuah (jalan) arah ke Kubu Rajo, tetapi mereka tidak berhasil karena terlalu susah, jalan mendaki dan menurun serta berbelok-belok. Dan labuah itu diberi nama Taratak Labuah.
Karena
telah menjadi ramai pula orang di Taratak Labuah, Parambahan, dan Tabek
Sawah Tangah, mereka pun semakin
berkembang dan telah pula membuat dua belas buah koto di sekitar nagari Limo
Kaum. Kedua belas koto itu menurut penitahan Datuk Parpatih Nan Sabatang,
yaitu:
1.
Labuh
2.
Parambahan
3.
Silabuk
4.
Ampalu
5.
Cubadak
6.
Sianyang
7.
Rambatan
8.
Padang Magek
9.
Ngungun
10. Panti
11. Pabalutan
12. Sawah Jauah.
Tabek Bata dan Sela Goanda
Baringin dan Koto Baranjak
Lantai Batu dan Bukit Gombak
Sungai Tanjuang dan
Barulak serta Rajo Dani.
Oleh
Datuk Parpatih Nan Sabatang masyarakat nagari Limo Kaum nan dua belas koto itu
sampai ke Tabek Sawah Tangah diberi satu pucuk pimpinan yaitu penghulu dengan
gelar Datuk Bandaro Kuniang, berdudukan di Kubu Rajo Limo Kaum.
Setelah
teratur nagari Limo Kaum dua belas koto itu, maka senanglah hati Datuk Parpatih
Nan Sabatang dan beliau kembali ke Pariangan Padang Panjang.
J. NAGARI SUNGAYANG
Kata
orang yang menceritakan, tidak berapa lama kemudian Datuk Parpatih Nan Sabatang
berlayar pula membawa tujuh pasang suami istri. Mereka sampai pada suatu tanah
menanjung ke dalam sungai. Karena tanah itu baik dan subur, mereka menetap di
sana dan berladang membuat taratak. Tempat itu beliau beri nama Pangkal Bumi.
Kemudian
menyusul pula dua puluh tiga pasang suami istri dari Pariangan Padang Panjang
yang ingin mencari penghidupan di sana karena di Pariangan sudah penuh sesak.
Mereka menetap di daerah antara Pangkal Bumi dan Sungai Tarab. Mereka
bersama-sama dengan yang tujuh pasang pertama berladang dan membuat taratak.
Tempat mereka menambatkan perahu atau (jung)nya, dinamakan „Tembatan Ajung‟
lalu disingkat menjadi Tabek Ajung. Sedangkan Pangkal Bumi berubah menjadi
Ujung Tanah.
Lama
kelamaan berkembang biak pula orang yang di taratak dan di ladang tadi. Taratak
itu pun menjadi suatu dusun yang ramai.
Taratak itu pun menjadi suatu dusun yang ramai. Lalu dibuat orang dua
buah koto di pinggir taratak itu, yang pertama bernama Tanjung dan yang kedua
bernama Sungai Mangiang, sebab dari mata air yang mengalir di sana kerapkali
terjadi mangiang (pelangi). Dari kedua koto itulah orang pulang pergi ke
taratak dan ladangnya masing-masing. Hingga kini di situ masih ada tempat yang
bernama Taratak dan Ladang.
Kemudian
sesuai dengan perkembangan manusia, koto itu dijadikan orang nagari. Oleh Datuk
Parpatih Nan Sabatang nagari itu diberi nama Tanjung Sungayang Nan Batujuah,
karena yang menetap di nagari itu adalah orang yang dua puluh tiga pasang
ditambah yang tujuh pasang tadi. Itulah yang berhutan tinggi dan berhutan
rendah dan mereka ada berpangkat sepanjang adat di dalam nagari itu.
Kata
ahli adat, lah sudah sumua digali nagari
dicacah dalam nagari Sungai Tarab, Limo Kaum dan Tanjung Sungayang, dan di
setiap nagari itu sudah begitu ramai, maka bermufakatlah Datuk Ketumanggungan,
Datuk Parpatih Nan Sabatang, Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego hendak mencari
tanah yang baik untuk tempat memidahkan orang dari nagari tersebut. Setelah putus
mufakat, beliau bertiga berlayar menjalani teluk dengan rantau. Setelah tampak
tanahtanah yang dianggap baik, ketiganya kembali lagi. Lalu dengan tiga buah
perahu, setiap perahu memuat lima puluh orang laki-laki dan perempuan, mereka
menuju ke tempattempat yang sudah dilihatnya tadi. Di setiap tempat itu beliau
tempatkan sepasang, lima pasang, ada yang enam dan delapan pasang, tergantung
dengan besar kecilnya tanah yang akan didiami itu.
Lama
kelamaan orang-orang itu pun berkembang dan tempat orang-orang itu dari taratak
menjadi dusun, dusun menjadi koto, dan kemudian menjadi nagari. Oleh karena
asal orang-orang itu dari nagari Sungai Tarab, Limo Kaum, Tanjung Sungayang, di
dalam Tambo Alam Minangkabau nagari yang tiga ini disebut nagari tertua di Alam
Minangkabau.
Setelah
selesai menempatkan orang-orang di daerah yang baru itu, maka kembalilah ketiga
orang ninik tadi ke Pariangan Padang Panjang. Mereka mulai bekerja membuat
ketetapan hukum yang akan dipakai di setiap nagari yang baru tadi. Setelah itu mereka
memohon kepada bapak beliau yang bernama Indra Jati bergelar Catri Bilang
Pandai untuk pergi memeriksa keadaan orang-orang di nagari yang baru itu dan
sekaligus menetapkan penghulunya masing-masing.
Permintaan
dari anak-anaknya itu dipenuhi oleh Catri Bilang Pandai. Berangkatlah beliau ke
nagari-nagari yang baru itu dan di setiap nagari itu diangkat seorang penghulu
untuk setiap kaumnya. Penghulu inilah „kusut yang akan menyelesaikan, keruh
yang akan menjernihkan‟ serta memelihara orang-orang itu dari hal yang buruk
dan baik dengan mendirikan pusaka Alam Minangkabau. Barangsiapa yang diangkat
menjadi penghulu diwajibkan terlebih dahulu maisi
adat menuang limbago kepada segala orang yang ada di dalam nagari itu,
dengan berjamu makan dan minum, sebab orang-orang di dalam nagari itulah yang
membesarkannya jadi penghulu.
Begitu
juga barangsiapa yang akan menjadi raja, wajib pula ia mengisi adat menuang
lembaga kepada isi alam takluk jajahannya, memberi makan minum orang-orang yang
datang di waktu raja itu dinobatkan serta memotong kerbau dan jawi (sapi)
seberapa cukupnya. Selain itu raja itu wajib mengeluarkan emas nan sesukat
seulang-aling, nan sekundikundi, sepating setali bajak namanya sebagai pengisi
adat kepada penghulu dan orang-orang yang patut. Sebab orangorang itulah yang
merajakannya.
Karena banyaknya
penghulu yang diangkat, banyak pula gelar penghulu di tiap-tiap suku atau
nagari, namun gelar itu tidak boleh sama. Kalau ada yang sama itu tandanya
sudah dibelah (dipecah).
K. LUHAK NAN TIGO
Pada
suatu ketika ninik yang bertiga naik pula ke puncak Gunung Merapi. Di sana
beliau menemukan tiga buah akar yang berjurai-jurai. Sejurai menghadap ke arah
timur, sejurai jatuh ke sebelah barat, dan sejurai lagi jatuh ke sebelah utara.
Maka memandanglah beliau ke arah timur dan tampaklah rimba berkampung-kampung.
Di
tepi rimba itu sudah diisi oleh orang. Begitu juga ketika beliau memandang ke
arah sebelah barat dan sebelah utara, banyak pula tanah yang sudah dihuni
orang. Sedangkan di sebelah selatan kelihatan puncak-puncak gunung yang
tersembur dari dalam laut.
Maka
mufakatlah ketiga ninik itu untuk turun mendiami tempat itu. Datuk
Ketumanggungan berjalan ke arah sebelah barat, Datuk Parpatih Nan Sabatang
berjalan ke arah sebelah timur, dan Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego ke
sebelah utara.
Sekembalinya
dari nagari-nagari itu, beliau kembali lagi dan bertemu di Pariangan Padang
Panjang, lalu ninik yang bertiga ini menceritakan pengamatan yang sudah
dilakukan di daerah-daerah itu. Diceritakan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang
tanah yang sudah dijalaninya itu banyak berbukitbukit dan berlurah-lurah.
Airnya jernih, ikannya jinak, dan buminya dingin. Diceritakan pula oleh Datuk
Ketumanggungan
tanah yang di sebelah barat Gunung Merapi itu airnya keruh, ikannya liar,
buminya hangat dan orangnya keras hati, suka bermusuh-musuhan dan selalu
berkelahi pada masing-masing kaum itu.
Oleh
Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego diceritakan bahwa tanah yang di sebelah
utara gunung itu airnya manis, ikannya jinak, buminya tawar dan orang-orang
yang ditempatkan sebanyak lima puluh orang itu telah berkurang lima pasang,
hilang di padang ribu-ribu tanpa ada yang tahu ke mana perginya orang itu.
Kemudian
bermufakatlah ninik yang bertiga itu menceritakan hal tersebut kepada mamaknya
Datuk Suri Dirajo. Oleh Datuk Suri Dirajo diberi nama:
·
Luhak Tanah Datar untuk tanah yang di
sebelah timur Gunung Merapi yaitu tanah yang dijalani oleh Datuk Parpatih Nan
Sabatang.
·
Luhak Agam untuk daerah yang
dijalani oleh Datuk Ketumanggungan.
·
Luhak Limopuluah Kota untuk daerah yang
dijalani oleh Datuk Sri Maharaja Diraja Nan Banego-nego.
1. Luhak Tanah Datar
Daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat
bahagian, yaitu:
a.
Limo Kaum XII Koto
b.
Sungai Tarab Salapan Batu
c.
Batipuah X Koto
d.
Lintau Buo IX Koto
- Limo Kaum XII Koto terdiri
dari: Ngungun, Panti, Cubadak. Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah,
Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Limo
Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari Tabek Boto,
Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukit Gombak, Sungai
Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.
- Sungai Tarab Salapan daerahnya:
Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto Panjang, Supayang jo Situmbuak,
Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Badampiang, Ujuang Labuah,
·
Kampuang Sungayang VII Koto Disinan, Andaleh,
Baruah
·
Bukik, Sungai Patai, Sungayang, Sawah Laiek dan
Koto Ranah.
- Batipuah X Koto daerahnya
adalah: Pariangan, Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Laweh, Pandai
Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan.
- Lintau Buo IX Koto merupakan
perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh Baruah Bukik yang terdiri
dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanung Bonai, Tapi Selo, Lubuak Jantan.
Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan di ateh. Kemudian ditambah
dengan Empat Koto Nan di Bawah yaitu: Buo, Pangian, Taluak dan Tigo
Jangko.
·
Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13
nagari yang disebut dengan Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubuang
XIII adalah: Solok, Salayo, Koto Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh,
Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan
Tanjuang Balingkuang.
- Dari arah Kubuang XIII
berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam Surambi
Sungai Pagu.
- Dari daerah Batipuah X Koto.
Dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke Anduriang Kayu Tanam,
Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan yang dinamakan Ujuang
Darek Kapalo Rantau 2 x 11 Enam Lingkuang. Dari daerah ini berkembang
menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu Kalang,
Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.
·
Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak
berlanjut ke arah timur sampai ke Sijunjuang Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan di
Hilia, Koto Sambilan Nan di Mudiak, Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang,
Kubang Padang Sibusuak, Batu Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan
Sakti, Koto Baru, Tanjung Ampalu, Paluluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh,
Murao Sijunjuang, Timbulun, Tanjuang Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek.
Adapun yang menjadi daerah inti dari Luhak Tanah Datar adalah Kabupaten Tanah
Datar sekarang.
2. Luhak Agam
Luhak Agam merupakan luhak yang kedua setelah
Luhak Tanah Datar. Luhak Agam berasal dari Pariangan Padang Panjang dan
kedatangan penduduk ke Luhak Agam pada mulanya empat kaum atau empat rombongan
yang berlangsung empat periode dan tiap periode empat-empat.
Periode pertama keempat
rombongan ini mendirikan empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan
Panampuang. Periode kedua mendirikan nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan
Banuhampu. Periode ketiga lahir nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek
Sarojo.
Periode keempat mendirikan nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan
Batu Palano.
Dengan demikian Luhak
Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian perkembangan
nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang
Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarab.
Dari gugusan Sianok Koto
Gadang berkembang sampai ke Matur, Kampung Panta, Lawang Tigo Balai, sampai ke
ranah Palembayan. Perkembangan ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan
Tujuh Lurah Koto Rantang. Perpindahan selanjutnya telah melahirkan nagari
Kumpulan, Ganggo, Kinali, Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan,
Sasak dan Tiku. Dari Matur perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-muko, XII
Koto Sungai Garinggiang, Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melaui Malalak,
Sigiran, Cimapagok, Ulu Banda dan seterusnya menjadi Limo Koto Malai. Dari
Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani melalui Batu
Anjuang.
Perpindahan dan
perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan perpindahan dari
Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari
Luhak Tanah Datar dan melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri
dari Pasia, Ulak Karang, Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak
Gadang, Ayia Cama, Alang Laweh, Balai Tampuruang.
Dari daerah Kubuang XIII
bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan Padang VIII Koto akhirnya
melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang, Baringin, Bandar Buek, Limau
Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah Lubuak Bagaluang jo Ujuang
Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru, Pampangan, Pasia Gauang,
Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah, Batu Kasek, Parak
Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba, Kampuang Jua, Cangkeh,
Kampuang Baru.
Perpindahan dari
Singkarak, Saniang Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari
Pauah Limo dan Pauah Sambilan, Kandih dan Nanggalo. Dapat diambil kesimpulan
bahwa Koto Padang sekarang merupakan pertemuan dari penduduk yang berasal dari
Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII. Secara historis tepat sekali
kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat, bila dikaitkan wilayah
adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan dengan bandar
Padang tersebut.
3. Luhak Limopuluah Kota
Luhak Limopuluah Kota
disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk luhak Limopuluah Kota terdiri
empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:
1. Sandi
Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro
Mudiak, Nasi Randam hingga Padang Samuik ke tepi yang meliputi nagari Koto Nan
Gadang dan Koto Nan Ampek sekarang ini.
2. Luhak
Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga
Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang,
Sungai Kumuyang, Aua Kuniang, Tanjung Pati, Gadih Angik, Limbukan, Padang
Karambia, Limau Kapeh, Ayia Tabik Nan Limo Suku.
3. Lareh
Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik
Cubadak sampai mudiak hingga Padang Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang
Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan penduduk selanjutnya lahir
nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Baringin, Unggan,
Gunung Sahilan.
4. Ranah
Yang menjadi daerahnya adalah Gantiang, Koto
Laweh, Suliki, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Balai Talang,
Balai Kubang, Taeh, Simalangggang, Piobang,
Sungai Baringin, Gurun, Lubuak Batingkok, Tarantang, Sarilamak, Solok, Padang
Laweh.
5. Hulu
Yang termasuk wilayah hulu dalam luhak Limopuluah Koto adalah yang
Bajanjang ke Ladang Laweh bapintu ka
Sungai Patai, salilik Gunuang Sago, hinggo labuah Gunuang Mudik hinggo balai
Koto Tinggi.
Dari luhak Limopuluah Koto perkembangan
selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo, Tapus Rao Mapat Tunggul, Kubu Nan Duo,
Sinuruik, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik
Batu, Sasak, Sungai Aua, Ayia Balam, Sikilang Ayia Bangih.
Dari niniak
nan balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah membuat
tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Air Tirih. Sebagian
daerah luhak Limopuluah Kota adalah Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Itulah asalnya maka Alam Minangkabau ini terbagi
atas tiga luhak. Masing-masing luhak ini diperintah oleh ninik yang bertiga
tadi.
L. LAREH NAN DUO
Tambo
menyebutkan bahwa sistem pemerintahan di Minangkabau menganut dua sistem,
yaitu: Lareh Koto Piliang dan Lareh
Bodi Caniago.
Sistem
Koto Piliang digagaskan oleh Datuk Ketumanggungan sedangkan sistem Bodi Caniago
oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang. Kelahiran kedua sistem tersebut berlatar
belakang dari sejarah kelahiran kedua tokoh tersebut. Keduanya mempunyai ibu
yang sama berlainan ayah. Ayah Datuk Ketumanggungan seorang raja yang bergelar
Sri Maharaja Diraja. Sedangkan Datuk Parpatih Nan Sabatang ayahnya pembantu
utama raja yang bernama Indta Jati (Catri Bilang Pandai).
Sedari
kecil keduanya telah digambar selalu berkelahi. Sampai dewasa pun mereka selalu
bertentangan dalam menentukan sistem pemerintahan. Sehingga dalam suatu
perbedaan yang digambarkan sangat sengit dan menentukan, Datuk Ketumanggungan
sampai menyentakkan kerisnya lalu menikamkannya pada sebuah batu sehingga batu
itu berlubang tetapi tidak tembus. Datuk Parpatih Nan Sabatang juga
menyentakkan kerisnya lalu menikam batu itu pula tepat pada bekas tikaman
sebelumnya sehingga tembus sampai ke sebelahnya. Batu itu dinamakan rakyat
dengan Batu Batikam yang terletak di nagari Limo Kaum.
Karena
sama-sama bertuah, keduanya pun berdamai dengan menyepakati bahwa kedua sistem
tersebut dapat digunakan oleh masing-masing nagari sesuai dengan pilihannya.
Sistem tersebut dinamakan „Lareh‟.
Tampaknya
perbedaan prinsip antara keduanya ialah berkenaan dengan posisi raja yang
berkedudukan di Pagaruyung. Lareh Koto Piliang menganut sistem yang mengakui
raja sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan Lareh Bodi Caniago menganut sistem
yang mengakui raja sebagai lambang semata. Kedua sistem berhak hidup
bersama-sama dengan eksistensinya masing-masing tanpa membagi wilayah
kehadirannya.
Untuk
menyatakan eksistensi lareh masing-masing dalam menyusun dan mengatur
pemerintahan–bahkan dalam arsitektur–keduanya memperlihatkan langgamnya
masingmasing. Umpamanya, nagari yang menganut Lareh Koto Piliang membagi
wilayah nagari dalam jumlah yang genap, misalnya: IV Koto, VI Koto, X Koto atau
Nan IV, Nan IV dan sebagainya. Status penghulunya bertingkat-tingkat dengan
sistem hirarki yang biasa disebut: Bajanjang
naiak batanggo turun, di mana penghulu yang tertinggi adalah Penghulu
Pucuk.
Penghulu
Pucuk adalah penghulu dari pucuk dari suku yang pertama kali membangun nagari
tersebut. Bangunan rumah adat atau balairungnya mempunyai anjung di kedua
ujungnya dengan lantai yang lebih tinggi sebagai tempat dari penghulu yang
tertinggi menurut hirarkinya. Sedangkan Lareh Bodi Caniago membagi wilayahnya
dengan jumlah ganjil, seperti III Koto, VII Koto, XIII Jorong dan sebagainya.
Status penghulunya setingkat dengan pimpinan pada Penghulu Tuo, yaitu yang
tertua dan dituakan darin semuanya. Sistem pemerintahan bersifat langsung yang
disebut: Duduak sahamparan tagak
sapamatang. Bangunan rumah adat dan balairungnya berlantai rata tanpa
anjung. Khusus untuk balairung bangunannya tidak berdinding.
Pada
sebuah nagari di mana warganya terdiri dari penganut kedua kelarasan tersebut,
sistem yang dipakai dalam pemerintahannya ialah apa yang dinamakan: Bakarilaan, artinya mana yang baik itu
yang dipakai asal ada kesepakatan bersama.
Yang
termasuk Lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto
Piliang disebut: Langgam nan tujuah. Langgam
nan tujuah itu adalah sebagai berikut:
- Sungai Tarab Salapan Batu,
disebut Pamuncak Koto Piliang
- Simawang Bukik Kanduang,
disebut Pardamaian Koto Piliang
- Sungai Jambu Lubuak Atan,
disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang
- Batipuah Sapuluah Koto, disebut
Harimau Campo Koto Piliang
- Singkarak Saniang Baka, disebut
Camin Taruih Koto Piliang
- Tanjuang Balik, Sulit Air,
disebut Cumati Koto Piliang
- Silungkang, Padang Sibusuak,
disebut Gajah Tongga Koto Piliang.
Di
samping langgam nan tujuah, nagari-nagari
lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang
Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang
Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai
Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek. Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang
di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan demikian pusat pemerintahan sudah tidak
di Pariangan Padang Panjang.
Daerah-daerah
yang termasuk Lareh Bodi Caniago disebut juga dalam tambo: Tanjuang nan ampek lubuak nan tigo.
Tanjung
nan ampek:
1.
Tanjuang Alam
2.
Tanjuang Sungayang
3.
Tanjuk Barulak
4.
Tanjuang Bingkuang, Limo Kaum Duobaleh Koto.
Lubuak
nan tigo:
1.
Lubuak Sikarah di Solok
2.
Lubuak Simawang di Talawi
3.
Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu
Di
samping Lubuak nan Tigo dan Tanjuang nan tigo, yang termasuk Lareh Bodi Caniago
juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sambilan anak kotonya. Daerah yang termasuk
XII Koto adalah Tabek, Sawah Tangah, Labuah, Parambahan, Supanjang, Cubadak,
Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan, Sawah Jauah.
Sembilan
koto terdiri dari: Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu,
Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani. Pusat pemerintahan di
Dusun Tuo Limo Kaum.
Suatu
peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan monumen
sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung Adat
inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak Bodi Caniago pada masa
dahulu.
Meskipun
sudah dibagi, di setiap nagari itu selalu sela menyela orang yang dua kelarasan
itu, tetapi yang paling banyak adalah kelarasan Koto Piliang. Perbedaan jumlah
pengikut ini mengakibatkan terjadinya perselisihan antara Datuk Ketumanggungan
dengan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Perselisihan kedua orang besar itu tidak
dapat didamaikan oleh isi Alam Minangkabau karena keduanya sama-sama keras.
Selanjutnya
terjadilah peperangan yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelarasan Koto
Piliang karena jumlah mereka lebih banyak dibandingkan jumlah pengikut
kelarasan Bodi Caniago. Pada masa itu berdirilah pusaka perang, siapa yang
kalah harus mengisi penampuan abu, bila tidak ada yang menang atau seri hanya
berjabat tangan. Dengan kalahnya Lareh Bodi Caniago, maka ia mengisi penampuan
abu kepada Lareh Koto Piliang, dibayar dengan enam ekor kuda oleh datuk-datuk
dari Limo Kaum duabelas Koto dan tiga ekor kuda putih dari datuk nagari nan
tiga, yaitu oleh datuk nagari Tanjuang Sungayang dan Tanjung Gadang. Kedelapan
kuda itu diberi bertali cindai, dibawa ke Delapan Batur, yakni ke nagari Sungai
Tarab.
Nagari
Pariangan Padang Panjang tidak termasuk kepada nagari yang dibagi menjadi dua
kelarasan, sebab nagari itu adalah nagari tertua di Alam Minangkabau. Sehingga
masyarakat di sana mempunyai satu kelarasan yang diberi nama oleh ninik yang
berdua Lareh Nan Panjang.
Nagari
yang termasuk ke dalam Lareh Nan Panjang adalah sehiliran Batang Bengkawas
sampai ke Guguk Sikaladi hilir, terus ke Bukit Tembesi bertupang mudik. Oleh
orangorang tua Lareh nan Panjang itu disebutkan:
Pisang sikelat-kelat hutan
Pisang tembatu bergetah;
Koto Piliang dia bukan
Bodi Caniago dia entah.
Setelah
Datuk Ketumanggungan memenangkan peperangan itu, beliau memberi nama nagari
Limo Kaum duabelas koto itu dengan nama Gajah Gadang Patah Gadingnya, dan
nagari Tanjung Sungayang beliau namakan Tanjung Sungayang nan Bertujuh. Nagari
tempat beliau namakan Tanjung Sungayang nan Bertujuh. Nagari tempat beliau
menetap diberi nama Sungai Tarab Darussalam. Pemberian nama-nama baru ini
sangat menyakitkan hati Datuk Parpatih Nan Sabatang. Begitulah yang diceritakan
oleh orang-ornag tua, benar tidaknya wallahu
alam.
‘
Permufakatan
antara Datuk Ketumanggunganm Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Sri Maharaja
Diraja Nan Banego-nego tentang menetapkan hukum serta cupak gantang yang akan
dipakai dalam Luhak nan tigo Lareh nan duo adalah sebagai berikut:
“Cupak
yang dipakai gantang yang dipicahan kepada setiap luhak di dalam laras nan dua,
adalah cupak yang duabelas tail isinya, dan gantang yang kurang duapuluh lima
tail genap isinya, serta emas yang enam belas berat timbangannya. Yang seemas
empat kupang, sekupang enam kundi merah, hitam bagian tampuknya. Setali tiga
uang, yang seuang satu kundi, yang sateang setengah kundi. Itulah yang dipalut
kata mufakat ninik yang bertiga tadi.”
Meskipun
sudah ada kesepakatan, selalu ada saja perbedaan pendapat di antara ninik yang
bertiga itu. Misalnya menurut pendapat Datuk Ketumanggungan, setiap orang yang
menjadi terpidana, wajib bersumpah baginya. Namun oleh Datuk Parpatih Nan
Sabatang sumpah itu tidaklah perlu, karena semuanya itu adalah anak cucu kita
juga. Oleh Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego perbedaan itu tidak satupun
disetujuinyua, maka pada waktu itu tidak tercapai kata sepakat.
Dengan
takdir Allah, keluarlah seekor ular dari laut. Ular itu menangkap salah seorang
anak Datuk Ketumanggungan dan dibawanya ke banir kayu jati. Maka gemparlah
orang pada masa itu. Ninik yang bertiga kehilangan akal karena anak telah
diliit ular.
Bertanya Datuk
Ketumanggungan kepada ninik yang berdua, “Apa akal kita untuk mengambil anak
itu?”
Menyahut Datuk Parpatih
Nan Sabatang, “Habis budi hamba melihat anak kita itu, jika dibunuh ular itu
niscaya matilah anak kita.”
Berkata Datuk Sri
Maharaja Nan Banego-nego, “Menurut pendapat hamba, kita ambing ranting
jawi-jawi, kita lontarkan kepada banir kayu itu, supaya ular itu lari.”
Maka
dibuat oranglah sebagaimana dikatakan Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego itu,
lalu ranting jawi-jawi itu dilontarkan orang sekuat-kuatnya kepada banir kayu
tempat ular tadi. Ular itu terkejut lalu lari meninggalkan anak Datuk
Ketumanggungan dengan tiada kurang suatu apapun.
Dengan
kejadian itu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang bertambah
segan kepada Datuk Sri Maharaja Nan Banego-nego karena ketajaman akalnya.
Ular dipalu tiada mati
Pamalu tiada patah
Tanah yang dipalu tiada lembang.
Akhirnya
Datuk yang berdua menyadari akibat yang timbul apabila mereka berdua terus
berbantah-bantah karena selalu berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum
yang akan dipakai oleh masyarakat. Mereka sepakat bahwa hukum itu harus diuji
dan dibanding, setiap tandingan itu dipakai pada tempatnya masing-masing.
Adapun
hukum yang akan dipakai di Luhak nan tigo
Lareh nan dua terus ke Batang Rantau, ada tiga perkara:
1.
Hukum Kitabullah
2.
Hukum Ijtihad
3.
Hukum serta saksi
Setelah
putus mufakat itu, maka menghadaplah ninik yang bertiga kepada Daulat Yang
Dipertuan ninik Suri Maharaja Diraja untuk menyatakan hukum itu. Sebelum hukum
itu diberlakukan ketiga ninik itu diminta untuk bersumpah bahwa hukum itu akan
dipakai terus turuntemurun dan tidak boleh diubah-ubah selamanya.
Setelah
itu berjalanlah Daulat Yang Dipertuan le Luhak dan Lareh, ke setiap nagari
untuk memasyarakatkan hukum yang sudah ditetapkan itu. Ditanamlah „kayu batang‟
di setiap nagari untuk tempat mempertaruhkan hukum yang adil, syarak yang
dilazimkan, dan adat yang kawi.
Yang
dimaksud dengan kayu sebatang itu adalah orangorang sebagai penghulu atau kadhi
atau orang-orang besar yang akan menghukum di dalam tiap-tiap nagari, sebagai
wakil raja apabila raja berhalangan, atau pengganti raja bila di nagari itu
tidak mempunyai raja.
Dengan
demikian penghulu yang dijadikan pucuk atau kepala suku, kepala payung dan
kadhi di dalam suatu nagari, bukan saja sebagai kepala kaumnya masing-masing,
tetapi berfungsi juga sebagai raja yang akan memegang kata, memegang hukum yang
sudah ditetapkan oleh kerapatan penghulu-penghulu.
M. RANTAU
Rantau
ialah wilayah Minangkabau yang terletak di luar Luhak nan tigo. Pada mulanya
merupakan wilayah mencari kekayaan secara individual oleh penduduk, baik dalam
bidang perdagangan, usaha dan jasa atau kegiatan lain yang bersifat sementara.
Akan tetapi kemudian menjadi semacam koloni kerajaan Pagaruyung atau koloni
berbagai kekuasaan lain sesuai dengan situasi politik yang berkembang pada
zamannya.
Pergi
ke rantau atau lazim pula disebut merantau, merupakan produk kebudayaan
Minangkabau. Setiap orang, terutama anak muda akan senantiasa didorong dan
ditarik agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara. Filsafat
materialisme Minangkabau mendorong anak muda agar kuat mencari harta kekayaan
guna memperkokoh martabat kaum kerabat agar setaraf dengan orang lain.
Sebuah
pantun memberikan ajaran tujuan pokok agar setiap orang mencari kekayaan, yaitu:
Apo gunonyo kabau batali
Usah dipauik di pamatang
Pauikkan sajo di tangah padang;
Apo gunonyo badan mancari
Iyo pamagang sawah jo ladang
Nak mambela sanak kanduang
(Apa
gunanya kerbau bertali
Usah
dipautkan di pematang
Apa
gunanya kita mencari Untuk mempertahankan sawah dan ladang Hendak membela
saudara kandung).
Tempat
mencari harta kekayaan itu ialah di rantau. Tujuan mencari harta kekayaan untuk
menaikkan harga diri atau meningkatkan martabat kaum kerabat dalam masyarakat
yang bersemangat kompetitif bukanlah satu-satunya motivasi. Struktur sosial
yang dialami oleh kaum laki-laki ikut mendorong setiap orang untuk pergi ke
rantau. Sebuah pantun lain dapat memberikan tafsiran yang melengkapinya, yaitu:
Karakatau madang di hulu
Babuah bungo balun;
Marantau bujang dahulu Di rumah baguno balun.
(Kerakatau
madang di hulu
Berbuah
berbunga belum;
Merantau bujang dahulu
Di rumah berguna belum).
Dalam
masyarakat Minangkabau, seorang laki-laki muda dinamakan bujang. Sebagai bujang
status sosialnya dipandang rendah atau tidak sempurna sebagai warga
masyarakatnya. Dalam rapat-rapat keluarga ia tidak pernah dibawa serta. Tempat
tinggalnya di suatu asrama yang bernama surau dan oleh keluarganya ia
ditugaskan sebagai orang suruhan atau membantu pekerjaan yang tengah
dilaksanakan oleh keluarga.
Untuk
membebaskannya dari posisi tersebut, selain pergi merantau ialah menikah. Tapi
menikah tidaklah mudah.
Lebih-lebih
dengan gadis cantik yang didambakannya. Karena setiap orangtua tidak akan
membiarkan anak gadisnya menikah dengan seseorang yang tidak mempunyai sumber
hidup, pekerjaan atau kekayaan. Untuk memeroleh sumber hidup atau kekayaan,
lebih-lebih pada nagari kecil yang sudah jenuh atau pun sempit, maka salah
satunya cara yang paling baik ialah pergi merantau.
N. NEGERI SEMBILAN
Semasa
dahulu kerajaan Negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Minangkabau. Yang menjadi raja di negeri ini berasal dari keturunan raja
Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama dengan
Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut undang-undang adat di
Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda
cara pemakaiannya.
Perpindahan
penduduk ini terjadi bermula pada abad ke12 yaitu ketika pemerintah menyarankan
supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh di luar negeri. Mereka
terus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru dan kemudian menetap di
daerah itu.
Setengahnya
yang bernasib baik dapat menemui tanah keadiaman yang subur dan membuka tanah
dan membuat perkampungan di situ. Ada pula yang bersatu dengan rakyat asli yang
ditemui mereka dan menjadi pemimpin di sana. Sudah tentu adat-adat,
undang-undang, kelaziman di negeri asalnya dipergunakannya pula di negeri yang
baru itu.
Istana Sri Menanti atau “Istana
Lama” yang merupakan kediaman resmi Yang Di
Sumber:
http://waris-gadong.blogspot.co.id/2011/06/istana-lama-di-seri-menantimenggamit.html
Sebelum
Negeri Sembilan bernama demikian, di Malaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang
terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Malaka menjadi pintu gerbang untuk
menyusup ke daerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebelum berdiri Negeri
Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal
menetap di sini.
Mula-mula
datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk
Raja dengan istrinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di
Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak
kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka dan terus ke Johor.
Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap di
sebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena di sana
ditemui kesan-kesan ular naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.
Rombongan
kedua dipimpin oleh Datuk Raja juga berasal dari keluarga Datuk Bandaro
Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap di sebuah tempat yang
kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.
Rombongan
ketiga datang dari Batusangkar juga, keluarga Datuk Makhudum Sati di Sumanik.
Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini
dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat
sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan
Gunung Pasir.
Rombongan
lain datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka
menepat pada Sutan Sumanik yang sudah dulu membuka perkampungan di Negeri
Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli
ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana
raja yang sekarang ini. Nama asal Seri Menanti adalah diambil dari Padi
Menanti. Pertukaran nama dari Padi Menanti ke Seri Menanti adalah disebabkan
perkataan Padi dalam bahasa Jawa berarti Seri.
Kemudian
berturut-turut datang lagi rombongan lainlainnya antaranya yang dicatat oleh
sejarah Negeri Sembilan. Rombongan yang
bermula mendiami Remabau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan
pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk
Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari kampung Tiga Nenek.
Walaupun
penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaranajaran Datuk Parpatih Nan Sabatang yang
sangat populer di sini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian
seperti di Minangkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai
suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau
negeri asal datangnya.
Berdasarkan
asal kedatangan mereka yang demikian terdapat 12 suku di Negeri Sembilan yang
masing-masing adalah sebagai berikut:
1.
Suku Biduanda/Waris
2.
Suku Batu Hampar
3.
Suku Payakumbuh
4.
Suku Mungka
5.
Suku Tiga Nenek
6.
Suku Seri Malenggang
7.
Suku Seri Lemak
8.
Suku Batu Belang
9.
Suku Tanah Datar
10. Suku Tiga Batu
11. Suku Anak Aceh 12. Suku Anak Melaka.
Raja Negeri Sembilan berasal dari Minangkabau
Dalam
naskah pengiriman raja-raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke Rembau,
Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana ditinjau sejarah
Negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan ke sini Raja Mahmud yang
kemudian bergelar Raja Malewar.
Raja
Malewar memegang kekuasaan antara tahun 17731795. Beliau mendapat 2 orang anak
Tengku Totok dan putri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis
Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih
populer pepatah yang berbunyi:
Beraja ke Johor
Bertali ke Siak
Bertuan ke Minangkabau.
Kedatangan
beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang dimasukkan ke dalam
sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu
masih tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Yang mengherankan
kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam tahun 1795 tidak diangkat
putranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari
Minangkabau.
Maka
dikirimlah Raja Hitam dan dinobatkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan
putri Raja Malewar yang bernama Tengku Aisyah. Satang beliau tidak dikarunai
putra. Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encik Jingka.
Dari istrinya beliau mendapat 4 orang putraputri bernama: Tengku Alang Husin,
Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi.
Ketika
Raja Hitam wafat dalam tahun 1808 mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat
salah seorang putranya. Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung
untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minangkabau
dan besar kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari
Minangkabau dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan di
Minangkabau.
Raja
Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824. Raja Lenggang kawin
dengan kedua putri anak Raja Hitam dan mendapat dua orang putra bernama: Tengku
Radin dan Tengku Imam.
Ketika
Raja Lenggang meninggal, dinobatkan Tengku Radin menggantikan almarhum ayah
beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang
Adat dan Undang-undang yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah
yang turun-temurun menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh
adiknya Raja Imam (1861-1869). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di
Negeri Sembilan:
-
Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 18691871,
-
Yang Dipertuan Antah 1872-1888
-
Tuanku Muhammad 1888-1933,
-
Tuanku Abdul Rahman 3/8/19331/4/1960,
-
Tuanku Munawir Ja‟afar dinobatkan 18/4/1967.
Terbentuknya Negeri Sembilan
Semasa
dahulu kerajaan Negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Minangkabau. Yang menjadi raja di negeri ini berasal dari keturunan raja
Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama dengan
Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut undang-undang adat di
Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi
berbeda cara pemakaiannya.
Perpindahan
penduduk ini terjadi bermula pada abad keXIV yaitu ketika pemerintah
menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh di luar
negeri. Mereka harus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru dan kemudian
menetap di daerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat menemui tanah
kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat perkampungan di situ. Ada
pula yang bersatu dengan rakyat asli yang ditemui mereka dan menjadi pemimpin
di sana. Sudah tentu adat-adat, undangundang, kelaziman di negeri asalnya yang
dipergunakannya pula di negeri yang baru itu.
Sebagaimana
sudah diuraikan orang-orang Minangkabau itu menjalani seluruh daerah: ke Jambi,
Palembang, Indragiri, Tapung Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainnya.
Sebagiannya menyeberangi Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan. Pada abad
ke-XIV pemerintahan mereka di sana sudah mulai tersusun saja. Mereka mendirikan
kerajaan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan kerajaan-kerajaan kecil itu
mereka namakan Negeri Sembilan. Negeri ini terjadi sewaktu Minangkabau mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil ini dan
diperlindungkan di bawah kerajaan Johor. Setelah kesatuan ini terbentuk, denga
mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja di
Negeri Sembilan itu. pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang Dipertuan Seri
Menanti.
Asal-usul
anak negeri di situ kebanyakan dari Luhak Limopuluah Kota yaitu dari:
Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu Hampar, Simalanggang dan
sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari negeri-negeri mana mereka berasal
maka nama-nama negeri itulah menjadi suku mereka. Sebagian tanda bukti bahwa
rakyat Negeri Sembilan itu kebanyakan berasal dari Luhak Limopuluah Kota.
Sampai sekarang masih terdapat kata-kata adat yang populer di Limapuluh Kota:
“Lanun kan datang
merompak Bugis kan datang melanggar.”
Kata-kata adat ini sering tersebut dalam
nyanyian Hikayat Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Di tanah Melaka kata-kata ini
menjadi kata sindiran atau cercaaan bagi anak-anak nakal dan dikatakan mereka
“anak lanun” atau anak perompak.
Kalau
dibawa ke jalan sejarah di atas, maka yang dimaksud dengan “lanun” itu ialah
perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang hendak merampas Negeri Sembilan.
Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja tadi. Dan memang aneh, kata
lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat Limapuluh Kota ini tidak dikenal oleh
rakyat Luhak Agam dan sedikit oleh rakyat Luhak Tanah Datar. Karena memang
fakta sejarah keturunan anak Negeri Sembilan itu sebagian besar dari Luhak
Limopuluah Kota. Nama suku-suku rakyat di sana menjadi bukti yang jelas.
Oleh
karena Sultan Johor sudah memberikan bantuannya dalam melindungi rakyat Negeri
Sembilan ini dari jarahan lanun atau Daeng Kemboja, disebabkan ini pulalah Yang
Dipertuan Pagaruyung memberikan bantuan kepada Sultan Johor ikut bertempur di
Siak untuk memerangi bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak
berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab Negeri Sembilan
khususnya, Indonesia – Malaysia pada umumnya.
O. KERAJAAN MINANGKABAU
Pusat
kerajaan kembali ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan
Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat
Minangkabau. Walaupun telah berganti musim adat Minangkabau tetap terpakai
disebut: Indak lakang dek paneh, indak
lapuak dek hujan. Siapapun di antara putra-putri Minangkabau yang dengan
sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga
sendiri.
Tahun
1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik
kandung dari Datuk Suri Diraja. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga
mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja
Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan
Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tersebut. Maka
Sultan menikah lagi dengan Puti Sidayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah
Sultan Paduko Basa dari pemaisuri Puti Indo Jelita, yang kemudian diangkat
sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketumanggungan.
Tahun
itu juga lahir Warmadewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk
Bandaro Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian
bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja,
masing-masing dari tiga orang ibu. Tahun 1149, Sultan Sri Maharaja Diraja
mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat
dewan kerajaan, ibu suri Putri Indo Jelita langsung memegang tampuk kerajaan
Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian
dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Catri Bilang
Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Dirajo terhadap Puti
Indo Jelita yang telah menjanda, lalu dinikahkan dengan Catri Bilang Pandai.
Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak: Jatang Sutan Balun bergelar
Datuk Parpatih Nan Sabatang (lahir 1152); Si Kalap Dunia bergelar Datuk Sri Maharaja
Nan Banego-nego (lahir 1154); Puti Reno Judah (lahir 1157), kemudian dibawa
oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang ke Limo Kaum untuk keturunannya nanti menjadi
raja dan penghulu; Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa oleh Datuk
Ketumanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti
menjadi raja dan penghulu; dan Mambang Sutan lahir tahun 1611, setelah berumur
4 tahun bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti
Indo Jelita).
Mambang
Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari
mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun,
beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun
menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun
mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelita. Selain itu, semua anak lakilaki
Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.
Tahun
1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Limo
Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu
anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan
penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk,
maka terbentuklah Luhak Nan Tigo. Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa
kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam
daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak
dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku
ibunya.
Untuk
mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada
ibu dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang
demikian disebut matrilinial. Hanya
dua di dunia ini yang memakai aturan matrilinial, satu di daerah pedalaman
Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi, dan satu lagi
berkembang di Sumatera Barat. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk
kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku.
Pada
tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Puti Dara Jingga yang pemangku
Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anbarang, Panglima kerajaan Singasari,
keluarga dari Raja Kertanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa
diislamkan.
Tahun
1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke
Singasari dipanggil oleh raja pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara
Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh
anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan di kerajaan Majapahit lahirlah anak
dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman, Puti Dara Petak, dinikahi
oleh raja Majapahit, Raden Wijaya.
Puti
Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuneswari. Walaupun telah menjadi
istri raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan
Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan sudah sangat tua, maka tahun 1295 Puti
Dara Jingga dipanggil pulau ke Minangkabau untuk menjadi raja di Minangkabau
dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman
tetap tinggal di kerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau
melepasnya pulang dan ingin terus mengasuh anak kakaknya itu.
Setelah
Bundo Kanduang menjadi raja di Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan
mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Parpatih Nan
Sabatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bandahari (dayang-dayang utama dari
Bundo Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gombak (1292) yakni seorang
diplomat utusan dari kerajaan Cina (Khubailai Khan). Sebelum menikah terlebih
dahulu Selamat Panjang Gombak diislamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang
anak bernama Cindur Mato, tahun 1294.
Cindur
Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrang yang teringat akan anak kandungnya
Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat oleh
ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang
pendekar yang tangguh dan panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan di
zamannya.
Sementara
itu Adityawarman yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang
dan ilmu kerajaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang
merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Mahapatih. Karena itu
Adityawarman salah seorang Tri Tunggal
Kerajaan Majapahit.
Setelah
dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kanduang dan kawin dengan Puti
Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi, Taluk Kuantan. Sebelum
menikah Adityawarman yang menganut
Budha, terlebih dahulu diislamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan
menjadi raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumanduang). Pernikahan
Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman.
Gajah
Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit.
Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan.
Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada tahun 1348, tapi gagal, malah
Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau di
bawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau
telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana di kerajaan Majapahit masih mencoba
menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, akan tetapi tidak berhasil. Itu
merupakan serangan terakhir terhadap Minangkabau.
Kalau
di zaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang, kerajaan
Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan falsafahnya, maka di zaman Bundo
Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan
keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak
terdengar lagi kegiatan raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya
tidak lagi membuat perubahan, baik untuk kerajaan maupun untuk rakyat yang
memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian
sempurnanya aturan adat di kerajaan Minangkabau sangat pula membantu
pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak
(agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.
P. RAJO TIGO SELO
Raja
Pagaruyung, yang disebut juga sebagai Raja Alam, melaksanakan tugas-tugas
pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu
Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur
Kudus. Bersama, mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, yang artinya tiga orang
raja yang
“bersila”
atau bertahta.
Rajo
Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang
dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Tiga orang raja
masing-masing terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal
dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu
Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja. Itulah sebabnya sejarah
mencatat bahwa raja Melayu sewaktu didatangi Mahisa Anabrang dari Singosari
yang memimpin ekspedisi Pamalayu bernama Tribuana Raja Mauli Warmadewa. Arti
kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal dari keluarga Mauli
Warmadewa.
Antara
anggota Rajo Tigo Selo selalu berusaha menjaga hubungan kekerabatan yang sangat
dekat dengan cara saling mengawini dengan tujuan untuk memurnikah darah
kebangsawanan di antara mereka, juga untuk menjaga struktur tiga serangkai
kekuasaan agar tidak mudah terpecah belah.
Raja
Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja
Alam memutuskan hal-hal mengenai kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat
mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan,
dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan dan
pendidikan. Bila ada masalah yang tidak sesuai barulah dibawa kepada raja
Pagaruyung.
Masing-masing
raja mempunyai daerah kedudukan masing-masing. Raja Alam berkedudukan di
Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di
Sumpur Kudus. Hal itu berarti bahwa Raja Adat maupun Raja Ibadat tidaklah
berasal dari Buo dan Sumpur Kudus, sebagaimana pendapat sebagian orang yang
kurang memahami konstelasi dan hubungan antara raja-raja tersebut.
Selain
mempunyai daerah kedudukan tersendiri, Raja Alam menguasai daerah-daerah
rantau. Pada setiap daerah Raja Alam mengangkat wakil-wakilnya yang diberi
kewenangan mewakili kekuasaan raja disebut Urang
Gadang atau Rajo Kaciak. Mereka
setiap tahun mengantarkan ameh manah kepada
raja. Daerah-daerah rantau tersebut terbagi dalam dua kawasan yang lebih luas;
rantau pantai timur dan rantau pantai barat.
Yang
termasuk ke dalam rantau pantai timur adalah: Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan)
disebut juga Rantau Tuan Gadih; Rantau dou baleh koto (sepanjang batang Sangir)
disebut juga Nagari Cati Nan Batigo; Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan
sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu; Rantau Bandaro nan
44 (sekitar Sei Tapung dan Kampar); Negeri Sembilan. Sedangkan rantau pantai
barat mencakup daerah-daerah: Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan
disebut juga Rantau Rajo; Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Sarambi Sungai
Pagu.
Q. BASA AMPEK BALAI
Dalam
struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo dibantu oleh orang
besar atau Basa yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar
yang mempuyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah
sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung.
Pertama, Datuk Bandaro yang
bertugas sebagai Panitahan atau Tuan Titah mempunyai kedudukan di Sungai Tarab
dengan gelar kebesarannya Pamuncak Koto
Piliang. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari
anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan.
Kedua, Tuan Makhudum yang
berkedudukan di Sumaniak dengan julukan Aluang
Bunian Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan keuangan.
Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan
di Saruaso dengan julukan Payuang Panji
Koto Piliang dengan tugas pertahanan dan perlindungan kerajaan.
Keempat, Tuan Khadi berkedudukan
di Padang Ganting dengan julukan Suluah
Bendang Koto Piliang dengan tugas mengurusi masalah-masalah keagamaan dan
pendidikan.
Dalam
struktur dan tatanan kerja para pembesar kerajaan dalam kerajaan Pagaruyung
tersebut, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan
seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan
anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang berkedudukan di Batipuah
dengan julukan Harimau Campo Koto
Piliang.
Tuan
Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi kedudukannya setara dengan
masing-masing anggota Basa Ampek Balai. Tetap takluk kepada raja. Setiap Basa,
mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah daerah kedudukannya.
Masing-masing membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya,
tergantung kawasannya masing-masing. Setiap Basa diberi wewenang oleh raja
untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut pajak atau cukai yang
disebut ameh manah. Misalnya, Datuk
Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir
timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan
Khadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Cara
kerja Basa Ampek Balai yang agak lengkap diterangkan dalam kaba Cindua Mato,
sebuah kaba yang dianggap sebagai legenda, bahkan juga ada yang menganggapnya
sebagai bagian dari sejarah kerajaan Pagaruyung. Di dalam kaba Cindua Mato,
Basa Ampek Balai mempunyai peranan yang cukup penting dalam menentukan sebuah
keputusan yang akan diambil oleh raja Minangkabau. Menurut kaba tersebut, Basa
Ampek balai dapat diangkat dan diberhentikan oleh Bundo Kanduang atau raja
Minangkabau. Kekuasaan dan kebesaran mereka semua berkat pemberian dan keizinan
Bundo Kanduang.
Ketika
terjadi tragedi pembunuhan raja-raja Pagaruyung dan para pembesar kerajaan di Koto
Tangah dalam masa Perang Paderi, semua Basa Ampek Balai ikut terbunuh.
Setelah
Yang Dipertuan Alam Bagagar Syah raja alam Minangkabau ditawan Belanda dan
dibuang ke Betawi pada 1833. Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu sebagai
pengganti dan pelanjut Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah mendandani
kembali perangkat kerajaan dengan mengangkat kembali Basa Ampek Balai.
R. LANGGAM NAN TUJUAH
Di
dalam sistem pemerintahan kerajaan Pagaruyung, selain adanya institusi raja,
yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo dan pembantu-pembantu raja yang
dikenal dengan Basa Ampek Balai, di bawah Basa Ampek Balai ada enam orang
gadang yang masing-masing juga mempunyai daerah dan kedudukan tersendiri dengan
tugas dan kewenangan tersendiri pula. Keenam orang besar ini bersama
pimpinannya Panitahan Sungai Tarab disebut Gadang Nan Batujuah atau lazim juga
disebut Langgam Nan Tujuah yang terdiri dari:
1. Pamuncak Koto Piliang, kedudukan dan derahnya
di Sungai Tarab Salapan Batu, sebagai pimpinan Langgam Nan Tujuah.
2. Gajah Tongga Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
di Silungkang dan Padang Sibusuak, sebagai kurir dan menjaga perbentengan
bagian selatan Minangkabau.
3. Camin Taruih Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Singkarak dan Saningbaka yang bertugas sebagai badan penyelidik.
4. Cumati Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Sulit Air yang bertugas sebagai pelaksana hukum.
5. Pardamaian Koto Piliang, kedudukan daerahnya
Simawang dan Bukit Kanduang yang diberi tugas untuk menjadi pendamai dari
nagari-nagari yang bersengketa.
6. Harimau Campo Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
Batipuah Sapuluah Koto, sebagai panglima perang.
7. Pasak Kungkuang Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya
di Sungai Jambu dan Labuatan dengan tugas utamanya mengawasi keamanan dalam
nagari.
S. STRUKTUR ADAT KERAJAAN PAGARUYUNG
Sebelum menyebutkan struktur
adat kerajaan Pagaruyung, ada beberapa istilah yang mesti
dipahami. Yaitu, Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Kapai Radai, Dan Timbang Pacahan.
Sapiah balahan yaitu keturunan raja
dari pihak perempuan secara matrilineal yang dirajakan di luar Pagaruyung.
Sekiranya keturunan raja yang ada di Pagaruyung punah, mereka „sapiah balahan‟
itu berhak mewarisi dan melanjutkan kerajaan. Jika sapiah balahan masih ada,
belum akan diserahkan pewarisan raja kepada pihak lain.
Kemudian dari itu ada yang disebut „kuduang
karatan‟. Maksudnya adalah, keturunan raja Pagaruyung itu dari pihak sebelah
laki-laki. Mereka pula tidak dapat menjadi raja di Pagaruyung, sekalipun
pewaris raja Pagaruyung itu punah. Mereka hanya berhak menjadi raja pada
daerah-daerah yang telah ditentukan bagi mereka untuk menjadi raja. Kenapa?
kerana mereka tidak berada dalam lingkar garis matrilineal, kerana ibu mereka
bukan dari keturunan raja Pagaruyung.
Selanjutnya ada juga yang disebut „kapak radai, dan timbang pacahan‟.
Kedua kelompok ini pula terdiri dari orang-orang besar, raja-raja di rantau,
datuk-datuk perangkat raja Pagaruyung yang diangkat dan diberi penghormatan
oleh raja Pagaruyung. Tetapi malangnya ada sebahagian dari mereka sudah
menganggap pula sebagai keturunan raja Pagaruyung, padahal mereka hanya kaki
tangan raja saja.
Pagaruyuang
mencatat sekitar 38 kerajaan “ SAPIAH BALAHAN KUDUANG KARATAN”, Kemudian
sekitar 36 kerajaan kecil kelompok “KAPAK RADAI, DAN TIMBANG PACAHAN”
I. Rajo Tigo Selo
1. Daulat yang Dipertuan
Rajo Alam di Pagaruyuang
2. Yang Dipertuan rajo adat
di Buo
3. Yang Dipetuan Rajo
Ibadat di Sumpur Kudus
II. Basa Ampek Balai
1. Tuanku Panitahan Dt.
Bandaro Putiah di Sungai Tarab
2. Tuan Indomo di Suruaso
3. Tuan Mackhudumsyah di
Sumaniak
4. Tuan Khadi di Padang
Gantiang
5. Tuan Gadang Dt. Pamuncak
Alam sati di Batipuah
III.
Gajah Gadang Patah Gadiang 1. Dt.Bandaro Kuniang di Limo Kaum
IV.
Sapiah Balahan Kuduang Karatan 1. Yang dipertuan Padang
Nunang Rao.
1.
Yang Dipertuan Parit Batu, Pasaman Barat
2.
Yang Dipertuan Kinali, Pasaman Barat
3.
Yang Dipertuan Tiku, Pariaman
4.
Yang Dipatuan Alam Surambi Sungai Pagu Tuanku
Rajo Di Sambah di Muaro Labuah.
5.
Sutan Indrapura, Pesisir Selatan.
6.
Sutan Muko-Muko di bengkulu selatan
7.
Rajo Alam Jambu Lipo Tuanku Ceti Bagindo Tan
Ameh, Lubuak Tarok Sijunjuang
8.
Tuanku Sati di Pulau Punjuang
9.
Tuanku Bagindo Ratu di Si Guntur
10. Rajo di Koto Basa,
Tuanku Sri Maharajo di Rajo
11. Rajo di Padang Laweh,
Tuanku Bagindo Murad
12. Yang Dipatuan Gunuang
Hijau Gunung Sahilan
13. Tuanku Tambusai
14. Tuanku Rambah di Rokan
Hulu
15. Sultan Koto Pinang di
Rantau Prapat
16. Yang Dipertuan Besar
Negeri Sembilan
17. Sultan Barus, Sultan
Maharaja Diraja
18. Sultan Serdang di Deli
serdang
19. Tuanku Mudo Bisai di
Kuantan Singingi
20. Tuanku Jelo Sutan di
Kuantan Singingi
21. Rajo Koto Anau
Dt.Bagindo di Solok
22. Yang Diupertuan Besar
Lubuak Gadang di Sijunjuang
23. Rajo Alahan Panjang
Solok. Tuanku Alam Jamah Rajo di Sambah .
24. Rajo Sariak alahan Tigo
di solok
25. Rajo Tarusan. Dt.Bagindo
Sari Sutan Basa
26. Rajo Cubadak tuanku Rajo
Sontang, Pasaman
27. Rajo Pariaman
28. Rajo Bayang nan Sapuluah
Koto Salapan, Pesisir Selatan
29. Yang Dipertuan Besar
ranah Pantai Cermin-Solok
30. Rajo Tanah Hyang Depati
Atur Bumi – Kerinci
31. Rajo Indragiri Sri
Maharaja Sakti
32. Sulktan Siak- Bengkalis
33. Rajo Sungai Limau- Bengkulu
34. Rajo di aie Haji-
Pesisir Selatan
35. Tuanku Rajo Kaciak di
Padang
36. Tuanku Rajo Mudo di
Sungai Ngiang Rejang Lebong- Bengkulu
37. Tuanku Asri di Jambi
V. Kapak Radai dan Timbang
Pacahan
1. Datuak Marajo Simagayua
dari Pitapang Situjuah Banda Dalam adalah Rajo di Hulu
2. Datuak Rajo Indo nan
Mamangun dari Aia Tabik adalah Rajo di Luhak
3. Datuak Paduko Marajo
dari Sitanang Muaro Lakin adalah Rajo di Lareh
4. Datuak Bandaro Hitam
dari Payobada Talago Gantiang adalah Rajo di Ranah
5. Datuak Permato Alam Nan
Putiah dari Si Pisang Koto Nan Gadang adalah Rajo di Sandi
6. Datuak Dubalai di Muaro
Takus
7. Undang Luak Naniang di
Malaysia
8. Pucuak Bulek Dt. Bandaro
Panjang di Biaro Agam
9. Pucuak Bulek Dt. Bandaro
Kuniang di Baso Agam,
10. Pucuak Bulek Inyiak Nan
Bagombak di Koto Gadang Agam
11. Pucuak Bulek Tuanku
Bagindo Kali di Bonjol Pasaman
12. Rajo sakai Batin Iyo
Bangso
13. Caramin Dt.Nan Kayo di
Solok Salayo
14. Kaco Bandorong
Dt.Pangeran Sari Pado di Solok Salayo
15. Pucuak Bulek Ba Urek
Tunggang lambah nan bajawi-jawi Dt. Tan Basa
16. Pucuak Bulek Ba Urek
Tunggang Koto Gaek sungai Bintungan Dt. Bandaro Basa
17. Urang Tuo Koto sabaleh
Dt. Rajo Magek 18. Parik paga Nagari Guguak Dt.Panglimo Sutan.
19. Pucuak Undang Kumanih,
Dt Inyiak Cumano Kumanih Sijunjuang
20. Pucuak Pusako Kumanih,
Dt. Rangkayo Basa
21. Pucuak Syarak Kumanih,
Dt. Inyiak Jalelo
22. Rajo Ampang
parak-Pancung soal- Pesisir Selatan
23. Pucuak Bulek Koto Rajo –
Kuantan
24. Pucuak Bulek Sungai
Lundang Dt. Rajo Magek
25. Rajo Alam Koto Baru
Solok Dt. Bongsu Talanai Sati
26. Rajo Adat Koto Baru
Solok Dt.Labuah
27. Rajo Ibadat Koto Baru
Dt. Bandaro Hitam
28. Rajo Adat Salayo Dt.
Yang Pituan Sati
29. Rajo Ibadat Salayo .Dt
yang Pituan Mudo
30. Rajo Lubuak Jambi-
Indragiri Hulu
31. Tapatan Rajo di
Supayang- Situmbuak
32. Tapatan Rajo Di
sungayang Dt. Rajo Pangulu nan Bakuku Ameh
33. Tapatan Rajo di Pitalah
Dt. Rangkayo hitam
34. Pucuak Bulek Limo Koto
Diateh- Lintau Dt. Simarajo di Lubuak Jantan
35. Pucuak Bulek Inuman
Kuantan Singingi Dt.Dono Sinukaro
36. Urang Gadang Kuantan
Singingi- Dt. Rajo Mangkuto dan dt. Bandaro.
VI. Langgam Nan Tujuah Koto
Piliang
1.
Tampuak Tangkai Alam Koto Piliang, Pariangan
Padang Panjang : Dt. Bandaro Kayo dan
2. Dt.Maharajo Basa
3.
Pasak Kungkuang Koto Piliang. Labuatan Sungai
Jambu Dt. Alibasa Batuah
4.
Pardamaian Koto Piliang, Simawang dan Bukik
Kanduang
5.
Cemeti Koto Piliang,Sulik Air dan tanjuang Balik
Dt. Rajo Endah
6.
Camin
Taruih Koto Piliang, Singkarak dan saniang Baka Dt. Nan Gadang
7.
Harimau Campo Koto Piliang, di Batipuah
8.
Gajah Tongga Koto Piliang, Padang Sibusuak
Silungkang