Oleh : Syaiful
Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Meminta Odol Pada Tuhan
Kisah nyata dari seseorang yang dalam episode hidupnya sampai ia melewati dalam penjara. Bermula dari hal yang sepele. Lelaki itu kehabisan odol di penjara. Malam itu adalah malam terakhir odol yang tersisa untuk esok hari. Dan ini jelas-jelas sangat menyebalkan. Istri yang telat berkunjung, anak-anak yang melupakannya dan diabaikan oleh para sahabat, muncul menjadi kambing hitam yang sangat menjengkelkan. Sekonyong-konyong lelaki itu merasa sendirian, bahkan lebih dari itu, tidak berharga! Tertutup bayangan hitam yang kian membesar dan menelan dirinya itu, tiba-tiba saja pikiran nakal dan iseng muncul. Bagaimana jika ia meminta odol pada Tuhan?
Berdoa untuk sebuah kesembuhan sudah berkali-kali kita dengar mendapatkan jawaban dari-Nya. Meminta dibukakan jalan keluar dari setumpuk permasalahan pun bukan suatu yang asing bagi kita. Begitu pula dengan doadoa kepada orang tua yang telah berpulang, terdengar sangat gagah untuk diucapkan. Tetapi meminta odol kepada Sang Pencipta jutaan bintang gemintang dan ribuan galaksi, tentunya harus dipikirkan berulang-ulang kali sebelum diutarakan. Sesuatu yang sepele dan mungkin tidak pada tempatnya. Tetapi apa daya, tidak punya odol untuk esok hari–entah sampai berapa hari-amat menjengkelkan hatinya. Amat tidak penting bagi orang lain, tetapi sangat penting bagi dirinya.
Maka dengan tekad bulat dan hati yang dikuat-kuatkan dari rasa malu, lelaki itu memutuskan untuk mengucapkan doa yang ia sendiri anggap gila itu. Ia berdiri ragu-ragu dipojok ruangan sel penjara, dalam temaram cahaya, sehingga tidak akan ada orang yang mengamati apa yang ia lakukan. Kemudian dengan cepat, bibirnya berbisik, “Tuhan, Engkau Maha Mengetahui, aku sangat membutuhkan benda itu”. Doa selesai. Wajah lelaki itu tampak memerah. Terlalu malu bibirnya mengucapkan kata amin. Dan peristiwa itu berlalu demikian cepat, hingga lebih mirip dengan seseorang yang berludah di tempat tersembunyi. Tetapi walaupun demikian ia tidak dapat begitu saja melupakan insiden tersebut. Sore hari diucapkan, permintaan itu menggelisah-kannya hingga malam menjelang tidur. Akhirnya, lelaki itu –walau dengan bersusah payah-mampu melupakan doa sekaligus odolnya itu.
Tepat tengah malam, ia terjaga oleh sebuah keributan besar di kamar selnya.“Saya tidak bersalah, Pak!!!”, teriak seorang lelaki gemuk dengan buntalan tas besar di pundak, dipaksa petugas masuk kekamarnya,” Demi Tuhan Pak !!!
Saya tidak salah !!! Tolong Pak…Saya jangan dimasukin
kesini Paaaaaaaaak..!!!”
Sejenak ruangan penjara itu
gaduh oleh teriakan ketakutan dari „tamu baru‟ itu.“Diam !!”, bentak sang
petugas, “Semua orang yang masuk keruangan penjara selalu meneriakkan hal yang
sama!! Jangan harap kami bisa tertipu !!!!”
“Tapi Pak…Sssa..”
Brrrraaaaang !!!!
Pintu kamar itu pun dikunci dengan kasar. Petugas itu meninggalkan lelaki gemuk dan buntalan besarnya itu yang masih menangis ketakutan. Karena iba, lelaki penghuni penjara itu pun menghampiri teman barunya. Menghibur sebisanya dan menenangkan hati lelaki gemuk itu. Akhirnya tangisan mereda, dan karena lelah dan rasa kantuk mereka berdua pun kembali tertidur pulas.
Pagi harinya, lelaki penghuni penjara itu terbangun karena kaget. Kali ini karena bunyi tiang besi yang sengaja dibunyikan oleh petugas. Ia terbangun dan menemukan dirinyanya berada sendirian dalam sel penjara. Lho mana Si Gemuk, pikirnya. Apa tadi malam aku bemimpi ? Ah masa iya, mimpi itu begitu nyata ?? Aku yakin ia disini tadi malam.
Dia bilang, “Itu buat kamu
!!”, kata petugas sambil menunjuk ke buntalan tas di pojok ruangan. Lelaki itu
segera menoleh dan segera menemukan benda yang dimaksudkan oleh petugas. Serta
merta ia tahu bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. “Sekarang dia dimana Pak ?”,
tanyanya heran.
“Ooh..dia sudah
kami bebaskan, dini hari tadi…biasa salah tangkap !”, jawab petugas itu enteng,
”saking senangnya orang itu bilang tas dan segala isinya itu buat kamu”.
Petugas pun
ngeloyor pergi.
Lelaki itu masih
ternganga beberapa saat, lalu segera berlari kepojok ruangan sekedar ingin
memeriksa tas yang ditinggalkan Si Gemuk untuknya.
Tiba-tiba saja lututnya terasa lemas. Tak sanggup ia berdiri. “Ya..Tuhaaannn !!!!”, laki-laki itu mengerang. Ia tersungkur dipojok ruangan, dengan tangan gemetar dan wajah basah oleh air mata. Lelaki itu bersujud di sana, dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Disampingnya tergeletak tas yang tampak terbuka dan beberapa isinya berhamburan keluar. Dan tampaklah lima kotak odol, sebuah sikat gigi baru, dua buah sabun mandi, tiga botol sampo, dan beberapa helai pakaian sehari-hari.
Berdoa dengan sepenuh hati
adalah kunci. Allah, adalah Tuhan yang kemampuan-Nya tidak terbatas. Allah,
adalah Zat Yang Mahakaya, yang kekayaannya pun tak terbatas.
Jangankan makhluk meminta „odol‟- seperti dipaparkan pada kisah di atas meminta seisi bumi pun akan Dia berikan jika kita benar-benar meyakini dengan sepenuh hati.
Namun, ya itulah manusia. Sudah Tuhan fasilitasi dengan doa, manusia kadang tidak yakin, separo-separo, menganggap Tuhan tidak mampu. Sehingga ketika kesusahan menimpa, yang timbul bukan pengharapan, tapi keputusasaan. Sehingga ketika masalah menimpa bukan Tangan Tuhan yang ia raih, tapi justru kekuatan makhluk yang lemah, sama halnya dengannya.
Lihatlah…perhatikanlah…bukankah banyak keajaiban dalam hidup ini yang tidak bisa ditangkap dengan nalar kita? Namun, disitulah Tuhan menampakkan kekuasaan-Nya. Simaklah kisah tentang odol di atas, betapa hal yang mustahil dan sepele pun Allah kirimkan kepada penghuni penjara tersebut.
Untuk menutup alinea ini,
sebaiknya kita renungkan perkataan seorang bijak: “Seandainya saja engkau
mengetahui betapa dirimu dicintai-Nya, hatimu akan berpesta pora setiap
saat.”
|
Paspor
Dikisahkan, seorang lelaki tinggal di Inggris. Namun, beberapa pekan lagi masa tinggalnya di Inggris berakhir, itu berarti ia harus memperpanjang visa tinggal di Departemen Dalam Negeri sebelum masa berlakunya habis, dan proses perpanjangan ini tidaklah rumit apabila berkasberkas yang dibutuhkan lengkap. Ia pun kemudian menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, namun beberapa hari itu ia tidak mengurusnya karena banyaknya pekerjaan yang harus ia lakukan.
Hingga sepucuk surat dari bagian urusan tinggal orang asing di Markas Kepolisian setempat datang kepadanya agar segera memenuhi panggilan tersebut, bila tidak visa tinggalnya akan segera dibatalkan. Maka, ia kemudian mengambil berkas dan surat-surat keluarga yang telah ia siapkan sebelumnya dan meletakkannya di dalam sebuah kantong plastik agar tidak menggoda mata perampok yang berkeliaran di wilayah tersebut. Karena apa yang ada di tangannya sekarang adalah harta paling berharga yang dimiliki seorang pendatang Palestina sepertinya.
Karena hari masih pagi, lelaki tersebut kemudian menuju kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun alangkah terkejutnya ia tatkala menemukan pintu kantornya, Organisasi Mahasiswa Muslim, tergeletak begitu saja di atas tanah. Ia baru sadar ternyata para perampok telah menyerbu kantornya dan mengambil barang-barang berharga yang ada di dalamnya. Ia kemudian menghubungi polisi dan beberapa kawan yang belum datang pagi itu.
Setelah memperbaiki dan membenahi kantor tersebut, lelaki itu kemudian pulang ke rumah dalam keadaan bingung, karena paspor dan berkas-berkas untuk mengurus izin tinggal yang harus ia bawa ke Markas Kepolisian lenyap entah di mana. Istri dan anak-anaknya juga tidak tahu menahu tentang hal itu. Ia kemudian memeriksa di dalam mobil, di laci kamar, di dalam kantor, namun semuanya nihil. Selama sepekan lamanya ia mencari berkas-berkas berharga sambil berharap seseorang datang membawanya setelah menemukannya di jalan, atau melalui pihak kepolisian setelah melaporkan peristiwa yang telah dialaminya, tapi semua itu sia-sia belaka.
Akhirnya panggilan kedua pun datang setelah Markas Kepolisian memberinya kesempatan selama seminggu untuk mencarinya. Surat itu juga berarti bahwa ia dan keluarga harus kembali ke tanah air. Maka pada hari itu ia segera bersiap memenuhi panggilan itu, namun sebelum ke Kantor Kepolisian, ia terlebih dahulu mampir di kantornya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, “Mengapa saya tidak shalat dahulu dan berdoa kepada Allah agar Dia memudahkan urusanku?” Ia pun kemudian mengambil air wudhu dan shalat duha dua rakaat. Tatkala ia sujud, ia pun berdoa dengan hati yang tulus dan penuh harap pada-Nya, “Ya Allah, Dzat yang Maha Mengetahui kesulitan, bebaskan hamba dari kesulitan ini dan tunjuki hamba dari kesesatan ini.”
Subhanallah, tatkala ia bangkit dari sujud, ketenangan yang selama ini hilang darinya, mulai menyergap jiwa dan perasaannya. Ketika ia mengucapkan salam ke kiri, tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada sebuah plastik hitam yang tergeletak di bawah meja. Antara percaya dan tidak, saya segera meraih plastik itu dan membukanya dengan tangan gemetar. Ia bergumam,
“Alhamdulillah, inilah yang saya cari-cari selama ini. Paspor, surat-surat keluarga dan berkas-berkas lainnya lengkap, tak kurang sedikitpun.”
Lalu ia meletakkan plastik dan segera sujud syukur di hadapan Allah atas karunia-Nya. „Allahu Akbar!‟ Pekiknya dalam. Hati. Tanpa terasa air mata membasahi pipinya, “Kenapa tidak sejak dulu saya melakukan hal ini?” Ia membatin. Ketika itu ia baru teringat bahwa benda itu dahulu ia letakkan di samping meja, kemudian tertutup benda lainnya ketika kantor ini dibenahi.”
Shalat dan doa adalah sebuah kekuatan mahadahsyat. Shalat dan doa adalah dua sumber kekuatan yang Allah sediakan kepada kita. Ketika kebuntuan menimpa kita, maka Allah menyuruh kita menegakkan shalat dan mengangkat kedua tangan dengan penuh kerendahan. Niscaya, Dia akan berikan ketenangan dan memberikan jalan keluar.
Tujuh
Tahun Menunggu Tangisa Bayi
Adalah seorang ikhwan sudah menikah selama 7 tahun. Ia sangat bahagia dengan pernikahannya. Selain di rumahnya, di tempat kerjanya pun ia cukup senang, karena rekan kerjanya baik-baik. Namun, dalam kebahagiaannya itu tiba-tiba saja ia dihantui oleh rasa bosan. Bukan bosan kerja atau pun ingin cerai dengan istrinya, namun ia merasa bosan karena sudah sekian lama menikah belum juga dikaruniai anak.
Ikhwan ini bukan tidak pernah berusaha. Ia dan istrinya sudah sekian kali bahkan tak terhitung banyaknya berkonsultasi ke dokter, berobat kesana kemari. Hampir semua usaha sudah ia tempuh. Bahkan ia juga pernah berobat ke luar negeri. Setiap kali ia mendengar seorang dokter ahli dalam masalah ini, ia segera mendatanginya. Obat ini obat itu diberikan, namun hasilnya tetap nihil.
Ia dan istrinya sering mendiskusikan tentang dokter tertentu, apa yang dia katakan, apa jenis obatnya dan bagaimana terapi berikutnya. Berbagai jenis pemeriksaan dan pengobatan terus berlanjut selama setahun atau dua tahun. Kami merasakan jangka waktunya amat lama. Satu dokter memberi tahu bahwa ia-lah yang mandul, dan dokter memberitahu bahwa istrinyalah yang mandul. Sementara itu rengekan bayi terus membayangi perasaan mereka.
Ia dan istrinya benar-benar harus menebalkan perasaan. Ada seorang wanita yang bertanya kepada istrinya, apa lagi yang ditunggu? Mengapa tidak segera mau mengandung dan melahirkan? Seakan-akan segala urusan ada di tangannya. Ada wanita lain yang menganjurkan agar kami mendatangi dokter tertentu. Karena ada seseorang yang datang ke sana dan akhirnya bisa mempunyai anak.
Begitulah orang-orang disekitar mereka. Berbagai pertanyaan yang memojokkan diajukan. Tak seorang pun yang menganjurkan agar memohon dan berdoa kepada Allah.
Tujuh tahun telah berlalu dan mereka selalu mengekor di belakang dokter ini dan dokter itu. Tak sekalipun mereka menghadap secara tulus kepada Allah, dan mereka tak memanjatkan doa kepada-Nya.
Pada suatu senja, ikhwan itu
hendak menyeberang jalan. Ternyata di sampingnya ada seorang tua renta yang
juga ingin menyeberang. Ia pun memegang tangannya, dan menyeberang satu jalur.
Ia berhenti di pembatas jalur, di tengah. Cukup lama ia dan si tua renta itu
menunggu sepinya kendaraan untuk bisa menyeberang lagi. Pada saat itu si tua
renta bertanya kepada si ikhwan itu–setelah mengucapkan terimakasih–, ”Apakah
engkau sudah menikah?”
”Sudah,” jawab si ikhwan
itu.
”Berapa putra?” ”Belum
punya.”
”Baru menikah
ya?”
”Tidak. Saya sudah tujuh tahun menikah. Tapi Allah belum menakdirkanku mempunyai keturunan,” jawab ikhwan itu seraya mengajak si tua renta menyeberang lagi.
Tatkala si ikhwan itu hendak meninggalkan si tua renta, si tua renta pun berkata, ”Wahai anakku, aku juga pernah mengalami hal serupa, lalu aku berdoa setiap sesudah shalat, “Rabbi la tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin” [Ya Allah, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik].”[1] Alhamdulillah, akhirnya saya mempunyai tujuh anak. Jadi jangan lupa, doa!”
Sesampai di rumah, si ikhwan tersebut langsung bercerita kepada istrinya, dan mereka langsung seperti tercenung. Mengapa selama ini meinggalkan doa, sementara selama ini hanya mengandalkan para dokter? Mengapa tidak mengetuk pintu Allah, padahal pintu-Nya luas dan lebih dekat?
Barulah istrinya ingat, dua tahun yang lalu ada seorang wanita temannya yang menganjurkannya agar banyak berdoa. Tetapi pada saat itu memang mereka sedang hanyut dalam pengobatan seorang dokter yang mereka anggap sangat mumpuni, sehingga mereka selalu merujuk kepada dokter untuk urusan apapun.
Akhirnya sepasang suami istri itu menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati. Mereka mendirikan shalat di tengah malam, berzikir dan berdoa. Tak salah, ternyata doa mereka dikabulkan. Mereka akhirnya bisa mendengar tangisan bayi. Ya mereka akhirnya punya momongan.
Mereka
sujud syukur. Air mata bahagia mengalir deras. Kini doa mereka adalah:
”Wahai
Tuhan kami, anugerahilah kepada kami istriistri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Tidak ada yang ‟mustahil‟
dalam ‟Kamus Kehebatan Tuhan‟. Yang ada justru kata ‟ajaib‟, ‟dahsyat‟, ‟luar
biasa‟, ‟mungkin dan bisa terjadi‟. Lihatlah, betapa si lelaki tadi
berkolaborasi dengan istrinya berdoa dan kepada Allah dengan penuh ketundukan.
Akhirnya Allah memberikan keajaiban-Nya. Dalam kamus ‟otak kanan‟, keajaiban
itulah yang akan dimunculkan. Beda halnya dengan manusia yang hanya
mengandalkan ‟otak kiri‟, ia akan berkata, ”mustahil. Ah, sudah menyerah saja”.
Baca Juga: BERSYUKUR