Wahyudi Thamrin

LANSIAPUN HAFAL AL QUR’AN


Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

A.    Fathimah, Wanita Buta Huruf, Usia 48 Tahun Hafal Al-Quran

Fathimah, 48 tahun, adalah seorang wanita buta huruf. Meski demikian, ia tetap belajar di sekolah tahfidz dan telah mampu menghafalkan 15 juz. Kisahnya berawal ketika dirinya dan orang tuanya hijrah ke Saudi dari salah satu negara tetangga demi kehidupan yang lebih baik. “Ditengah perjalanan kembali ke Saudi kedua orang tua saya mengalami kecelakaan dan meninggal seketika itu juga..” dan akhirnya ia diurus tetangganya meski kondisi tetangganya itu juga sangat sulit. Ia kemudian menikahkan Fathimah dengan seorang lelaki yang baik agama dan akhlaqnya hingga dikaruniai dua orang anak. Tidak lama kemudian, suaminya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

“Saya hidup disebuah kamar yang sangat sederhana sekali, sumbangan dari salah seorang dermawan. Saya punya sebuah radio kecil yang saya gunakan untuk mendengarkan siaran AlQur’an al kariim. Saya selalu menirukan bacaan Qorii yang tengah membaca beberapa ayat. Akhirnya saya mulai mengulang ulang bacaan setelah membeli beberapa buah kaset. Hafalan saya mulai bertambah setelah membeli beberapa buah kaset. Saat itu saya mampu menghafal hingga 10 juz. Lalu saya pergi ke sebuah sekolah tahfidz, mengikuti beberapa ujian dan ternyata saya mendapat nilai excellent.

Saya tidak pernah mengecap bangku sekolah dan tidak pernah pula belajar baca tulis. namun saya seringkali pergi ke Masjidil haram dan meminta dari sebagian huffazh perempuan disana untuk mengajar, melatih dan mengujiku terutama karena saya memiliki kemampuan menghafal dan memahami yang kuat. Mereka memberikan pelayanannya kepada saya tanpa merasa terganggum berat ataupun bosan.

Fathimah lalu terhenti sejenak dan mulai terisak menangis. “Saya teringat saat saat kehilangan ayah, keluarga, dan orang orang yang telah mengasuh serta membimbingku. Namun, ketika saya segera mendengarkan bacaan AlQur’an, maka perasaan saya berubah. Saya merasa ridho terhadap taqdir dan ketentuan Allah.

“Saya berpesan kepada setiap orang yang bertambah umurnya dan masih memiliki banyak kesalahan, untuk segera meluruskan perjalanannya dan menempuh jalan keselamatan dan memanfaatkan sisa-sisa umurnya untuk melakukan amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb semesta alam sehingga akan dimudahkan baginya jalan menuju surga. Didalam AlQur’an terkandung kenikmatan, kebahagiaan, kasih sayang, dan ketenangan. Bila ia dibaca dengan hati yang hidup dan akal pikiran yang penuh kesadaran serta menyelami ayat ayatnya, maka di dunia akan mendapatkan kelapangan hidup dan di akhirat kelak akan meraih surga.”

 

B.     Malik Muhammad Abdullah Sopir Berusia 60-an Tahun Hafal Al-Quran

Ia adalah seorang sopir. Usianya pun sudah senja, namun tekadnya untuk menghafal Al-Quran sungguh luar biasa.  Kakek tersebut tiada lain adalah Malik Muhammad Abdul Malik. Ia sudah berusia 60-an dan sudah 15 tahun lamanya mengikuti halaqah Al-Quran tanpa rasa jemu. Tanpa sedikit pun rasa malu, ia bersaing dengan cucu-cucunya di dalam menghafalkan AlQuran. Dengan penuh ketekunan dan kesabaran, di samping kesibukannya bekerja mengais rezeki dan usianya sudah tua, ia akhirnya berhasil menjadi seorang hafizh Al-Quran, dengan predikat “hafizh tertua” dalam halaqah tahfizh yang diikutinya.

 

Malik menceritakan pengalamannya mengikuti halaqah AlQuran, “Jika sudah ada keinginan atau tekad, segala kesulitan akan terasa ringan. Aku sendiri sebenarnya telah mendaftarkan diri pada Majma’ Sa’id bin Jubair, sebuah kelompok halaqah AlQuran yang menginduk Jam’iyyatul Quranil Karim, tepatnya pada Ustadz Faraj. Aku mengambil sesi sore hari. Namun karena kondisi, kegiatanku ini berhenti. Kemudian, aku kembali dan bergabung dengan halaqah yang dibimbing oleh Ustadz Abdul Aziz Qayid. Kemudian, pada tahun yang lalu, aku baru saja menyelesaikan penghafalan sepuluh juz terakhir, ketika aku benar-benar mencurahkan segala daya upaya untuk menyelesaikan hafalan Al-Quran, yang sebenarnya sudah aku mulai sejak lama. Ketika itu, dunia seluruhnya bagiku adalah tahfizh Al-Quran, baik di Majma’, di rumah, di tempat kerja, di jalan, dan di mana pun aku berada. Sebab aku bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan.”

 

Apa yang dilakukan oleh kakek ini dan ketekunannya di dalam mencintai Kitab Suci Al-Quran, sekalipun kondisinya sedemikian adanya, memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap seluruh anggota keluarganya. Ketiga putrinya, seluruhnya menjadi hafizah dan guru Al-Quran. Bahkan, cucucucunya pun tidak ketinggalan ikut masuk ke halaqah tahfizh AlQuran mengikuti jejak sang kakek.

 

Kakek ini berpendapat bahwa satu-satunya kesulitan di dalam menghafalkan Al-Quran adalah tidak adanya keinginan dan tekad yang kuat. Ia pun melontarkan kalimat yang sangat menyentuh dengan nada pertanyaan, “Siapa sih di antara kita yang tidak pernah bermimpi untuk hidup bersama Al-Quran, lebih-lebih ketika sudah sampai pada usia senja? Tentu saja, pada saat-saat ini ia memerlukan pendamping dan teman yang sangat dekat, di samping memerlukan istirahat yang benar-benar menjadikan hati nyaman dengan senantiasa membaca Al-Quran dan berinteraksi dengannya. Hal itu tidak akan bisa ditandingi atau diwakili sekadar duduk-duduk bersama teman dan menyaksikan acara yang ada di layar kaca.”

Dalam kesempatan lain, ia mensyukuri keberadaan dirinya sebagai salah seorang yang aktif di halaqah Al-Quran. Rasa syukur dan kebahagiaannya makin bertambah manakala jejak yang ia tempuh ternyata diikuti pula oleh anak-anak dan cucu cucunya.

Demikianlah, kakek yang memiliki tekad yang luar biasa ini. Akhirnya, ia berhasil mewujudkan impiannya walaupun sebagian besar waktunya banyak dihabiskan di jalan, mengingat pekerjaannya sebagai seorang sopir.

Kita sering beralasan untuk tidak bisa melakukan sesuatu yang positif hanya karena alasan sibuk ini dan itu, apalagi untuk menghafalkan Al-Quran. Berbeda dengan kakek yang satu ini. Ia tidak pernah mempermasalahkan kondisi yang dialaminya. Ia selalu bersyukur dan  berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya.

 

C.    dr. Abdullah Mulhim, Dokter Penghafal AlQuran

Apa yang terbayang dengan profesi dokter? Tentunya bersentuhan dengan pengobatan, berkutat dengan kesibukan di rumah sakit. Namun, kali ini kita akan dibuat takjub dengan dokter yang dibalik segala kesibukannya mampu menjadi seorang hafizh Al-Quran.

dr. Abdullah Mulhim. Itulah namanya. Ia adalah seorang dokter yang sebenarnya sejak kecil ingin menjadi seorang hafizh Al-Quran. Namun, karena kuliahnya di fakultas kedokteran, lalu berprofesi sebagai dokter, ia anggap hal itu sebagai “penghalang”. Ternyata, ketika ia berhasil menghilangkan “penghalang” yang sebenarnya dibuatnya sendiri, yang sesungguhnya hanyalah ilusi, maka keinginan untuk menjadi seorang hafizh Al-Quran pun menjadi kenyataan.

Tentang perjalanan yang dilaluinya dalam menghafal AlQuran, ia mengisahkan, “Aku mempunyai pengalaman pribadi dalam mewujudkan mimpi ini. Aku sempat berhenti sekian tahun dalam proses menghafalkan Al-Quran karena merasa tidak mampu menghafalkannya. Di hadapanku, terdapat tirai penghalang yang sebenarnya bersifat kejiwaan dan aku buat sendiri. Itulah yang menghalangiku dan menjadikanku berhenti menghafal sekian lama. Akan tetapi, dengan karunia Allah, aku mengerti bagaimana cara menembus tirai penghalang ini, kemudian mewujudkan mimpi itu. Aku pun benar-benar bisa mewujudkannya.”

Tentang awal perjalanan unik dalam menghafalkan AlQuran, dr. Abdullah Mulhim mengisahkan, “Sebenarnya, aku sudah menghafalkan Al-Quran sejak kanak-kanak, dengan bantuan ayahku di sebuah halaqah tahfizh. Aku berhasil menghafal surat Al-Ikhlas hingga Ad-Duha. Sesudah itu, kemampuanku menghafal tiba-tiba menurun. Pada masa remaja, semangat itu muncul kembali hingga aku berhasil menghafal 5 juz terakhir. Bahkan, aku sempat ikut musabaqah (lomba) dan meraih nilai istimewa. Namun, setelah itu terpikir olehku bahwa aku tidak akan mampu meneruskan hafalan. Aku merasa tidak lagi memiliki kemampuan untuk menambah hafalanku. Begitulah tahun demi tahun hal iu berlalu sampai aku lulus dari fakultas kedokteran tanpa bisa menambah hafalan, kecuali hanya satu juz.”

dr. Mulhim melanjutkan ceritanya, “Kemudian Allah menakdirkanku berangkat ke Amerika. Di sana aku ditakdirkan menunaikan shalat dengan bermakmum di belakang dokter spesialis bedah, dr. Raghib As-Sirjani, yang ternyata adalah seorang hafizh Al-Quran. Aku betul-betul menikmati shalat berjamaah di belakang beliau, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sangat kagum terhadap beliau, seorang dokter spesialis, tetapi hafal Al-Quran.”

“Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepada beliau, ‘Bagaimana Tuan meluangkan waktu untuk menghafal, sedangkan Tuan adalah seorang dokter bedah dengan kesibukan yang sudah mengisi penuh waktu yang tuan miliki? Aku sebenarnya memiliki waktu yang lebih banyak dari Tuan. Aku pun sebenarnya “bermimpi” untuk visa menjadi hafizh Al-Quran. Namun, sampai sekarang aku belum bisa mewujudkannya.”

 

“Dengan ringannya, beliau memberikan jawaban, ‘Apa dan siapa yang menghalangi dirimu untuk menghafal? Cobalah hilangkan penghalang yang sebenarnya hanya ilusi dan kejiwaan itu, yang Anda buat sendiri. Percayalah padaku bahwa Anda pasti bisa menghafal Al-Quran!’ Kalimat beliau ucapkan tampaknya sangat sederhana, tetapi sebenarnya sangat mengena dan langsung menohok diriku. Ternyata benar, hanya setahun setelah peristiwa ini, dengan karunia Allah akhirnya aku berhasil menghafal Al-Quran.”

 

D.    Abdullah bin Musa, Kakek Berusia 70 Tahun Hafizh Al-Quran

Ia bernama Abdullah bin Muhammad Musa. Kakek yang berusia tujuh puluh tahun ini tercatat sebagai salah seorang hafizh tertua di kota Jeddah. Ia lulus dari sebuah halaqah tahfizh Al-Quran khusus dewasa di Pusat Pengabdian Masyarakat yang terdapat di kota ini.

Barangkali kebanyakan orang yang seusia dengannya atau bahkan jauh lebih muda darinya, akan mengatakan bahwa menghafal dalam usia tua akan sia-sia, atau tidak akan ada hasilnya, dengan alasan karena ingatan sudah sangat lemah.

Bahkan, kita sering mendengar pepatah yang mengatakan, “Belajar (menghafal) di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar (menghafal) di waktu tua laksana mengukir di atas air.” Pepatah ini ada benarnya apabila disampaikan kepada anak muda agar lebih bersemangat. Akan tetapi, jika ditujukan kepada kaum dewasa atau tua, terkadang justru menjadi “pembunuh” semangat untuk terus belajar, malahan sering disalahgunakan sebagai “dalil” untuk berhenti melakukan hal-hal yang positif, termasuk menghafalkan AlQuran.

Kakek yang satu ini telah membuktikan bahwa pepatah tersebut tak sepenuhnya benar. Ia mencoba mengubah paradigma tersebut. Akhirnya, ia berhasil membuktikan apa yang ia yakini bahwa belajar dan menghafal itu tidak pernah mengenal usia seseorang. Hal yang terpenting adalah niat yang kuat, semangat yang membaja, dan tekad yang bulat, diiringi dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah SWT. Justru, ia berpegang kepada pepatah lain yang mengatakan:  * لا تَ قُلْ قدْ ذهَبتْ أايَّمِيْ  كُلُّ مَنْ سَارَ عَ لى الادرْبِ وَصَلَ

Jangan pernah mengatakan hari-hariku telah berlalu Setiap yang berjalan di jalur yang benar pasti sampai

 

Ia berjalan di jalur yang benar di dalam meraih impian. Akhirnya, ia pun berhasil mewujudkan mimpi itu: hafal Al-Quran.

 

Bagaimana kisah kakek ini hingga ia berhasil menjadi hafizh Al-Quran?

Ia mengisahkan pengalamannya sendiri dengan bercerita, “Usiaku sekarang 70 tahun lebih sedikit. Sebenarnya, awal mula interaksiku dengan Al-Quran adalah ketika aku masih kecil. Aku sempat hafal dua juz. Akan tetapi, aku berhenti karena kesibukanku dalam urusan kerja mencari rezeki sehingga terlupa akan apa yang sebenarnya pernah aku hafal.” Ketika usianya sudah begitu senja, ia pun kembali melanjutkannya dan akhirnya berhasil meraih cita-citanya.

Uniknya, kakek ini biasa berpindah dari satu masjid tempat ia menghafalkan Al-Quran ke masjid lain tempat ia mengulang hafalan (muraja’ah). Hal itu dilakukan dengan semangat yang tinggi sampai berhasil menjadi seorang hafizh Al-Quran meski usianya sudah terbilang sangat senja untuk melakukan kegiatan menghafal.

Lantas, apa yang mendorongnya untuk menghafalkan kembali Al-Quran setelah rentang waktu yang cukup panjang itu? 

Ia menjelaskan bahwa kecintaannya kepada Al-Quran dengan keinginan agar ketika ia meninggal ia dalam keadaan menjadi hafizh Al-Quran, menuntutnya untuk masuk ke halaqah Al-Quran. Ia berharap termasuk ke dalam golongan, “Keluarga Allah dan orang-orang spesialnya” (ahlullah wa khashshatuhu).

Apakah tidak mendapatkan kesulitan mengingat usia yang sudah terbilang senja seperti itu? Ia menjawab, “Tentu saja aku mendapat kesulitan, terutama dalam masalah makharijul huruf dan tajwid. Adapun urusan menghafal, alhamdulillah aku sama sekali tidak mendapat kesulitan. Pertama-tama aku mengawali kegiatan menghafal Al-Quran ini di bawah bimbingan Syaikh Abdullah Abduh Husain, seorang hafizh berijazah di Masjid Raja Abdul Aziz. Aku belajar dari beliau di masjid tersebut dan berhasil menghafal Al-Quran di hadapan beliau sebanyak 10 juz. Setelah itu, aku berpindah ke Masjid Shalah Karamah. Di sitiulah aku menyelesaikan hafalan hingga rampung 30 juz dalam kurun waktu dua setengah tahun.”

Sosok kakek yang satu ini dan juga aktivitasnya dalam menghafalkan Al-Quran, ustasdznya, Syaikh Murtadha Hasan bercerita, “Paman Abdullah itu seorang yang memiliki ingatan kuat dan keinginan tinggi hingga mengalahkan kaum muda. Setiap hari, ia berjalan kaki sepanjang enam kilometer meskipunn sebenarnya ia mengeluhkan sakit di kakinya. Itu dilakukan agar bisa mengulang hafalan pada pagi hari di masjid kami dan sore hari di Masjid Abdul Aziz. Inilah yang mengantarkannya meraih penghargaan sebagai hafizh tertua dengan predikat mumtaz (exellent).”

Setelah menjadi seorang hafizh Al-Quran, ia terus belajar tentang ilmu-ilmu yang terkait dengannnya, mulai dari ilmu tajwid hingga ilmu tafsir. Ilmu-ilmu tersebut sangat membantu seseorang di dalam memahami kandungan Al-Quran, di samping tentang seluk beluk Al-Quran itu sendiri.

 

E.     Ummu Thaha, Seorang Penjahit Berusia 70 Tahun Hafal Al-Quran

Panggilannya Ummu Thaha, tinggal di kota Zarqa, Yordania. Pekerjaannya sehari-harinya sebagai seorang tukang jahit. Usianya sudah 70 tahun. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan sehingga tidak tahu baca tulis Al-Quran. Namun, tekadnya yang kuat untuk belajar menjadikannya mampu mengenal baca tulis Al-Quran dengan baik serta mampu membaca Al-Quran sesuai dengan kaidah tajwid. Sesudah itu, ia pun mulai menghafal AlQuran hingga berhasil menjadi seorang hafizhah dalam usia di atas 70 tahun.

Dr. Yahya Gautsani, penulis buku Kaifa Tahfazhul Quran, mengisahkan sosok wanita ini dengan mengatakan, “Ia menceritakan kepadaku bahwa sebelumnya ia tidak kenal baca tulis. Suatu hari, ia meminta salah seorang remaja putri agar mengajarkan kepadanya bagaimana cara menuliskan lafzhul jalalah. Ia mengatakan padaku, ‘Aku ingin belajar tentang nama Rabb-ku, bagaimana aku menuliskannya. Aku belajar dengan sungguh-sungguh, lalu aku cari lafzhul jalalah di dalam Al-Quran dari awal hingga akhir. Aku pun menjadi terkagum  serta merasakan sentuhan yang luar biasa. Akhirnya, aku meminta kepada remaja putri itu agar mengajarkan kepadaku tentang huruf hijaiyah, dan aku pun mulai belajar mengeja. Sesudah itu, aku bergabung dengan halaqah tahfizhul quran, yang aku awali dengan mengeja dari mushaf, kemudian menghafalkannya. Hal ini terus aku tekuni sampai aku berhasil mengkhatamkan bacaan Al-Quran.’

Aku seperti tidak percaya, ternyata setelah usia yang setua ini, aku akhirnya bisa membaca. Aku pun mengadakan perayaan besar untuk mengumpulkan para ibu dan para akhwat berkenaan dengan keberhasilan aku mengkhatamkan bacaan Al-Quran ini.’”

Nenek yang satu ini tidak hanya berhenti sampai di sini. Ia tidak puas dengan kemampuannya dalam membaca Al-Quran. Ia melanjutkannya dengan menghafalkannya. Ia pun mulai menghafalkan Al-Quran dan akhirnya 30 juz Al-Quran berhasil ia hafalkan.

 

F.     Ummu Khalid, Nenek Berusia 74 Tahun Hafal AlQuran

Hajjah Rifqah Ahmad, biasa dipanggil Ummu Khalid, adalah wanita tua dari Palestina berusia 74 tahun. Dalam usianya yang sudah senja itu, ia mampu meraih prestasi yang tidak mampu diraih oleh orang yang masih muda. Ia sangat bahagia, karena berhasil menjadi seorang hafizhah Al-Quran. Ia bercerita, “Aku sebenarnya tidak pernah berkhayal untuk bisa menghafal AlQuran setelah usia yang cukup tua ini. Akan tetapi, Allah memberikan kekuatan dan tekad yang kuat yang membantuku dalam menghafal.”

Sebenarnya, ia memiliki gangguan penglihatan karena usia, namun hal itu tidak dianggapnya sebagai masalah. Ia menegaskan bahwa ketika ia sudah memiliki tekad yang kuat, ia bisa menghafalkan Al-Quran dan pada akhirnya mampu mengkhatamkannya. Soal gangguan penglihatan dan tingkat pendidikannya yang tidak tamat sekolah dasar, hal itu tidak menjadi penghalang baginya.

Justru, ketika ia merasakan mulai muncul gangguan pada penglihatannya, ia berkata, “Aku khawatir, jika suatu hari nanti aku benar-benar tidak lagi bisa membaca Al-Quran melalui mushaf. Oleh karena itu, hafalan akan sangat membantuku untuk terus bisa membaca Al-Quran serta akan memudahkan jalanku menuju surga.”

Kita bertanya, sudahkah mata yang masih normal dan terang ini digunakan untuk menatap Al-Quran, lalu membaca dan menghafalkannya? Tidakkah malu oleh seorang nenek yang matanya sudah mulai kabur, tapi masih semangat membaca dan menghafal Al-Quran? 

 

G.    Ummu Shalih, Nenek Berusia 80 Tahun Hafal 30 Juz

Ummu Shalih, itulah panggilan akrabnya. Ia adalah wanita senja berusia 80 tahun. Nenek ini mengawali kegiatan menghafal Al-Quran ketika berusia 70 tahun. Ambisi yang tinggi, kesabaran, serta pengorbanan adalah makna-makna positif yang telah ia wujudkan dalam kehidupannya guna mencapai cita-cita luhur yang bersemayam di dalam hatinya.

Sebenarnya, Ummu Shalih sudah memiliki hasrat untuk menghafalkan Al-Quran sejak kecil. Ayahnya selalu berharap dan juga mendoakan agar ia seperti halnya sang ayah dan juga para kakak laki-lakinya, yang berhasil menjadi para hafizh Al-Quran. Di saat masih belia, ia pun berhasil menghafalkan beberapa surat, yang jika dihitung kira-kira sebanyak tiga juz. Namun, pada usia 13 tahun, seperti pada umumnya wanita seusianya pada waktu itu, ia dinikahkan oleh sang ayah. Keadaan pun berubah, termasuk berbagai aktivitas yang ia lakukan sehari-hari.

Ia pun disibukkan statusnya sebagai seorang istri, kemudian sebagai ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Allah memberinya tujuh anak. Namun, Allah menakdirkan sang suami meninggal dunia, sementara anak-anaknya rata-rata masih belia. Bisa dibayangkan, betapa berat beban yang harus ditanggungnya, hidup tanpa suami dengan tanggungan tujuh anak masih kecil. Angan-angan untuk menjadi penghafal Al-Quran pun tertunda untuk sementara waktu.

Saat anak-anaknya sudah dewasa dan sudah membangun rumah tangganya sendiri-sendiri, barulah ada waktu yang bisa dibilang luang untuk diri sendiri. Kesempatan ini pun segera ia gunakan untuk mewujudkan keinginan dan harapan sang ayah, juga cita-citanya sendiri sejak kecil, meskipun kesempatan ini datang ketika usianya sudah sangat uzur. Baginya, tidak ada kata terlambat. Kegiatan menghafal Al-Quran pun dimulai, setelah tertunda puluhan tahun karena tanggung jawabnya terhadap sekian banyak anak yang mesti dientaskannya terlebih dahulu, mengalahkan semua hasrat dan keinginan pribadinya.

Di antara tujuh anaknya, yang paling dekat dengannya adalah anak bungsunya. Kakak-kakaknya sudah menikah dan hidup bersama pasangan mereka. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Sementara si bungsu, masih hidup bersamanya. Ia adalah seorang anak yang baik dan ingin sekali menjadi seorang hafizhah. Kesempatan pun terbuka di depan mata, bahkan semangatnya makin membara manakala putri yang paling dicintainya ini memiliki hasrat yang sama dengannya. Belum lagi, teman-temannya yang baik juga ikut memberikan motivasi kepadanya. Mereka berdua pun segera berusaha mewujudkan impian yang sudah sekian lama terpendam. Keduanya sama-sama mulai menghafal Al-Quran.

Setiap usai shalat Ashar, nenek ini duduk bersama putrinya yang membacakan Al-Quran kepadanya sepuluh ayat secara berulang-ulang, sementara ia mengikutinya. Sang putri juga menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam di dalam ayat-ayat yang dibacakan kepadanya. Keesokan harinya, kegiatan yang sama diulang kembali sebelum putrinya berangkat sekolah. Di samping itu, ia juga mendengarkan berulang-ulang rekaman bacaan murattal Syaikh Mahmud Khalil Al-Hushari. Kemudian, apa yang dihafalkan pada hari ini akan di-tasmi’-kan (diperdengarkan/disetor) pada hari berikutnya. Demikian seterusnya hari demi hari hingga tiba hari Jum’at. Pada hari ini, jadwal yang dijalankan adalah mengulang (muraja’ah) hafalan yang telah dihasilkan selama sepekan.

Dengan cara seperti ini, dalam waktu empat setengah tahun, nenek ini berhasil menghafal 12 juz. Kemudian, putri bungsunya pun menikah. Si bungsu bersyukur bahwa ternyata sang suami seorang yang sangat pengertian, termasuk mengerti betul keberadaan mertuanya yang sedang proses meraih mimpi menjadi hafizhah. Adapun ia tidak bisa lepas dari putrinya yang menjadi pendamping dalam mewujudkan impian ini. Sang suami pun menyewa sebuah rumah yang berada dekat dengan rumah mertua agar ia tetap bisa melanjutkan program yang telah empat tahun berjalan. Bukan hanya itu, sang suami juga ikut mendorong sang mertua dan terkadang mendampinginya, juga menerima tasmi’ darinya, menjelaskan tentang tafsir ayat yang sedang dihafalnya, serta mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu yang terkait dengan Al-Quran.

Makin hari putrinya makin tersibukkan oleh suami dan anakanaknya sehingga tidak lagi memiliki waktu sebagaimana ketika belum menikah. Namun, sang putri adalah seorang wanita cerdik seperti halnya suaminya. Ia pun mengambilkan guru privat putri untuk sang bunda demi melancarkan program ini. Ia juga tidak tinggal diam begitu saja dan masih tetap memberikan pendampingan meskipun tidak sepenuhnya. Program ini terus berjalan dan waktu terus berlalu sampai akhirnya impian menjadi hafizhah itu menjadi kenyataan. Ia bisa hafal 30 juz Al-Quran secara sempurna, walaupun sudah memasuki usia yang sangat senja.

Semangatnya yang membara serta keberhasilannya dalam mewujudkan cita-cita luhur, memberikan pengaruh positif terhadap para wanita yang ada di sekitarnya. Pengaruh itu terlihat nyata. Anak-anak perempuannya dan juga para menantu perempuannya bersemangat mengikuti jejaknya. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai contoh yang patut diteladani. Mereka mengadakan halaqah seminggu sekali di rumahnya, kirakira satu jam lamanya. Mereka bersama-sama menghafalkan AlQuran dan men-tasmi’-kan hafalan. Surat demi surat dan juz demi juz pun dapat mereka hafalkan.

Para tetangga yang dahulu sempat mencemooh keinginan nenek ini dan mengendurkan semangatnya untuk menghafal AlQuran, dengan mengatakan bahwa menghafal Al-Quran itu susah sekali, apalagi bagi orang yang sudah berusia lanjut seperti dirinya, belum lagi lemah pula ingatannya, kini mereka pun sadar dan akhirnya mengacungkan jempol kepadanya. Di antara mereka ada yang ingin seperti dirinya dengan mengikuti jejaknya. Bahkan, ketika mengetahui bahwa ia telah berhasil menghafal 30 juz Al-Quran, mereka ikut senang dan bangga serta terharu hingga ada yang meneteskan air mata.

Selanjutnya, nenek ini mendorong cucu-cucunya agar mengikuti halaqah-halaqah Al-Quran. Bahkan, ia memberikan berbagai macam hadiah kepada mereka atas prestasi yang diraihnya. Harapannya agar mereka bisa menjadi hafih hafizhah dalam usia yang masih sangat terbilang muda, bukan seperti dirinya. Baginya, menghafalkan Al-Quran lebih dini tetap lebih baik meskipun tidak ada kata “terlambat” bagi siapa pun untuk menghafalkan Al-Quran. Juga tidak ada kata “malu” untuk menjadi “keluarga Allah dam orang-orang spesial-Nya”, sebagaimana dikatakan Nabi Saw. tentang Ahlul Quran.

Untuk menjaga hafalan, ia senantiasa melakukan muraja’ah dan mendengarkan siaran Al-Quran bersama qari’ melalui rekaman kaset. Sesekali, ia meminta orang lain agar menerima tasmi’ darinya. Akan tetapi, yang lebih penting baginya adalah membaca surat-surat panjang ketika menunaikan shalat. 

Setelah berhasil menghafal Al-Quran, ia kini beranjak lebih jauh lagi, menghafalkan hadis. Setiap minggu, ia menghafalkan tiga buah hadis yang di-tasmi’-kan kepada putrinya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Puluhan dan mungkin ratusan hadis sudah berhasil dihafalnya. Ia pun terus berupaya untuk menghafal lebih banyak lagi.

Hampir dua belas tahun ia sibuk menghafalkan Al-Quran. Ternyata, kesibukannya itu memberikan nilai positif bagi kehidupannya yang makin senja. Terjadi perubahan mendasar pada diri dan kehidupannya setelah ia mulai menyibukkan diri dengan Al-Quran. Semangat untuk terus meningkatkan ketaatan kepada Allah makin tumbuh sejak dimulainya program menghafal Al-Quran. Ini salah satu buah yang sedari awal sudah terlihat. Ketika kegiatan menghafal mulai berlangsung, ketenangan hati dan ketenteraman jiwa pun dapat ia rasakan. Segala gundah gulana menjadi sirna. Segala makna hidup baginya terus meningkat. Ia pun memiliki tujuan yang sangat luhur dalam hidupnya, yang ingin ia wujudkan selama hayat masih dikandung badan.

Kisah ini, menjadi renungan kita, bahwa tidak ada alasan dengan faktor usia. Jika kemauan tinggi dan tekad kuat, insya Allah tidak sulit untuk menghafalkan Al-Quran. Jangan sampai kalah kita yang muda-muda, oleh yang sudah berusia senja, yang ternyata mampu menjadi hafizhah ini. 

             

H.    Ummu Muhammad, Menghafal Al-Quran di Usia 82 Tahun

Ummu Muhammad adalah seorang nenek tua yang memiliki tekad yang luar biasa. Ia menuturkan kisahnya, “Usiaku yang sebenarnya adalah ketika aku mulai menghafalkan Al-Quran. Memang, usiaku sekarang adalah 82 tahun, akan tetapi, aku tidak mau mengakui angka ini. Umurku yang sesungguhnya adalah ketika aku aku berada dalam pangkuan Al-Quran, yaitu tahun-tahun yang aku manfaatkan untuk menghafalkan Al-Quran, tepatnya kurang lebih 15 tahun.”

“Aku sangat yakin bahwa husnul khatimah hanya akan tercapai bersama dengan kitab Allah dan dengan menghafalkannya. Oleh karena itu, ketika kali pertama menghafal, yang mendorongku adalah hasrat melakukan ketaatan kepada Allah dan kecintaanku kepada Al-Quran. Di samping itu, aku memang memiliki banyak waktu dalam usia senja ini sehingga aku gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.”

“Jadi, aku punya niat, motivasi, dan juga waktu. Mengapa harus berlama-lama lagi? Saat kesadaran ini lahir, aku pun langsung memulai langkah menghafal Al-Quran. Aku awali dengan menghafalkan tiga hingga lima ayat setiap harinya. Atau kurang lebih setengah halaman mushaf. Hal ini terus aku jalani dengan ketekunan serta menggunakan kesempatan yang aku miliki untuk mengerjakan ketaatan dan shalat. Aku juga tidak lupa untuk selalu beristighfar. Waktu yang paling aku sukai untuk menghafal adalah pada sepertiga malam yang terakhir dan setelah shalat Subuh.”

Peristiwa yang sangat menyentuh jiwaku dan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadapku dalam menghafalkan Al-Quran adalah bahwa aku memiliki teman yang bersama-sama denganku menghafal Al-Quran. Saat hafalannya mencapai 7 juz, dengan kehendak Allah, ia meninggal dalam keadaan sujud. Ada satu peristiwa yang makin menguatkan pengaruh ini, yaitu ketika salah seorang temanku bermimpi melihatnya sedang berenang di tujuh sungai di antara sungai-sungai surga.”

Sudah berapakah umur kita? Rasanya belum setua Ummu Muhammad. Namun, sudahkah kita memanfaatkan usia kita untuk membaca dan menghafalkan Al-Quran?

 

I.       Ummu Thalal Al-Muthairi, Usia 86 Tahun Berhasil Menjadi Hafizhah

 Wanita ini bernama Ummu Thalal Al-Muthairi. Ia adalah seorang nenek dari Saudi Arabia yang sebenarnya tak kenal baca tulis alias buta huruf. Namun, tekadnya yang luar biasa mengantarkannya menjadi seorang hafizhah di usia yang teramat senja, 86 tahun.

Kantor berita resmi Saudi Arabia, mengutip penjelasan dari seorang direktur sekolah putri yang berafiliasi pada lembaga AlJam’iyyah Al-Khairiyah li Tahfizhil Quran Riyadh, Ibrahim bin Abdul Aziz, melaporkan bahwa Ummu Thalal Al-Muthairi dengan penuh semangat mengajukan diri dalam ujian khatam Al-Quran yang diadakan lembaga ini. Ia pun berhasil meraih apa yang dicita-citakannya, menjadi hafizhah Al-Quran.

Muha Al-Ied, ketua panitia ujian tahfizhul quran dalam lembaga ini menceritakan bahwa Ummu Thalal menghabiskan sepuluh tahun untuk menghafal 30 juz Al-Quran. Dalam menghafal, ia biasa meminta bantuan para guru putri di Madrasah Tahfizhul Quran Al-Bayyinat. Ia mendengarkan bacaan Al-Quran dari mereka, juga dari para santriwati yang ikut dalam program tahfizhul quran di lembaga tersebut.

Di rumahnya, ia juga tekun mendengarkan rekaman murattal Al-Quran dengan cara mengulang-ulang bacaan ayat demi ayat, mengingat bahwa ia tidak kenal baca tulis. Akhirnya, ia berhasil lulus dalam tahfizhul quran yang dilaluinya di lembaga tersebut.

Sungguh luar biasa. Sepuluh tahun dilaluinya untuk menghafalkan Al-Quran dengan cara mendengar bacaan orang lain atau melalui rekaman kaset tanpa kenal kata jenuh dan bosan. Ia juga tidak pernah mengatakan bahwa masa muda telah berlalu. Tidak ada alasan bahwa ia tidak punya waktu luang. Ia juga tidak mengatakam bahwa ajal sudah menjelang. Ia terus maju dengan tekad baja dan melangkah melawan usianya yang makin senja. Keinginan luhur itu pun akhirnya terwujud.

Sungguh kisah ini mengetuk hati kita, yang selama ini mungkin banyak alasan; kesibukan, waktu, dan usia, sehingga menjadi tembok penghalang untuk menghafal Al-Quran. Padahal, tidak ada ‘tembok penghalang’ selain karena alasan yang kita buat sendiri.