Oleh : Syaiful
Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Sebuah Kisah Tentang Kehidupan
Alkisah di suatu desa di tepi hutan tinggal seorang kakek tua dengan putra tunggalnya. Mereka hidup dari berternak kuda yang diambil susu dan dagingnya. Sang putra kerjanya sehari-hari mengembalakan beberapa ekor kuda yang mereka miliki ke padang rumput.
Suatu hari seperti biasa putranya membawa kuda-kuda merumput ke lapangan. Karena kelelahan dia tertidur di bawah pohon rimbun. Saat terbangun, dia terkejut karena dia mendapati kuda-kudanya tidak di lapangan lagi. Tetapi entah hilang kemana. Dia mencari-cari mereka, tetapi berakhir dengan sia-sia. Akhirnya, dengan langkah gontai, dia pulang kerumah.
Berita kakek tua kehilangan kuda-kuda peliharaannya membuat gempar desa kecil tersebut. Para tetangga segera berdatangan menyatakan duka terdalam atas kemalangan yang menimpa keluarga kakek itu. Seorang tetangga sambil menenangkan kakek tua berkata, “Sungguh malang nasibmu, Pak Tua. Semua kudamu telah tiada. Sia-sia jerih payahmu selama ini. Sungguh malang nasibmu.”
Kakek tua terdiam sejenak, lalu menjawab, “Saya tidak merasa kemalangan, hal ini biasa saja. Semua ini hanya bagian dari kehidupan.” Para tetangga bingung dengan tanggapan kakek tua, dan merasa kasihan karena dia mungkin hanya sekedar menghibur diri. Lalu mereka semua meninggalkan keluarga kakek tua untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk menenangkan diri.
Beberapa hari berlalu. Dan suatu pagi, terjadi kegemparan. Ternyata pada malam sebelumnya kuda-kuda kakek tua kembali lagi ke kandangnya. Dan bersama dengan mereka ikut segerombolan kuda liar dari hutan. Dalam sekejap mata kakek tua memiliki banyak kuda.
Berita ini kembali menggemparkan seisi desa. Para tetangga datang memberikan selamat atas keberuntungan ini. Semua memuji bahwa nasib kakek semakin baik di hari tuanya. Mereka berucap, “Sungguh beruntung nasibmu, Pak Tua. Sekarang kamu memiliki kuda paling banyak dan menjadi orang paling kaya di desa kita.” Kakek tua hanya menggelengkan kepala sambil menjawab, “Saya merasa biasa-biasa saja. Ini hanya sekedar satu peristiwa dalam hidup saya. Semua ini hanya bagian dari kehidupan.”
Para tetangga semakin bingung dengan sikap kakek tua yang agak aneh itu. Mereka menganggapnya orang yang tidak tahu bersyukur dalam hidup. Lalu mereka meninggalkan kakek tua yang semakin membingungkan mereka itu.
Beberapa hari berlalu. Seperti biasa, putra kakek tua secara berkala mencari kayu bakar di hutan untuk keperluan memasak. Pagi-pagi putranya berangkat ke hutan, dan sesampainya di sana, mulai menebang pohon untuk mengambil batang kayunya. Karena kurang hati-hati, suatu ketika kapak yang dia ayunkan ke batang pohon meleset dan menebas kaki kanannya. Kakinya mengalami pendarahan dan luka yang parah. Dia akhirnya diselamatkan oleh penduduk desa yang kebetulan lewat.
Berita tentang kecelakaan putra kakek tua kembali menggemparkan desa. Beramai-ramai mereka datang ke rumah kakek tua untuk membesuk putranya. Mereka merasa kasihan dan berusaha menghibur kakek tua karena putranya bakal menderita cacat seumur hidup. “Sungguh malang nasibmu, Pak Tua. Putra satu-satumu sekarang cacat. Siapa lagi sekarang yang membantu dan menjagamu?” Kakek tua hanya diam membisu, tertegun merenung, lalu menjawab, “Bagi saya ini hal yang biasa. Demikianlah yang seharusnya terjadi. Semua ini hanya bagian dari kehidupan.”
Para tetangga semakin bingung dengan jawaban kakek tua. Kali ini mereka menganggap kakek tua ini bukan saja orang yang aneh, tetapi mungkin sudah hampir gila. Lalu, mereka tanpa banyak bicara meninggalkan kakek yang mereka anggap lain dari biasa itu.
Beberapa hari berlalu. Suatu hari desa itu kedatangan tentara kerajaan yang sedang mencari pemuda-pemuda sehat untuk diikutsertakan berperang karena kerajaan sedang diserang musuh. Semua pemuda yang sehat dari desa itu diambil paksa untuk ikut kewajiban membela kerajaan. Berhubung putra kakek tua cacat maka dia tidak ikut dibawa pergi. Maka kakek tua tetap dapat hidup tenang di masa tuanya dengan ditemani putra tunggalnya.
Cerita di atas memberikan inspirasi kepada kita tentang hakekat kehidupan. Jika Anda pernah mendengar atau membaca sebelumnya, biarlah cerita ini mengingatkan Anda kembali untuk menghayati hidup dengan cara yang baru.
Moral cerita di atas begitu sederhana. Hidup ini penuh dengan serangkaian peristiwa yang datang silih berganti. Ada yang kita sukai dan menyenangkan kita, ada yang tidak kita sukai dan mengantarkan penderitaan bagi kita. Begitulah kehidupan, dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang terkadang memberi keberuntungan, terkadang membawa kemalangan. Dan dengan cara demikianlah kita memberi label atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup.
Moral yang lain, ketika kemalangan datang menghampiri, kita tidak perlu terlalu bersedih hati. Tersenyumlah, mungkin saja keberuntungan sedang dalam perjalanan mengunjungi kita. Dan ketika keberuntungan mengetuk di pintu kehidupan, kita tidak perlu merasa senang dan bahagia berlebihan. Siapkanlah hati, mungkin saja kemalangan sedang mengintai, menunggu saat lengah untuk menerkam kita.
Yakinkah kita bahwa apapun yang terjadi dalam tiap hentakan
detik hidup kita merupakan hal terbaik yang Allah berikan kepada kita?
Keyakinan itu tentunya berkaitan erat dengan sejauh mana ketergantungan kita
kepada Sang Khaliq. Perlu kita simak hikmah berikut ini:
Alkisah, ada seorang raja yang selalu hidup sejahtera
tanpa merasa kekurangan, tiada rasa sakit, resah bahkan gelisah sekalipun. Ia
memiliki seorang penasehat kerajaan yang bijak bestari. Sang penasehat
mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita. Nasehat ini selalu
terpatri di hati sang Raja. Betul saja seumur hidup Raja ia selalu merasakan
keindahan, kemewahan, dan kebahagiaan. Maka Raja pun makin percaya akan nasehat
itu.
Raja, Penasihat dan Kpala Suku
Hingga suatu saat ia mengupas sebuah apel untuk dimakan olehnya. Suatu pekerjaan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Akhirnya teririslah jarinya lentik nan lembut itu. Karena tak pernah merasakan kesakitan maka jarinya yang terluka itu amat menyiksanya. Maka dipanggillah sang penasehat seraya ia menanyakan perihal musibah yang menimpanya.
“Wahai penesehat, terangkanlah padaku apa yang terjadi dengan diriku hingga terluka?” ujar Raja. “Dengan luka ini, apakah memang benar bahwa takdir Allah itu yang terbaik untuk kita” lanjut sang Raja. Menanggapi hal itu sang penasehat pun tetap mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.” Lalu mengapa aku begitu kesakitan? Apa memang ini takdir yang baik?” timpal sang Raja. Akhirnya penasehat itupun dijebloskan ke penjara.
Dengan kejadian yang menimpa Raja, apakah kita masih berpikir bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita? Bagaimana dengan musibah-musibah yang kita alami? Apakah kita tetap yakin bahwa hal itu memang yang terbaik dari Allah untuk kita?
Untuk itu mari kita simak kelanjutan kisah Raja itu: Beberapa waktu berselang, Raja pun melakukan kegiatan rutinnya berburu ke hutan. Namun kali ini ia hanya ditemani para prajuritnya tanpa kehadiran sang penasehat. Seiring berjalannya waktu rupanya sang raja tersesat di hutan dan terpisah dengan rombongan prajurtitnya. Hingga ia masuk ke wilayah hutan yang dihuni sekumpulan suku pedalaman. Saat itu suku pedalaman hendak memberikan persembahan untuk dewa berupa tumbal.
Melihat ada seorang rupawan masuk ke wilayah mereka serta merta sang Raja yang tersesat ditangkap dan akan dijadikan tumbal. Berkatalah salah seorang sesepuh kepala suku kepada kepala suku, “Wahai Baginda, aku menemukan seorang rupawan yang sangat pantas untuk kita jadikan persembahan bagi Dewa Agung kita.” “Bawalah kemari dan perlihatkan kepadaku,” ujar Kepala Suku. Maka digiringlah sang Raja dalam kondisi terikat ke hadapan Kepala Suku.
Kepala Suku itu pun melihat dengan seksama tubuh sang raja sambil tersenyum puas. Apa pasal? Ia begitu bahagia karena bisa memberikan tumbal kepada Dewa orang yang tampan rupawan serta berkulit bersih dan mulus. Namun, ketika ia melhat luka di jari sang Raja, senyumnya langsung memudar. Ia tak ingin tumbalnya memiliki cacat sedikitpun. Sambil berkata menggelegar, “Orang ini cacat! Kita tak bisa memberikannya untuk Dewa Agung kita.”
“Tapi Baginda, orang ini hanya memiliki cacat sedikit saja di tangannya,” timpal salah seorang yang lain. “Tidak bisa! Ia memiliki cacat! Ia tak bisa dijadikan tumbal!” tegas kepala suku. Akhirnya sang Raja dibebaskan dan dengan terbirit-birit ia berlari menjauh sambil mencari jalan menuju kerajaannya.
Berkat izin Allah, ia pun sampai di kerajaannya. Hal pertama yang dilakukan adalah berlari menuju penjara tempat sang penasehat dikurung. Lalu ia membebaskannya. “Wahai sahabatku, engkau benar! Engkau benar!” ucap sang Raja sambil terengah-engah. “Apa maksud Tuanku?” tanya sang penasehat sambil keheranan. Raja pun menceritakan kejadian yang ia alami. Berkat lukanya, berkat kesakitan yang ia rasakan, berkat darah yang menetes dari jarinya, berkat kesemuanya itu ia terbebas dari benar. Ya benar, takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.
Sang penasehat langsung mengucapkan hamdalah. “Wahai Raja, sungguh aku pun mengalami hal yang terbaik dari Allah,” kata penasehat. “Apa maksudmu, bukankah kau mengalami kesengsaraan selama di penjara?” tanya Raja. “Bukankah dengan aku di penjara maka aku tak ikut berburu bersama Tuan? Lalu bila aku ikut niscaya akulah yang akan mereka pilih untuk menjadi tumbal mereka” jelas penasehat. Sekali lagi takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.”
Berbaik sangka atas segala kebijakan Allah, itulah kebijakan diri yang akan mengantarkan terhadap kebajikan. Tidak ada satu pun kebijakan ataupun rencana Allah yang terburuk buat hamba-hamba-Nya. Namun, tanpa disadari terkadang ketidaktahuan kita dalam menangkap pesan-pesan kebijakannya, membuat kita selalu menanggap bahwa hal yang buruk itu itu buruk bagi kita. Padahal, apa yang Allah takdirkan untuk kita itulah yang terbaik untuk kita.
Oleh
karena itu, mulailah mengubah pola pandang terhadap segala kejadian di dunia
ini. Pandanglah segala peristiwa dengan sikap terbaik, dan jauhilah berburuk
sangka terhadap-Nya.
Tukang Batu
Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang putri yang menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor besar di kota itu. Sayang, sang putri merasa malu dengan ayahnya. Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya, dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang tidak jujur. “Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di perusahaan kontraktor,” katanya, tanpa pernah menjawab bekerja sebagai apa.
Si putri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak semata wayangnya, sang ayah bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis. Si putri lebih banyak menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. “Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu,” keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri mengikuti kehendak ayahnya.
Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah berkata, “Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin, dan jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah karena ayah salah satu orang yang ikut membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di mana ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa bekerja dengan baik hingga hari ini.”
Mendengar penuturan sang
ayah, si putri terpana. Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun
melanjutkan penuturannya, “Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan
yang sama dengan ayahmu.
Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu.”
Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, “Maafkan putri, Yah. Putri salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah.” Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.
Begitu banyak orang yang
tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya. Entah itu masalah
pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa malu
dan rendah diri atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan
identitas dan keadaan yang dipalsukan.
Wotel, Telur dan Kopi
Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.
Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu, jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan integritas sebagai manusia.
Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!
Seorang anak mengeluh pada
ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu
berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia
sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul
masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.
Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.
Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”
Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi „kesulitan‟ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.
“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.” “Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”
“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”
“Jika kamu seperti bubuk
kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan
membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”
Cerita Meja Kayu
Menyikapi kehidupan secara
proporsional merupakan kunci ampuh mencapai kenikmatan. Memang, hidup ini
terkadang menyakitkan, pahit, dan sulit untuk diterima.
Namun, andaikata kita mampu
merebus jiwa ini dengan „air kesabaran‟, maka kita akan merasakan manisnya
kehidupan. Manis dan pahit bukan pada kelebihan dan kekurangan, namun ada pada
„sikap‟ terhadap kelebihan dan kekurangan itu. Jadilah bubuk kopi, dan jangan
meniru wortel dan telur.
Suatu
ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu,
tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini
begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara
berjalannya pun ringkih.
Keluarga itu biasa makan
bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan
segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk
menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih
gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.
Anak dan menantunya pun
menjadi gusar. Mereka merasadirepotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan
sesuatu,” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua
ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut
ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya
menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk
kayu untuk si kakek.
Sering, saat keluarga itu
sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada
airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang
keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
Anak mereka yang berusia 6 tahun hanya memandangi semua dalam diam.
Suatu malam, sebelum tidur,
sang ayah memerhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut
ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang
membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan
kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum
dan melanjutkan pekerjaannya.
Jawaban itu membuat kedua
orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi.
Lalu, air mata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada
kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus
diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan
bersama di meja makan.Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang
jatuh, makanan yang tumpah, atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan
bersama lagi di meja utama.
Sahabatku, cerita ini
hanyalah refleksi dari secuil kisah kehidupan manusia yang tidak disadari
berdampak pada masa depan. Anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka
akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka
akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.Mereka adalah peniru. Jika
mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang
akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu
menyadari, setiap “bangunan jiwa” yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat
masa depan anak-anak.
Mari, susunlah bangunan itu
dengan bijak. Untuk anakanak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya.
Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain,
adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
Belajar dari Orang Bodoh
Dikisahkan ada seorang anak
berusia 12 tahun. Dia dicap sebagai orang yang malas, bodoh, agak terbelakang
dan tidak ada harapan. Saat kelas 3 SD dia dikeluarkan dari sekolah, kemudian
pindah ke sekolah yang lain. Ketika mau masuk SMP, dia ditolak 6 sekolah, dan
akhirnya masuk sekolah yang terjelek. Di sekolah yang banyak orang bodohnya
tersebut, dia termasuk yang paling bodoh. Bahkan diantara 160 murid, dia
menduduki peringkat 10 dari bawah.
Suatu ketika dia dikirim ke
Super-teen program yang diajar oleh Ernest Wong, yang menggunakan Accelerated
Learning Neuro Linguistic Programming (NLP) dan Whole Brain Learning. Anak itu
ditunjukkan oleh Ernest Wong bahwa semua orang bisa menjadi genius dan menjadi
pemimpin walaupun awalnya goblok sekalipun. Dikatakan oleh sang guru bahwa
satu-satunya hal yang bisa menghalangi kita adalah keyakinan yang salah serta
sikap yang negatif.
Kata-kata sang guru
mempengaruhi anak itu. Dia akhirnya memiliki keyakinan bahwa kalau ada orang
yang bisa mendapatkan nilai A, berarti dia juga bisa. Untuk pertama kali dalam
hidupnya dia berani menentukan targetnya, yaitu mendapatkan nilai A semua. Gol
jangka pendeknya yaitu masuk ke SMA terbaik di negaranya, sedangkan tujuan
jangka panjangnya masuk ke perguruan tinggi terbaik dan menjadi murid terbaik
disana.
Singkat cerita, dalam waktu
tiga bulan rata-rata nilainya naik menjadi 70. dalam satu tahun, dari rangking
terbawah dia menjadi rangking 18. dan ketika lulus SMP dia menduduki rangking 1
dengan Nilai Ebtanas Murni A semua untuk 6 mata pelajaran yang diuji. Dia
kemudian diterima di SMA terbaik sesuai targetnya. Tidak hanya itu, diapun
diterima di perguruan tinggi yang diharapkannya. Dan karena di universitas
tersebut setiap tahun dia menjadi juara, akhirnya dia dimasukkan ke NUS Talent
Development Program. Program ini diberikan khusus kepada TOP 1% mahasiswa yang
dianggap jenius. Dan pada umur 26 tahun dia mempunyai empat bisnis yang
beromzet US$ 20 juta.
Siapakah dia yang terdapat
dalam cerita di atas? Ternyata dia adalah orang Singapura bernama Adam Khoo.
Kisah ini saya dapatkan dari Bapak Tung Desem Waringin dalam bukunya Financial Revolution. Menurut beliau
kesuksesan Adam Khoo pertama datang dari perubahan keyakinan yang salah menjadi
keyakinan yang tepat (dari keyakinannya “saya bodoh, lulus saja susah ”menjadi“
kalau orang lain bisa mendapatkan A, saya juga bisa!).
Hidup Dengan Kepercayaan
Mempunyai keyakinan yang
salah dan sikap yang negatif bisa berakibat fatal dalam hidup. Bahkan ketika
kita terjajah oleh keyakinan yang salah tersebut, sampai mati keyakinan itu
akan hidup dalam diri kita, baik kita sadari ataupun tidak.
Dalam Islam keyakinan itu
adalah bagian dari keimanan. Karena iman itu adalah keyakinan yang terhujam di
kedalaman hati hingga mempengaruhi aktifitas keseharian. Dalam pengertian yang
lain iman itu adalah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
dibuktikan dengan amal perbuatan. Bahkan iman itu merupakan pondasi bangunan
Islam seseorang.
Sahabat, itulah pentingnya
keyakinan. Mulai saat ini semoga kita termasuk orang-orang yang mempunyai
keyakinan yang benar dan sikap yang positif dalam hidup.
Seorang pendaki gunung sedang bersiap-siap melakukan
perjalanan. Di punggungnya, ada ransel dan beragam carabiner (pengait). Tak
lupa tali temali terusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini
cukup berat, jadi persiapan harus lebih lengkap.
Kini, di hadapan pendaki itu
menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat. Tertutup salju
yang putih. Awan yang berarak di sekitarnya, membuat tak seorang pun tahu apa
yang tersembunyi di sana. Mulailah pendaki itu melangkah, menapaki jalan-jalan
bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang disandangnya
menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.
Setelah berjam-jam berjalan,
mulailah ia menghadapi dinding yagn terjal. Tak mungkin baginya untuk
melangkah. Dipersiapkannya tali-temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu
terlalu curam. Ia harus mendaki dengan talitemali itu. Setelah beberapa kait
ditancapkan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh datang dari atas. Masya Allah,
ada badai salju datang tanpa diundang.
Longsoran salju meluncur
deras. Menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus
berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas ke arah dinding.
Badai itu terus berlangsung
beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan telah menyelamatkan tubuhnya
dari dinding yang curam. Semua perlengkapan hilang. Hanya tersisa sebilah pisau
di pinggangnya. Sang pendaki itu tergantung di balik dinding yang terjal itu.
Pandangannya kabur. Semua
tampak memutih. Ia tak tahu di mana berada. Sang pendaki cemas. Ia
berkomatkamit, memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana,
berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya.
Suasana hening setelah
badai. Di tengah kepanikan itu, terdengar suara hati kecilnya yang menyuruhnya
melakukan sesuatu. “Potong tali itu! Potong tali itu!” Terdengar senyap
melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan?
Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin,
memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal?
Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu?
Banyak sekali pertanyaan
dalam dirinya. Lama ia ragu mengambil keputusan. Lama. Ia tak mengambil
keputusan apa-apa. Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada
tubuh tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu beku. Tampaknya
ia telah meninggal karena kedinginan. Sementara, batas tubuh itu dengan tanah
hanya berjarak 1 meter saja.
Kita mungkin akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu
karena tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan
pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan
selamat dengan membiarkan dirinya terjatuh ke tanah yang hanya berjarak 1
meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan.
Begitulah, kadang kita
berpikir, mengapa Allah tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering
merasa, mengapa ada banyak sekali beban, masalah, hambatan yang kita hadapi
dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai
salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja jalan lurus
tanpa perlu menanjak agar kita terbebas dari semua halangan itu?
Namun, cobaan yang diberikan
Allah adalah latihan. Hanya ujian. Kita adalah layaknya besi-besi yang ditempa.
Kita adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, disemua ujian
dan latihan itu, tersimpan petunjuk. Ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA
PERCAYA. Ya, asal kita percaya.
Seberapa besar rasa percaya
kita kepada Allah sehingga mampu membuat kita memutuskan “memotong tali
pengait” saat tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada
Allah sehingga kita mau menyerahkan semua yang ada pada diri kita kepada-Nya?
Maka, hidupkanlah hidup ini dengan percaya!