Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan
berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang yang beriman maka
mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tetapi mereka yang
kafir itu mengatakan, “Apa maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan
perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberinya petunjuk. Dan tidak ada yang
disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 21)
Sahabat, perhatikan ayat di atas. Allah hendak mengingatkan kita. Di kelompok manakah saya dan Anda berada? Apakah kelompok “orang beriman” ataukah “orang yang kafir” (naudzubillah)?
Dimanakah indikasinya keimanan dan kekafiran itu? Ya, dalam sikap. Sekali lagi, dalam SIKAP. Orang yang beriman menurut ayat di atas, adalah mereka yang tetap menyucikan Penciptaan-Nya. Nyamuk, sejenis hewan yang kerap kali membuat bising di tengah malam saat hendak tidur dan kerap kali membuat jengkel, tetaplah dihadapi oleh orang beriman sebagai sebuah ke-Mahasucian-Nya. Orang beriman meyakini, bahwa Allah tidaklah menciptakan sesuatu itu sia-sia, pasti ada hikmah, manfaat, dan kebaikan-kebaikan didalamnya. “Rabbana ma khalaqta hadza bathilan”.
Lalu, bagaimana dengan indikasi kekafiran (ingkar) pada ayat di atas? Mereka yang kafir, adalah mereka yang bersikap “melecehkan” menganggap “kesia-siaan” dan menganggap “Tuhan kurang kerjaan”. Ya, mereka menganggap bahwa Tuhan kurang kerjaan dengan menciptakan sesuatu yang sia-sia, tidak bermanfaat, dan hanya mendatangkan mudharat. Kembali kita merenung....di kelompok manakah kita? Saya yakin, Anda yang sedang menggenggam buku ini adalah kelompok pertama (orang-orang yang beriman).
Ayat di atas membangun kesadaran bahwa dalam penciptaan Allah itu selalu terkandung hikmah. Memang, hikmah selalu kita peroleh setelah kita melewatinya. Kerap kali kita mengalami kejadian yang awalnya membuat uring-uringan, namun setelah peristiwa selesai baru berkata panjang, “Oooooh.....”. Ya “Ooooooh”nya itulah mengindikasikan ‘keawaman’ kita akan segala rahasia yang selalu dihadirkan Tuhan dalam kehidupan. Baiklah... apakah hikmah dari penciptaan nyamuk?
Nyamuk menjadi lahan usaha dan ladang bisnis yang besar bagi manusia. Munculnya nyamuk-nyamuk yang ‘menggoda’ telinga di malam hari, ternyata membuat manusia berpikir untuk membuat obat nyamuk dengan berbagai macam merk. Dan ia menghasilkan income yang besar. Bayangkan...andaikata Allah tidak menciptakan nyamuk, apakah akan muncul obat nyamuk? Ya, tentu tidak.
Ketahuilah, dalam hal yang dianggap remeh dan sia-sia itu justru letaknya mukjizat (keajaiban) penciptaan-Nya. Allah adalah Tuhan bagi makhluk yang kecil dan besar, pencipta nyamuk dan gajah, dan mukjizat (keajaiban) pada nyamuk adalah mukjizat pada gajah itu sendiri, yaitu mukjizat kehidupan. Keajaiban rahasia yang tertutup yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Yang menjadi pelajaran dalam perumpamaan itu bukanlah bentuk fisik, tetapi perumpamaan itu hanya alat untuk menerangi dan membuka pandangan. Oleh karena itu, didalam membuat perumpamaan itu tidak ada sesuatu yang tercela dan tidak perlu menyebutkannya.
Sahabat, mari kita menemukan kembali sisi hikmah dari binatang yang lain. Kali ini kita akan berbicara tentang “ulat”.
Ulat adalah binatang yang oleh sebagian besar orang dianggap menjijikkan, bahkan menakutkan. Ketika melihatnya tak jarang orang menghindar, mengusir bahkan membunuhnya. Tapi sikap jijik dan takut itu berubah ketika sang ulat berhasil mentransformasi (mengubah) dirinya menjadi kupu-kupu.
Ia mengubah seleranya sebagai pemakan daun menjadi penggemar sari bunga. Mengubah sifatnya sebagai hama dan penyebar penyakit menjadi penyebar kehidupan bunga-bunga baru, pembentuk lahan kosong menjadi taman yang indah, mengubah mobilitasnya yang lambat melata menjadi penerbang gesit dan lincah. Alih-alih ditakuti sang ulat menjadi dicari, dikagumi dan dipuji oleh mereka yang dulunya merasa jijik kepadanya.
Adalah fitrah manusia untuk mencintai kehidupan. Kupukupu mewakili penafsiran akan keindahan tersebut, tapi ulat tidak. Kupu-kupu adalah wujud nyata dari sebuah penafsiran lain, bahwa keindahan tidak selalu harus terlahir dari sesuatu yang indah. Keindahan bisa lahir dari kejijikan, bahkan terkadang bisa lebih indah dari apa yang dilahirkan oleh keindahan itu sendiri.
Rasulullah
Saw bersabda:
“…Manusia yang baik pada masa jahiliyahnya akan baik pula pada masa Islamnya, jika mereka memahami agama.”
Hadis ini menjelaskan dan bisa dikatakan sebagai sebuah motivasi bagi mereka yang ingin dan berniat sungguh-sungguh untuk mentransformasi dirinya kepada Islam sekaligus menunjukkan keutamaan mereka dari manusia lainnya. Merekalah generasi ulat yang kemudian dicatat sebagai kupukupu penghias tanah sejarah Islam. Mereka adalah Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Khalid bin Walid, Salman alFarisi, dan para mantan pemuka penjahat Quraisy yang ditakuti kekuatannya, kejeniusannya saat jahiliyah maupun saat Islamnya.
Mereka adalah generasi yang mampu mengubah dirinya 180 derajat, mengubah penampilannya yang buruk dan kotor menjadi bercahaya dalam cahaya Islam. Merekalah generasi dakwah yang hanya dengan kesehariannya saja dapat membuat orang tertarik dengan Islam. Mereka pun mampu menjadikan Al-Quran bukan sekadar doktrin-doktrin utopis belaka, bukan sekadar topik-topik diskusi rumit, tetapi lebih kepada sistem hidup terbaik yang dapat langsung diamalkan. Jadi, tidaklah mengherankan saat datang perintah Allah dan Rasul-Nya agar mengenakan jilbab, maka dalam hitungan detik pula tidak terlihat lagi sehelai rambut perempuan pun, karena telah tertutup oleh sobekan-sobekan kain ketika Allah dan Rasul-Nya.
Ya, begitulah kita seharusnya. Kita harus mampu mengubah perilaku yang menjijikkan menjadi perilaku yang menyenangkan. Mengubah segala keburukan menjadi kebaikan. Mengubah diri dari ahli maksiat menjadi ahli taat. Berhijrah dari gelap menuju cahaya.
Sahabat,
tidak ada manusia yang tak luput dari khilaf dan dosa. Maka, mengubah dari ulat kehidupan menjadi kupu-kupu kehidupan yang indah dan
memesona adalah tugas kita. Barangkali, ketika awal kehidupan kita tidak diisi
dengan perilaku yang indah, jadikanlah tengah dan akhir kehidupan menjadi husnul khatimah.