Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Beasiswa
Kuliah dan Naik Haji Gratis
Ini
adalah kisah menakjubkan tentang seorang hafizh. Ia mendapatkan berbagai
keberkahan dalam hidupnya, karena cintanya kepada Al-Quran. Achmad Saheri,
itulah nama sang hafizh, yang saat ini masih kuliah di Universitas Islam
Bandung (UNISBA). Mari kita simak kisahnya.
Setelah
lulus SMP, Achmad Saheri mondok di pondok pesantren Asy-Syafi’iyah Tamberu
Agung Madura dan sekolah SMA di sana. Hari demi hari diisi dengan lantunan ayat
suci Al-Quran hingga pada akhirnya ia terinspirasi untuk menghafal AlQuran di
pondok itu dan berkat usahanya yang keras, ia dengan mudahnya menghafal delapan
juz selama 5 bulan tanpa ada yang membimbing. Namun ia sempat berhenti
menghafal karena tidak ada yang membimbing dan memotivasi. Waktu pun terus
bergulir dan akhirnya sampai 6 bulan ia masih belum bangkit kembali dari
keputusasaan. Dan alhamdulillah beberapa hari setelah bulan keenam itu ia sadar
bahwa ia telah berbohong kepada orang tua, guru dan tetangga karena mereka
menyangka bahwa ia telah hafal Al-Quran padahal hafalan itu telah hilang karena
sudah enam bulan lamanya tidak diulang-ulang.
Achmad
Saheri pun berkomitmen untuk pindah ke pondok pesantren Banyuanyar Pamekasan
Madura yang di dalamnya ada komunitas penghafal Al-Quran, harapannya agar ada
teman yang memotivasinya disaat malas. Hari demi hari dipenuhi dengan lantunan Al-Quran
dan alhamdulillah setelah 10 bulan di pondok pesantren Banyuanyar ia hafal
Al-Quran 30 juz.
Setelah
hafal Al-Quran banyak hal yang ia alami, seakanakan segala hal dimudahkan oleh
Allah. Semua yang berurusan dengan materi dipermudah oleh Allah. Ia sering
diundang orang untuk mengaji di rumahnya ketika ada acara tasyakuran. Setiap
sebulan sekali ada undangan rutin mengaji Al-Quran ke luar daerah.
Setelah
diwisuda Tahfizh Al-Quran, dewan pengasuh pondok pesantren memanggilnya dan
beliau bertanya, “Apakah kamu ingin umroh? Tanya beliau. “Iya.” Jawabnya dengan
tegas. “Kalau kamu ingin umroh, tolong siapkan uang 6 juta rupiah saja,
insyaAllah kita akan umroh pada bulan Ramadhan ini dan jangan sampai uang itu
hasil dari hutang” Kata gurunya. “Insya Allah guru, saya akan sampaikan kepada
orang tua saya.” Jawabnya dengan bahagia.
Dan
alhamdulillah ia bisa umroh dengan uang enam juta rupiah saja dan di tanah suci
satu bulan lamanya. Setelah sampai di tanah suci, banyak kejadian luar biasa
yang ia rasakan.
Suatu
ketika, saat ia mengaji Al-Quran di Masjidil Haram, ada orang Libya yang
mendengarkan lantunan ayat suci yang ia baca dan setelah selesai mengaji, orang
itu mulai berbincang-bincang dengannya memakai bahasa arab hingga pada akhir
perbincangan, orang Libya tersebut memberikan uang sebesar 150 SR atau Rp.
365.000 dan ada orang yang berkulit hitam dibelakangnya memberikan uang 10 SR
atau RP 25.000.
Pada
waktu di Makkah, ia sempat ditawari untuk menjadi imam tarawih di daerah
Misfalah, dekat dengan Masjidil Haram, hanya saja karena tidak ketemu lagi
dengan pengurus Masjid tersebut, akhirnya gagal.
Setelah
pulang dari tanah suci dan kembali ke tanah air tercinta, Achmad Saheri kembali
merasakan keajaiban dari AlQuran, ada seorang sahabat dekatnya menerima pesan
singkat dari nomor yang tidak dikenal yang isinya adalah tawaran beasiswa
khusus untuk hafizh (penghafal Al-Quran). Temannya pun mengirimkan kembali
pesan singkat itu ke nomor hpnya. Untuk memastikan informasi tersebut, Ia
telepon nomor Hp yang ada di dalam pesan singkat itu dan ternyata memang benar
bahwa ada tawaran beasiswa khusus untuk hafizh (hafal AlQuran) untuk
melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat perguruan tinggi yaitu ke Universitas
Islam Bandung (UNISBA).
Setelah
melewati tes seleksi khusus untuk hafizh (penghafal Al-Quran), alhamdulillah
dengan mudahnya, ia dinyatakan lulus dan berhak untuk kuliah di UNISBA secara
gratis sampai lulus sarjana. Alhamdulillah. Hatinya merasakan kebahagiaan
kembali karena sudah lama ia ingin kuliah tanpa merepotkan orang tua tercinta.
Keajaiban
Al-Quran tidak berhenti disini, setelah kuliah di UNISBA, Achmad Saheri sering
diundang untuk mengaji ketika ada acara-acara keislaman dan terkadang juga
menjadi pemateri di acara-acara keislaman. Bahkan hal yang membuatnya sangat
senang adalah ada orang yang mengangkatnya sebagai anak angkatnya yaitu Bu Ina
dan Pak Rahmat (Pemilik pabrik kue Ina Cookies dan Cafe De’tuik) yang begitu
terkenal di Kota Bandung. Dan ia mendapatkan tempat tinggal dan penghidupan
yang begitu membahagiakan, bertempat di jalan Bojongkoneng Bandung.
Keajaiban
itu datang tak henti-hentinya. Setelah beberapa bulan, ia kembali mendapatkan
hadiah yang luar biasa dari Allah, yaitu mendapat sebuah undangan dari-Nya
untuk berkunjung ke rumah-Nya, Baitullah. Ia ikut seleksi tahfizh yang
pesertanya orang-orang hebat diantaranya ada lulusan S1 di Universitas AlAzhar,
Cairo, S2 di Sudan dan S3 di Bogor. Saingannya begitu berat, mereka memiliki
pengalaman menjadi pembimbing umrah, bahasa Arabnya juga sudah lancar. Ia
sempat ragu untuk melangkah, namun Ia memberanikan diri melangkah dan
memutuskan untuk tetap ikut seleksi, masalah hasilnya ia serahkan kepada Allah.
Tes
seleksi pun dimulai, mulai dari tes tahfizh, psikologi, kepemimpinan, kepribadian
dan keagamaan. Semuanya sudah selesai dan semua peserta pulang ke rumahnya
masing-masing. Setelah beberapa hari kemudian, Ia mendapat telpon dari
Darussalam Tour dan meminta untuk datang ke kantornya. Keesokan harinya ia ke
kantor Darussalam Tour dan bertemu dengan Direkturnya. Beliau berkata, “Ustadz
Achmad, sebenarnya seleksi tahfizh kemarin ada tiga orang terbaik dan akan saya
berangkatkan ke tanah suci. Diantara yang tiga orang itu adalah Ustadz Ahmad.”
Ia terkejut dan bahagia mendengarnya. Dengan hati bahagia, Ia pun segera
menghubungi orang tuanya di Madura dan orang tuanya pun tak mampu menahan air
mata bahagianya.
B. Cacat, Namun Hafal Al-Quran dan Berprestasi
Syeikh
Amar Bugis, seorang pria berdarah Makassar yang ditakdirkan lahir cacat berupa
lumpuh. Pria kelahiran Amerika Serikat mulai mengalami masa lumpuh total sejak
usia dua bulan. Diagnosa Dokter Amerika ketika kelahiran beliau bahkan
menyampaikan bahwa paling sang bayi, bisa hidup hingga usia 8 tahun saja. Namun
atas Qudratullah jua lah, hingga tua seperti sekarang beliau masih hidup bahkan
lebih unggul hidupnya dari kita yang tidak cacat secara fisik.
Beliau
dilahirkan pada 22 Oktober 1986 dalam keadaan normal, ketika berusia dua bulan
mengalami kelumpuhan total. . Nama Bugis diambil dari nama kakek buyutnya yang
berasal dari Sulawesi, Syeikh Abdul Muthalib Bugis. Kakeknya hijrah dari
Sulawesi ke Mekkah dan mengajar Tafsir di Masjidil Haram. Kakak lelaki Ammar,
Hasan Bugis, tubuhnya normal, seorang pilot Saudi Airline. Sedang adiknya,
perempuan, yang juga lumpuh seperti Ammar, adalah seorang dokter.
Dari
masa kecilnya, beliau hanya mampu mengenyam sandiwara kehidupan hanya mata dan
mulutnya yang masih berfungsi. Walau nada bicaranya agak tidak jelas, semua tak
mengurangi semangatnya untuk hidup dan berarti.
Sejak
lahir kondisi beliau lumpuh total, tidak bisa berdiri, bahkan kepala pun tak
bisa ditengokkan ke kanan dan ke kiri, begitupun dengan lidah yang menjulur
keluar sejak lahir, namun siapa sangka banyak kelebihan yang beliau miliki.
Beliau sudah hafal Al-Qur’an sejak usia 13 tahun dalam 2 tahun.
Cacat
tidak menghalangi beliau untuk menuntut ilmu dan bersekolah hingga kuliah dan
mencapai predikat Professor. Untuk berjalan, beliau harus didorong oleh
pendampingnya dalam kereta bayi. Meski demikian, itu tidak menghalanginya untuk
tetap terus menimba ilmu pengetahuan dan melawan segala rintangan dan
tantangan. Waktu kecil, beliau sekolah di Amerika, sampai kelas tiga SD di
sekolah umum bersama anakanak yg normal fisiknya dan nilai raportnya istimewa.
Saat
sekolah di Amerika, Ammar mendapatkan perlakuan yang baik dari pihak sekolah.
Karena kondisi fisiknya yang cacat dan kesehatannya yang sering terganggu,
Ammar sering tidak masuk sekolah. Pihak sekolah memakluminya dan mengutus guru
wali kelas ke rumah Ammar untuk mengajar Ammar pelajaran yang tertinggal.
Selain itu pihak Sekolah juga menemui ayah Ammar yang sedang mengambil program
Doktor di Amerika, memberikan masukan kepada Ayah Ammar jangan sampai
memberhentikan atau melarang Ammar berangkat ke Sekolah.
Disamping
hal demikian, ketika memasuki Universitas, mampu meraih nilai tertinggi
(cumlaude) pada jurusan penyiaran dan komunikasi. Lalu, usai lulus dari Jurusan
Jurnalistik King Abdul Aziz University, beliau memutuskan menjadi wartawan
olahraga Harian Al Madinah yang terbit di Jeddah, dan kolumnis Harian Ukaz
terbitan Riyadh. Ia meliput berita Sepak Bola dan menulis di kolom
Kemasyarakatan.
Suatu
hari, Seorang Putera Mahkota Dubai bernama Hamdan bin Muhammad bin Rasyid Al
Maktum dijuluki Fazza’, sempat melihat film Ammar di You Tube. Setelah itu, ia
mengundang Ammar ke Dubai. Ammar ditanya apa keinginannya. Ammar ingin menjadi
dosen dan ingin melanjutkan S2. Putera Mahkota memenuhi keinginan Ammar untuk
menjadi dosen dan memberikan bea siswa untuk Ammar melanjutkan S2 nya di Dubai.
Sambil
meneruskan pendidikan S-2 di sana atas beasiswa Pangeran Uni Emirat Arab,
Hamdan bin Muhammad bin Rasyid Al Maktum Al Fazza, beliau juga sebagai dosen di
universitas yang ada di AS dan Dubai. Yang menarik juga, kesungguhan beliau
dalam menjalani kehidupan yang terbatas terbukti atas di anugerahkannya seorang
istri dan anak, sebuah keluarga kecil untuk beliau. Waktu sangatlah berharga
bagi beliau sehingga benar-benar dimanfaatkan sebaik mungkin. Beliau pun sering
mengisi waktu luangnya dengan menulis catatan semacam buku karangan. Bahkan,
dalam buku karangan beliau, pernah ditulis beberapa pertanyaan dalam judul “
Qobir Almustahil “.
Tak
puas langkahnya terhenti menjadi dosen, beliau eksis pula dalam berbagai event
keagamaan. Menjadi pengisi dakwah. Mengawali nasihatnya dihadapan para dosen
dan mahasiswa LIPIA Jakarta, Syaikh Ammar mengomentari sebuah pepatah yang
mengatakan bahwa akal yang selamat hanyalah terdapat pada badan yang sehat.
Diantara pesan yang disampaikan Syaikh Ammar untuk jamaah adalah agar menunaikan
rukun Islam yang lima: Bersaksi tiada tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala
dan Muhammad rasul-Nya, Sholat 5 waktu, puasa dan zakat serta naik haji ke
baitullah bagi yang mampu. Syeikh Ammar Bugis telah menjadi salah satu yang
menaklukan kemustahilan orang dalam meraih prestasi dalam hidup dan kedekatan
keada Alloh SWT. Terutama kehidupannya bersama sang bidadari yang diturunkan
untuk menjadi pendamping hidupnya.
Di
sisi yang lain, yang sungguh luar biasa adalah Istri beliau. Seorang wanita
Mesir yang ridha untuk bisa hidup bersama dengan Syaikh Ammar Bugis. Yang mana
diawal awal, keluarga istri Syaikh Ammar Bugis tentunya terasa berat.
Sarjana
Jurusan Jurnalistik alumnus King Abdul Aziz Universiti, Jeddah, itu tak hanya
istimewa karena lulus dengan predikat cum laude. Ada kelebihan lain yang
membuatnya mendapat penghargaan langsung dari Gubernur Makkah dan Wilayah Barat
Amir Khalid bin Faishal. Ammar Haitsam Bugis, wisudawan itu, adalah seorang
pemuda yang mengalami kelumpuhan total sejak bayi berusia dua bulan.
Hal
lain lagi yang menarik, dalam pelajaran olah raga Ammar tidak bisa mengikuti
olah raga bersama teman-temannya, pihak sekolah menyiapkan alat-alat
fisioterapi di sekolahnya untuk Ammar berolah Raga sekaligus sebagai bentuk
pengobatan dan dipandu oleh seorang ahli fisioterapi.
Selama
Ammar belajar di Sekolah ada seorang pemandu khusus untuk menemani Ammar yang
disediakan oleh pihak Sekolah selama di sekolah. Ketika Ayahnya selesai dari
studi S3 nya dan pulang ke Jeddah–Saudi Arabia, keluarganya tidak mendapatkan
sekolah yang mau menerimanya dengan alasan ia anak lumpuh yang tidak normal,
sekolah tidak mampu untuk memberikan perhatian khusus kepadanya.
Ammar
disarankan untuk belajar di Sekolah Luar Biasa. Ammar tetap ingin belajar di sekolah
umum dengan anak-anak yang normal. Dari kecil Ammar merasa bahwa dirinya tidak
ada bedanya dengan anak-anak yang normal dan yakin bahwa mampu melakukan
apa-apa yang mereka lakukan seperti belajar di sekolah yang formal. Ammar tidak
ingin dikasihani orang lain.
Akhirnya
kakek Ammar dapat meyakinkan salah satu kepala sekolah dan diperbolehkan
belajar di rumah (Home Schooling) dan
saat tes datang ke sekolah mengikuti ujian. Ammar berhasil sampai lulus SMA
dengan nilai raport rata-rata 96 dari nilai 100.
Cara
Ammar belajar, cukup pendamping Ammar dari pihak keluarga menyiapkan buku
pelajaran dan diletakkan di samping Ammar sambil berbaring dia membaca sendiri
buku pelajaran, jika sudah selesai dua halaman maka pendamping Ammar
membalikkan lembaran kertas di buku ke halaman berikutnya, begitu sampai
selesai Ammar membaca buku.
Ammar
minat dengan dunia jurnalistik dan ingin membuktikan bahwa orang yang cacat
secara fisik, orang yang berkebutuhan khusus mampu untuk sukses di berbagai
bidang. Meskipun diawal mula kuliah mendapatkan tantangan dari sebagian dosen
yang menganggap akan merepotkan civitas akademika. Ia tetap berjuang dan sabar
menghadapi segala sikap yang tidak mengenakkan dan menyakitinya.
Pernah
suatu saat ketika Ammar menuju kelas di kampus, dosen yang akan mengajar di
kelas juga berjalan menuju Aula, ketika melihat Ammar, dosen itu menyegerakan
langkah kakinya mendahului Ammar masuk kelas dan segera mengunci pintu kelas.
Pendamping Ammar segera mengetuk pintu kelas tapi dosen tersebut tidak
membukakan pintu.
Meski
banyak tantangan, Allah berikan kekuatan Hafalan yang luar biasa, Masya Allah.
Akhirnya Ammar berhasil mendapatkan nilai IP 4,84 dari maksimal angka 5. Dan
berhasil sampai lulus dengan nilai istimewa juga mendapat rangking pertama.
Cita-cita jadi wartawan pun terwujud saat ia diterima sebagai jurnalis di
harian “Al Madinah” di Jeddah selama lima tahun.
Bak
laksana, buah yang telah ditanam demikian, telah dapat dipetik. Semua juga tak
lepas dari peranan penting sang bunda yang melahirkan. Merawat dan menjaga dari
bayi hingga dewasa dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Hal ini pun
diceritakan di hadapan para mahasiswa yang hadir saat beliau diminta menjadi
penceramah. Mereka yang hadir menangis tersedu-sedu. Bahkan, ada beberapa dosen
yang bertakbir keras sambil menangis menjerit. Beliau pun menyayangkan banyak
kaum muslimin yang memiliki fisik sempurna tapi hatinya tidak sesempurna fisiknya.
Mungkin,
bagi sebagian besar bangsa Indonesia ihwal Syeikh Amar ini pun dapat menjadi
pelajaran berharga untuk manusia selayaknya dengan kesempurnaan fisik. Biasanya
di tanah air tercinta, orang cacat sering ditemui sebagai pengemis. Ini bisa
ditemui di kota–kota besar. Orang tuna di negeri sendiri sering diarahkan
kepada pengamen atau menjadi penyanyi, bisa jadi artis hanya beberapa. Jarang
sekali, diarahkan pada prestasi, terlebih pada keunggulan agama, semisal
menjadi ulama ataupun menjadi hafidz Al Quran.
Sungguh
keadaan Syeikh Ammar Bugis yang cacat dapat menjadi buah pikir bagi manusia
yang sempurna secara fisik. Berprestasi di semua jenjang pendidikan, lulus
dengan cum laude di jurusan jurnalistik dan menjadi lulusan terbaik di
kampusnya, penulis dan wartawan olah raga terkenal, dan hidup bahagia bersama
keluarga kecilnya, merupakan torehan “tinta emas” perjalanan Ammar menaklukkan
keterbatasan yang pantas menjadi cermin dan inspirasi bagi kita semua.Salah
satu inspirasi tersebut adalah cara pandang Ammar melihat keterbatasan.
Beliau
yang cacat saja mampu berprestasi, bagaimana dengan yang diberikan kesempurnaan
luar biasa? Lantas, cacat yang sebenarnya adalah orang yang cacat berpikir,
cacat kemauan, cacat perjuangan dan sejenisnya.
Bagi
seorang muslim, dunia adalah tempat ujian dan ladang pahala. Cobaan yang
diberikan oleh Allah kepada para hambaNya bermacam-macam bentuknya, salah
satunya dengan ketidak sempurnaan fisik. Sebagai seorang Muslim, cobaan
tersebut hendaknya disikapi dengan hati yang sabar dan ikhlas. Sebab di balik
kekurangan, Allah pasti memberikan kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
Kehidupan beliau dengan serba keterbatasan menjadikan cerminan bagi kita agar
lebih banyak bersyukur, lebih banyak belajar, lebih banyak beribadah, lebih
dekat dengan Allah SWT. Beliau bisa menjadi inspirasi bagi kita semua dengan
cara pandang beliau dengan keterbatasannya yang sangat menyayangkan banyak kaum
muslimin yang memiliki fisik yang sempurna tapi banyak yang tidak yakin dengan
kemampuan dirinya, kurang yakin dengan jaminan Allah Yang Maha Kuasa.
C. Kehilangan Pita Suara, Namun Bisa Membaca Al-Quran dengan Jelas Menjelang
Ajal
Syaikh
Amir Sayyid Usman adalah salah seorang ulama yang sangat menonjol dalam ilmu
tajwid, qira’ah, rasm, dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan Al-Quran. Beliau
bukan hanya dikenal di negerinya, Mesir, melainkan juga di seluruh penjuru
dunia Islam. Beliau adalah sosok yang luar biasa serta memiliki karamah yang
unik.
Syaikh
Amir mendapatkan ujian dari Allah pada tujuh tahun terakhir masa hidupnya,
beliau kehilangan pita suara. Meskipun demikian, beliau tetap menjalankan qira’ah kepada para murid yang
senantiasa menimba ilmu dari beliau. Tentu saja, beliau tidak bisa melafalkan
kalimat dengan fasih. Beliau hanya dapat mengeluarkan suara tersedu-sedu sekaan
meringkik sambil memberi isyarat. Kemudian, beliau mengalami sakit keras yang
mengantarkannya kepada ajal.
Ketika
itu, beliau berbaring di rumah sakit. Seperti diketahui, sudah cukup lama
beliau tidak bisa bersuara. Namun, hari itu para perawat di rumah sakit
dikejutkan oleh sang syaikh, yang sudah bertahun-tahun kehilangan pita suara.
Mereka mendapati beliau sedang duduk sambil menyenandungkan bacaan Al-Quran
dengan suara yang nyaring dan merdu selama tiga hari, padahal sebelumnya tidak
lagi mampu bersuara. Beliau pun mengkhatamkan bacaan/hafalan Al-Quran mulai
surat Al-Fâtihah hingga surat An-Nâs.
Setelah itu, beliau pun menghembuskan
nafas terakhirnya menghadap Sang Pencipta.
Syaikh
Amir Sayyid Usman lahir di Malamis, sebuah kota di provinsi Syarqiyyah, Mesir,
16 Mei 1900 M. Beliau hafal Al-Quran sejak masih belia di kampung halamannya,
di bawah bimbingan Syaikh Athiyyah Samalah. Pada tahun 1911, beliau berangkat
ke Kairo, untuk belajar qira’ah kepada
Syaikh Abdurrahman Subai’, orang nomor satu di bidang qira’ah saat itu, kemudian kepada pengganti beliau setelah mangkat,
yaitu Syaikh Hammad Quthb Abdul Hadi hingga mendapatkan ijazah darinya. Di
samping itu, beliau juga menimba ilmu di Al-Azhar dan menjadi pengajar di
almamaternya hingga tahun 1968 M.
Syaikh
Amir memberikan perhatian sangat besar terhadap Al-Quran dan segala yang
terkait dengannya sehingga menjadi pakar di bidang ini. Beliau juga menjadi
pengawas dalam proyek rekaman mushaf murattal
dan mujawwad yang dibawakan oleh qurra’ ternama, seperti Syaikh Mahmud
Khalil Al-Hushari, Syaikh Mahmud Ali Al-Banna, Syaikh Abdul Basith Abdush
Shamad, Syaikh Musthafa Shiddiq Al-Minsawi, dan Syaikh Musthafa Ismail.
Pada
tahun 1980 M, beliau dipilih menjadi Syaikh Ummil Maqari’ Al-Mishriyah
menggantikan Syaikh Al-Hushari. Selanjutnya, pada tahun 1985 M, beliau pergi ke
Madinah karena diangkat menjadi penasihat di Kompleks Pencetakan Al-Quran Raja
Fahd dam bertindak sebagai penashih Mushhaful
Madinah Al-Munawwarah.
Beliau
wafat di Madinah pada tanggal dan bulan
kelahirannya, 16 Mei 1988 M dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Semoga Allah
merahmati beliau dan menempatkan di surga-Nya kelak.
D.
Membaca Al-Quran Saat
Tertidur
Syaikh
Ahmad Ismail, seorang muqri’ besar di
Madinah, pernah bercerita, “Sejak lima tahun yang lalu, aku tidak pernah
membuka mushaf–karena alhamdulillah hafal
di luar kepala–. Selama ini aku tidak pernah keliru dalam membaca
ayat, kecuali hanya sekali, yaitu ketika membaca ayat:
“Dan Apakah mereka tidak mengadakan perjalanan
di muka bumi....” (QS. Ar-Rum [30]: 9)
Lantas,
aku pun duduk selama tiga hari, barangkali aku bisa mengingatnya kembali.
Namun, apa yang aku lakukan itu percuma saja. Ketika aku sedang telentang di
atas pembaringan, tiba-tiba aku tertidur. Kemudian, aku bermimpi tiba-tiba ada
seseorang yang memanggilku, ‘Ahmad, Ahmad...! Allah SWT berfirman,
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka
bumi dan memerhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum
mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah
mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim
kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.” (QS.
Ar-Rum [30]: 9)
Aku
pun terjaga dalam keadaan sangat girang karena sudah kembali dengan satu ayat,
yang aku sempat dibuat lupa dengannya.
Di
antara nikmat Allah yang aku rasakan adalah keterikatanku yang begitu erat
dengan Al-Quran, dan khawatir lupa atau hilang hafalan, aku berusaha
memperbanyak muraja’ah (mengulang
hafalan), baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dalam sehari aku
sering membaca lebih dari separuh Al-Quran (15 juz). Bahkan, suatu kali pernah
aku mengalami kejadian yang unik, aku membaca satu atau dua juz
Al-Quran
dalam keadaan tertidur. Ketika bangun di pagi harinya, aku lanjutkan kembali
bacaan tersebut tepat dari ayat ketika aku berhenti membacanya di saat tidur.
Subhanallah, kisah
yang sangat menakjubkan. Betapa kecintaan kepada Al-Quran, menjadi keindahan
bagi pecintanya. Di saat lupa pun, Allah sebagai Pemilik firman,
mengingatkannya lewat mimpi sekalipun.
E. Mulut Wangi Beraroma Kesturi
Pada
zaman dahulum di Kota Madinah hidup seorang imam besar dalam bidang qira’ah. Beliau merupakan salah satu di
antara al-qurra’ as-sab’ah (tujuh
imam qira’ah). Namanya adalah Nafi’
Al-Madani. Lengkapnya, Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdirrahman bin Abi Nu’aim
Asy-Syiji’i Al-Madani. Imam Ibnu Katsir berkata, “Kepemimpinan dalam bidang qira’ah berakhir kepada Imam Nafi’.
Beliau mengajarkan qira’ah dalam
rentang waktu yang sangat panjang. Kulitnya hitam legam, tetapi wajahnya
memancarkan cahaya dan akhlaknya sungguh mulia.”
Imam
Nafi’ adalah guru Imam Malik dalam bidang qira’ah
AlQuran. Ketika Imam Malik ditanya tentang basmalah, beliau menjawab,
“Bertanyalah tentang setiap ilmu kepada ahlinya. Nafi’ adalah imam (panutan)
manusia dalam bidang qira’ah.”
Maksudnya, beliau menyarankan agar menanyakan hal itu kepada Imam Nafi’. Said
bin Manshur berkaya, “Aku pernah mendengar Imam Malik berkata, ‘Qira’ah Nafi’ adalah sunnah.’” Sementara
itu, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya oleh putranya, Abdullah, “Qira’ah mana yang lebih ayah sukai?”
Beliau menjawab, “Qira’ah ahli
Madinah.” Maksudnya adalah qira’ah Imam
Nafi’. Lewat Imam Nafi’-lah di dunia Islam dikenal dengan adanya dua riwayat
bacaan beliau, yaitu (1) Riwayat Qalun, yang
dibawakan oleh Imam Isa bin Mina bin Wardan, yang tersohor dengan julukan
Qalun, dan (2) Riwayat Warsy, yang
dibawakan oleh Imam Utsman bin Sa’id bin Abdullah Al-Mishri.
Imam
Nafi’ lahir pada tahun 70 H (690 M) dan wafat pada 169 H (785 M). Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa beliau berasal dari Asfahan, seperti yang beliau
ceritakan sendiri kepada salah seorang muridnya, Al-Asma’i. Kemudian, beliau
merantau ke Madinah untuk mencari ilmu. Belaiu belajar dan mengambil qira’ah dari sejumlah tabi’in, di
antaranya Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Abu Ja’far Al-Qari, Syaibah bin
Nashah, Yazid bin Ruman, Az-Zuhri, dan lainnya.
Imam
Nafi’ pernah mengatakan kepada salah seorang muridnya, Abu Qurrah Musa bin
Thariq, “Aku menggurukan bacaan Al-Quran kepada tujuh puluh (ulama Tabi’in).”
Sementara para tabiin itu mengambil qira’ah
dari para sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Iyash bin Abi Rabi’ah Al-Mahzumi dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah Saw.
Beliau menerimanya dari Jibri, sedangkan Jibril membawakannya dari Allah SWT.
Di
antara karamah yang dimiliki oleh Imam Nafi’ adalah mulut beliau menyebarkan
aroma wangi kesturi. Imam Ibnu Jazari membawakan riwayat dari Imam
Asy-Syaibani, yang menceritakan dari salah seorang murid yang belajar qira’ah kepada Imam Nafi’. Si murid
menyatakan bahwa saat beliau berbicara, dari mulutnya tercium kesturi. Lalu,
ditanyakanlah hal itu kepadanya, “Apakah
Tuan memakai minyak wangi setiap kali duduk untuk mengajarkan Al-Quran kepada
kami?” Beliau menjawab, “Aku tidak mendekati minyak wangi dan juga tidak
menyentuhnya. Hanya saja, aku pernah bermimpi bahwa Nabi Saw. membacakan
Al-Quran ke dalam mulutku. Semenjak itu, tercium aroma ini dari mulutku.” Oleh
karena itu, Imam Syathibi menyebut Imam Nafi’ dalam kitabnya dengan sebutan “si
wangi” (at-tîb).
Suatu ketika dikatakan kepada Imam Nafi’, “Betapa elok wajahmu dan betapa baik akhlakmu, Tuan!” Beliau menjawab, “Bagaimana aku tidak demikian, sedangkan Rasulullah Saw. menjabat tanganku. Aku juga menggurukan bacaan Al-Quran kepada beliau.” Maksudnya adalah dalam mimpi.
Semoga
kisah Imam Nafi’ menjadi motivasi bagi kita, betapa Al-Quran bisa mendatangkan
keajaiban kepada pembaca dan penghafalnya.