Oleh :
Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Kebesaran Adat Alam
Minangkabau dapat dilihat dari cita-citanya yang luhur dan suci, yang menjadi
cita-cita dari seluruh penghulu-penghulu atau ninik mamak di Alam Minangkabau.
Adapun cita-cita yang dimaksud adalah sebagai berikut:
A. MANUSIA HARUS MERDEKA HATI
Artinya setiap manusia
harus bebas dari segala macam utang piutang, terhindar dari rasa hina dan malu.
Pepatah adat berbunyi:
Orang
elok selendang dunia
Orang baik suka dilihat
maksudnya ialah setiap manusia itu harus sedapat mungkin tidak selalu
berhutang, baik utang moril maupun materiil, sebab kalau berutang kiri
kanannya, maka akan menimbulkan keterikatan yang sangat berat, yaitu:
1. Beban moral
Karena telah berutang
budi kepada orang lain, maka di samping berutang materiil yang telah
diterimanya juga utang budi pada orang teresebut yang telah bersedia
meminjamkannya di waktu sulit, yang telah melapangkannya di waktu sempit.
Sebagai seorang manusia yang baik dia harus secepatnya mengembalikan pinjaman
tersebut, utang dibayar piutang diterima.
Tetapi jika utang
tersebut pada waktunya tidak dapat dibayar karena suatu persoalan, akibatnya
pertama, dia telah melanggar Pasal 8 Undang-undang Orang Dalam Nagari; kedua,
telah melanggar ajaran pepatah adat, hendak
mulia tepati janji, utang dibayar piutang diterima; ketiga, di mata orang
yang memberi utang dia telah hina, di hatinya sendiri merasa rendah diri atau
merasa agak hina dan di mana dia telah berutang, akan merasa malu jika berjumpa
lagi dengan orang tersebut, malu hati malu diri, kecuali jika seseorang
tersebut tidak berbudi baik atau tebal telinga dan tebal muka.
Jadi pada prinsipnya
Adat Minangkabau melarang orang untuk terus dililit utang, supaya tiap-tiap
manusia itu harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau selalu
berusaha untuk memperbaiki hidupnya sehingga kemakmuran dan kebahagiaan dapat
dinikmatinya. Jangan sampai terjadi besar
pasak daripada tiang, pengeluaran melebihi pendapatannya.
Isi maksud dari merdeka
hati itu ialah supaya setiap anak kemenakan di Alam Minangkabau ini tidak
merasa hina, tidak merasa terjajah, tidak merasa tertindas, dan tidak merasa
berdosa dalam hati, melainkan bebas dan merdeka. Jangan sampai terjadi,
Rancak
karena pakaian orang
Kaya karena piutang orang
2. Merasa tidak berguna
Merasa tidak bermanfaat
bagi orang lain, merasa tidak berarti lagi hidup di atas dunia ini karena
miskin dan tidak punya apa-apa yang patut dibanggakan. Sebenarnya berpunya
ataupun tidak itu terjadi lantaran sebab, dan di antaranya asalnya ialah karena
ada di antara manusia itu yang selalu bekerja keras dan rajin membanting
tulang, memutar otak dan memeras keringat karena didorong oleh pikiran yang
sehat serta luhur dan tinggi, sehingga oleh Allah dikarunia rezeki yang
melimpah dan kedudukan derajat yang tinggi. Namun di samping itu ada juga yang
malas berusaha, malas memeras keringat dan memutar otaknya, hidup hanya
menerima takdir belaka, banyak bermain daripada bekerja, banyak tidur daripada
bangun, karena tidak mempunyai cita-cita yang jelas, sebab selalu
dibayang-bayangi oleh angan dan khayalan belaka, sehingga akhirnya hanya
menjadi orang yang tidak berpunya.
Karena itu selaku
manusia yang berbudaya, peganglah niat, tegakkanlah cita-cita untuk dapat pula
hidup menjadi orang yang berpunya, sehingga kebahagiaan lahir dan batin dapat
terwujud dalam kenyataan. Janganlah sekali-kali merasa hidup ini tidak berguna lagi,
merasa hina dan rendah diri, dan sebagainya, sebab akan menjadi penghalang bagi
kreatifitas dan semangat kerja.
Sehubungan dengan itu
janganlah seorang manusia itu suka menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat
luas, tetapi tidak boleh juga berpuas diri atas hasil yang telah diperoleh
selama ini, karena juga akan menghambat semangat kerja dan keberhasilan yang
lebih baik. Oleh sebab itu janganlah merasa diri kita tidak berguna lagi,
karena semua yang tercipta tidak ada yang tidak berguna, sebagaimana ajaran
adat dalam handai-handainya yang berbunyi:
Si
lumpuh untuk penghuni rumah
Si
buta penghembus lesung
Si
pekak pelepas bedil
Si bisu pengejut ayam Orang cerdik lawan
berunding Orang kuat lawan bekerja.
3. Merasa kecil
Menganggap diri sendiri
bodoh karena tidak bersekolah dan sebagainya. Perasaan demikian tidak boleh
dipakai, tetapi jangan pula menganggap diri paling pintar, tidak tahu diri
sendiri dan takabur, karena itu kesombongan dan dibenci oleh orang dan Allah. kita
harus mengenal diri sendiri, dan karenanya harus selalu melakukan introspeksi.
Hendaklah para pemuda pemudi betul-betul menjadi pemuda pemudi yang gagah
perkasa, cakap dalam berbagai hal, mempunyai moral yang tinggi dan mental yang
kuat. Inilah yang disebut dengan orang
baik suka dilihat, artinya untuk menjadi contoh teladan bagi orang lain,
baik bagi diri maupun untuk anak kemenakannya.
B. MANUSIA HARUS MERDEKA TUBUH
Maksudnya ialah supaya
badan atau jasmani selalu dalam keadaan sehat walafiat, tidur nyenyak makan
enak, harta pusak selalu dapat ditolong, adat dan lembaga berjalan lancar,
bertanah lunak tempat bersawah dan berladang, kalau jauh boleh ditunjukkan,
kalau dekat boleh dilihat.
C. MANUSIA HARUS MERDEKA TEMPAT
Artinya mempunyai rumah
tangga yang teratur, berlumbung (rangkiang) yang penuh dengan hasil panen,
laksana cermin tergantung, seperti lampu dipasang malam, bak pinang masak
separak, kalau rupa boleh dilihat, rasanya pun boleh dimakan, asal menurut
baris adat yang dilingkung cupak dan gantang, dikepung oleh sako dan pusako.
D. MANUSIA HARUS MERDEKA ALAM
Artinya tidak terjadi
silang sengketa, tidak menaruh bantah dan kelahi, rukun dan damai dalam hidup
dan kehidupan, gembira dan bahagia dalam pergaulan. Keadaan demikian telah
terpahat ke tiang panjang, telah disandarkan ke batu besar. Itulah baris yang
tertegak, di situlah coreng yang terlintang. Kalau belum ada yang seperti itu,
kurang bangsa melihat kepada bapak, kurang pusaka meminta kepada mamak, kalau
kurang suka berkehendak kepada lembaga. Adapun berkehendak kepada lembaga ada
tiga perkara:
- Tersurih
seperti dibajak; artinya terbang bersitumpu melambang urat, meninggalkan
lesung dan merunggai, hingga mencekam melambang tanah, membawa adat dan
pusaka seperti yang dimaksudkan oleh pepatah adat:
Enggang terbang bermahkota Gajah berjalan
membawa belalai raja berjalan dengan daulatnya.
- Bertukik
laksana berindang: artinya terbang bersitumpu dahan dan hinggap
mencengkeram batang, bertali maka dihirik (ditrarik), bertampuk maka
dijinjing, bertunggul berpenebangan, berbatang berpengkabungan.
Demikianlah baris yang berpahat, ukur yang berkabung (dipotong), sejak
dahulu dan terpakai di masa sekarang.
- Besar
adat karena lembaga, besar sumpit karena isinya. Kalau hendak mengaku raja ke
dalam alam, mengisi kepala alam, kalau hendak bertuah ke dalam nagari,
mengisi ke nagari, tidak takut berhabis emas sentosa awal dan akhir.
Kalau tidak ada sirih,
pinang tidak enak; kalau tidak ada pesan tentu tidak tiba. Tetapi jika adat
telah diisi lembaga, lembaga telah dituang, berjalan telah menurut kata yang
benar dan alur patut jadi pedoman, berlicak pinang bertepung batu, dibacalah
sumpah setia yang lama. Begitulah waris yang dijawat, demikianlah amanat yang
dipegang, petuah ninik kita yang berdua, ada pula pantangan adat dan pusaka
sebanyak tiga perkara:
1. Beritik dan berayam di
tepi sawah
2. Kerbau dan sapi lepas
malam
3. Kambing dan biri-biri di
dalam kampung.
Jika dilanggar pantangan
adat dan pusaka itu, sia-sia berdiri di tepi tebing, paham takabur yang
dipakai, kampung dan koto akan binasa, jorong dan nagari yang akan kacau, kebun
tidak akan berpagar lagi, menyumpah tanaman yang baru tumbuh, jerih habis rugi
yang dapat, kusut dan kacau koto dan kampung, karena pantangan sudah dilanggar.
Keinginan Adat dan
Pusaka yang harus menurut garis dan berlebas dalam koto dan nagari adalah:
1. tempat beritik dan
berayam di dalam kampung yang berbanjar (tempat tinggal dahulu/kebun)
2. tempat kambing dan
biri-biri ialah dekat semak dan belukar.
3. tempat beternak kerbau
dan sapi ialah di perbukitan di padang lengang, di dekat lurah bencah berair,
kalau ternak itu haus ada tempat air minum, ada lumpur untuk berkubang.
Itulah aturan-aturan
yang dipakai, kalau siang bertali kokoh, kalau malam berkandang tidur, supaya
tidak lepas. Jika sudah dipakaikan yang seperti itu, terhindarlah kita dari
kita bahaya, jauh dari silang sengketa, berkorong kampung dan bernagari yang tertib
dan teratur.
Yang merusakkan adat dan
pusaka, pantangan undangundang yang duabelas di dalam Koto dan Nagari adalah:
a. Tidak melihat salah dan
benar, berbenak ke empu kaki, berteras ke ujung dahan, selalu berbantah dan
berkelahi, musuh saja yang dicari, sengketa saja yang dihadang.
b. Banyak berdendam
berkesumat, bersengketa di dalam batin, bermusuh di dalam selimut, sudah di
kaki laga ayam, sudah bersinggung lutut dengan siku, sudah berlaga kaki dan
tangan, sehingga telah seperti mengambil niru pada pinang, laksana meremas
santan pada sempelah, begitulah sulitnya keadaan.
c. Kuat bertengkar perang
mulut (bacaran), jika dipakai
sifat-sifat demikian, sukarlah yang liar menjadi jinak, jaranglah yang berat
menjadi ringan, segala pekerjaan akan terbengkalai, segala maksud tidak akan
sampai.
Supaya tidak bertemu
dengan perbuatan-perbuatan yang merusak dan melanggar adat dan pusaka tersebut,
baiklah diikuti baris adat, hendaklah digenggam kata yang benar, mencari
saudara kenal-mengenal, mencari emas berbenarbenar, mencari ilmu dengan usaha
yang benar.
Dalam hal perkara salah, salah itu berdiri atas makhluk
yang bodoh lagi jahil. Bodoh ialah bekerja tanpa ilmu pengetahuan, sedangkan
jahil ialah mempunyai ilmu pengetahuan tetapi tidak dikenalkannya. Di situlah
terjadinya: Utang yang berpintu, salah yang berkeadaan, sebagaimana pepatah
adat:
Sababnyo kayu dibari batupang Batupang karano
dek dahannyo
Sababnyo
pangulu ado bautang
Bautang dek anak jo kamanakannyo
(Sebabnya kayu diberi
bertupang Bertupang karena ada dahannya
Sebabnya penghulu ada
berutang
Berutang oleh anak dan
kemenakannya).
Salah
yang berkeadaan itu terbagi atas empat macam:
1. Salah kepada penghulu,
hukumnya ialah berutang.
2. Salah kepada raja,
hukumnya mati.
3. Salah kepada manusia,
hukumnya minta maaf. 4) Salah kepada Allah, hukumnya tobat.
Berutang
itu dibagi dalam tiga bagian:
a. Berutang dengan
mengganti rugi, artinya orang yang bersalah itu tentang kesalahannya, sehingga
mau mengganti rugi dengan sepatutnya. Maka maksudnya itu disampaikannya kepada
penghulu-penghulu dalam nagari dengan menyatakan bahwa dia telah bersedia
mengganti rugi atas kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan demikian, maka
diputuskanlah oleh Hakim tentang besar kecilnya ganti rugi yang dimaksud
beserta dengan tata caranya.
b. Sepohon pangkal, artinya
orang bersalah itu tahu akan kesalahannya, maka dipanggilnyalah
penghulu-penghulu dalam nagari dan diberinya minum-makan, dan setelah itu maka
dijelaskannya maksud dan tujuannya, datang bukan karena diturut, tiba karena
tidak dihimbau, sudah merekah saja seperti delima.
c. Sembah andiko, artinya
orang yang bersalah itu tahu tentang kesalahan orang lain, sedangkan orang lain
tahu pula tentang kesalahan dari orang yang bersalah tadi. Maka tata caranya
perkara tersebut diserahkan kepada lembaga Kerapatan Adat Nagari, dengan
menyatakan bahwa mereka telah tertempuh jalan yang dilarang.
Salah kepada raja
hukumnya mati, ada tiga pula macamnya:
a. Timbangan yang lebih
berat, artinya kerbau seekor yang harus disembelih, beras sebanyak seratus
gantang, untuk dimasak dan dimakan oleh orang yang patut dalam nagari.
b. Denda yang lebih kuat,
artinya diyat dengan emas sekati lima serta uang menurut sepatutnya, ditambah
dengan hukuman tambahan menurut Hakim.
c. Hukuman yang lebih
berat, yaitu jatuh kepada buang, yang
terbagi dalam enam jenis:
1) Buang sirih; artinya kemenakan yang
membuang mamaknya, sebab mamaknya tidak memakai sifat dan martabat yang baik,
suka merampas mengurangi harta pusaka, menjual dan menggadai menurut kemauannya
sendiri, dan sebagainya.
Untuk mengadukan mamaknya itu, maka diambillah carano untuk diisi
dengan sirih, dipersembahkan kepada penghulu-penggulu, anggota KAN (Kerapatan
Adat Nagari) yang bersangkutan, untuk diketahui agar gelar pusaka (sako) itu
akan dibawa oleh familinya yang lain, atau bahkan sako tersebut disimpan buat
sementara.
2) Buang bilah; artinya buang yang boleh
ditarik-tarik.
3) Buang utang; artinya setelah hukuman
dijatuhkan oleh hakim kepada yang bersalah, tetapi yang berutang itu tidak mau
membayarnya, kalau salah tidak mau ditimbang, maka dibuanglah orang itu menurut
sepanjang adat, tidak dibawa lagi
sehilir semudik, sesakit sesenang, sampai dia dapat atau mau membayar utangnya
yang telah ditetapkan tersebut.
4) Buang tingkarang; artinya dibuang untuk
selamalamanya, tidak boleh dipergunakan lagi, diusir dari korong dan kampung,
ditolak dalam nagari.
5) Buang buluh; artinya kemenakan tidak
mau menurut jalan yang benar, tidak mau menempuh jalan yang golong, sudah
tinggi bak langit sudah beras bak batu, kusut tidak mau diselesaikan, keruh
tidak suka diperjernih, maka dibuanglah kemenakan itu, kerbau tegak kubangan
tinggal, mati enau tinggallah hutan, emas surut ke tambangan, baju terpasang
kepada yang punya.
6) Buang bidak; artinya orang yang
mengerjakan sumbang salah, maksiat dalam kampung, sehingga tertangkaplah orang
itu dan dijatuhkan hukuman , yaitu kedua-duanya diusir dari nagari untuk
setahun lamanya.
Tentang
minta maaf kepada manusia ada pula tiga bagian:
1) Basa dan basi; artinya orang yang telah
bersalah itu telah tahu akan kesalahan yang telah dibuatnya, maka
dijengkuknyalah orang yang telah disakitinya itu dengan sirih dan pinang,
sembari meminta maaf atas segala perbuatannya.
2) Jamu berunut; artinya orang yang
telah bersalah itu telah tahu akan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka
dijenguknyalah orang yang telah disakitinya itu dengan membawa nasi yang cukup
dengan lauk-pauknya, dan tidak boleh tinggal adalah sambal goreng ayam.
Kemudian dimintakannya maaf yang sebesar-besarnya kepada yang telah dianiayanya
itu.
3) Doa selamat; artinya telah
diikrarkan dengan lidah, disebutkan dalam hati, bahwa dia memang telah
melakukan kesalahan. Diundanglah orang yang telah disakitinya itu beserta ninik
mamak dan penghulupenghulu yang patut saja, dan diberi minum dan makan. Sesudah
minum dan makan, dimintanyalah ampun dan maaf yang sebesar-besarnya kepada
orang yang telah dirugikannya itu di hadapan majelis yang hadir ketika itu.
Yang buruk sama dibuang, yang elok sama dipakai, yang enak sama dimakan, dan segala
perbuatan yang tidak baik itu dihanyutkan saja ke air hilir dan dikubur ke
dalam tanah yang lekang, dengan doa yang dibacakan oleh alim ulama.
E. ISTILAH-ISTILAH HUKUM ADAT
Istilah-istilah yang
terdapat dalam Hukum Adat Minangkabau begitu banyak dan beragam, dan
penyebutannya terkadang dipengaruhi oleh dialek bahasa anak nagari dalam
lingkungan Adat Minangkabau. Namun sedapatnya akan dijelaskan pengertian
mengenai istilah yang umum dipakai dalam hukum Adat Minangkabau.
1. Alur yang lurus
Alur atau jalan itu dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a. Alur adat; artinya segala sesuatu
yang akan dikerjakan boleh atau dapat dimusyawarahkan untuk mencari kata
mufakat.
b. Alur pusaka; artinya segala sesuatu
yang dikerjakan ada yang patut tidak boleh untuk dimusyawarahkan untuk mnencari
kata mufakat.
Jalan
ialah yang boleh dilalui atau ditempuh oleh jasmani dan akal
pikiran kita. Akal terbagi lima, yaitu:
1. Akal yang menjalar; yaitu memilih ke kiri,
memutar ke kanan, datang di waktu pergi ketika pulang disinggahinya juga.
2. Sembarang akal; artinya selayang mau ke
api selintas mau ke air, pahamnya hendak merugikan orang saja, terkurung hendak
di luar terhimpit hendak di atas.
3. Akal terkumpul; artinya jika tidur
terlalu nyenyak, jika sembunyi terlalu hilang, angan lalu paham tertumbuk, akal
ada usaha kurang, banyak segan dan ragu-ragu.
4. Akal tawakkal; artinya memilih pada
yang nyata, menanti gerak dengan takdir, memakai sabatr dengan rela, mengandung
iman dengan taat.
5. Akal yang sempurna; yaitu tubuh sehat akal
berjalan, tahu mengira-ngira dan menduga, pandai memperkirakan untung dan rugi
suatu perbuatan.
2. Pusaka ditolong
Maksudnya ialah karena
pusaka itu dibesarkan secara turun menurun dari moyang sampai ke ninik, dari
ninik turun ke nenek, dari nenek turun ke mamak, dan dari mamak turun ke
kemenakan, sebagaimana pepatah adat:
Biriek-biriek
tabang ka sasak
Tibo
di sasak mancari makan;
Dari
ninik turun ka mamak
Dari
mamak turun ka kamanakan
(Birik-birik terbang ke
sasak
Tiba di sasak mencari
makan;
Dari ninik turun ke
mamak Dari mamak turun ke kemenakan).
Adapun pusaka itu ada dua macam, yaitu:
a. Pusaka yang tidak
berupa, disebut juga dengan sako. Sejak
mula-mula gelar itu ada maka sejak itu tidak akan kunjung hilang atau lenyap,
dan terus turun temurun dan sambung menyambung atau jawat berjawat. Walaupun
orang yang memakai gelar tersebut telah meninggal seorang demi seorang namun
gelarnya atau sakonya itu akan tetap hidup. Seandainya orang yang memakai gelar
itu telah meninggal dunia dan tidak ada lagi kemenakankemenakan yang akan
menggantikan memakai gelar itu, maka gelar pusaka itu akan tersimpan saja, dan
dalam istilah adat disebut pusaka berlipat, artinya gelar itu telah dipahatkan
ke tiang tinggi.
Tetapi
apabila nanti telah ada di antara kemenakannya yang memenuhi syarat untuk
memangku jabatan sako tersebut maka
gelar pusaka (sako) yang berlipat tersebut
boleh dikembang (dipakai) kembali, sehingga muncul kembali gelar yang
telah disimpan (berlipat) sekian lama, dan ini jugalah yang disebut dengan
istilah: Membangun gelar pusaka lama, atau membangkit batang tarandam.
b. Pusaka yang berwujud,
yaitu disebut juga dengan pusako, yaitu
harta benda dari kaum tersebut, seperti sawahladang, rumah gadang, kolam ikan
dan sebagainya.
Kedua
jenis pusaka ini wajiblah dibesarkan atau dijunjung tinggi oleh seluruh anak
kemenakannya. Gelar sako itu dihormati dan dimuliakan, sedangkan harta bendanya
dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Alangkah janggalnya dan
tabunya dan menodai gelar pusakanya itu dengan perbuatan-perbuatan yang tidak
pada tempatnya, misalnya karena anak kemenakannya yang mengotori dan menodai
gelar pusakanya itu dengan perbuatan-perbuatan yang tidak pada tempatnya,
misalnya karena anak kemenakannya itu seorang penjudi, pemabok, pezina dan
sebagainya, yang akan membuat malu orangtuanya, terutama mamaknya yang memangku
gelar pusaka, karena orang yang akan bertanya kemenakan siapa yang telah
berbuat begitu, sehingga arang tercoreng di kening mamaknya, malu yang tidak
dapat disembunyikan, sehingga berdampak psikologis bagi mamaknya dan orang
sekaumnya.
Sedangkan harta benda
yang berwujud itu mesti dipelihara, dijaga, dirawat, dipertahankan dan
dikembangkan, agar yang satu menjadi dua, yang dua menjadi tiga atau tempat.
Inilah yang dikatakan pusaka ditolong. Apabila
keadaan benar-benar mendesak dan darurat, maka harta pusaka berupa benda ini
sementra waktu dapatlah digadaikan dahulu untuk ditebus kembali di waktu
lapangnya. Karena itu menjual harta pusaka dilarang sekali menurut ajaran adat,
karena apabila harta tersebut semakin berkurang dari asalnya, maka itu berarti
harta pusaka tidak lagi ditolong, tetapi menggolong namanya, melicin-tandaskan
harta yang dibukan diperoleh dari pencaharian sendiri.
Untuk menggadaikan harta
pusaka haruslah terlebih dahulu atas
kesepakatan seluruh ahli waris atau seluruh anggota kaum, terutama yang bertali
darah, sebab harta pusaka itu bukanlah kepunyaan ninik mamak secara pribadi,
melainkan hak milik atau kepunyaan seluruh anggota kaum. Penghulu atau mamak
kepala waris hanyalah sebagai pemegang kekuasaan untuk memelihara dan
mengembangkannya. Memang harta pusaka itu sejak dahulu di dalam kaum
bersangkutan telah dibagi-bagi sebanyak perut yang ada dalam kaum ganggam sudah bauntuak, pagang sudah
bamasiang-masiang, namun terhadap pusaka hanya bersifat hak pakai untuk
dilanjutkan kepada anak kemenakan setelah dia (warisan bersifat kolektif).
3. Warih nan dijawek
Yang disebut dengan
warih (waris) ialah sesuatu barang yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah
meninggal dunia dan diterima oleh ahli warisnya, yaitu semua kemenakan-kemenakannya
yang masih hidup, baik waris itu berupa harta benda maupun gelar pusaka (sako). Penerimaan ini dinamakan warih nan dijawek. Termasuk juga di sini
apabila seseorang anggota kaum telah menerima tutur kata ataupun wasiat dari
mamaknya sendiri tentang sesuatu perkara lama dan dia kemudian menjelaskan
bahwa dia telah menjawat waris dari orang lain atau dari mamaknya tersebut.
Dalam arti sebenarnya,
seseorang itu tidaklah menjawat waris, melainkan menjawat tutur kata atau suatu
pernyataan terhadap suatu peristiwa yang dahulu telah terjadi untuk diketahui
secara umum oleh anak kemenakan dalam kaum, dan yang dikatakan menjawat waris
itu ialah menjawat waris penghulu berupa harta pusaka, baik berwujud maupun
tidak (sako).
Adapun waris itu dibagi
atas dua bagian, yaitu:
1. Waris nasab; artinya waris yang bertali darah. Waris nasab
ini kalau mempunyai suku disukui, kalau pusaka dipusakai, tergantung kepada
yang sepayung sepatagak, yang selingkung cupak adat, tidak berjauh dan
berhampir, tidak bertinggi dan berendah, tetapi syaratnya adalah orang itu
harus mempunyai martabat yang enam perkara dan jatuh kepada waris pangkat.
Adapun waris
pangkatterbagi menjadi dua, yaitu:
a) Waris yang lurus ke atas dan lurus ke bawah; yaitu sekurang-kurangnya
empat ke atas dan empat pula ke bawah, yaitu kalau jauh boleh ditunjukkan kalau
dekat boleh dipegang.
b) Waris yang akan mendapat; artinya kalau jauh
tidak dapat ditunjukkan kalau dekat tidak dapat dipegang, tetapi setitik
berpantang hilang sebaris berpantang hapus, tidak akan lapuk oleh hujan dan
tidak akan lekang oleh panas.
2. Waris sebab; artinya ada sebab-sebab sehingga dia menjadi
ahli waris, karena dia bukanlah bertali darah dengan pewaris. Waris sebab ini
tidak boleh menggadaikan harta pusaka yang diwarisinya itu, apalagi untuk
menjualnya dilarang oleh adat. Waris sebab ini mempunyai sebab, sebab mempunyai
harta pusaka karena tidak sukunya yang disukui dan tidak warisnya yang
diwarisi, tetapi masuknya ke dalam sebuah payung atau kaum dan selingkung cupak
bersendi kepada alur dan patut, sehingga jatuh kepada waris badan.
Adapun waris
badan itu ada empat macam, yaitu:
a) Waris bertali air; yaitu anak kandung yang
dijadikan kemenakan. Seorang ayah mengangkat anaknya sebagai anggota kaum, agar
dapat mewarisi sako dan pusaka dari kaum si bapak. Dan terhitung sebagai waris
kedua setelah ahli waris pertama (waris bertali darah).
b) Waris bertali budi; yaitu kemenakan yang
diterima dari orang luar ataupun dari balahan yang menepat, karena budi
baiknya.
c) Waris bertali emas, yaitu orang luar
pesukuan, bisa jadi orang luar Minangkabau yang mencari tepatan dengan membayar
sejumlah uang ataupun emas untuk menjadi anggota kaum itu.
d) Waris bertali adat; yaitu waris yang
diterima oleh penghulu kaum dari penghulu yang sesuku yang telah punah ahli
warisnya di atas.
Adapun hak itu
dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu:
a) Hak diri di dalam diri,
artinya menjadi syahadah dan baina, menjadi wali dan sebagainya.
b) Hak adat di dalam adat,
artinya perintah memerintah di dalam nagari, hukum menghukum di dalam kampung.
c) Hak yang berpusaka,
artinya kalau hanyut dipintasi, kalau terbenam diselami, kalau hilang dicari,
kalau sumbing dititik, kalau patah ditempa.
d) Hak amanat, artinya hak
kepercayaan.
e) Hak zimat pada diri,
artinya kekuasaan hati masingmasing orang atas kebaikan.
f) Hak ghasab, yaitu hak
rampasan. Namun itu dilarang oleh syarak dan adat dalam keadaan tertentu,
karena adanya musyawarah mufakat yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu
perkara, dan dihindarkan rebut-rampas dalam mendapatkan suatu hak dari orang lain.
g) Hak qaulah, artinya hak
bersama, yakni kepunyaan Allah yang dinikmati bersama, yaitu sinar matahari,
udara, sungai, laut, air, danau dan sebagainya.
Adapun milik,
adalah sesuatu yang diperoleh dengan salah satu sebab yang lima, yaitu:
a) Dapatnya karena dibeli
b) Dapatnya karena diberi
(dihibahkan) oleh orang lain.
c) Dapatnya karena waris
yang berjawat, yaitu cencang letih ninik moyang.
d) Karena tembilang besi,
artinya karena hutan atau bukit yang diterukonya atau hutan belukar yang belum
berpunya yang diolahnya, artinya cancang lateh dia sendiri.
e) Karena amanah, artinya
barang yang diperoleh karena kepercayaan orang terhadapnya, untuk dipelihara
sampai batas waktu tertentu.
Demikian beberapa hal
terpenting yang perlu dipahami dalam mempelajari Hukum Adat Minangkabau. Masih
banyak lagi hal-hal yang perlu diketahui dan digali dan Hukum Adat Minangkabau,
perlu waktu dan kesempatan untuk membuka
adat lama pusaka usang, sehingga tercapai apa yang dimaksudkan oleh nenek
moyang Minangkabau.