Oleh : Syaiful
Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Kupu-kupu dan Kebahagiaan
Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angina telah dilewatinya, namun taka da satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana.
“Sedang apa kau disana anak musa?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “ apa yang kau risaukan…?” anak muda itu menoleh ke samping, “ aku lelah pak tua. Telah berkilo-kilo harak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tidak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarnya? Bilakah kutemukan rasa itu ?”
Kakek tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depanny. Lalu ia mulai bicara, "di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku!” Mereka berdua saling berpandangan. "Ya...tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu" sang Kakek mengulang kalimatnya lagi.
Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu. Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang beterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memerhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu.
Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Dikejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal. Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, "Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah!" Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang beterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
"Begitukah caramu
mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah,
menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?" Sang Kakek menatap pemuda itu.
"Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu.
Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu."
"Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemanamana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri."
Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepakkepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.
Moral mencari kebahagiaan
adalah layaknya menangkap kupukupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu,
namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat
mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini
untuk mendapatkannya. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke
seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti
menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya.
Rasa Kebahagiaan
Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa didapat dengan cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat digenggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh.
Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita.
Saya percaya, bahagia itu
ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu
"hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya.
Mungkin juga, bahagia itu beterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu
acuh untuk menikmatinya. Satu kisah yang indah dan bisa di jadikan
renungan...pada jiwa yang sering lelah mencari sinar kebahagiaan...ternyata bahagia itu ada di setiap jiwa
kita...
Tersebutlah pada zaman dahulu, hiduplah seorang
raja yang kaya raya. Menikmati segala kemewahan di singgasana kerajaannya. Ia
selalu mendapatkan penghormatan dari seluruh penduduk negerinya, dan apapun
yang ia inginkan dapat dengan mudah tersedia.
Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di hatinya, ia selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Hidupnya terasa kurang begitu nikmat, bahkan ia selalu merasa jenuh dengan berbagai kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya. Repotnya lagi ia tidak tahu apa yang menyebabkannya merasa seperti itu.
Pada suatu hari, ia bangun dari tidur lebih pagi dari biasanya, sang raja ini kemudian berkeliling istana. Ketika sedang berjalan di ruang tamu kerajaan yang begitu megah, ia mendengar seorang bernyanyi. Sang Raja pun merasa penasaran, ia mendekati asal suara tersebut. Ternyata seorang pelayan kerajaan sedang membersihkan ruangan sambil bersiul dan bernyanyi. Pelayan itu terlihat begitu bahagia, tanpa beban dan menikmati kehidupannya, tercermin dari wajahnya yang begitu cerah dan ceria. Saking penasarannya, sang Raja pun memanggil pelayannya tersebut. “Kau kelihatan sangat bahagia, bagaimana bisa?” tanya sang Raja.
“Tuanku, hamba hanyalah seorang pelayan tuan, hamba tidak memiliki apa apa kecuali istri dan kedua anak hamba yang begitu manis. Setiap hari hamba pulang ke rumah, mereka selalu menyambut hamba dengan perasaan suka cita dan bahagia. Mereka tidak pernah mempermasalahkan penghasilan hamba yang sedikit. Bahkan mereka selalu bersyukur terhadap apa yang hamba bawa pulang. Saya bahagia sebab keluarga saya bahagia.” Papar sang pelayan.
Merasa penasaran dengan penuturan pelayan tersebut, sang raja kemudian memanggil patih kerajaan yang terkenal bijaksana. Ia pun menceritakan kejadian tersebut. Dan meminta tanggapan dari Sang Patih.
Setelah mendengarkan cerita sang raja, serta keluh kesah sang raja terhadap ada yang kurang dari dirinya. Sang Patih dengan bijaksana menjawab. “Paduka, saya yakin bahwa pelayan tersebut belum masuk klub 99.” Ujar sang Patih mantap. “Klub 99, apa itu?” tanya sang Raja penasaran.
“Paduka Raja, untuk mengerti maksud Hamba tentang klub 99, maka hamba minta paduka memasukkan 99 koin emas kedalam sebuah kantong. Kemudian letakkan kantong tersebut di depan pintu rumah Pelayan yang Paduka ceritakan tadi”, syarat sang patih.
Singkat cerita, ditengah kebingungan dan penasaran, Sang Raja melakukan apa yang dikatakan sang patih. 99 koin emas dalam kantung, diletakkan di depan pintu rumah sang pelayan. Sang raja kemudian mulai mengamati sang pelayan.
Ketika si pelayan membuka pintu hendak keluar rumahnya. Ia menemukan sebuah kantong di depan pintunya. Ia membawanya masuk kedalam ke rumah. Ketika menyadari bahwa isinya adalah koin emas. Ia pun berteriak kegirangan. Dan ia mulai menghitungnya.
Setelah dihitung, ternyata ada 99 keping koin emas didalam kantong tersebut. Sang pelayan pun penasaran, mengapa jumlahnya tidak genap 100 keping. Berulang kali ia menghitung koin tersebut. Tetapi jumlahnya tetap 99. Ia pun bergegas mencari sekeliling rumah, satu koin emas yang ia anggap hilang tersebut. Setelah memeriksa rumah dan sekelilingnya, satu koin emas yang “hilang” itu tetap tidak ditemukan. Sang pelayan pun bertekad untuk bekerja lebih giat dan lebih keras agar bisa membeli satu koin emas, sehingga genaplah emasnya menjadi 100 keping.
Keesokan paginya, sang pelayan berangkat kerja seperti biasa. Namun pagi ini ia berangkat dengan perasaan gusar. Ia masih memikirkan satu koin emas yang hilang tersebut. Kemudian ia bekerja lebih keras dan lebih lama agar ia bisa mendapatkan upah yang lebih banyak.
Berbeda dengan hari hari sebelumnya, kini ia tidak lagi menyanyi dan bersiul gembira. Wajahnya terlihat begitu serius dan murung. Hal tersebut diperhatikan sang raja. Merasa heran dengan perubahan drastis sang pelayan. Maka sang raja kembali kepada sang patih dan menceritakan kejadian yang dia amati pada pelayannya. Sang Patih kemudian mengatakan: “Berarti kini ia sudah bergabung dengan klub 99 Paduka..”Jawab sang patih mantap. Melihat padukanya kebingungan, sang patih pun meneruskan penjelasannya.
“Paduka, klub 99 hanyalah sebuah julukan yang diberikan kepada mereka yang memiliki banyak hal tetapi tetap merasa tidak bahagia. Akibatnya mereka terus bekerja keras dan melupakan kebahagiaan yang lainnya. Seperti keluarganya, lingkungannya, dan harta yang telah dimilikinya. Mereka tidak bersyukur dengan apa yang telah mereka peroleh. Mereka tidak bahagia dengan apa yang telah mereka dapatkan dengan begitu melimpah.”
“Mereka tidak bahagia dengan 99 koin emas yang mereka miliki, tetapi justru berfokus untuk mengejar satu koin lagi untuk menggenapkan 100 koin emas. Celakanya, dalam mengejar satu koin emas ini, mereka melupakan segala kebahagiaan yang sepatutnya diberikan kepada orang lain, bahkan dengan keluarganya. Mereka kekurangan waktu untuk tidur, kekurangan waktu untuk keluarga, untuk lingkungan, untuk kebahagiaan mereka sendiri. Terkadang dalam mengejar satu koin emas ini, mereka rela mencelakai orang lain. Inilah maksud dari Klub 99 Paduka.” penjelasan sang Patih.
Mendengar penjelasan Sang
Patih, sang Raja pun termenung. Ia mulai menyadari dan memutuskan akan
menghargai setiap karunia yang diperloehnya walau sekecil apapun.
Besar kecilnya sebuah nikmat, ternyata terletak pada penghargaan. Sebesar apapun karunia, jika penghargaan tidak ada padanya, maka nikmat itu akan terlihat kecil.
Orang-orang yang bermental bahagia, adalah orang-orang yang “tetap kaya” dalam kondisi sesulit apapun, dan mereka tetap qana‟ah dengan pemberian sekecil apapun. Sebaliknya orangorang yang sengsara, adalah orang yang bermental miskin, walaupun karunia yang diberikannya amat berlimpah.
Suatu
Kebahagiaan
Suatu ketika, tersebutlah seorang raja yang kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah. Emas, permata, berlian, dan semua batu berharga telah menjadi miliknya. Tanah kekuasaannya, meluas hingga sejauh mata memandang. Puluhan istana, dan ratusan pelayan siap menjadi hambanya.
Karena ia memerintah dengan tangan besi, apapun yang diinginkannya hampir selalu diraihnya. Namun, semua itu tak membuatnya merasa cukup. Ia selalu merasa kekurangan. Tidurnya tak nyenyak, hatinya selalu merasa tak bahagia. Hidupnya, dirasa sangatlah menyedihkan. Suatu hari, dipanggillah salah seorang prajurit tebaiknya.
Sang Raja lalu berkata, “Aku telah punya banyak harta. Namun, aku tak pernah merasa bahagia. Karena itu, ujar sang raja, “aku akan memerintahkanmu untuk memenuhi keinginanku. Pergilah kau ke seluruh penjuru negeri, dari pelosok ke pelosok, dan temukan orang yang paling berbahagia di negeri ini. Lalu, bawakan pakaiannya kepadaku.”
“Carilah hingga ujung-ujung cakrawala dan buana. Jika aku bisa mendapatkan pakaian itu, tentu, aku akan dapat merasa bahagia setiap hari. Aku tentu akan dapat membahagiakan diriku dengan pakaian itu. Temukan sampai dapat! ” perintah sang Raja kepada prajuritnya. “Dan aku tidak mau kau kembali tanpa pakaian itu. Atau, kepalamu akan kupenggal !!
Mendengar titah sang Raja, prajurit itupun segera beranjak. Disiapkannya ratusan pasukan untuk menunaikan tugas. Berangkatlah mereka mencari benda itu. Mereka pergi selama berbulan-bulan, menyusuri setiap penjuru negeri. Seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, seperti perintah Raja. Di telitinya setiap kampung dan desa, untuk mencari orang yang paling berbahagia, dan mengambil pakaiannya.
Sang Raja pun mulai tak sabar menunggu. Dia terus menunggu, dan menunggu hingga jemu. Akhirnya, setelah berbulan-bulan pencarian, prajurit itu kembali. Ah, dia berjalan tertunduk, merangkak dengan tangan dan kaki di lantai, tampak seperti sedang memohon ampun pada Raja. Amarah Sang Raja mulai muncul, saat prajurit itu datang dengan tangan hampa.
“Kemari cepat!!. “Kau punya waktu 10 hitungan sebelum kepalamu dipenggal. Jelaskan padaku mengapa kau melanggar perintahku. Mana pakaian kebahagiaan itu!” gurat-gurat kemarahan sang raja tampak memuncak.
Dengan airmata berlinang, dan badan bergetar, perlahan prajurit itu mulai angkat bicara. “Tuanku, aku telah memenuhi perintahmu. Aku telah menyusuri penjuru negeri, seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, untuk mencari orang yang paling berbahagia. Akupun telah berhasil menemukannya.” Kemudian, sang Raja kembali bertanya, “Lalu, mengapa tak kau bawa pakaian kebahagiaan yang dimilikinya?
Prajurit itu menjawab, “Ampun beribu ampun, tuanku, orang yang paling berbahagia itu, tidak mempunyai pakaian yang bernama kebahagiaan.” Bisa jadi, memang tak ada pakaian yang bernama kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan, seringkali memang tak membutuhkan apapun, kecuali perasaan itu sendiri. Rasa itu hadir, dalam bentuk-bentuk yang sederhana, dan dalam wujud-wujud yang bersahaja.
Seringkali memang, kebahagiaan tak di temukan dalam gemerlap harta dan permata. Seringkali memang, kebahagiaan, tak hadir dalam indahnya istana-istana megah. Dan ya, kebahagiaan, seringkali memang tak selalu ada pada besarnya penghasilan kita, mewahnya rumah kita, gemerlap lampu kristal yang kita miliki, dan indahnya jalinan sutra yang kita sandang.
Seringkali malah, kebahagiaan hadir pada kesederhanaan, pada kebersahajaan. Seringkali rasa itu muncul pada rumahrumah kecil yang orang-orang di dalamnya mau mensyukuri keberadaan rumah itu. Seringkali, kebahagiaan itu hadir, pada jalin-jemalin syukur yang tak henti terpanjatkan pada Ilahi.
Sebab,
kebahagiaan itu memang adanya di hati, di dalam kalbu ini. Kebahagiaan, tak
berada jauh dari kita, asalkan kita mau menjumpainya. Ya, asalkan kita mau
mensyukuri apa yang kita punyai, dan apa yang kita miliki. Adakah
“pakaian-pakaian kebahagiaan” itu telah Anda sandang dalam hati? Temukan itu
dalam diri.
Melukis Kebahagiaan
Alkisah, seorang Raja mengadakan sayembara Melukis, dengan tema “Melukis Kedamaian”. Sang Raja mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian tersebut ia akan memberikan hadiah. Tentu saja, tawaran ini sangat menggiurkan para seniman dan pelukis.
Dengan ketangkasan daya imajinasi mereka, mulailah para seniman dan pelukis membuat lukisan tersebut secara total. Meeka mengerahkan kemampuan mereka masing-masing untuk memenangkan lomba tersebut.
Ketika sayembara telah usai, sang Raja berkeliling melihatlihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.
Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaganya bagaikan cermin sempurna yang mematulkan kedamaian gunung- gunung yang menjulang tenang di sekitarnya. Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.
Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai, sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih, sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian.
Tapi, sang Raja melihat sesuatu yang menarik, di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil diatas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk burung pipit meletakkan sarangnya. ditengah kerasnya alam dan riuh rendahnya air terjun, seekor induk pipit dengan sangat damai dan tenang mengerami telur-telurnya. Benar-benar damai. Lukisan manakah yang memenangkan lomba? Sang Raja memilih lukisan nomor dua. “Wahai Raja, kenapa Raja memilih lukisan nomor dua?”
Sang Raja menjawab, “Kedamaian bukan berarti kau harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau tanpa masalah yang mendera. Kedamaian adalah ada didalam hati itu sendiri, meskipun kau berada di tengah-tengah keributan/problem luar biasa.”
Kehidupan kita di dunia ini
menyisakan badai dan kilat yang menyambar-nyambar suasana hati. Badai dan kilat
tidak bisa dipungkiri, selalu ada dalam kehidupan dan terkadang mengepung diri
kita. Badai dan kilat adalah ibarat tantangan yang mengepung suasana hati. Hati
terkadang dikepung dengan suasana-suasana yang bisa mengotorinya, sehingga ia
butuh dibasuh dan dibersihkan agar senantiasa bersih dan mengkilap.