Wahyudi Thamrin

KETIKA MIMPI KETANAH SUCI TERWUJUD


Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Setelah membaca bagian Akselerasi Umrah, barangkali Anda sudah bersemangat. Namun, mungkin barangkali ada sedikit keraguan, apa iya saya yang nggak kaya ini bisa umrah? Apa iya saya yang pas-pasan ini bisa sampai  ke Tanah Suci?  

 

Untuk menambah kapsul motivasi dan menjawab keraguan Anda, berikut ini saya ketengahkan kisah-kisah mereka yang dengan segala keterbatasan bisa pergi umrah.

 

1.      Menabung dan Mengencangkan Doa

Kisah ini diceritakan seseorang. Namanya Pak Wawan. Ia menceritakan pengalaman mengharukan dalam perjalanannya ke Tanah Suci.

 

 

Titik tolaknya saat Ramadhan lalu. Saat itu saya ada tugas liputan ke Philipina. Karena penerbangan internasional, saya berangkat lewat T2 Bandara Soetta. Nah, saat itu buuuanyak sekali jamaah umrah Ramadhan yang akan berangkat. Mata saya berkaca-kaca melihat mereka yang tampak gembira. Dalam hati saya bergumam, “Ya Allah, dekatkanlah Mekkah dan Madinah untuk saya. Saya ingin sekali beribadah di Baitullah dan ziarah ke rumah dan makam Nabi-Mu... 

 

 

Sejak  saat itu saya ber-azam untuk mengencangkan niat, saya harus segera umrah! Mulai saat itu, hampir setiap usai shalat, termasuk saat Tahajud dan Dhuha, saya selalu memohon dimudahkan jalan saya ke Baitullah. Tidak hanya itu, saya meminta restu istri (meski tidak wajib, tapi saya harus sampaikan keinginan saya ini karena berimplikasi pada suplai dapur, hehehe...). Istri saya sempat ragu dengan keinginan saya karena dia tahu seberapa besar kemampuan keuangan saya. Tapi saya yakinkan, Allah bersama saya...

 

Akhirnya, saya mulai menabung. Tidak banyak, boleh dibilang receh. Saya kumpulkan uang Rp50 ribu, Rp100 ribu, sedikit demi sedikit... Saya jalani semua dengan sabar sembari terus mengencangkan doa yang tiada putus dan bosan. 

 

Oh ya, sejak Idul Adha, saya memanjatkan doa spesifik kepada Allah. “Ya Allah, berangkatkan  saya umrah setelah musim haji, Desember atau Januari. Bukankah saya sudah ikhtiar dengan menabung Ya Allah? Mudahkan semuanya...” kira-kira demikian doa saya di hampir setiap sujud shalat dan Tahajud saya. Ada kisah dramatik, setidaknya buat saya. Dan saya merasa, mungkin di titik inilah Allah ridha dengan ikhtiar saya. Ini husnuzhan saya pada Allah. Ceritanya.... saat itu tabungan umrah saya di amplop di bawah tumpukan baju di lemari baru Rp600 ribu. Lalu, di suatu pagi, Ustadz Rahmat kirim kabar di grup WA mengabarkan santri yang mendapatkan hadiah umrah kekurangan uang Rp 1,5 juta untuk urusan administrasi. Skedul santri ini berangkat Februari 2015.

 

Terima WA itu, ingatan saya langsung ke uang Rp600 ribu itu. Saya  ingin ringankan kekurangan itu, tapi saya mikir, lha uang saya kapan kumpulnya untuk umrah? Di situlah setan masuk. Tapi, saya berusaha tenang dan meresapi kembali janji-janji Allah. Awalnya, saya mau sedekahkan Rp300 ribu untuk santri, lalu saya urungkan. Dengan bismillah... Saya sedekahkan semua. Saya mengambil amplop uang itu, lalu saya cium amplop berisi Rp600 ribu sambil berdoa, “Ya Allah, uang ini untuk umrahku. Tapi hari ini ada santri penghafal Quran yang lebih butuh, dia sudah jelas waktu berangkatnya, sedangkan aku belum jelas. Aku sedekahkan semua, tolong mudahkan jalanku ke Baitullah.”

 

Lalu, uang itu saya serahkan ke Ustadz Rahmat. Saat menyerahkan uang itu, mata saya kembali berkaca-kaca. Saya bilang ke beliau, “Tolong jangan bilang ke siapa pun, ini tabungan umrah saya. Santri  lebih  butuh daripada saya. Saya hanya titip doa ke beliau nanti di Baitullah, doakan jalan saya untuk umrah menjadi mudah.” 

 

Ustadz Rahmat menjawab, “Insya Allah ini jalan Pak Wawan untuk segera ke Baitullah.” Hati saya gembira. Setelah itu saya melupakan uang itu. Saya mulai menabung lagi, mengumpulkan uang selembar Rp50 ribuan, Rp100 ribuan, dan seterusnya. Kembali  lagi  kencengin  doa dan shalat...

 

Tak lama setelah Idul Adha, Neno Warisman mengenalkan Neno Tour ke Ma‟had dan jaringan di Jember. Ternyata, dia memberi promo yang daftar awal akan berangkat Januari. “Januari???” Saya teringat doa saya. Jangan-jangan ini jawaban Allah. Allah beri jalan saya berangkat Januari, seperti doa saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung daftar, tanda jadi Rp500 ribu. Itu hari Minggu. Kalau DP 300 dolar diberesi Senin, calon jamaah dapat cash back Rp1 juta. Sehingga, jatuhnya USD 1.680 dari aslinya yang sebesar USD 1.750. Ini muraaah sekali, rata-rata sekarang di atas 2.100 dolar untuk 9 hari. 

 

Saat itu saya bingung dapat uang USD 300 darimana? Saat itu kurs sudah Rp 12.100/USD. Saya teringat, saat itu saya punya garapan buku, sudah hampir selesai, honor belum dibayar. Lalu, saya minta honor dibayar sebagian. Alhamdulillah, Minggu sore langsung ditransfer. Selesailah dua tahapan sampai setor USD 300. 

 

Bagaimana sisanya? Itu yang saya tidak memiliki bayangan. Sungguh, membayangkan kekurangannya sekitar Rp17 juta itu saya tidak tahu akan dapat uang dari mana. Suatu hari, saya dapat tugas rapat di Surabaya. Saya sempatkan mampir ke rumah bapak ibu di Sidoarjo. Saya ceritakan tentang saya yang mendaftar umrah. Mereka kaget campur senang, lalu bingung, dari mana saya punya uang Rp17 juta dalam tempo 1,5 bulan harus beres? Saya ingat dengan jawaban saya waktu itu, “Saya punya Allah, Pak, Bu. Saya tidak akan minta uang ke Bapak Ibu. Kalau sampai deadline uangnya tidak ada, saya mundur. Saya hanya mohon bantuan doa Bapak dan Ibu. 

 

Setelah itu, saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam diri Bapak Ibu saya. Sepulang dari Surabaya, mungkin ini jalan yang diberikan Allah, ada orang yang minta dibuatkan sebuah buku. Saya tidak pasang tarif, tapi saya hanya minta honor dibayar dimuka, terserah dia mau kasih berapa. Saya jujur cerita ke dia, “Saya daftar umrah, tapi uangnya kurang dan harus lunas dalam waktu dekat.”

 

Allah jua yang menggerakkan hati orang yang kasih proyek ke saya itu. Tanpa saya sangka, dia beresi semua kekurangan biaya umrah saya. Dan saya yakin, honor yang saya terima diatas rata-rata. Subhanallah Allahu Akbar... Allah Maha Kuasa, Allah Maha Kaya... Siapa yang mampu menggerakkan hati orang itu sehingga mau memberesi kekurangan biaya saya? Hanya Allah... Saat saya mengurus paspor tiga suku kata, saya sempat telepon Bapak menanyakan tahun lahir Ibu saya. Lalu dijawab. Setelah telepon, Ibu tanya saya ada kepentingan apa. Bapak cerita kalau saya mengurus paspor. Ibu saya kaget. “Lho, berarti sudah punya uang? Dapat dari mana?”. 

 

Ibu saya sore itu menangis. Entah mengapa menangis. Mungkin pikiran Ibu campur aduk. Mungkin beliau khawatir saya gagal berangkat karena tak punya uang, lalu saya kecewa. Sore itu juga Ibu menelepon saya, menanyakan kepastian berangkat tidaknya. Setelah saya jawab saya berangkat, biaya sudah beres, Ibu saya langsung baca zikir. Segala zikir dibaca di telepon. Dari suaranya, saya tahu Ibu menangis. Saya jadi ikut mbrebes. “Tidak sia-sia Ibu berdoa, Gusti Allah mengabulkan doanya Ibu.” Meski saya lelaki, hati saya sore itu runtuh. Runtuh membayangkan betapa tanpa setahu saya, Ibu mendoakan keberangkatan saya ke Baitullah setiap selesai shalat dan Tahajud. 

 

Matur sembah suwun, Ibu.... Terima kasih atas semua nikmat ini, Ya Allah... 

Orang mungkin menganggap saya banyak uang. Padahal, orang tidak tahu saya berkesempatan berangkat ini semua atas pertolongan Allah. Matematika manusia pasti memutuskan saya tidak bakal bisa berangkat dalam waktu sesingkat ini. Saya pancangkan tekad  bulan Juli, bulan Januari  pun saya berangkat. Hanya enam bulan... Satu hal yang saya yakin, siapa yang memudahkan jalan orang ke Baitullah, Allah pasti mudahkan jalan baginya ke Baitullah. Santri akan berangkat Februari, insya Allah saya malah mendahului berangkat Januari, Masya Allah...

 

2.      Cara-cara Allah Memang Ajaib

Kali ini kisah dari Inty. Diceritakan kepada Edi Sutisna, pengasuh CPA (Club Pecinta Alquran). Ini pengalaman pribadiku yang benar-benar amazing. Dari kecil, saya selalu berharap kalau one day saya bisa ke Mekkah, entah gimana caranya, mau nabung kek, mau dapat undian kek, atau apa pun juga. Tiap hari bisanya cuma ngayal. Gimana, ya, caranya bisa umrah atau haji, karena saya tuh awalnya orang yang benar-benar menggunakan logika, jadi mikirnya segala sesuatu  itu harus pakai biaya, jadi agak jauh dari ekspektasi saya buat pergi umrah dalam waktu dekat. Kebanyakan orang-orang mikir, entar deh ke Tanah Suci kalau sudah tua, kalau sudah selesai anak-anak sekolah, kalau sudah selesai cicilan rumah, dan lain sebagainya.

 

Desember 2012, saya baca-baca web-nya sebelumnya lumayan sering BBM-an sama Mas Edi. Suka nanya-nanya masalah seputar agama, tapi ada artikel menarik di web-nya CPA, yaitu gimana Mas Edi berangkat ke Tanah Suci, tapi enggak pake modal, alis modalnya semua Allah yang sediain, tergugah hati saya buat mencontek apa yang Mas Edi lakuin.

 

Pada 3 Januari 2013, saya start Riyadhah (latihan ruhani). Di day 4 saya Riyadhah, Mas Edi BBM saya, “Ty, emang kamu Riyadhah apaaan?” jawaban saya, “Biar jadi orang kaya, hehehe.” Terus Mas Edi jawab, “Mantabs...” Riyadhah yang saya lakukan sebenarnya sederhana, cuma enggak putus Tahajud selama 40 hari, enggak putus Duha, enggak putus ngaji, enggak putus Qabliyah ba‟diyah. Semuanya dalam waktu 40 hari.

 

Di day 13, saya Riyadhah, tepatnya 16 Januari 2013. Ada salah satu teman yang nanya, “Lo Riyadhah di mana?

Di Masjidil Haram?” Lalu saya jawab, “Enggak, gue Riyadhah di rumah, kalau di Masjidil Haram aamiin..” Terus teman saya BBM lagi, “Lo mau enggak iktikaf di Masjidil Haram alias umrah?” Teman saya nanya gitu. Trus saya jawab, “Ya maulah, masa enggak mau.” Teman saya bilang, “Kalo ada yang bayarin elo mau nggak?” Saya bilang, “Hare gene ada yang bayarin? Ya, tapi kalau dibayarin gue mah enggak nolak” trus di BBM lagi, “Ya udah gue minta nomor rekening lo.” Tiba-tiba saya deg-degan bukan main. Saya BBM lagi, “Ah, lo becanda, enggak usah PHP-lah (pemberi harapan palsu) Hehehe.”

 

Dia BBM lagi, “Jiah. Ya udah, lo tunggu aja ye, entar gue bilangin sama orang yang mau berangkatin elo umrah, tapi ini hamba Allah, lo enggak usah bilang siapa-siapa. Pokoknya lo tinggal berangkat deh.”

 

Enam sampai tujuh jam abis kejadian itu, teman saya

BBM lagi, “Coba elo cek, barusan ada yang transfer buat lo umrah.” 

Begitu saya cek, jeng...jeng...jeng...Benar aja, saya terima transferan sejumlah ongkos umrah. Alhamdulillah.

Wah nangis saya, saya sujud syukur sama Allah, yang sudah mengizinkan saya buat umrah, tepat 23 Februari 2013 saya berangkat umrah. Alhamdulillah....

Tapi, sebelum perjalanan saya ada cerita menarik. Masalah kurang ongkos buat pegangan alias pocket money buat perjalanan di sana. Saya waktu itu punya uang cash 500 ribu. Sesuai saran Mas Edi, saya eksekusi tuh uang 500 ribu (disedekahkan).

Dan sampai tanggal 23 Februari 2013, tebak apa yang terjadi? Saya berangkat ke Tanah Suci dengan membawa cash money 200 ribu rupiah aja. Alhamdulillahi rabbil

„alamiin.

 

Saya sampe di Mekkah, langsung check-in hotel, karena sudah berihram di pesawat, kita langsung melaksanakan ibadah umrah. Setelah sekitar 2 jam kita melakukan umrah, akhirnya waktu breakfast, sampe di restoran hotel, baru deh kita kenalan sama peserta yang lain. Dan disitulah saya baru ngeh, ada peserta umrah yang cerita bahwa kawannya, satu hari  menjelang umrah dikabarkan visanya enggak keluar. Ada lagi cerita kalau mau sekamar berdua itu harus nambah 400 USD per orang dari harga umrah standar, dan kalo mau hotel yang dekat dengan Masjidil Haram, bayarannya beda dengan yang jauh dari Masjidil Haram. Alhamdulillah saya enggak mengalami hal itu.

 

Saya  akhirnya  enggak tahan menangis. Ya Allah, ampuni saya, saya datang ke rumah-Mu dengan panggilanMu, dengan cara-Mu, udah gratisan, kemarin saya masih ngeluh enggak ada ongkos, sekarang hamba nginep cuma sekamar berdua dengan tante hamba di kamar suite room. Tanpa harus menambah biaya, makan berlimpah, udah gitu setiap mau jajan selalu dibayarin, dan hotel deketan sama Ka‟bah. Betapa nikmatnya saya. Memang saya ingkar ya Allah, ampuni saya. Menangis lagi saya. Cara-cara Allah memang ajaib, tapi di situ serunya.

 

 Baca Juga: UMRAH ACCELERATION