Indeks Pembangunan Manusia

Oleh: Syaiful Anwar, S.E., M.Si

(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Kampus II Payakumbuh)


Sejak tahun 1990, United Nations for Development Program (UNDP) mengembangkan sebuah indeks kinerja pembangunan yang kini dikenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human DevelopmentIndex). Nilai IPM ini diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, dan pendapatan riil per kapita berdasarkan paritas daya beli. 

Negara yang memiliki nilai IPM tertinggi pada tahun 2006 adalah Norwegia (0,968). Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 109 dengan nilai IPM sebesar 0,726. Sementara itu, kelompok negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah (low human development) hampir semuanya berasal dari kawasan Afrika. Satu hal yang cukup menarik di sini adalah bahwa negara-negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki nilai IPM yang tinggi pula. Namun, fenomena tersebut tidak terjadi pada semua negara. Misalnya, Iran, suatu negara yang memiliki pendapatan per kapita 1,5 kali lebih besar daripada Thailand, namun nilai IPM Thailand (0,786) relatif lebih tinggi daripada Iran (0,777).

Selanjutnya, kita juga dapat melihat indeks pembangunan manusia (IPM) di 31 propinsi di Indonesia. Berdasarkan IPM-nya, propinsi DKI Jakarta berada pada urutan pertama dengan nilai IPM sebesar 76,1. Sementara propinsi Papua berada urutan terakhir dengan nilai IPM sebesar 62,1. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa propinsi dengan tingkat pengeluaran per kapita yang relatif tinggi akan memiliki angka IPM yang tinggi juga. Misalnya, propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki pengeluaran per kapita yang relatif tinggi yaitu Rp623,2 ribu rupiah, tetapi IPM-nya hanya 62,4. Berdasarkan kriteria dari UNDP, secara keseluruhan propinsi di Indonesia termasuk dalam propinsi-propinsi dengan tingkat pembangunan manusia menengah (medium human development), dengan kisaran antara 62,1 (0,621) sampai 76,1 (0,761). 

Oleh karena itu, pelajaran yang dapat ditarik dari kedua tabel di atas adalah bahwa nilai IPM suatu negara atau daerah sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan internal pemerintah negara atau daerah tersebut terkait mengenai aspek pembangunan manusianya, bukan hanya pada tinggi rendahnya pendapatan per kapita. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung aspek pembangunan manusia dapat dilihat dari proporsi anggaran pemerintah untuk pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan. Besarnya proporsi anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kedua sektor tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap aspek pembangunan manusia. 

Konsep IPM ini memberikan pelajaran bagi kita tentang apa yang seharusnya dipandang sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Pembangunan berawal dan bertitik tolak dari manusia, dilakukan olehmanusia, maka sudah semestinya ditujukan pula untuk manusia. Di dalam konsep IPM ini terdapat perpaduan antara aspek-aspek sosial dan ekonomi. Hal tersebut memungkinkan konsep ini untuk dapat memberikan gambaran yang lebih luas bagi kinerja pembangunan suatu negara. 

Namun, sama halnya dengan konsep pendapatan per kapita, konsep IPM-pun tidak lepas dari kelemahan dan kritik. Beberapa ekonom menganggap asumsi-asumsi dan taksiran-taksiran dari IPM seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka juga berpendapat bahwa metodologi perhitungan yang digunakan dalam perhitungan IPM terlalu longgar. Selain itu, seringkali data yang kurang layak dan tidak akurat dimasukkan dalam perhitungan sehingga pembandingan IPM antar negara menjadi kurang relevan. 

Meskipun ada beberapa kelemahan dan kritik atas konsep IPM, namun konsep ini masih layak digunakan. Selain itu, ketiga indikator utama IPM, yaitu tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, dan GNP per kapita rasanya terlalu penting untuk diabaikan. Semua indikator tersebut bisa dijadikan acuan untuk memperdalam pemahaman kita mengenai proses pembangunan yang sedang berjalan. 


#SyaifulAnwar #Unand #Payakumbuh