Wahyudi Thamrin

Jerry Massie : Bersihkan Dulu Mafia Tanah Baru Bikin Sertifikat Elektronik

Jakarta,- Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah mengeluarkan aturan terkait pembuatan sertifikat elektronik. Tapi yang didahulukan sertipikat elektronik Pemda.

Menyikapi kebijakan itu, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai langkah ini bukan langkah progres lantaran kebijakan ini dibuat di tengah pandemi Covid-19.

Ini tak sesuai dengan Program Jokowi pad periode pertama terkait  pembuatan jutaan sertipikat tanah bagi warga. 

"Tuntaskan dulu Program PTSL menuju Indonesia Terdaftar 2024 sebagai program strategis nasional agar kualitas data pertanahan terjamin dan sistem pendaftaran tanah dirubah jadi sistem positif yang prioritas dulu," ucap dia.

Elektronik dalam layanan pertanahan yang transparan menggunakan aplikasi Sentuh Tanah ku seperti yang diterapkan  mantan Kepala Pertanahan Kota Manado Patrick Ekel untuk tracing berkas permohonan. 

Terkait sertipikat elektronik Jerry menjelaskan Kementerian terlebih dulu membersihkan praktik mafia tanah dan para pemalsu surat tanah di tanah air. 

"Penyerobotan lahan marak terjadi. Memang sebelum Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) keluar 24 September 1960 untuk sistem pendaftataran masih dualisme. Dan tokoh nasional kala itu Soepomo mengeluarkan kebijakan pluralisme.  Penyerobotan masuk juga dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) No 31 Tahun 1999 dan No 20 Tahun 2001. Berbeda dengan pemalsuan sertiikat melanggar KHUP Pasal 263 dan terancam 6 tahun penjara," kata Jerry.

Jadi menurut dia, yang dibersihkan terlebih dulu yakni para bandit dan mafia tanah serta sistem transparansi birokrasi baru mengurus sertipikat elektronik.

Perlu juga ditinjau Kebijakan Sertipikat Elektronik sebagaimana Permen ATR/kaBPN No 1/2021 dalam konsiderannya dimaksudkan untuk mewujudkan modernisasi pelayanan pertanahan guna meningkatkan indikator kemudahan berusaha dan pelayanan publik kepada masyarakat, perlu mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan menerapkan pelayanan pertanahan berbasis elektronik.

Selanjutnya kata dia, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mencakup kesiapan 3 perangkat/komponen yakni hardware, software dan brainware/humanware.

"Masalahnya kini pada humanware "man behind the gun", teknologi hanyalah tools. Reformasi Birokrasi masih setengah hati, management by system yg diharapkan hanyalah lipservice dan yg terjadi by person.(berganti kepala berganti kebijakan) karena tidak berubah menjadi habitus/kebiasaan baru pelayanan dalam organisasi karena kurang keteladan pimpinan sampai ke tingkat front office

Sertipikat Elektronik membutuhkan syarat kualitas data yang valid agar tidak garbage in, garbage out," ujarnya.

"Selain kualitas data, untuk memberikan kepastian hukum hak atas tanah, sistem pendaftaran tanah harus diubah peraturannya dari sistem negatif ke sistem positif dengan quality insurance; Sebenarnya jaminan kepastian hukum produk inilah dan bukan sekadar modernisasi pelayanan."

Terakhir menurutnya, program strategis nasional PTSL dan Reforma Agraria dan penyelesaian kasus-kasus tanah yang perlu menjadi perhatian utama untuk diselesaikan, jangan dialihkan dengan sertipikat elektronik yang potensi menimbulkan permasalahan baru yang berakibat tambah carut marutnya masalah tanah di Indonesia.