Search

Menanam Kejujuran Di Lahan Kebohongan



Ketika seseorang anak bayi lahir oleh siapapun orang tuanya atau di daerah manapun serta apapun suku bangsanya, didalam dirinya sudah tertanam sifat jujur, karena sifat jujur tersebut adalah suci. Ciri-ciri yang paling kentara dari kejujuran seorang anak kecil adalah ketika dia digendong oleh seseorang yang tidak dengan ikhlas atau sepenuh hati menggendongnya. 

Sianak tahu bahwa yang menggendongnya tidak sepenuh hati atau tidak ikhlas sehingga dia menangis atau berontak. Tetapi sayang kemudian dalam perkembangannya, sifat jujur tersebut tercemar oleh lingkungan bermain atau oleh orang tua yang demi kepentingannya kemudian mengajarkan anaknya berbohong.


Sebenarnya kejujuran bukan saja sangat penting untuk kepribadian seseorang dan untuk membangun kehidupan bernegara atau bermasyarakat yang baik, tetapi juga sangat penting untuk kehidupan beragama. Karena hampir semuah ibadah dalam agama islam mengandung hikmah atau aspek kejujuran. Seseorang yang batal sholatnya karena sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya yang tahu hanya dirinya sendiri dan malaikat serta Tuhan. Begitu juga dalam hal ibadah lainnya seperti kewajiban membayar zakat, seseorang menghitung sendiri jumlah zakatnya dan menghitung sendiri pencapaian syarat nisabnya. 

Ibadah berpuasa dan membaca dua kalimat syahadat, juga butuh kejujuran kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena jika tidak jujur kepada diri sendiri dan kepada Tuhan maka bisa jadi membaca dua kalimat syahadatnya menjadi tidak sah, misalnya jika antara hati kecilnya tidak seperti apa yang diucapkannya.

           
Namun sayangnya kejujuran yang sangat berharga tersebut tidak tumbuh subur atau malah sulit tumbuh di negeri yang beridelogi Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Yang paling subur di sini adalah kebohongan dan pencitraan demi mendapatkan harta dan tahta, karena dengan harta dan tahta banyak orang bisa hidup bermewah-mewah bagai surga dunia. Makanya film dan acara televisi di negeri ini yang laku atau yang  juga banyak penontonnya adalah acara-acara yang banyak memamerkan kemewahan.

Karena sebagian besar masyarakat negeri ini sangat mengagungkan dan mencintai kemewahan tanpa peduli dengan bagaimana cara mendapatkan kemewahan tersebut. Tidak banyak media yang menampilkan acara-acara yang sifatnya mendidik atau mencerdaskan bangsa, walaupun semua tag line hampir semua mencerdaskan bangsa. Padahal kata pemimpin negeri ini, negeri ini sedang menuju menjadi negeri maju atau sedang dibangun untuk menjadi Negara maju, sejahtera dan aman tenteram. Akan tetapi faktor yang membuat sebuah Negara menjadi maju, makmur, aman dan sejahtera yaitu kejujuran seperti yang telah terbukti di Negara Denmark dan beberapa Negara lainnya tidak dipupuk di negeri ini.

Kejujuran bukan saja tidak dipupuk agar subur di negeri ini, bahkan cenderung dimatikan, sehingga penulis memberanikan diri menulis artikel dengan judul Menanam Kejujuran Di Lahan Kebohongan.

           
Pertanyaannya, Kenapa kejujuran tidak dipupuk agar subur di negeri ini? Bagaimana kejujuran bisa subur jika sebagian orang tua memberi makan anaknya atau membayar biaya pendidikan anaknya bukan dari uang hasil kejujuran. Orang tua yang ketika masuk kerja ke sebuah instansi dengan cara menyuap atau setelah bekerja mendapatkan penghasilan dari suatu kegiatan yang tidak jujur, seperti mendapat bonus dari hasil rekayasa prestasi dan sebagainya.

Dari sisi lain sebagian besar orang tua tidak pernah memberikan penghargaan atau apresiasi atas kejujuran anaknya, apresiasi hanya diberikan jika anaknya berprestasi atau mendapat nilai yang baik, tak peduli bagaimana caranya mendapatkan nilai yang baik tersebut.

           
Pada kebanyakan istansi atau institusi, hampir semua manajemen tidak peduli dengan kejujuran atau malah bisa jadi kejujuran dianggap oleh sebagian bos sebagai benalu yang membahayakan. Kenapa demikian? Atasan yang senang dengan penghargaan atau reward yang akan membuat namanya terkenal serta karirnya bisa melesat tinggi, biasanya tak peduli bagaimana caranya mendapatkan reward tersebut. Kalau perlu prestasi untuk mendapatkan reward tersebut direkayasa sedemikian rupa, sehingga kegagalan bisa saja disulap menjadi keberhasilan dengan cara menyembunyikan data atau kejadian yang sebenarnya.

Belum lagi atasan yang hobi barang mewah atau kehidupan mewah berlebihan, yang mungkin tidak akan mencukupi jika dibiayai dari gaji atau penghasilan sang atasan. Atau kalaupun penghasilannya cukup tetapi dia tidak mau membiayai kehidupan mewahnya dari penghasilannya, tentu satu-satunya cara adalah mengakali uang perusahaan. Dan itu semua biasanya dilakukan oleh anak buahnya, karena kolusi dan korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu orang saja, tetapi harus beberapa orang yang bekerja sama.

Mekanisme akuntansi dan mekanisme control hanya bisa dijebol dengan kerjasama oknum-oknum, bukan satu orang oknum. Kalau sudah seperti ini maka karyawan yang jujur akan dianggap sebagai virus penyakit atau sebagai orang yang tidak loyal atau sebutan-sebutan lainnya yang akan membuat si jujur tersingkir.

           
Begitu juga dengan kehidupan politik bangsa ini, dengan politik pencitraan dan money politic semuanya berbiaya tinggi yang bahkan tidak sebanding dengan nilai yang akan mereka dapat setelah mereka terpilih. Sehingga di negeri ini mungkin yang terbanyak kepala daerah dan pejabat Negara serta anggota dewan yang tertangkap korupsi, dibandingkan Negara tetangga atau Negara berkembang lainnya. Nah biaya yang sudah dikeluarkan tersebut tentu harus dikembalikan, bagaimanapun caranya, karena sering juga terjadi biaya tersebut adalah pinjman.

Hal ini diperparah karena masyarakatnya juga tidak peduli dengan yang namanya kejujuran, bagi mereka pembagian kaos, sarung atau sembako dan sebagainya lebih menarik dan penting dibandingkan nilai-nilai kepribadian calon pemimpin yang akan mereka pilih. Sehingga tidak mengherankan jika ada nara pidana korupsi yang sedang dipenjara masih bisa terpilih kembali, atau anak atau keluarga dekat dari seorang koruptor besar dipilih lagi oleh rakyatnya untuk menjadi pemimpin.

           
Itu baru tiga contoh nyata dalam kehidupan berbangsa ini yang memperlihatkan sulit tumbuhnya kejujuran atau tidak diperlukannya kejujuran karena malah sering dianggap sebagai benalu yang merusak rimba kebohongan. Dan penulis sangat yakin, bahwa pada sektor atau lapisan sendi kehidupan lain bangsa ini juga seperti itu.

           
Bagaimana memperbaikinya? Tentu diperlukan kesadaran bersama pemimpin dan rakyat bangsa ini, mulai dari diri sendiri dan hal-hal sederhana untuk selalu jujur dalam bersikap dan bertindak. Bagi pemimpin yang memiliki kewenangan dan hak memilih atau mengangkat bawahannya, dapat melakukan :

1.      Memilih atau mengangkat yang jujur atau paling tidak yang paling jujur dari yang lainnya.

2.      Memberi keteladanan selalu bersikap dan berkata jujur.

3.      Memberi penghargaan atas sikap jujur anak buah.

4.      Memberi hukuman atau punishment terhadap kebohongan atau penyelewengan.

5.      Membangun sistim dan aturan yang menutup atau mempersempit peluang berbuat tidak jujur.

 

Lalu bagaimana dengan masyarakat atau rakyat biasa ?

1.   Memilih dan menghormati pemimpin yang jujur.

2.   Berusaha selalu bersikap,bertindak dan berkata jujur.

3.   Memberikan penghargaan dan menghormati semua aktifitas yang mengandung kejujuran.

 

Perubahan ke arah yang baik memang membutuhkan pemimpin yang jujur dan punya kemaun yang kuat untuk membangun kejujuran. Pemimpin yang memiliki kemauan yang kuat untuk memunculkan orang-orang jujur di negeri ini kemudian menyebarkan atau mencangkoknya orang-orang jujur keberbagai institusi atau lembaga. Sehingga orang-orang jujur tersebut menjadi teladan dan trigger untuk mulai menyuburkan kejujuran di semua elemen bangsa ini. Jika ada yang pesismis bahwa sulit menemukan orang jujur atau mustahil menemukan orang jujur sekarang ini, itu karena belum pernah dicoba atau komentar yang datang dari orang-orang yang menikmati kegiatan yang mengandung unsur ketidakjujuran saja.

           
  
Demikian, semoga ada manfaatnya…. Aamiiin ya rabbal alamin..

 

Jakarta, 10 Februari  2021

Dedi Mahardi

Inspirator-Inovator-Author