Wahyudi Thamrin

Mengenang Jejak Pendekar Hukum Islam Asia Tenggara Asal Payakumbuh


Payakumbuh,- Nama Prof.DR.H Busthanul Arifin SH bagi praktisi Hukum Islam mungkin sudah tidak asing didengar. Dimasa pemerintahan Presiden Soeharto Busthanul Arifin pernah menjabat sebagai hakim agung dan juga pernah sebagai ketua hakim agung muda Indonesia. 

bagi Masyarakat Koto Nan Gadang yang pernah merantau di Jakarta dimasa Busthanul Arifin masih sekolah dibangku SMA ada cerita unik dari perjalanan hidup Busthanul masa itu. Dari salah satu sumber tokoh Koto Nan gadang payakumbuh Utara penulis mendapatkan cerita bahwa cita cita Busthanul untuk bergerak dibidang ilmu Hukum Islam itu sudah mendarah daging. Waktu SMA Busthanul Arifin menyambi bekerja sebagai pedagang koran didepan kantor Mahkamah Agung. disanalah dia berkata " digedung itu saya nanti Bekerja, kata Busthanul" Seperti diceritakan salah seorang perantau Koto Nan Gadang yang pernah penulis wawancarai tentang Busthanul Arifin ini.

Busthanul Arifin merupakan Tokoh Kelahiran Payakumbuh 2 Juni 1929 dari pasangan Andaran Gelar Maharajo Sutan dan Kana. Bungsu dari enam bersaudara.

Busthanul Arifin diangkat jadi Hakim Agung dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 38 tahun 1968 tertanggal 3 Februari 1968, Bustanul diangkat menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI. Ketika diangkat menjadi Hakim Agung itu, usia  Bustanul baru 38 tahun.

Sesudah 14 tahun menjadi Hakim Agung, pada tanggal 22 Februari 1982 melalui Keppres No. 33/M Tahun 1982, Bustanul diangkat menjadi Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan  Lingkungan Peradilan Agama.  Jabatan itu dipangkunya sampai saat Bustanul memasuki masa pensiun pada 30 Juli 1994.

Busthanul Arifin memulai pendidikannnya di sekolah dasar Belanda, bukan disekolah berbasiskan pendidikan agama. Namun layaknya anak Laki laki di Minangkabau, Busthanul Arifin tidak memiliki tempat didalam rumah gadang. Karena rumah gadang hanya di huni orang tua dan anak anak perempuan. Suraulah tempat berkumpul dan tidurnya anak laki laki masa itu. 

Busthanul kecil belajar mengaji dengan pamannya (Mamak) ya ng bernama Abbas di Surau. Kelas 2 sekolah dasar masa itu Busthanul Arifin suah Khatam Alquran. Untuk ilmu tauhid Busthanul belajar dengan kakeknya yang bernama Tuangku keramat. 

Pada masa kecil Busthanul Arifin, Surau merupakan basis pendidikan non formal. Di Surau selain mengaji, juga di dilatih ilmu bela diri berupa silat tradisional. Juga pemahaman tentang adat di nagari setempat. 

Setamat sekolah setingkat sekolah dasar Busthanul tidak melanjutkan ke tingkat SMP.Karena untuk sekolah setingkat SMP belum ada di payakumbuh hanya ada di Kota Padang sekolah Belanda MULO. 

Ada sekitar dua setengah tahun tidak sekolah, hari harinya Busthanul di isi dengan kesawah, keladang, mengaji, belajar silat dan membaca buku. 

Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Bustanul sempat masuk Seinenda yang pelatihannya amat keras. Mungkin karena itu, meskipun baru berusia belasan, Bustanul diperlakukan bagai orang dewasa. Dia mulai sering diminta bertabligh. Karena sering diminta bertabligh itulah, mau tidak mau Bustanul terus menambah ilmu-ilmu keislaman, baik dari hasil bacaan, maupun dari pergaulan.

Pasca Proklamasi kemerdekaan Busthanul Arifin melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP. 

Sebuah keajaiban dialami Bustanul. Dirinya yang selama di SMP aktif berorganisasi – antara lain pernah menjadi sekretaris Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Sumatera yang diketahui oleh Bustaman (kini Dr. S.H. –pen/darulfunun.or.id), tidak terlalu baik prestasi belajarnya, dalam ujian akhir SMP justru meraih prediket terbaik se-Sumatera Tengah. Karena prestasinya itu, pemerintah RI berniat menyekolahkan Bustanul ke Singapura dengan beasiswa. Karena itulah setamat SMP pada 1948, Bustanul tidak segera mendaftar ke SMA Bukittinggi. Dia menunggu kabar dari ibu kota, Yogyakarta. Namun, karena terjadi agresi Belanda, kabar dari Yogya tidak pernah diterimanya, dan rencana melanjutkan sekolah ke Singapura pun gagal.

Bustanul kemudian mencemplungkan diri ke kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dia bergabung ke dalam Pasukan Mobil Teras  (PMT) “Gerilya Antara” Sektor II Front utara Payakumbuh dari kelompok Pelajar Pejuang dibawah komando Mardisun. Dalam pasukan itu, Bustanul menjadi anggota Brigade Tempur Istimewa.


Dalam tulisan/buku Peristiwa/Sejaraah Pemuda gerilya Koto Nan gadang Payakumbuh yang ditulis langsung oleh Mardisun disebutkan bahwa Busthanul Arifin dari barisan Pelajar Pejuang Koto Nan Gadang pernah merasakan terali besi Penjajah. Busthanul dan kawan kawan dari pelajar pejuang masa itu bertugas dibagian intelejen dan sabotase. Busthanul akhirnya bisa bebas dari tahanan tentara Belanda berkat perjuangan Jaksa Djoefri yang waktu itu sebagai jaksa di daerah pendudukan Belanda dan sekaligus wakil ketua Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh. 

Sesudah pengakuan kedaulatan, 1949, Bustanul berangkat ke Jakarta dan masuk SMA. Tahun 1951, Bustanul lulus. Tahun itu juga dia berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di Fakultas Hukum UGM (ketika itu bernama Fakultas Hukum; Ekonomi, Sosial, dan Politik –pen). Bustanul kuliah sambil aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Atas desakan teman-temannya, Bushtanul menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta (1954-1955). Selain aktif di organisasi, Bustanul pun mengajar di salah satu SMA swasta.

Sesudah lulus dari fakultas hukum pada akhir 1955, Bustanul meniti karier sebagai hakim di Semarang. Sambil bekerja sebagai hakim, Bustanul mengajar di sebuah SMA swasta. Suatu hari beberapa temannya mengajak mendirikan perguruan tinggi. “Masak mau mengajar di SMA terus,” kata mereka. Sejak itulah Bustanul terlibat aktif dalam panitia pembentukan Universitas Semarang yang kemudian menjadi Universitas Diponegoro. Ketua panitiana Imam Bardjo, pernah menjadi Jaksa Tinggi di Jawa Tengah. Mantan Ketua Mahkamah Agung, Mr. Soerjadi, turut pula dalam kepanitiaan.

Waktu rapat pembagian tugas mengajar, Bustanul langsung menawarkan diri untuk memegang mata kuliah hukum pidana sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun rapat terbentur pada siapa yang akan mengajar mata kuliah hukum Islam, padahal mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah wajib di fakultas hukum. Akhirnya ketua panitia memutuskan bahwa mata kuliah hukum Islam harus dipegang Bustanul.

“Mata kuliah hukum Islam harus kamu yang memegang. Yang bisa baca Qur’an cuma kamu. Masak kami yang tidak membaca al-Qur’an harus mengajar hukum Islam,” kata Bardjo mendesak. Akhirnya resmilah Bustanul memegang mata kuliah hukum Islam. Karena harus mengajar sesuatu yang bukan disiplin ilmunya, mau tidak mau Bustanul pun mesti giat belajar. Yang amat disyukurinya, buku-buku mengenai hukum Islam relative mudah diperoleh.

Ketika Bustanul sudah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM, ayahnya berkirim surat – sesuatu yang di luar kebiasannya. Isi surat itu antara lain: “Kamu sekarang sudah sekolah tinggi hukum. Satu hal jangan pernah kamu lupakan: tidak bergerak selain di jalan Allah.”

Kalimat terakhir itu digarisbawahi. Tidak lama sesudah berkirim surat tersebut, ayahnya Bustanul wafat. Karena itu Bustanul menganggap surat itu sebagai wasiat. Wasiat dan keinginan ibundanya menyekolahkan Bustanul ke lembaga pendidikan Islam, kelak mempengaruhi jalan hidupnya.

Ketika Bustanul diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Kalimantan Selatan dan Tengah yang berkedudukan di Banjarmasin (1966-1968), mengingat frekuensi kesibukannya yang demikian tinggi, dirinya menduga waktunya akan habis mengurusi tugas, dan tidak ada lagi waktu luang untuk berkomunikasi dengan para ulama. Dugaan Bustanul itu ternyata keliru. Di Banjarmasin, dia tetap dekat dengan para ulama.

Dalam menjalin komunikasi dengan para ulama dan tokoh-tokoh agama, Bustanul sama sekali tidak memandang latar belakang politik atau pendirian tokoh yang bersangkutan. Dengan mantan Perdana Menteri RI dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir (1908-1993) pun, Bustanul menjalin hubungan cukup akrab.

Di tengah perdebatan soal RUU-PA, dua kali Natsir mengundang Bustanul untuk berceramah soal RUU-PA. Pertama di depan para ulama dan pimpinan pondok pesanteren se-Jawa Barat, di Sukabumi. Kedua, di depan para da’i Dewan Dakwah dari seluruh Indonesia yang dikumpulkan di Jakarta. Kedua undangan itu, dipenuhi Bustanul. Tetapi karena Natsir adalah salah seorang penandatanganan Petisi 50 salah seorang sejawatnya di Mahkamah Agung, sempat mempertanyakan kesediaan Bustanul memenuhi undangan Natsir. Dan Bustanul menjawab pertanyaan itu dengan tegar: “Mengapa tidak? Pak Natsir itu kan Ketua Dewan Dakwah, tokoh agama yang banyak jasanya untuk negara kita. Jangankan Pak Natsir, orang komunis pun kalau mereka meminta saya menerangkan soal agama, akan saya penuhi.

Selain pernah menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Indonesia, Prof.DR H.Busthanul Arifin SH juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Ahli Hukum Islam Asia Tenggara. Disamping itu juga pernah menjabat Rektor, Busthanul juga dikenal sebagai salah seorang arsitek Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pada 22 Desember 1993, Busthanul Arifin mendapat gelar Doktor Kehormatan (doktor Honoris causa) Bidang Ilmu Pendidikan Islam dari Institut Agama Islam (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Prof.DR Busthanul Arifin SH tokoh yang dijuluki Tonggak Mahkamah Konstitusi Hukum Islam Asia tenggara ini meninggal dunia pada Kamis 23/04/2015. 

Dengan tulisan ini tertumpang harapan lahir generasi muda penerus perjuangan para tokoh tokoh pendahulu.. aamiin. 

NB: Tulisan diolah dari beberapa sumber baik online maupun buku dan wawancara langsung dengan orang yang pernah kenal dan dekat dengan Prof.DR H.Busthanul Arifin SH. Jika ada pembaca merasa ada kesalahan atau ingin menambahkan referensi ke dalam penulisan artikel ini redaksi sangat menerima masukan tersebut. untuk kontak bisa di cek di redaksi