Pemikiran-pemikiran politik Ibrahim Datuk Tan Malaka sangat banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pendidikannya serta kehidupan sosial di sekitarnya yang saat itu masih dibelenggu,
berikut pembahasan tentang biografi singkat Tan Malaka yang di sadur dari berbagai sumber dan buku dari penjara ke penjara karya Tan Malaka.
Masa Kecil Tan Malaka
Lahir dengan Nama Ibrahim dan Besar dengan nama kebesaran pemimpin kaum atau gelar adat Datuk Tan Malaka.
Latar belakang lingkungan keluarganya menganut agama secara puritan, taat pada perintah Allah serta senantiasa menjalankan ajaran Nabi Muhamad SAW. Sejak kecil Tan Malaka dididik oleh tuntunan Islam secara ketat, suatu hal lazim dalam tradisi masyarakat Minangkabau yang amat religius. Sejak kecil Tan Malaka tumbuh bersama bocah-bocah sebaya di kampungnya dan telah menampakkan bakatnya sebagai seorang anak yang cerdas, periang dan berkemauan keras. Saat saat menginjak usia remaja Tan Malaka telah mampu berbahasa Arab dan menjadi guru muda di surau kampungnya. Pendidikan agama Islam ini begitu membekas dalam diri Tan Malaka sehingga kemudian sedikit banyaknya memberikan warna dalam corak pemikiran Tan Malaka.
Setelah selesai di sekolah rendah ia menjadi satu-satunya anak muda di kampungnya yang mendapat kesempatan bersekolah ke Kweekschool di Bukit Tinggi (1908-1913). Kweekschol dikenal sebagai sekolah raja karena tak tergapai oleh kaum inlanders merupakan satu-satunya sekolah guru untuk anak-anak Indonesia di Sumatera Barat.[6] la dikirim bersekolah beradasarkan keputusan rapat tetua Nagari Pandan Gadang, Suliki. Dalam keputusan rapat dinyatakan jelas pada suatu kepercayaan tradisional bahwa Tan Malaka pada akhirnya akan kembali untuk memperkaya alamnya.
Tan Malaka Menuntut Ilmu Di Belanda
Kecerdasan dan keinginannya yang keras serta perangainya yang sopan mendapatkan perhatian serius dari seorang guru Belanda bemama Horensma. Horensma menggangap Tan Malaka sebagai anak angkatnya sendiri. Atas anjuran dari Horensma pula ia dipromosikan untuk meneruskan sekolah lanjutan di negeri Belanda. Atas biaya dan jaminan keuangan yang diupayakan oleh "Engkufonds" yaitu semacam lembaga keuangan para Engku di Suliki dan juga bantuan dari Horensma yang menyediakan diri sebagai penjamin bagi Tan Malaka untuk melakukan perantauan yang nantinya berpengaruh besar pada kehidupannya kemudian. Bulan Oktober 1913 Tan Malaka meninggalkan tanah kelahiranya.Perantauan bagi seorang individu menurut adat Minangkabau merupakan suatu cara untuk memenuhi panggilan penyerahan diri pada kebebasan dunia. Dengan meninggalkan nagarinya, seorang individu dapat mengenal kedudukannya sendiri di dalam alam dan karena pengalaman perantauannya akan dapat berkembang sampai menjadi anggota dewasa di dalam alam. Tinggal di perantauan merupakan suatu pengorbanan dan menjadi tugas bagi sang perantau untuk memberikan segala pengetahuan yang diperolehnya dirantau kepada nagarinya. Gagasan- gagasan progresif muncul sebagai kritik atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda selanjutnya menjadi bahasan dalam Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi Belanda.
Dampak dari kebijakan poltik etis yang dikembangkan adalah dimulainya suatu upaya balas budi terhadap rakyat jajahan yang dikenal dengan program Irigasi atau pengairan, Transmigrasi atau perpindahan penduduk dan Edukasi atau pendidikan. Di bidang pendidikan mulai dibuka sekolah-sekolah pemerintah untuk kalangan pribumi walaupun masih dalam sifat terbatas seperti HIS. HBS. STOVIA, OSVIA, Kweekschool, Hoofdenschool merupakan manifestasi dari politik etis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negeri-negeri jajahan dan Tan Malaka adalah salah satu orang yang merasakannya.
Di Belanda Tan Malaka masuk Rijkskweekschool sebuah sekolah untuk mendapatkan gelar diploma guru kepala atau Hoofdakte di kota Haarlem. Tan Malaka memulai hidup baru di negeri orang dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kampung halaman asalnya. Dalam otobiografi yang ditulisnya ia mengatakan bahwa kehidupan dinegeri Belanda lebih banyak didekap derita ketimbang suka. Kondisi iklim Belanda yang jauh berbeda dengan Indonesia membuat kesehatanya merosot, bulan Juli 1915 ia terserang radang paru-paru yang cukup parah dimana penyakit tersebut dapat kambuh setiap saat.
Sejak itu kondisi sulit terus menerpanya dan berakibat pada terhambatnya studi Tan Malaka sampai beberapa tahun. Untuk memulihkan kesehatanya Tan Malaka terpaksa pindah ke kota kecil yang berhawa tropis dan sejuk bernama Bussum. Di kota inilah pula awal perkenalan Tan Malaka dengan wacana-wacana progresif, filsafat serta berbagai peristiwa revolusi di dunia yang saat itu sedang marak di Eropa.
Tan Malaka mulai berkenalan dengan soal-soal filsafat, ia banyak membaca karya-karya Nietzsche seorang filsuf Jerman. Hasrat intelektualnya membuatnya mulai berkenalan dengan karya-karya Marxisme. la pun mempelajari Het Kapital Karangan Karl Marx dalam bahasa Belanda, Marxtische Ekonomie karya Karl Kautsky, surat kabar radikal Hel Volk milik Partai Sosial Demokrat Belanda serta brusur-brosur yang menceritakan perjuangan dan kemenangan Revolusi Bolsyhevik Oktober 1917.
Pengalaman Revolusi Bolsyevik di Rusia pasca Perang Dunia I sangat berkesan bagi diri Tan Malaka. Revolusi sosial menumbangkan kediktatoran Tsar yang dilakukan oleh kaum buruh dan sekaligus membuktikan kebenaran teori Karl Marx tentang hancurnya dominasi kapitalisme oleh suatu revolusi sosial.
Tan Malaka kemudian mengganggap dirinya sebagai seorang Bolsyevik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. Marxisme baginya, bukan dogma melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, sikap seorang Marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial dari suatu masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia yang tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia, yang sama hanya cara atau metode berpikirnya.
Pemberontakan PKI 1926, menjadi satu peristiwa yang sangat disesalkan oleh Tan Malaka, dimana apa yang telah dituliskanya dalam Menuju Republik Indonesia tentang masalah strategi dan taktik, kesiapan sebuah partai revolusioner dan pentingnya meraih dukungan massa rakyat luas dalam memimpin pergerakan revolusioner justru diabaikan oleh PKI.
Selanjutnya Tan Malaka melukiskan kehidupan rantau dan pelariannya yang kedua sebagai masa isolasi politik total sesungguhnya. Bahkan sampai tahun 1926 ketika ia masih aktif, ia tak menyebutkan kontak yang berarti dengan kaum pergerakan Indonesia kecuali beberapa kali pertemuan dengan dua kawan separtai, Alimin dan Dawud, serta beberapa surat-menyurat dengan kawan lain seperti Subakat. Tahun 1928 dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara. Rupanya pada waktu itu, Moskow belum mengetahui tentang kegiatan Tan Malaka dengan PARI-nya.
Sewaktu ia memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), dalam perjalannnya menuju pos barunya di Birma sebagai agen Komintern, Tan Malaka ditangkap Inggris dan ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas, ia kembali ke Cina (Amoy), di mana ia menghidupi dirinya dengan mendirikan sekolah bahasa asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937, ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkir ke Singapura, menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu ia sampai di Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat-menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi juga setia pada cita-cita revolusinya.
Sementara itu, Komintern dan orang-orang komunis Indonesia yang mengetahui tentang keberadaan PARI dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Belanda. Musso segera menulis pamflet yang menentang Tan Malaka dengan PARI-nya. Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh utama mereka (PKI).
Menariknya Tan Malaka sendiri tak sering menyebut PARI, partai politik yang didirikanya tahun 1927, setelah meletus pemberontakan PKI tahun 1926-1927, kecuali mencatat bahwa ia menerima berita penangkapan para pemimpin partai lainnya dan tentang penangkapan para pemimpin partai lainnya dan tentang hancurnya komunikasi antar partai.
Dari buku itulah terdapat banyak konsep-konsep kemerdekaan Tan Malaka dengan menggerakkan massa dengan jalan revolusi sehingga masyarakat Indonesia tersentuh untuk ikut berjuang dalam pergerakan menuju Indonesia merdeka yang terbebas dari segalah bentuk belenggu penjajahan.
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan dia atas,
pokok-pokok pikiran yang dapat disimpulkan sebagai jawaban atas rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
Tan Malaka berlatar belakang keluarga yang sangat taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai dan norma budaya Sumatera utara. Beliau beruntung bisa melanjutkan sekolahnya di Belanda dan disanalah dia belajar tentang konsep sosialisme dan komunis yang berkiblat ke Soviet dan Marxis.
Tan Malaka berlatar belakang keluarga yang sangat taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai dan norma budaya Sumatera utara. Beliau beruntung bisa melanjutkan sekolahnya di Belanda dan disanalah dia belajar tentang konsep sosialisme dan komunis yang berkiblat ke Soviet dan Marxis.
Pemikirannya tentang konsep membawa dampak nyata pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemikiran yang diwujudkan dalam tindakan nyata dan ulis sebuah buku yang berjudul "Menuju Republik Indonesia ". Tan Malaka berupaya meletakkan roh nasionalisme sebagai aspek pokok dengan Mendorong persatuan antara Islam dan Komunisme. Tan Malaka juga tidak sepakat terhadap pemberontakan PKI tahun 1926 karena menggangap situasi revolusioner di rakyat belum matang. Hal tersebut mencerminkan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis sejati yang mencintai bangsanya.