Pengelolaan Limbah B3 ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 1994 yang dibaharui dengan PP No. 12 tahun 1995 dan diperbaharui kembali dengan PP No. 18 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 yang dikuatkan lagi melalui Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tanggal 26 November 2001 tentang Pengelolaan Limbah B3
Pengertian B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Intinya adalah setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa bahannya.
Tujuan pengelolaan limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
Identifikasi limbah B3
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
Berdasarkan sumber
Berdasarkan karakteristik
Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
Limbah B3 dari sumber spesifik;
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
mudah meledak;
pengoksidasi;
sangat mudah sekali menyala;
sangat mudah menyala;
mudah menyala;
amat sangat beracun;
sangat beracun;
beracun;
berbahaya;
korosif;
bersifat iritasi;
berbahayabagi lingkungan;
karsinogenik;
teratogenik;
mutagenik.
Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun 1999 yang hanya mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:
mudah meledak;
mudah terbakar;
bersifat reaktif;
beracun;
menyebabkan infeksi;
bersifat korosif.
Peningkatan karakteristik materi yang disebut B3 ini menunjukan bahwa pemerintah sebenarnya memberikan perhatian khusus untuk pengelolaan lingkungan Indonesia. Hanya memang perlu menjadi perhatian bahwa implementasi dari Peraturan masih sangat kurang di negara ini.
Pengelolaan dan pengolahan limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat.
Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:
Lokasi pengolahan
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:
daerah bebas banjir;
jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter;
Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:
daerah bebas banjir;
jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;
jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;
jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;
dan jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.
Fasilitas pengolahan
Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:
sistem kemanan fasilitas;
sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem penanggulangan keadaan darurat;
sistem pengujian peralatan;
dan pelatihan karyawan.
Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.
Penanganan limbah B3 sebelum diolah
Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.
Pengolahan limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:
proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.
proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll.
proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir
proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr
Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi limbah.
Hasil pengolahan limbah B3
Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali).
Menurut Departemen Kesehatan, limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan Rumah Sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme pathogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif. Dengan melihat deskripsi tersebut, limbah yang berasal dari rumah sakit ini dapat dikategorikan sebagai limbah B3 (limbah bahan berbahaya dan beracun).
Limbah rumah sakit sendiri berupa campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Seluruh jenis limbah ini dapat mengandung limbah berpotensi infeksi. Kadangkala, limbah residu insinerasi dapat dikategorikan sebagai limbah berbahaya bila insinerator sebuah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dioperasikan sesuai dengan kriteria.
Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang dihasilkannya maka Rumah Sakit harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri yang ditetapkan KepMenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yaitu:
Fasilitas Pengelolaan Limbah padat — Setiap Rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber dan harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya, beracun dan setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
Fasilitas Pengolahan Limbah Cair — Limbah cair harus dikumpulkan dalam container yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya. Rumah sakit harus memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri.
Limbah dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori utama, yaitu limbah umum, limbah patologis (jaringan tubuh), limbah radioaktif, limbah kimiawi, limbah berpotensi menular (infectious), benda-benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, dan kontainer dalam tekanan. Dari sekian banyak jenis limbah klinis tersebut, maka yang membutuhkan sangat perhatian khusus adalah limbah yang dapat menyebabkan penyakit menular (infectious waste) atau limbah biomedis. Limbah ini biasanya hanya 10 – 15 % dari seluruh volume limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini secara spesifik adalah:
Limbah human anatomical: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh, tetapi tidak termasuk gigi, rambut dan muka.
Limbah tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh, organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku.
Limbah laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme, vaksin, atau bahan atau peralatan laboratorium yang berkontak dengan bahan- bahan tersebut.
Limbah darah dan cairan manusia atau bahan/peralatan yang terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk dalam kategori ini adalah urin dan tinja.
Limbah-limbah benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pecahan kaca dan sebagainya.
Sasaran pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagaimana menangani limbah berbahaya, menyingkirkan dan memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak membahayakan lingkungan. Untuk limbah yang bersifat umum, penanganannya adalah identik dengan limbah domestik yang lain. Daur ulang sedapat mungkin diterapkan pada setiap kesempatan. Bahan-bahan tajam yang tidak terinfeksi harus dibungkus secara baik serta tidak akan mencelakakan pekerja yang menangani dan dapat dibuang seperti limbah umum, sedangkan bahan-bahan tajam yang terinfeksi diperlakukan sebagai limbah berbahaya.
Limbah yang harus dipisahkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infeksius. Limbah infeksius beresiko tinggi perlu ditangani terlebih dahulu dalam autoclave sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum disingkirkan di landfill. Limbah darah yang tidak terinfeksi dapat dimasukkan ke dalam saluran limbah kota dan dibilas dengan air, sedang yang terinfeksi harus diperlakukan sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer dibawah tekanan (aerosol dan sebagainya) tidak boleh dimasukkan ke dalam insinerator.
Limbah yang telah dipisahkan dimasukkan kantong-kantong yang kuat (dari pengaruh luar ataupun dari limbahnya sendiri) dan tahan air atau dimasukkan dalam kontainer-kontainer logam. Kantong-kantong yang digunakan dibedakan dengan warna yang seragam dan jelas, dan diisi secukupnya agar dapat ditutup degan mudah dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label atau simbol yang sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat berlangsung sempurna. Limbah radioaktif juga harus mempunyai tanda-tanda yang standar dan disimpan untuk menunggu masa aktifnya terlampaui sebelum dikategorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya.
Pengertian B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Intinya adalah setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa bahannya.
Tujuan pengelolaan limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dari hal ini jelas bahwa setiap kegiatan/usaha yang berhubungan dengan B3, baik penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Dan apabila terjadi pencemaran akibat tertumpah, tercecer dan rembesan limbah B3, harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
Identifikasi limbah B3
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
Berdasarkan sumber
Berdasarkan karakteristik
Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
Limbah B3 dari sumber spesifik;
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
mudah meledak;
pengoksidasi;
sangat mudah sekali menyala;
sangat mudah menyala;
mudah menyala;
amat sangat beracun;
sangat beracun;
beracun;
berbahaya;
korosif;
bersifat iritasi;
berbahayabagi lingkungan;
karsinogenik;
teratogenik;
mutagenik.
Karakteristik limbah B3 ini mengalami pertambahan lebih banyak dari PP No. 18 tahun 1999 yang hanya mencantumkan 6 (enam) kriteria, yaitu:
mudah meledak;
mudah terbakar;
bersifat reaktif;
beracun;
menyebabkan infeksi;
bersifat korosif.
Peningkatan karakteristik materi yang disebut B3 ini menunjukan bahwa pemerintah sebenarnya memberikan perhatian khusus untuk pengelolaan lingkungan Indonesia. Hanya memang perlu menjadi perhatian bahwa implementasi dari Peraturan masih sangat kurang di negara ini.
Pengelolaan dan pengolahan limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan.
Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat.
Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan:
Lokasi pengolahan
Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus:
daerah bebas banjir;
jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter;
Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus:
daerah bebas banjir;
jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya;
jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m;
jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m;
dan jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m.
Fasilitas pengolahan
Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi:
sistem kemanan fasilitas;
sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem pencegahan terhadap kebakaran;
sistem penanggulangan keadaan darurat;
sistem pengujian peralatan;
dan pelatihan karyawan.
Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3 mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan.
Penanganan limbah B3 sebelum diolah
Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah.
Pengolahan limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sbb:
proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.
proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll.
proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir
proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr
Tidak keseluruhan proses harus dilakukan terhadap satu jenis limbah B3, tetapi proses dipilih berdasarkan cara terbaik melakukan pengolahan sesuai dengan jenis dan materi limbah.
Hasil pengolahan limbah B3
Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau ditutup.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali).
Menurut Departemen Kesehatan, limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan Rumah Sakit dalam bentuk padat, cair, pasta (gel) maupun gas yang dapat mengandung mikroorganisme pathogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif. Dengan melihat deskripsi tersebut, limbah yang berasal dari rumah sakit ini dapat dikategorikan sebagai limbah B3 (limbah bahan berbahaya dan beracun).
Limbah rumah sakit sendiri berupa campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Seluruh jenis limbah ini dapat mengandung limbah berpotensi infeksi. Kadangkala, limbah residu insinerasi dapat dikategorikan sebagai limbah berbahaya bila insinerator sebuah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dioperasikan sesuai dengan kriteria.
Untuk mengoptimalkan upaya penyehatan lingkungan Rumah Sakit dari pencemaran limbah yang dihasilkannya maka Rumah Sakit harus mempunyai fasilitas pengelolaan limbah sendiri yang ditetapkan KepMenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yaitu:
Fasilitas Pengelolaan Limbah padat — Setiap Rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber dan harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya, beracun dan setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
Fasilitas Pengolahan Limbah Cair — Limbah cair harus dikumpulkan dalam container yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi, volume, dan prosedur penanganan dan penyimpanannya. Rumah sakit harus memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah sendiri.
Limbah dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori utama, yaitu limbah umum, limbah patologis (jaringan tubuh), limbah radioaktif, limbah kimiawi, limbah berpotensi menular (infectious), benda-benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, dan kontainer dalam tekanan. Dari sekian banyak jenis limbah klinis tersebut, maka yang membutuhkan sangat perhatian khusus adalah limbah yang dapat menyebabkan penyakit menular (infectious waste) atau limbah biomedis. Limbah ini biasanya hanya 10 – 15 % dari seluruh volume limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini secara spesifik adalah:
Limbah human anatomical: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh, tetapi tidak termasuk gigi, rambut dan muka.
Limbah tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh, organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku.
Limbah laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme, vaksin, atau bahan atau peralatan laboratorium yang berkontak dengan bahan- bahan tersebut.
Limbah darah dan cairan manusia atau bahan/peralatan yang terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk dalam kategori ini adalah urin dan tinja.
Limbah-limbah benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pecahan kaca dan sebagainya.
Sasaran pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagaimana menangani limbah berbahaya, menyingkirkan dan memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak membahayakan lingkungan. Untuk limbah yang bersifat umum, penanganannya adalah identik dengan limbah domestik yang lain. Daur ulang sedapat mungkin diterapkan pada setiap kesempatan. Bahan-bahan tajam yang tidak terinfeksi harus dibungkus secara baik serta tidak akan mencelakakan pekerja yang menangani dan dapat dibuang seperti limbah umum, sedangkan bahan-bahan tajam yang terinfeksi diperlakukan sebagai limbah berbahaya.
Limbah yang harus dipisahkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infeksius. Limbah infeksius beresiko tinggi perlu ditangani terlebih dahulu dalam autoclave sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum disingkirkan di landfill. Limbah darah yang tidak terinfeksi dapat dimasukkan ke dalam saluran limbah kota dan dibilas dengan air, sedang yang terinfeksi harus diperlakukan sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer dibawah tekanan (aerosol dan sebagainya) tidak boleh dimasukkan ke dalam insinerator.
Limbah yang telah dipisahkan dimasukkan kantong-kantong yang kuat (dari pengaruh luar ataupun dari limbahnya sendiri) dan tahan air atau dimasukkan dalam kontainer-kontainer logam. Kantong-kantong yang digunakan dibedakan dengan warna yang seragam dan jelas, dan diisi secukupnya agar dapat ditutup degan mudah dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label atau simbol yang sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat berlangsung sempurna. Limbah radioaktif juga harus mempunyai tanda-tanda yang standar dan disimpan untuk menunggu masa aktifnya terlampaui sebelum dikategorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya.
disalin dari: