sosok Tan Malaka memang pantang surut. Kendati sudah lama mati berkalang
tanah, tetapi pikirannya masih sangat ‘diwaspadai’. Seperti katanya
sendiri: “Dari dalam kubur suaraku akan jauh lebih keras daripada diatas
bumi.”
Sumber Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online
Tanggal 7 Februari lalu, acara bedah buku Tan Malaka,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid IV, yang sedianya digelar di
Perpustakaan C2O di Jalan Dr Cipto, Surabaya, gagal terlaksana.
Penyebabnya, sekelompok orang yang terhimpun dalam Front Pembela Islam
(FPI) mengancam akan membubarkan paksa acara tersebut.
Tindakan FPI tersebut sangat menggelikan. Alasan yang
dikemukakan FPI, bahwa Tan Malaka adalah tokoh PKI (Partai Komunis
Indonesia, sangat tidak memadai. Sebab, seperti dicatat sejarah, Tan
Malaka adalah sosok yang ditendang keluar dari gerbong PKI. Malahan,
partai yang didirikannya, Murba, pada tanggal 11 November 1966,
menyatakan secara tegas berposisi sebarisan dengan Orde Baru.
Selain itu, kalau yang ditakutkan adalah pemikiran Tan
Malaka, yang sangat marxis itu, ini juga keblinger. Sebab, kalau FPI
rajin membuka lembar sejarah, hampir semua pendiri bangsa Indonesia
pernah belajar dan terpengaruh oleh marxisme. Jadi, kalau FPI mau serius
memerangi marxisme, maka perangi juga Soekarno, Hatta, Sjahrir,
Tjokroaminoto, dan lain-lain.
Tetapi ada satu hal yang dilupakan oleh FPI dan ormas-ormas
yang berusaha membenturkan Tan Malaka dengan Islam: pertama, pengaruh
Islam di dalam diri Tan Malaka; kedua, pandangan dia terhadap Islam
sebagai agama; dan ketiga; dukungan dia terhadap aliansi antara kaum
komunis dengan Islam.
Tan Malaka lahir dari keluarga pemeluk Islam di Sumatera
Barat. “saya lahir dalam keluarga Islam yang taat,” katanya di dalam
risalah berjudul Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948). Bahkan, melebihi
orang-orang yang sering mengkafirkannya, Tan Malaka kecil sudah bisa
menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi guru muda.
Tan Malaka sangat mengagumi Nabi Muhammad SAW. Semasa masih
kecil, ketika Ibunya menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang
yatim-piatu, air mata Tan Malaka mengucur. Bahkan, seperti dituturkan
keponakan Tan, Zulfikar, “Tan Malaka kecil–sering dipanggil Ibra–tidak
pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Al-quran.”
Ketika belajar di Haarlem, negeri Belanda, Tan Malaka tidak
putus dengan ajaran Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda
beberapa kali ditamatkannya. Buku-buku tentang Islam, termasuk karya
Snouck Hurgronje, terus dibacanya. Kendati demikian, Tan Mengakui bahwa
pengaruh bacaan baru dan situasi dunia kala itu, terutama Revolusi
Rusia 1917, banyak mempengaruhi pandangan hidupnya.
Lantas, apakah ketika sudah terpengaruh bacaan baru,
terutama marxisme, Tan Malaka meninggalkan keislamannya? Pada bulan
November 1922, di hadapan perwakilan partai komunis dari berbagai
belahan dunia, Tan Malaka menegaskan, “ketika saya berdiri di depan
Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan
banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa
banyak iblis di antara banyak manusia!”
Sekarang kita tengok pandangan Malaka sebagai marxis
terhadap Islam. Ketika berbicara soal konsep Tauhid dalam Islam, yakni
pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT, Tan menghubungkannya dengan
sejarah ekonomi dan politik masyarakat Arab.
Menurut Tan, masyarakat Arab pra-Muhammad SAW adalah
masyarakat yang terbelah dalam banyak suku dan masing-masing menyembah
bermacam-macam berhala. Situasi itu membawa bangsa-bangsa Arab dalam
peperangan saudara yang panjang dan sangat keji. Karena itu, bagi Tan,
masyarakat Arab butuh pemimpin yang bisa menyatukannya.
Tan mengatakan, “persatuan itu tidak terdapat pada satu
maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat
di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan
Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo,
seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari
benda apapun juga di dunia ini.”
Pada saat itu muncullah Nabi Muhammad SAW. Yang menarik,
Tan melihat kemunculan Nabi Muhamad SAW sebagai pemimpin bukan karena
faktor inmaterial, melainkan dari faktor material. Pertama, Muhammad,
yang masih muda tapi haus pengetahuan, suka menyendiri dan merenung di
pegunungan luar kota Mekah. Di sana ia mengamati berbagai fenomena alam,
seperti bulan, peredaran bintang, dan jatuhnya hujan, sembari
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Tak heran kalau pemuda Muhammad didesak oleh persoalan
sebagai siapakah yang mengemudikan jalannya bulan dan jutaan bintang
ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang menjatuhkan hujan yang
memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia itu? Apakah asalnya
dan akhirnya manusia ini? Tiadakah ada buat mempersatukan bangsaku,
memperlihatkan seteru sengketa dan menerangi gelap gulita itu :
mengangkat bangsaku jadi obor dunia?” kata Tan Malaka.
Kedua, perjalanan dagang Nabi Muhammad ke berbagai
negara-negara di sekitar Arab memberinya pengalaman dan pengetahuan
untuk menjadi pemimpin. Terhadap hal ini, Tan menjelaskan, “Pengalaman
yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi
pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang
terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.”
Bagi Tan, kendati Nabi Muhammad SAW itu masih buta-huruf,
“University of Life” (Universitas hidup) telah menggemblengnya mengenali
berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya dan menemukan jalan
pemecahannya. Ini pula yang melahirkan Nabi Muhammad SAW sebagai
pemimpin besar.
Dengan konsep ke-Esaan Tuhan dan ke-Mahakuasaan-Nya, Islam
menempatkan semua manusia–tanpa memandang kekayaan, pangkat, suku, warna
kulit, jenis kelamin, dan lain– setara di hadapan Tuhan.
Dalam konteks Madilog, kata Tan Malaka, “Yang Maha Kuasa
itulah bisa lebih kuasa dari undang alam (hukum alam).” Menurut dia,
jangkauan ‘Ilmu Bukti’ hanyalah pada hukum atau kodrat alam, yakni hukum
yang mengatur benda-benda di alam raya ini untuk bergerak berpadu,
berpisah, saling tolak, saling tarik, dan sebagainya.
Sementara “Yang Maha Kuasa”, juga Surga dan Neraka, jelas
berada di luar “Ilmu Bukti”. Dan berarti diluar jangkauan Madilog. Bagi
Tan Malaka, percaya dan tidaknya akan “Yang Maha Kuasa” itu tergantung
dari masing-masing orang. “Tiap-tiap manusia itu adalah merdeka
menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam hal ini saya
mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan kebebasan
yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang saya
junjung,” kata Tan Malaka.
Kemudian, kita akan membahas dukungan penuh Tan Malaka terhadap aliansi strategis antara Islam dan Komunis.
Di tahun 1921, Tan Malaka menghadiri kongres Sarekat Islam
(SI). Di sana ia bertemu tokoh-tokoh SI, seperti HOS Tjokroaminoto dan
Semaun. Tetapi ia lebih terpikat pada Semaun.
Semaun, yang saat itu menjabat Ketua PKI, mengajak Tan ke
Semarang. Di sana Semaun meminta Tan membantunya mendirikan
sekolah-sekolah yang disponsori oleh SI-Semarang. Namanya SI school atau
Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka menjadi pengajar utama di sekolah
tersebut.
Tak lama kemudian, karena kepiawaian organisatoris dan
pengetahuan teoritiknya, Tan ditunjuk sebagai Ketua PKI pada Desember
1921. Yang menarik, seperti dicatat oleh Harry A Poeze, peneliti
sekaligus penulis buku berjudul Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia, ketika menjabat sebagai Ketua PKI dari 1921-1922, Tan Malaka
teguh mendukung proyek aliansi Islam-Komunis.
Sejak tahun 1916, pasca kegagalan kerjasama dengan
Insulinde, kaum sosialis (ISDV) mulai menjajaki kerjasama dengan Sarekat
Islam. Sejak itu, titik temu antara sosialisme dan islam banyak
dibicarakan. Apalagi, keduanya sama-sama menentang kolonialisme dan
imperialisme.
Tetapi berbagai masalah pribadi muncul mengusik kerjasama
itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto sebagai ketua SI
mulai merosot. Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu pemberontakan
rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, yang membuat
Tjokroaminoto terancam ditangkap. Karena itu, Tjokro meminta agar SI
mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggung
penguasa. SI cabang Semarang, yang dikuasai kaum merah, mengecam sikap
mengendur Tjokro tersebut.
Kedua, serangan Darsono, seorang tokoh ISDV, yang
membongkar kasus korupsi di tubuh pimpinan SI, Tjokroaminoto dan
Brotosoehardjo. Tuduhan Darsono itu benar-benar menampar tokoh-tokoh SI,
terutama para loyalis Tjokro.
Beruntung, pada kongres SI di bulan Maret 1921, berbagai
masalah itu berhasil diredam sementara. Semaun dan Haji Agus Salim
sepakat menyusun program bersama berdasarkan prinsip Islam dan komunis.
Salah satu poin kesepakatan itu adalah: Sarekat Islam sepakat bahwa
kejahatan penindasan secara nasional dan ekonomi merupakan produk
kapitalisme, karenanya rakyat koloni harus bebas dari kejahatan
tersebut, berjuang melawan kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan
kekuatan dan kemampuan, terutama melalui serikat buruh dan tani.
Namun, kerjasama ini hanya sementara. Rupanya, sentimen
anti-komunis makin merasuki segelintir pimpinan SI, terutama
Tjokroaminoto dan Haji Agussalim. Keduanya mulai berpikir untuk
menendang kaum komunis dari SI. Pada kenyataannya, sentimen anti-komunis
dari tokoh SI ini tidaklah ideologis maupun politis, melainkan didorong
oleh persaingan politik.
Propaganda anti-komunis pun dilancarkan. Tjokro, misalnya,
berkampanye bahwa SI berdasarkan agama islam, sedangkan komunis tidak
percaya Tuhan dan tidak mengakui agama Islam. Agus Salim, yang berada
dibalik proposal Disiplin Partai, menyatakan bahwa SI mendasarkan
perjuangannya pada semua klas, sementara komunis hanya pada satu klas:
proletar. (Lihat, Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, hal 326).
Tak hanya itu, Tjokro dan Agus Salim menuding kaum komunis
sebagai ‘tukang pecah-belah’. Tak hanya itu, dengan meminjam tesis
Komunis Internasional (Komintern) tentang Pan Islamisme, keduanya
mempropagandakan bahwa kaum komunis menentang proyek Pan-Islamisme.
Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, Oktober 1921,
proposal Disiplin Partai diajukan. Yang berarti: menendang kaum komunis
dari tubuh SI. Pada saat itulah Tan Malaka muncul. Menurut dia, PKI
tidak boleh dikecualikan dari program Disiplin Partai. Alasannya,
komunisme secara alami menjadi Islam dalam melawan imperialisme.
Tan Malaka menunjukkan bahwa di luar negeri kaum komunis
bisa beraliansi dengan gerakan Islam. Ia mencontohkan, kaum Bolsevik
beraliansi dengan kaum muslim di Kaukasus, Persia, Afghanistan, dan
Bukhara. Bagi Tan, kalau SI memang organisasi religius internasional,
maka mereka harus belajar dari komunitas islam di luar negeri yang
beraliansi dengan komunis.
Namun Agus Salim mengeluarkan bantahan. Menurutnya, semua
yang disebutkan oleh Marx sudah ada dalam Al-Quran. Selain itu, kata
dia, sekalipun muslim timur tengah menerima bantuan Bolshevik, tetapi
mereka tetap merdeka dan tidak membiarkan Bolshevik memasuki
masyarakatnya. ( Lihat: Ruth McVey, Kemunculan Komunis Indonesia, hal
170-171)
Pada bulan Desember 1921, PKI menggelar Kongres. Tan Malaka
menjadi pembicara penting di Kongres itu. Dia menekankan, “kalau
perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan lebih-lebihkan, kita
memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk
melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.”
Pasca kongres, berkat pengaruh Tan Malaka, PKI banyak
menarik kesesuaian antara komunisme dan islamisme. Misalnya, dalam aspek
propaganda, mereka merujuk ke ayat Al-quran untuk untuk menunjukkan
simpati kepada rakyat dengan mengecam penindasan dan keserakahan. Tak
hanya itu, PKI Semarang membentuk Komite Haji untuk mengubah peraturan
Haji pemerintah yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum
Islam.
Tak hanya di partainya, dukungan Tan Malaka terhadap
aliansi Islam-Komunis juga ditunjukkan di forum komunis Internasional.
Pada Kongres Komunis Internasional ke-empat, 12 November 1922, Tan
Malaka menyatakan perlunya dukungan terhadap Pan-Islamisme dalam
kerangka melawan imperialisme.
Di kongres itu Tan Malaka berseru, “Saat ini, Pan-Islamisme
berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim
Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi,
makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti
persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya
untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas.
Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya
melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan
Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah
arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang
tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua
kekuasaan imperialis di dunia.”
Seruan Tan Malaka didukung oleh seorang perwakilan dari
Tunisia dan seorang delegasi Belanda. “Saya tidak mendapat jawaban
apapun, kendati pidato saya mendapat sambutan hangat dari Kongres,” kata
Tan Malaka. Kendati tidak menyalahkan taktik PKI yang beraliansi dengan
Sarekat Islam, tetapi Komintern tetap mengutuk Pan-Islamisme.
Sumber Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online