Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Asal-usul Nama Minangkabau
Ada beragam pendapat
mengenai asal-usul nama Minangkabau, baik berasal dari Tambo Adat Alam
Minangkabau sendiri maupun yang dikemukakan oleh para peneliti Adat Alam
Minangkabau, di antaranya sebagai berikut:
1. Cerita Adu Kerbau
Pada masa pemerintahan
Sutan Paduka Besar yang bergelar Datuk Ketumanggungan, yang didampingi oleh
adiknya Jatang Sutan Balun gelar Datuk Parpatih Nan Sebatang dan penasihat
Catri Bilang Pandai gelar Datuk Indra Jati, maka pemerintahan di Alam
Minangkabau mengalami masa yang gemilang.
Pada masa ini telah berjalan Demokrasi Tuah Sakato yang berdasarkan
musyawarah dan mufakat. Rakyat hidup damai dan sejahtera. Undang-undang
dibentuk dan dijalankan menurut Adat dan Syarak, sebab jauh sebelum itu agama
Islam telah masuk ke Alam Minangkabau yang dibawa oleh pedagang/saudagar dari
Timur Tengah dan dari Arab ke Pulau Andalas ini.
Dari sekian banyak
kerajaan yang ada di Pulau Andalas, hanya Kerajaan Minangkabau satu-satunya
yang telah menjalankan sistem pemerintahan berdasarkan kerakyatan. Sang raja
hanya bersifat simbolik yang menjalankan kebijaksanaan pemerintahan berdasarkan
keputusan Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat Tertinggi.
Tersebutlah seorang
bernama Nakhoda Basa (Nakhoda Besar), seorang saudagar besar yang kaya raya,
yang datang dari seberang lautan yang menurut Tambo Alam Minangkabau beliau
berasal dari Kerajaan Singosari di Pulau Jaya Dwipa (Pulau Jawa). Maksud
kedatangan Nakhoda Basa dan rombongannya
ke Minangkabau ini ialah untuk berdagang dan menjalin hubungan persahabatan
dengan pemerintahan Kerajaan Minangkabau ini.
Setelah kapalnya
mendarat di pesisir barat Ranah Minang ini, maka beliau langsung mengirim
utusan ke pimpinan Alam Minangkabau ini di Luhak Tanah Datar untuk mohon
menghadap. Setelah diizinkan baru beliau langsung menghadap dan menyatakan
keinginannya menjalin kerjasama dengan Kerajaan Minangkabau. Untuk lebih
mengakrabkan perkenalan ini maka Nakhoda Basa mengajak Datuk Ketumanggungan dan
Datuk Perpatih Nan Sabatang mengadakan suatu permainan yang bersifat mengasah
otak, sejenis permainan yang bersifat teka-teki. Permainan ini di antaranya
adalah:
- Nakhoda Basa pada waktu itu
memegang sepotong kayu bulat panjang sekitar satu depa. Kayu tersebut sama
besar dari ujung yang satu ujung yang lain, sehingga sangat sukar
menentukan ujungnya dan mana pangkal kayu tersebut. Hal ini harus diterka
oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih, mana ujung dan mana yang
menjadi pangkal dari kayu tersebut. Apabila ninik kita dapat menerkanya,
maka sebahagian harta bawaan Nakhoda Basa akan menjadi milik Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih, tetapi
jika tidak maka Nakhoda Basa memeroleh hak monopoli dalam
perdagangan di Alam Minangkabau ini.
Selanjutnya ninik kita berdua atas nasihat Catri
Balang Pandai, menimbang kayu tersebut tepat di tengah-tengah panjang kayu,
untuk menentukan mana bagian yang lebih berat dan mana yang lebih ringan.
Setelah ditentukan bagian yang paling berat, itulah yang dikatakan pangkal
kayu, dan bagian yang lebih ringan merupakan ujung kayu. Dalam permainan ini
ninik kita berhasil menemukan jawaban yang benar dari teka-teki tersebut,
sehingga Nahoda Basa harus rela menyerahkan sebahagian harta bawaannya kepada
Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.
- Permainan atau teka-teki atau teka-teki kedua
adalah menentukan jenis kelamin dari dua ekor anak itik yang disediakan oleh
Nakhoda Basa, taruhannya adalah sebahagian hartanya yang masih tersisa,
dan hak monopoli perdagangan yang akan diperolehnya apabila ninik kita
tidak bisa menjawabnya. Untuk menjawab tantangan ini maka oleh ninik kita
kedua ekor anak itik tersebut diberi makan. Setelah melihat kurenah cara
makan anak itik tersebut, beliau dapat menjawabnya, yaitu anak itik yang
lebih kuat dan lebih cepat makannya itulah anak itik yang jantan, sedang
yang lebih lambat makannya adalah itik betina.
Jawaban ninik kita ternyata benar, dan habislah
harta bawaan berupa barang-barang perdagagan Nakhoda Basa diserahkan kepada
ninik kita, karena kalah taruhan yang dimintanya sendiri. Dengan perasaan agak
malu, Nakhoda Basa pulang kembali ke daerahnya di Pulau Jawa. Namun dalam hati
beliau berniat untuk kembali lagi ke Ranah Minang ini untuk mengadu nasib yang
sekarang dipikirnya sedang sial.
- Beberapa bulan kemudian Nakhoda
Basa kembali datang menghadap ninik kita, dan mengajukan tantangan untuk
melakukan adu kerbau. Jika kerbau beliau menang maka hak monopoli
perdagangan harus diberikan kepadanya, dan jika kalah maka seluruh harta
bawaannya sekarang akan diserahkannya kepada ninik kita, bahkan nyawa pun
sekalian. Untuk keperluan tersebut, Nakhoda Basa telah membawa seekor
kerbau besar yang sangat panjang tanduknya, kerbau mana merupakan kerbau
unggul, yang dibawanya dari Pulau Jayadwipa (Jawa).
Menghadapi tantangan tersebut, ninik kita minta
waktu agak seminggu untuk mencari kerbau yang akan jadi lawan kerbau besar
bawaan Nakhoda Basa.
Dalam waktu yang seminggu itu ninik kita atas
nasihat dari Catri Bilang Pandai, mencari seekor anak kerbau yang masih kuat
menyusu pada induknya. Sehari sebelum kerbau diadu, maka anak kerbau tersebut
dikurung dan tidak dibolehkan menyusu pada induknya. Untuk melawan tandau
kerbau Nakhoda Basa yang besar dan panjang itu, ninik kita meminta izin kepada
Nakhoda Basa untuk memasang tanduk besi yang tajam di kepala anak kerbau. Hal
ini harus disampaikan kepada Nakhoda Basa, supaya dia tahu pula perlengkapan
kerbau kecil ini. Rupanya perlengkapan yang demikian dapat diterima oleh
Nakhoda Basa. Maka esok harinya dilakukanlah tanding kerbau. Kedua ekor kerbau
dilepaskan ke tengah lapangan oleh pihak masing-masing. Kerbau besar milik
Nakhoda Basa masuk lapangan acuh tak acuh saja, karena melihat anak kerbau
kecil itu bukanlah lawannya dan bukan merupakan ancaman bagi dirinya.
Sebaliknya, anak kerbau kepunyaan ninik kita yang sedang sangat haus menuju
kerbau besar milik Nakhoda Basa. Anak kerbau ini menyangka bahwa kerbau besar
itu adalah induknya, dan hendak menyusu sepuas-puasnya.
Setelah dekat anak kerbau anak ini langsung
menuju ke bawah perut kerbau besar ini dan menyerudukkan kepalanya mencari
susu. Seketik tanduk besi runcing yang terpasang di kepala anak kerbau ini
memainkan fungsinya. Perut kerbau besar tertembus oleh tanduk besi ini. Kerbau
besar karena kesakitan langsung lari menghindar, lari keluar lapangan. Si anak
kerbau terus mengejar, karena dia belum menemukan air susu yang hendak
diminumnya. Kerbau besar seperti ketakutan karena kesakitan, terus berlari
menghindar. Setelah jelas kerbau besar tidak hendak melakukan perlawanan,
barulah anak kerbau ini ditangkap dan dibawa pergi.
Perihal kerbau besar milik Nakhoda Basa terus
berlari, dan di suatu tempat isi perutnya keluar berceceran. Tempat keluar isi
perut ini dinamakan Simpurut (isi perut), yang sampai sekarang masih tetap
dipakai namanya. Setelah jauh berlari akhirnya kerbau besar itu di suatu tempat
disembelih dan menghasilkan Jangek (kulit kerbau) yang banyak sekali. Tempat
tersebut diberi nama Sijangek, yang sampai sekarang masih tetap dipakai sebagai
nama daerah.
Semenjak peristiwa tersebut, terkenallah tempat
mengadu kerbau tersebut dengan “Menang Kerbau”, yang akhirnya berubah menjadi
Minang Kerbau, dan identik dengan seluruh daerah yang berada di bawah pimpinan
ninik kita Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.
Demikianlah asal-usul
lahirnya nama Minang Kerbau, yang menjadi pengetahuan umum bagi seluruh anak
kemenakan orang Minangkabau dari masa ke masa, sebagai waris berjawat dan
amanat yang diterima dari nenek moyang orang Alam Minangkabau sejak dahulu
sampai masa mendatang.
2. Pendapat Para Ahli
Selain cerita Adu
Kerbau, ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa kata Minang Kabau berasal
dari Pinangkabau, yang berasal Tanah
Asal (bahasa Minangkabau kuno), sebagai jawaban atas pertanyaan para pendatang
dari tanah hindu (India) apa nama daerah ini.
Ada juga yang menyatakan
bahwa Minangkabau berasal dari kata Ma-inang
kerbau, artinya memelihara/ mengembalakan kerbau. Dan ada juga para ahli
yang menyatakan berasal dari kata Minang
Kabwa, yang artinya pertemuan sungai besar, yaitu Sungai Kampar. Di samping
itu ada juga yang menyatakan bahwa kata Minangkabau berasal dari kata Binanga Kanvar, artinya Muara Kampar.
Menurut Prof. DR.
Muhammad Husein Nainar, guru besar antropologi dari Universitasd Madras, menyatakan
bahwa Minangkabau berasal dari kata Menon
Kabu yang berarti Tanah Pangkal, atau tanah murni. Dari pendapat yang
banyak itu, mana yang lebih benar tentu tergantung dari hasil penyelidikan dan
penelitian yang lebih mendalam, yang didasarkan kepada data dan fakta sejarah
yang ada.
B. ASAL-USUL ORANG MINANGKABAU
Suku Minangkabau atau
Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi
Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau
orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an)
merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama
menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Lebih dari separuh jumlah
keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada
umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru,
Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku
Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di
seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer
dengan sebutan masakan Padang, sangatlah digemari.
Lalu dari manakah sebenarnya asal-usul nenek moyang orang Minangkabau sehingga ia dikenal sebagai perantau?
Dari tambo yang
diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal
dari keturunan Iskandar
Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis
dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya
sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah tambo ini
sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang
juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk
menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan Cina Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan naskah ini dianggap penting karena ia menggambarkan adat-istiadat kerajaan, silsilah raja dan sejarah Kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih (Veritable History) Cina, yang mencatat sejarah dinasti sebelumnya. perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada
awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun
sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat
budaya matrilineal yang tetap bertahan
berbanding patrilineal yang dianut oleh
masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi
kepentingan sensus penduduk maupun politik.