Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. MATRILINIAL
Matrilineal adalah suatu adat
masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini
seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, meskipun pada dasarnya
artinya berbeda. Matrilineal berasal
dari dua kata bahasa Latin, yaitu mater yang berarti ibu, dan linea yang
berarti garis.
Masyarakat
minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah
suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang
terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki
atau perempuan dalam keluarga merupakan bagian garis keturunan/klan yang dibawa
oleh darah ibu mereka. Ayah dalam keluarga inti tidak dapat memasukkan anaknya
ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal yang dianut
oleh mayoritas suku lainnya di Indonesia. Dengan kata lain seorang anak yang
terlahir dengan latar belakang orang tua Minangkabau akan mengikuti suku
ibunya. Asal-usul sistem matrilineal dan merantau sampai saat ini belum dapat
dijelaskan dengan bukti empiris dan hanya dapat dijawab oleh cerita-cerita
mitos, asal-usul mengapa suku Minangkabau memegang sistem matrilineal menjadi
menarik untuk diketahui karena tidak banyak suku di Indonesia, bahkan di dunia,
yang mempraktikkan sistem ini. Sistem matrilineal, bersama dengan kebudayaan
merantau, telah mengakar dalam kebudayaan Minangkabau sejak lama dan kedua hal
ini termasuk faktor dominan yang membentuk masyarakat Sumatera Barat hingga
sekarang.
Secara
singkat, sistem matrilineal diartikan sebagai susunan kekerabatan garis
keturunan ditentukan berdasarkan garis ibu (Ensiklopedia Indonesia, 1984:
2173). Namun apa sebenarnya sistem matrilineal ini? Garis keturunan ibu yang
seperti apa yang dimaksud? Untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut tentulah
dibutuhkan penelitian mendalam mengenai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau
itu sendiri. Meskipun menggunakan sistem keturunan dari garis darah ibu, tidak
ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya
tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran
terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian
disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya.
Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada
hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu
sendiri.
Adapun
karakteristik dari sistem kekerabatan matrilineal dalam kebudayaan Minangkabau
adalah sebagai berikut:
1. Keturunan diurutkan
berdasarkan garis darah ibu, seorang Minangkabau akan masuk ke dalam suku
dimana ibunya berasal.
2. Suku terbentuk menurut
garis ibu. Seorang laki-laki di Minangkabau tidak bisa mewariskan sukunya
kepada anaknya. Jadi jika tidak ada anak perempuan dalam satu suku maka dapat
dikatakan bahwa suku itu telah punah.
3. Tiap orang diharuskan
menikah dengan orang luar sukunya (atau dikenal sebagai sistem eksogami).
Menurut aturan adat Minangkabau seseorang tidak dapat menikah dengan seseorang
yang berasal dari suku yang sama. Apabila hal itu terjadi maka ia dapat
dikenakan hukum ada, seperti dikucilkan dalam pergaulan.
4. Meskipun perempuan
memegang seluruh kekayaan keluarga, pihak yang sebenarnya berkuasa dalam
penentuan keputusan hal dalam keseharian dan lingkungan adalah saudara
laki-laki tertua dalam keluarga tersebut, yang disebut sebagai mamak. Yang menjalankan kekuasaan di
Minangkabau adalah lakilaki, sedangkan kaum perempuan di Minangkabau di
posisikan sebagai pengikat, pemelihara, dan penyimpan harta pusaka.
5. Perkawinan bersifat
matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya.
6. Hak-hak dan pusaka
diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada
anak dari saudara perempuan.
Berdasarkan
kebudayaan matrilineal ini pula kemudian masyarakat Minangkabau memiliki satu
kebudayaan lainnya, yaitu merantau. Terkadang ada yang menyalahartikan merantau
dengan migrasi. Merantau dianggap sama saja dengan migrasi. Dalam kebudayaan
Minangkabau, terdapat perbedaan antara merantau dan bermigrasi. Apakah
perbedaan itu? Migrasi dari segi sosial-ekonomi berarti perpindahan orang atau
golongan bangsa secara besar-besaran menuju daerah-daerah baru. Penyebabnya
bermacam-macam, yakni karena kepadatan penduduk, bencana alam dan perubahan
ilmiah, tekanan ekonomi, politik, atau keagamaan. Rantau, secara bahasa berarti
daerah pesisir. Kato mendefinisikan kata kerja rantau yakni meninggalkan
kampung halaman). Maka merantau berarti pergi ke daerah rantau atau ke daerah
pesisir, meninggalkan kampung halaman.
Oleh
karena sistem kekeluargaan di Minangkabau, terutama daerah yang berada di
daerah pegunungan, di mana laki-laki pada dasarnya tidak memiliki harta dan
diharuskan menikah dengan perempuan dari suku selain suku asalnya kebudayaan
merantau menjadi mengakar kuat dalam kebudayaan Minangkabau. Apabila pada masa
awal abad ke20 kegiatan merantau masyarakat Minangkabau masih berbentuk upaya
mencari kekayaan untuk kemudian kembali lagi ke tanah halamannya, hal tersebut
mengalami perubahan dengan semakin besarnya pengaruh kolonialisme Belanda dan
Jepang yang mengakibatkan mereka yang merantau belum tentu berniat untuk
kembali lagi ke kampungnya. Laki-laki pergi merantau untuk bekerja dengan
membawa istri dan anak-anaknya. Orang-orang yang mencari ilmu dan berkuliah
telah terpikat dengan daerah rantaunya. Kampung halaman hanya dikunjungi di
saat-saat tertentu. Kampung halaman tidak menjanjikan apapun, setidaknya secara
ekonomi dan pendidikan. Dan pola merantau yang lebih didasarkan oleh alasan
ekonomi lebih menjadi alasan utama dari merantaunya masyarakat Minang
dibandingkan alasan awal yaitu dengan tujuan untuk mengembangkan kampung (nagari).
B. BAHASA
Bahasa
Minangkabau (bahasa Minang: baso Minang) adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa
Melayu yang
dituturkan oleh Orang Minangkabau sebagai bahasa ibu khususnya di provinsi Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai), pantai
barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian
barat provinsi Riau,
bagian utara Jambi dan Bengkulu, serta Negeri Sembilan, Malaysia. Bahasa Minang
dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya Bahasa Banjar, Bahasa Betawi, dan Bahasa Iban.
Sempat
terdapat pertentangan mengenai hubungan Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu. Sebagian pakar
bahasa menganggap Bahasa Minangkabau sebagai salah satu dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tutur di
dalamnya. Sementara yang lain justru beranggapan bahwa bahasa ini merupakan
bahasa mandiri yang berbeda dengan Bahasa Melayu.
Kerancuan
ini disebabkan karena Bahasa Melayu dianggap satu bahasa. Kebanyakan pakar kini
menganggap Bahasa Melayu bukan satu bahasa, tetapi merupakan satu kelompok
bahasa dalam rumpun bahasa
Melayik. Di mana Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang
ada dalam kelompok Bahasa Melayu tersebut.
Bahasa
Minang masih digunakan sebagai bahasa seharihari oleh masyarakat Minangkabau, baik yang
berdomisili di Sumatera maupun di perantauan. Namun untuk masyarakat
Minangkabau yang lahir di perantauan, sebagian besar mereka telah menggunakan
Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari.
Secara
historis, daerah sebar tutur Bahasa Minangkabau meliputi bekas wilayah
kekuasaan Kerajaan
Pagaruyung yang
berpusat di pedalaman Minangkabau. Batas-batasnya biasa dinyatakan dalam
ungkapan Minang atau Tambo
Minangkabau berikut ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hinggo Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Walaupun
dari sisi harafiahnya, batas-batas yang disebutkan tersebut merupakan sesuatu
yang abstrak, sehingga dapat dikatakan batas yang tidak pasti juga. Namun
kemudian ada pendapat bahwa kawasan tersebut diperkirakan antara lain, Sikilang Aia Bangih adalah batas utara,
sekarang di kabupaten Pasaman
Barat yang
berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Aia Babaliak Mudiak adalah wilayah Kabupaten
Pelalawan, Riau.
Bahasa
Minangkabau juga menjadi bahasa lingua franca di kawasan pantai barat Sumatera Utara, bahkan
menjangkau lebih jauh hingga pesisir barat Aceh. Di Aceh, penutur Bahasa Minang
disebut sebagai Bahasa Jamee,
sedangkan di pantai barat Sumatera Utara dikenal sebagai Bahasa Pesisir. Selain
itu, Bahasa Minangkabau juga dituturkan oleh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia yang nenek moyangnya
merupakan pendatang asal Minangkabau sejak abad ke-14. Dialek Bahasa Minangkabau di
Negeri Sembilan ini disebut Baso Nogoghi.
Bahasa Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang
dipisahkan oleh sungai sekali pun dapat
mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan yang sangat menonjol adalah dialek
yang dituturkan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan
dialek di Mukomuko, Bengkulu.
Bahasa
Indonesia |
Apa
katanya kepadamu? |
Bahasa
Minangkabau "baku" |
A
keceknyo ka kau? |
Mandahiling
Kuti Anyie |
Apo
kecek o kö gau? |
Payakumbuh
|
A
kecek e ka kau? |
Padang
Panjang |
Apo
keceknyo ka kau? |
Pariaman
|
A
kato e bakeh kau? |
Ludai
|
A
kecek o ka rau? |
Sungai
Batang |
Ea
janyo ke kau? |
Kurai
|
A
jano kale gau? |
Kuranji
|
Apo
kecek e ka kau? |
Salimpaung
Batusangkar |
Poh
ceknyoh kah khau duh? |
Rao-Rao
Batusangkar |
Aa
keceknyo ka awu tu? |
Sebagai
contoh, berikut ini adalah perbandingan perbedaan antara beberapa dialek bahasa
Minangkabau:
Untuk komunikasi antar
penutur Bahasa Minangkabau yang sedemikian beragam ini, akhirnya
dipergunakanlah dialek Padang sebagai bahasa baku Minangkabau yang biasa
disebut Bahaso Padang atau Bahaso Urang Awak.
Contoh:
Bahasa Minangkabau: |
Bahasa Indonesia: |
Sadang kayu di rimbo
tak samo tinggi, kok kunun manusia (peribahasa) |
Sedangkan pohon di
hutan tidak
sama tinggi, apa lagi manusia |
Co a koncek baranang
co itu inyo (peribahasa) |
Bagaimana
katak berenang, seperti itulah dia. |
Indak buliah mambuang
sarok di siko! |
Tidak
boleh membuang sampah di sini! |
Bungo indak satangkai,
kumbang indak sa ikua (peribahasa) |
Bunga tidak setangkai, kumbang tidak seekor |
A tu nan ang karajoan?
|
Apa
yang sedang kamu kerjakan? |
kata
Apa dalam Bahasa Minangkabau yaitu Apo tetapi lebih sering disingkat
dengan kata A |
C. KESENIAN
Kesenian
adalah segala sesuatu yang ditata sedemikian rupa sehingga menimbulkan
keindahan yang memuaskan. Keindahan itu meliputi keindahan pendengaran dan
keindahan pandangan.
Di
Minangkabau ada beragam seni tradisional yang sangat menarik untuk diketahui,
di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pencak Silat
Pencak silat sebagai
suatu permainan rakyat mempunyai dua peranan: sebagai permainan (pencak) dan
sebagai seni bela diri (silat). Pencak, selain sebagai permainan, juga
merupakan tingkatan dalam mempelajari silat. Pesilat disebut dengan pandeka (pendekar), sedangkan pemain
pencak disebut anak silek (anak
silat) karena yang memainkannya atau mempelajarinya ialah anak-anak dan remaja.
Pandeka memiliki etik “musuah pantang dicari, jikok basuo pantang
dielakkan” (musuh pantang dicari, jika bertemu pantang dielakkan). Pandeka
jarang sekali terlibat dalam sengketa, karena budaya saling segan di antara
sesama pandeka. Jika ada keonaran, pandeka biasanya membiarkan anak didiknya
untuk tampil menyelesaikan. Ini dimaksudkan sebagai metode pendidikan pendekar.
Jika keadaan kritis, barulah pandeka turun tangan.
2. Tarian Pencak
Pencak merupakan
permainan yang dilakukan dengan memperagakan gerakan a la silat. Meski begitu, tidak seperti pencak silat, dalam tarian
pencak para pemain tidak boleh saling bersinggungan dan gerakannya diikuti oleh
bunyibunyian. Gerakan yang utama dalam tarian pencak adalah :
a.
Tari Sewah, yaitu tarian pencak yang menggunakan
senjata sewah (senjata sejenis pisau yang panjangnya sekitar satu ela). Dalam
tari pencak, senjata pun dilarang bersinggungan.
b.
Tari Alo Ambek, yaitu tarian yang dilakukan oleh
dua orang dengan dua orang dampiang (pendamping)
dan dua orang janang (juri). Bentuk
penyerangan dalam tarian ini adalah dengan merebut pakaian lawan. Dampiang bertugas mengatur permainan
dengan bernyanyi, sementara janang
akan menilai keterampilan dua pemain tersebut. Kedua pemain pun dilarang
bersentuhan secara fisik.
c.
Tari Galombang, yaitu tarian yang biasanya
dilakukan dalam perjamuan atau acara-acara besar. Pemainnya terdiri dari
puluhan laki-laki yang dibagi ke dalam dua kelompok. Masing-masing kelompok
dipimpin oleh seorang tuo (tetua)
yang bertugas memberi aba-aba. Setiap kelompok juga diiringi dengan
bunyi-bunyian dari berbagai alat musik seperti talempong dan puput batang padi.
Dua kelompok ini diibaratkan sebagai pasukan pengawal: satu kelompok sebagai
pengawal tuan rumah dan satu kelompok lagi sebagai pengawal tamu utama yang
diundang ke perjamuan.
3. Tarian Perintang
Tari perintang merupakan
tari-tarian untuk kegembiraan dan pengisi waktu ehari-hari. Tarian ini biasa
dilakukan pada musim-musim tertentu atau dalam acara-acara yang ramai,
diantaranya:
1.
Tari Piring, dimana pada telapak tangan
penarinya memegangi piring porselen. Penari menggunakan cincin di ujung jari
tengahnya untuk dijentikkan pada piring,
sehingga menimbulkan bunyi ketika penarinya bergerak. Ada kalanya penari akan
menari di atas jajaran piring, bahkan dengan unjuk kemampuan magis dengan
menari
2.
di atas pecahan-pecahan piring kaca. Lazim pula
untuk meletakkan lilin di atas piring ketika menari di malam hari.
3.
Tari Galuk, yaitu tari dengan menggunakan galuk (tempurung/batok) di kedua tangan.
4.
Tari Kabau Jalang, yaitu tari yang
mengimprovisasi gerakan kerbau liar yang tengah menggila. Kedua tangan penari
diacungkan lewat kepala membentuk tanduk kerbau, dengan nafas yang
mendengus-dengus. Begitu liarnya hingga tidak jarang ada pemainnya yang
kesurupan dan menyeruduk ke arah penonton, sehingga dengan sendirinya penonton
sendiri terlibat aktif ke dalam tarian. Puncak dari tarian ini adalah ketika
kerbau ini dikejutkan oleh seekor harimau (imajinasi) yang mengendap-endap
ingin memangsa kerbau. Setelah pemain berkali-kali menghujamkan tanduknya ke
tubuh harimau (yang wujudnya hanya udara kosong), maka pemain yang berperan
sebagai kerbau mulai tenang hingga tari berakhir.
4. Randai
Randai dimainkan dengan
membentuk legaran (lingkaran), sambil penarinya melangkah kecil-kecil dan
bernyanyi bergantian. Sebelum menyanyi, mereka membuat gerakan pencak maju
mundur untuk memperkecil lingkaran. Ada kalanya mereka menyepak, menerjang,
atau memukul dengan tangan. Setiap gerakan dituntun dengan aba-aba berupa
teriakan khas dari seorang goreh.
Mula-mula tukang dendang
menyanyikan sepotong kisah atau pantun. Pada setiap akhir kalimat, penari akan
mengulanginya secara beramai-ramai. Setelah itu mereka akan duduk dalam posisi
membentuk lingkaran untuk beristirahat. Selama istirahat ini ditampilkan
pertunjukan keterampilan dari penarinya masing-masing. Namun dalam
perkembangannya, waktu istirahat ini digunakan untuk membawakan lakon-lakon
yang kisahnya diadaptasi dari kaba atau
cerita populer Minangkabau.
5. Gamat (Gamaik)
Gamat (Gamaik) merupakan permainan tari yang diiringi dengan
lagu dan musik. Dahulunya, gamat adalah salah satu permainan anak nagari
minangkabau.
Gamat
berasal dari kata “gamit”.
Gamit artinya menyentuh seseorang
untuk keperluan atau percakapan. Di dalam permainannya, seorang pemain menegur
pemain lain dengan lagu dalam syair pantun. Lalu pemain lain menjawabnya juga
dengan pantun. Sehingga terjadi berbalas pantun sambil menari dan menyanyi.
Gamat merupakan jenis
tari pergaulan yang biasanya dimainkan oleh laki-laki dan perempuan secara
berpasangan. Sambil menari mereka akan bersahut-sahutan pantun. Jenis tariannya
yang terkenal yaitu Tari Payung, Tari Selendang, dan Tari Sapu Tangan.
6. Tabut (Tabuik)
Tabut merupakan
permainan rakyat yang berkembang di daerah pesisir Minangkabau. Tabut ada
hubungannya dengan Agama Islam mazhab Syiah. Tabut diperingati untuknmengenang
terbunuhnya Husein, cucu Nabi Muhammad SAW dalam Perang Karbala.
Dalam perang itu, kepala Husein dipenggal, lalu ditusuk dengan tombak untuk
kemudian diarak-arak sambil menari-nari menyebut nama Husein. Konon seekor
burung datang menyambar kepala Husein dan membawanya terbang ke langit.
Peristiwa tersebut
diperingati setiap tanggal 10 Muharram dengan membuat arakan tabut. Terhitung
sejak 1 Muharram, tanah sudah mulai diambil dari dasar sungai sebagai
perlambang mengambil jasad Husein yang mati terbunuh. Tanah itu kemudian
dimasukkan ke dalam periuk dan dibungkus kain putih, sebagai penggambaran
mengafani mayat. Lalu periuk ditaruh pada sebidang tanah yang dilingkari kain
putih seolah menyemayamkan jenazah pada benteng berdinding batu putih.
Berikutnya dimulailah membuat tabut sebagai keranda untuk mengusung jenazah.
Pada hari kelima tengah malam diambillah pohon pisang yang ditebas sekali
pancung dengan pedang, sebagai lambang dari tindakan yang dilakukan putra Husein
untuk membalas kematian ayahnya. Pada hari ketujuh dimulai mengarak jarijari,
yaitu semacam maket sebuah kubah yang dibuat dari kertas kaca dan bingkai
bambu. Kertas itu digambari sepotong tangan dengan jari-jari terkembang. Di
dalam maket dipasang lilin. Jari-jari itu diarak sambil menyanyikan lagu duka
tentang kematian Husein. Arakan ini mengiaskan pengikut Husein yang sedang
mencari dan memilih jari tangan dan serpihan jasad Husein yang dicincang musuh.
Kemudian jarijari ini akan disatukan dengan tanah ke dalam periuk. Hari
berikutnya jari-jari itu diarak kembali sebagai simbol penemuan baru dari
serpihan jasad Husein. Pada hari kesembilan dilanjutkan dengan mengarak surban
Husein yang telah ditemukan. Pada puncaknya di hari kesepuluh, mulailah berkeliling
diarak tabut yang berbentuk keranda dan di atasnya bertengger burung bersama
dengan kepala manusia. Burung itu dinaungi semacam payung bertaburan bunga.
Tabut diusung oleh
puluhan orang yang mengoyakoyaknya sambil berteriak-teriak memanggil nama Husein.
Di belakangnya mengiringi pemain debus yang menyiksa badan dengan
menusuk-nusukkan besi runcing, pisau, atau rantai panas, dan bahkan membakar
diri. Aksi ekstrem ini menggambarkan rasa penyesalan pengikut Husein atas
kematian khalifahnya seolah hendak mengatakan mengapa harus Husein yang mati
dan mengapa bukan mereka saja. Di belakang debus ini diikuti lagi oleh
iring-iringan musik. Besoknya tabut diarak lagi untuk dibuang ke laut, namun
dalam prosesi ini suasananya lebih syahdu.
D. OLAHRAGA
Beberapa
pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan
bagi masyarakat Minang antara lain :
1. Pacuan Kuda
Tradisi pacuan kuda dan
pacuan bendi sudah bertahan sejak lama
di masyarakat Minangkabau. Hingga
tahun 1970an, semua orang di Sumatera Barat
selalu menunggu pelaksanaan hiburan
rakyat berupa pacuan kuda yang disebut-sebut olahraga para raja itu. Dalam
catatan sejarah, tradisi pacuan kuda di Sumatera Barat ini sudah ada sejak
zaman penjajahan Belanda. Setidaknya ada bukti foto pacuan kereta kuda di
Bukittinggi pada tahun 1911.
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama
ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh
masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan
yang memiliki lapangan pacuan kuda.
2. Pacu Jawi (Sapi)
Pacu berarti lomba
kecepatan dan Jawi maksudnya Sapi atau Lembu. Di Sumatera Barat sapi biasa
disebut dengan Jawi. Kegiatan Pacu Jawi
merupakan acara permainan tradisional anak nagari (desa) yang lahir dan
berkembang di Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini hanya
ada di Kabupaten Tanah Datar dan sedikit di Kabupaten 50 Kota. Di Kabupaten
Tanah Datar-pun hanya pada empat kecamatan, yaitu Kecamatan Pariangan,
Kecamatan Rambatan, Kecamatan Lima Kaum dan Kecamatan Sungai Tarab.
Kegiatan pacu jawi telah ada sejak ratusan tahun
yang lalu dan menjadi sarana hiburan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat
setempat. Pada kegiatan ini juga dipadukan dengan tradisi masyarakat berupa
arak-arakan (pawai) pembawa dulang/jamba yang berisi makanan dan arak-arakan
jawi-jawi terbaik yag didandani dengan asesories berupa suntiang serta pakaian.
Biasanya acara tradisi ini diselenggarakan pada minggu ke-IV atau pada waktu
penutupan pacu jawi dan menjadi
perhelatan yang besar di daerah itu. Pada waktu itu juga diadakan prosesi adat
oleh para tetua adat serta berbagai permainan seni budaya tradisional.
Di arena pacu jawi juga
bertumbuhan warung nasi yang menjual kopi daun, para pedagang kaki lima serta
arena permainan anak-anak sehingga lokasi itu terlihat seperti pasar. Pada
waktu itulah masyarakat bergembira ria menyaksikan jawi-jawi kesayangan mereka
berpacu, dan setelah itu mereka makan di warung-warung dengan makanan spesifik
gulai kambing dan kopi daun.
Pelaksanaan alek pacu jawi di Kabupaten Tanah Datar
dilaksanakan secara bergiliran pada empat kecamatan. Satu kali putaran lomba
biasanya empat minggu, ada yang setiap hari Rabu dan ada pula pada setiap hari
Sabtu. Acara dilakukan di sawah milik masyarakat setelah selesai masa panen dan
tempatnya tidak tetap pada satu lokasi saja. Bila kegiatan diadakan pada satu
kecamatan maka peserta dari kecamatan lain akan berdatangan. Dalam satu masa
perlombaan, jumlah jawi yang berpacu mencapai 500 hingga 800 ekor.
Pacu jawi diikuti oleh
jawi secara berpasangan yang dikendalikan oleh seorang anak joki yang
berpegangan pada tangkai bajak. Anak joki dengan tidak memakai alas kaki ikut
berlari bersama jawinya di dalam sawah yang penuh lumpur dan air. Acaranya
berlansung mulai pukul sepuluh pagi hingga pukul lima sore. Pada waktu
perlombaan berlansung kadangkala juga terjadi transaksi jual beli jawi oleh
para pedagang dan pemilik jawi. Biasanya jawi yang telah sering memenangkan
lomba akan naik harganya hingga dua kali lipat. Jawi pemenang itu akan menjadi
kebanggaan bagi pemiliknya dan diincar oleh banyak orang. Itupun menjadi
lambang prestise.
Banyak orang yang belum
tahu bagaimana cara penilaian jawi terbaik yang menjadi pemenangnya. Teknis
penilaian inipun penuh filosofi dan nilai-nilai yang baik. Adapun jawi terbaik
adalah jawi yang dapat berjalan lurus tidak miring dan tidak melenceng ke mana-mana.
Dan akan lebih baik lagi apabila jawi tersebut dapat menuntun temannya berjalan
lurus. Berarti jawi itu sehat dan tubuhnya kokoh kuat.
Biasanya dalam satu
perlombaan akan terlihat jawi yang berjalan lurus dan yang tidak, bahkan ada
yang sampai masuk ke sawah lain. Jadi yang dinilai bukan hanya kencang larinya
dan bukan bentuk struktur tubuhnya saja. Filosofinya jawi saja harus berjalan
lurus apalagi manusia. Dan manusia yang bisa berjalan lurus tentu akan tinggi
nilainya, itulah pemenangnya.
Beberapa manfaat dari
pelaksanaan pacu jawi adalah :
a
Sebagai wadah untuk meningkatkan harga jual jawi
sehingga dapat meningkatkan perekonomian peternak. Kemunian juga sebagai media
untuk meningkatkan kesehatan jawi karena jawinya akan sehat setelah berpacu,
b
Pada acara
pacu jawi banyak bermuncullan para pedagang sehingga meningkatkan
perputaran roda ekonomi yang dapat pula meningkatkan perekonomian masyarakat,
c
Acara pacu jawi menjadi sarana sosialisasi dan
hiburan bagi masyarakat yang selalu ditunggu-tunggu,
d Sebagai alek tradisi
masyarakat dimana akan terjadi prosesi adat sebagai aktualisasi nilai-nilai
adat di tengahtengah masyarakat.
3. Pacu Itiak
Satu lagi hal yang
menarik dari daerah Sumatera barat selain Pacu Jawinya yaitu Pacu Itiak di Payakumbuh. Di payakumbuh
itik tidak hanya disajikan untuk hidangan kuliner, namun itik juga dilatih
untuk balapan di lintasan. Pacu Itiak adalah tradisi lomba itik terbang yang
menarik para wisatawan. Itik yang dilombakan harus memenuhi persyaratan
tertentu.
Tradisi Pacu Itiak di
Payakumbuh mulai ada sejak tahun 1028. Saat itu para petani di Aur Kuning,
Payakumbuh, Kanagarian dan Sicincin menghalau itik yang memakan tanaman
padinya. Itik-itik yang dihalau akan terbang ke dataran sawah yang lebih rendah
di bawahnya. Itik-itik terbang ini menjadi hiburan tersendiri bagi para petani,
lalu diadakan lomba itik terbang.
Saat Pacu Itiak, itik
dipegang oleh pemilik itik dan itik kemudian dilemparkan ke udara sehingga itik
akan terbang ke udara dan terbang menuju garis finish. Seminggu sebelum itik
dilombakan, itik-itik ini dikurung dan hanya diberi makan padi dan telur.
Itik-itik ini setiap petang selalu diajari terbang.
Itik-itik yang ikut
perlombaan merupakan itik yang sudah terlatih dan mampu terbang hingga sejauh 2
kilometer. Terdapat tiga tingkatan jarak yang dilombakan, yaitu jarak 800
meter, 1600 meter dan 2000 meter. Pemenang ditentukan berdasarkan itik yang
terbang lurus dan tercepat mencapai garis finish. Itik yang dilombakan berusia
antara empat hingga enam bulan. Itik ini memiliki kesamaan warna pada paruh dan
kaki, leher yang pendek, sayap lurus yang mengarah ke atas, jumlah gigi yang
ganjil dan ujung kaki yang bersisik kecil. Harga seekor itik pacuan antara
seratus ribu hingga satu juta rupiah.
4. Sipak Rago (Sepak Raga)
Sipak Rago (Sepak Raga) adalah
salah satu permainantradisional yang berkembang di
wilayah Minangkabau.
Permainan ini dimainkan oleh 5 sampai 10 orang dengan cara membentuk lingkaran di suatu lapangan terbuka, di mana bola raga
tersebut dimainkan dengan kaki dan teknik-teknik tertentu sehingga bola tersebut berpindah dari satu orang pemain
kepada pemain lainnya tanpa jatuh ke tanah. Bola raga terbuat dari daunkelapa muda atau kulit rotan yang dianyam menggunakan tangan.
Perbedaan utama sepak
raga dengan sepak takraw terletak pada penggunaan
jaring (net) yang ditemui pada sepak takraw, tetapi tidak dipakai pada sepak
raga. Pada zaman dahulu permainan sepak raga dilakukan oleh para pemuda di
kampung-kampung pada sore hari untuk mengisi waktu luang dan sebagai sarana
hiburan. Tidak ada penilaian yang baku pada permainan ini, karena permainan ini
tidak dipertandingkan. Yang ada hanya penilaian pada kemahiran pemain dalam
memainkan bola supaya tidak jatuh ke tanah.
Permainan ini sekarang
masih dapat dijumpai di daerah pinggiran kota Padang dan juga daerah-daerah
lain di Sumatera Barat,
akan tetapi di wilayah perkotaan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat.
Akhir-akhir ini, permainan sepak raga sudah mulai diperlombakan dan sudah
banyak grup-grup sepak raga yang mulai bermunculan.
E. RUMAH ADAT
Rumah Gadang atau Rumah Godang (rumah besar) adalah nama
untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsiSumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga
disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang
menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah
dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun tidak
semua kawasan di Minangkabau (darek)
yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki
status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang
disebut dengan rantau, rumah adat ini
juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Rumah gadang ini memiliki nilai yang diumpamakan dengan :
"Rumah
gadang sambilan ruang, salajang kudo
balari, sapakiek budak maimbau, gonjongnya rabuang mambasuik, antieng-antiengnyo disemba alang, parabuangnyo si ula gerang, batatah si timah putiah, rusueknyo tareh limpato, cucuran atoknyo alang babega, saga tasusun sarupo bada mudiek. Parannyo si ula gerang, batata aie ameh salo-manyalo aie perak. Jariaunyo puyuah balari, dindieng ari dilanja paneh, tiang tapi panague jamu......
Dalam
proses pendirian rumah gadang ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan.
Rumah gadang dibangun di atas tanah orang yang bersangkutan. Sebelum didirikan,
penghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah dahulu keluarganya. Setelah
terjadi kesepakatan dibawa kepada panghulu-panghulu yang ada dalam persukuan
dan seterusnya dibawa kepada panghulu-panghulu yang ada di nagari.
Untuk
mencari kayu diserahkan kepada orang kampung dan sanak keluarga. Tempat
mengambil kayu pada hutan ulayat suku atau ulayat nagari. Tukang yang
mengerjakan rumah tersebut berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam
nagari atau diupahkan secara berangsur-angsur.
Dilihat
dari cara membangun, memperbaiki dan membuka (merobohkan) rumah gadang, ada
unsur kebersamaan dan kegotongroyongan sesama anggota masyarakat tanpa
mengharapkan balas jasa. Fungsi sosial sangat diutamakan dari fungsi utamanya.
Walaupun suatu rumah gadang merupakan milik dan didiami oleh anggota kaum
tertentu, namun pada prinsipnya rumah gadang itu adalah milik nagari, karena
mendirikan sebuah rumah gadang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat yang
berlaku di nagari dan setahu panghulu-panghulu untuk mendirikan atau
membukanya.
Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh
bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian
dalam terbagi atas lanjar dan ruang
yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari
kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke
kanan menandai ruang. Jumlah lanjar
bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari
jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah
Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam
suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari
dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya
selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk
menyimpan padi. Rumah Gadang pada
sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang)
sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena
itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat
penyangga, sedangkan pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak
memakai tongkat penyangga di bawahnya. Hal ini sesuai filosofi yang dianut
kedua golongan ini yang berbeda, golongan pertama menganut prinsip pemerintahan
yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan
kedua anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah
Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat
ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki
dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Rumah adat ini
memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tandukkerbau dan dahulunya dibuat dari
bahan ijuk yang
dapat tahan sampai puluhan tahun, namun belakangan atap rumah ini banyak
berganti dengan atap seng. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi
panjang dan dibagi atas dua bahagian, muka dan belakang. Bagian depan dari
Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar,
bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang[1].
Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional
ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun
tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan
setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat
setempat.
Pada
umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan.
Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada
dinding.
Karena
wilayah Minangkabau rawan gempa sejak dulunya karena berada di pegunungan Bukit
Barisan, maka arsitektur Rumah Gadang juga memperhitungkan desain
yang tahan gempa. Seluruh tiang Rumah Gadang tidak ditanamkan ke dalam tanah,
tapi bertumpu ke atas batu datar yang kuat dan lebar. Seluruh sambungan setiap
pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar tidak memakai paku, tapi memakai pasak
yang juga terbuat dari kayu. Ketika gempa terjadi Rumah Gadang akan bergeser
secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak atau tiang
berdiri. Begitu pula setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu juga
bergerak secara fleksibel, sehingga Rumah Gadang yang dibangun secara benar
akan tahan terhadap gempa.
Pada
bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang
dari bahan bambu.
Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan
menjadi bingkai diberi ukiran,
sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak
papan pada dinding Rumah Gadang.
Pada
dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam
bentuk garis melingkar atau persegi.
Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola
akar biasanya berbentuk lingkaran,
akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang
atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping
motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan
genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara
berjajaran.
F. PERKAWINAN
Minangkabau
memiliki prosesi pernikahan yang sangat beragam, begitu juga atribut pakaian
dan perhiasan yang dikenakan pengantinnya dikala melangsungkan pernikahan.
Masing-masing nagari memiliki karakteristik busana pengantin dan hiasan kepala
yang dikenakan pengantin juga berbeda. Berikut ini tata cara perkawinan adat
Minang, Sumatera Barat, Indonesia. Selain bercirikan megah, mewah dan meriah,
pelaminan bernuansa emas dan perak. Gaun pengantin umumnya berbentuk tiga
dimensi. Pada dasarnya prosesi pernikahan terdiri dari beberapa tahapan. Secara
garis besar dapat dilihat berikut:Adapun tata cara adat perkawinan di mingkabau, antara lain :
1. Maresek
Maresek merupakan
penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tata-cara pelaksanaan
pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau yaitu Matrilineal,
pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga
yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan. Pada awalnya
beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang
dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa
berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari
kedua belah pihak keluarga.
2. Maminang/Batimbang Tando (Bertukar Tanda)
Keluarga calon mempelai
wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila pinangan
diterima, maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda sebagai simbol pengikat
perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara ini melibatkan
orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan
keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih pinang lengkap disusun
dalam carano atau kampia (tas yang terbuat dari daun pandan) yang disuguhkan
untuk dicicipi keluarga pihak pria. Selain itu juga membawa antaran kue-kue dan
buah-buahan. Menyuguhkan sirih di awal pertemuan mengandung makna dan harapan.
Bila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan, serta
hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Kemudian
dilanjutkan dengan acara batimbang tando/batuka tando (bertukar tanda).
Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain
adat, atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Selanjutnya berembuk
soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
3. Mahanta Siriah/Minta Izin
Calon mempelai pria
mengabarkan dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan kepada
mamak-mamak-nya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga
dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilan oleh calon mempelai
wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara
mengantar sirih. Calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan
tembakau (sekarang digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon
mempelai wanita, untuk ritual ini mereka akan menyertakan sirih lengkap. Ritual
ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa untuk rencana pernikahannya.
Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul
beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
4. Babako-Babaki
Pihak keluarga dari ayah
calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya
dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara ini biasanya berlangsung
beberapa hari sebelum acara akad nikah. Mereka datang membawa berbagai macam
antaran. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai
kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), barangbarang yang
diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk
baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya).
Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga
ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai
wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa
berbagai macam barang bantuan tadi.
5. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan
tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin
wanita. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah.
Tradisi ini sebagai
ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita.
Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh
macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai,
dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju tokah dan
bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara
mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang
oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai
wanita diberi inai.
6. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat
yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat
Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin
wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian
gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya
pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana
yang menandakan kehadiran mereka yang penuh tata krama (beradat), pakaian
pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue-kue serta
buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan
payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan
utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil
membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud
kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan
diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.
7. Penyambutan di Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut
kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya
merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang
yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik
yang terdiri dari pemudapemuda berpakaian silat, serta disambut para dara
berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung
kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang
biasanya digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria
disambut dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara
menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita
menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu
rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu
berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.
8. Tradisi Usai Akad Nikah
Ada lima acara adat
Minang yang lazim dilaksanakan setelah akad nikah. Yaitu memulang tanda,
mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan
bermain coki.
a.
Mamulangkan Tando
Setelah resmi sebagai
suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran
dikembalikan oleh kedua belah pihak.
b.
Malewakan Gala Marapulai
Mengumumkan gelar untuk
pengantin pria. Gelar ini sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang
disandang mempelai pria. Lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.
c.
Balantuang Kaniang atau Mengadu Kening
Pasangan mempelai
dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain.
Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan wajah keduanya dipisahkan
dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening
pengantin akan saling bersentuhan.
d.
Mangaruak Nasi Kuniang
Prosesi ini
mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan
diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil
daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning.
e. Bamain Coki
Coki adalah permaian
tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua
orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua
mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta
kemesraan.
G. UPACARA DAN FESTIVAL
1. Tabuik
Tabuik (Tabut) adalah
perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu
Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera
Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali
Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan
istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun
awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di
Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut
Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Upacara melabuhkan
tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831.
Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari
India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan
Inggris di Sumatera bagian barat.
2. Makan Bajamba
Makan bajamba atau juga
disebut makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau dengan cara duduk bersamasama di dalam suatu ruangan atau tempat
yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar
agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting
lainnya. Secara harafiah makan bajambamengandung makna yang sangat dalam,
dimana tradisi makan bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa
melihat perbedaan status sosial.
3. Turun mandi
Upacara turun mandi
adalah upacara yang sangat mendarah daging di Ranah Minang sampai saat ini.
Upacara turun mandi adaah upacara ucapan rasa syukur kepada Allah Swt. Upacara
turun mandi adalah ritual untuk mensyukuri nikmat Allah berupa bayi yang baru
lahir. Upacara ini merupakan sunnah Rasul dan memperkenalkan kepada masyarakat
bahwa telah lahir keturunan baru dari sebuah suku atau keluarga tertentu. Dalam
upacara ini harus memperhatikan syarat-syarat yang telah kental di masyarakat
Minangkabau.
4. Batagak
pangulu
Batagak pangulu berarti
meresmikan seorang datuk menjadi Panghulu. Dalam adat Minang peresmian atau pengangkatan seorang panghulu tidak dapat
dilakukan oleh keluarga yang bersangkutan saja. Malahan keseluruhan suku
dilingkupi dalam satu kesatuan adat berupa (KAN) Kerapatan Adat Nagari inilah
yang akan terlibat pula didalamnya nanti.Peresmian haruslah berpedoman dalam
petitih adat Minang yakni " Maangkek Rajo sakato Alam - Ma'angkek Panghulu
sakato Kaum ".
Sebelum acara peresmian
calon penghulu harus menjalani syarat-syaratnya yaitu Baniah, Dituah Cilakoi,
Panyarahan Baniah, Manakok hari. Upacara pengangkatan Penghulu dilakukan dengan
cara adat. Upacara ini diberi nama Malewakan Gala. Di hari pertama adalah
berpidato, lalu penghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilak keris
sebagai tanda serah terima jabatan, akhirnya penghulu baru diambil sumpahnya.
Sebelum itu
syarat-syarat pribadi seorang panghulu
juga harus dilihat, dimana jabatan panghulu di Minangkabau diturunkan secara
turun-temurun. Dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kemenakannya.
Dimana yang berhak mendapat atau memakai gelar panghulu adalah kemenakan dekat,
kemenakan di bawah dagu kata orang minang, artinya kemenakan yang setali darah
menurut garis matrilineal.
Panghulu adalah pemimpin
kaum, pembimbing anakkemenakan, dan menjadi niniak mamak di nagarinya. Maka
dari itu seorang yang akan menjadi panghulu adalah orang yang memenuhi syarat
kepemimpinan adat minangkabau.
5. Turun ka Sawah
Tradisi Upacara Adat
Turun ke Sawah dengan Mambantai Kabau Nan Gadang merupakan bentuk rasa syukur
kepada Allah atas segala rezeki yang telah dilimpahkannya dan doa tolak bala
agar tanaman padi yang akan mereka tanam terbebas dari berbagai hama.
Setiap akan dimulai
turun kesawah bersamaan dengan datangnya musim hujan antara pertengahan bulan
Desember sampai dengan pertengan bulan Januari, Penghulu adat menetapkan dengan
mufakat untuk membantai/memotong Kerbau yang besar, serta menyampaikan plakat
turun ke sawah dan upacaranya. Seterusnya proses komunikasi antar suku untuk
perencanaan sampai dengan pelaksanaan upacara dilakukan secara berjenjang,
mulai dari tingkat persiapan, teknis dan tahapan upacara puncak.
Setelah selesai
pelaksanaan membantaian atau memotong Kerbau, maka keesokan harinya
dilaksanakan upacara puncak dengan makan-makan bersama, pada kesampatan ini
diumumkan plakat turun ke sawah selengkapnya menurut tata tertib yang disusun.
Upacara ini diadakan di Mesjid Raya Alam Surambi Sungai Pagu (dahulu Mesjid
kurang
6. Manyabik
Manyabik (menyabit)
merupakan adalah menuai atau memanen padi di sawah. Hal ini dilakukan secara
bersamasama bila padi telah menguning atau siap dipanen. Si pemilik sawah akan
mempersiapkan segala sesuatunya termasuk makan dan minum bagi orang-ornag yang
akan manyabik atau memanen padi.
Tradisi manyabik secara
bersama-sama atau dilakukan secara gotong royong di beberapa daerah di
Minangkabau kini telah mulai luntur. Kini panen padi dilakukan oleh orangorang
upahan dan bahkan bisa dilakukan dengan cepat karena adanya mesin penggiling
padi.
H. MASAKAN
KHAS MINANGKABAU
Memasak
makanan yang lezat merupakan salah satu budaya dan kebiasaan masyarakat
Minangkabau. Hal ini dikarenakan seringnya penyelenggaraan pesta adat, yang
mengharuskan penyajian makanan yang nikmat. Masakan Minangkabau tidak hanya
disajikan untuk masyarakat Minangkabau saja, namun juga telah dikonsumsi oleh
masyarakat di seluruh Nusantara.
Orang-orang Minang biasa menjual makanan khas mereka seperti rendang, asam pedas, soto padang, sate padang, dan dendeng balado di rumah makan yang biasa
dikenal dengan Restoran Padang.
Restoran Padang tidak hanya tersebar di seluruh Indonesia, namun juga banyak
terdapat di Malaysia, Singapura, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Rendang
salah satu masakan khas Minangkabau, telah dinobatkan sebagai masakan terlezat
di dunia.
Masakan Minangkabau merupakan masakan yang kaya akan variasi bumbu. Oleh karenanya banyak dimasak menggunakan rempah-rempah seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Kelapa merupakan salah satu unsur pembentuk cita rasa masakan Minang. Bahan utama masakan Minang antara lain daging sapi, daging kambing, ayam, ikan, dan belut. Orang Minangkabau hanya menyajikan makanan-makanan yang halal, sehingga mereka menghindari alkohol dan lemak babi. Selain itu masakan Minangkabau juga tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Teknik memasaknya yang agak rumit serta memerlukan waktu cukup lama, menjadikannya sebagai makanan yang nikmat dan tahan lama.
Baca Juga: ALAM MINANGKABAU