Wahyudi Thamrin

UNDANG-UNDANG DAN ADAT ALAM MINANGKABAU

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

 

 

Tujuan adat Minangkabau bermuara kepada cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana dikatakan:

Bumi sanang padai manjadi

Padi masak jaguang maupiah

Taranak bakambang biak

Antimun mangarang bungo Nagari aman santoso

(Bumi senang padi menjadi

Padi masak jagung meupih

Ternak berkembang biak

Antimun mengarang bunga Nagari aman sentosa).

 

Cita-cita tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada norma-norma adat dan undang-undang adat yang mengaturnya. Kelihatannya orang tua-tua Minangkabaau masa dahulu yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang telah menyusun undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman serta pengalamannya untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang diinginkan di atas.

 

Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketenteraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterima dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati serta diamalkan.

 

Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang ada seperti rantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya. Dengan kata lain undangundang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.

 

A.  UNDANG-UNDANG NAN AMPEK

Undang-undang yang telah disusun oleh orang tua-tua Minangkabau dahulu telah dikategorikan atas empat bagian atau dalam adat dikatakan Undang-undang nan ampek, yaitu:

1.      Undang-undang luhak dan rantau

2.      Undang-undang nagari

3.      Undang-undang dalam nagari

4.      Undang-undang nan duo puluah

 

 

1.    Undang-undang luhak dan rantau

Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan rantau, seperti tugas penghulu dan raja di daerah rantau, undang-undang luhak dan rantau ini dikatakan dalam pantun adatnya yang mengatakan:

Mancampak sambia ka hulu

Kanailah pantau di kualo

Dilatak dalam cupak

Dijarang jo sipadeh

Luhak dibari pangulu

Rantau dibari barajo

Tagak indak tasondak

Malenggang indak tapampeh

 

(Mencapak sambil ke hulu Dapatlah rantau di kuala

Diletakkan dalam cupak

Dijerangkan dengan sipedas

Luhak diberi penghulu

Rantau diberi raja

Tegak tidak tersundak

Melenggang tidak terpempas)

 

Pengertiannya di daerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua kepemimpinan ini yaitu penghulu dan raja mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing, sebagaimana dikatakan:

 

Tagak indak tasondak

Malenggang indak tapampeh

 

Luhak di Alam Minangkabau ini ialah Luhak nan tigo tersebut di bawah ini:

Pertama, Luhak Tanah Datar

Kedua, Luhak Agam

Ketiga, Luhak Limopuluah Kota.

 

Di setiap luhak nan tigo ini penghulu lebih berkuasa daripada raja, di setiap kampung, suku dan nagarinya masingmasing. Di luar dari luhak nan tigo ini dinamakan rantau Luhak nan tigo dan di sini raja lebih berkuasa daripada penghulu. Maka di rantau Luhak nan tigo ini ada wakil-wakil raja yang menghukum, yang ditanam oleh raja menerima emas manah.

 

2.    Undang-undang nagari

Pepatah adat berbunyi:

Nagari bapaga undang-undang

Kampuang bapaga jo pusako

(Nagari berpagar undang-undang

Kampung berpagar dengan pusaka).

 

Adapun nagari itu terdiri dari:

a.      Taratak

Yaitu suatu tempat atau wilayah yang pertama kali ditempati atau dihuni oleh manusia sementara waktu, kemudian berusaha  mencari tempat lain yang lebih baik untuk tempat menetap. Setelah mendapatkan tempat yang lebih baik maka taratak ini mereka tinggalkan, tetapi sewaktuwaktu mereka datang juga ke taratak ini untuk dijadikan tempat berladang, sawah ataupun kolam. Jadi tanda ada harta benda mereka atau keberadaannya di taratak ini masih tetap dipelihara.

 

b.      Kampung

Ialah tempat kumpulan anggota suku yang terdiri dari beberapa buah perut. Satu perut itu artinya bahwa nenek moyang mereka dahulu satu, dari pihak keturunan ibu.

 

c.       Dusun

Ialah tempat tinggal beberapa orang yang berasal dari beberapa buah perut dari suku yang berlainan pula. Tempat tinggal masing-masing perut yang berbeda dengan yang lain terkadang diberi tanda pembatas, kalau ladang diberi bintalak, kalau sawah diberi lantak, sebagai tanda batas terhadap satu dengan yang lainnya.

 

d.      Koto

Yaitu kumpulan dari beberapa dusun yang menjadi satu kesatuan dan dipimpin oleh seorang Datuk atau Penghulu, sebagai Tua Koto. Tiap Koto dalam nagari telah ada beberapa orang penghulu menjadi staf dari Tuo Koto. Tiap-tiap koto dalam nagari harus sudah mempunyai Balai Adat dan Mesjid, ada Imam, Bilal, Khatib dan Alim Ulamanya.

             

e.       Nagari

Merupakan kumpulan dari beberapa koto. Dalam sebuah koto sekurang-kurangnya sudah ada dua atau tiga suku, tetapi dalam satu nagari harus ada empat suku, yang dipimpin oleh Datuk Ampek Suku (Datuk Keempat Suku), yaitu:

1.      Datuk keempat suku dari suku Piliang

2.      Datuk keempat suku dari suku Bodi

3.      Datuk keempat suku dari suku Melayu

4.      Datuk keempat suku dari suku Petapang

 

Yang dimaksud dengan Suku ialah berhimpunan beberapa buah perut, dan masing-masing buah perut ini dipimpin oleh seorang Penghulu Andiko, yang biasa disebut Mamak Kepala Kaum. Beberapa mamak kepala kaum itu dipimpin oleh Datuk Tua Kampung, dan beberapa Datuk Tua Kampung itu dipimpin oleh Datuk Keempat Suku, berarti tiap-tiap nagari harus ada empat suku.

 

Suku yang empat itu dengan pecahan-pecahannya terdiri dari:

  1. Suku Piliang yang sembilan nenek atau sembilan kampung: 

Kampung Piliang, Kampung Koto, Kampung Pagar Cancang, Kampung Simabur, Kampung Dalimo, Kampung Tanjung, Kampung Payobadar, Kampung Guci, Kampung Sikumbang.

  1. Suku Bodi yang enam nenek atau enam kampung: Kampung Bodi, Kampung Caniago, Kampung Sungai Napar, Kampung Sipanjang, Kampung Mandaliko, Kampung Lubuk Batang.
  2. Suku Petapang yang lima nenek atau lima kampung: Kampung Petapang, Kampung Jambak, Kampung Salo, Kampung Kotoanyir, Kampung Banuhampu.
  3. Suku Melayu yang empat nenek atau empat kampung: Kampung Melayu, Kampung Bendang, Kampung Mandailing, Kampung Kampai.

 

Selanjutnya di berbagai nagari dalam Alam Minangkabau masing-masing suku berkembang pula sehingga jumlahnya telah melebihi dari dua puluh empat. Tetapi pada dasarnya suku asal di Alam Minangkabau ini perkembangan pertamanya sebanyak dua puluh empat, dan merupakan sukusuku yang asli.

 

Syarat lain yang tidak kalah pentingnya untuk keberadaan sebuah nagari adalah persyaratan fisik, yaitu:

 

a)      Basosok bajurami

Nagari harus mempunyai batas-batas wilayah kenagarian yang harus ditentukan melalui rapat musyawarah dengan nagari-nagari yang ada di sekelilingnya, rapat sesama penghulu-penghulu antar nagari.

 

Hal ini berarti nagari harus mempunyai daerah asli atau asal yang akan dijaga dan dilindungi oleh anak kemenakan serta pemangku adat di nagari yang bersangkutan. Seperti pepatah adat: Adaik salingka nigari (Adat selingkar/selingkup nagari) artinya aturan-aturan hukum adat dalam sebuah nagari bersifat otonom dan diakui di Alam Minangkabau, tanpa campur  tangan           atau       intervensi         dari      nagari-nagari sekitarnya.

 

Pentingnya batas-batas nagari adalah untuk menentukan  keberadaan atau batas ulayat nagari yang satu dengan nagari lainnya. Pembagian tanah ulayat dapat dibedakan:

a.    Ulayat nagari: yaitu yang tidak termasuk ulayatb suku, ulayat kaum dan milik pribadi.

b.   Ulayat suku: yaitu yang dimiliki, dikuasai atau hak kepunyaan suatu suku.

c.    Ulayat kaum: yaitu tanah-tanah yang dimiliki oleh masing-masing kaum.

d.   Milik perseorangan: dalam nagari milik perorangan sangat terbatas sekali, dan di sebahagian besar nagari milik perorangan ini tidak ada. Kalaupun ada di tanah ini biasanya merupakan tanah konversi dari hak orang barat (eigendoom).

 

b)      Balabuah batapian

Artinya bahwa nagari harus mempunyai prasarana jalan lingkungan dan jalan antar nagari sebagai sarana perhubungan dan transportasi untuk komunikasi dengan nagari lainnya.

Tepian tempat mandi melambangkan pemikiran nenek moyang orang Minang akan pentingnya arti tempat mandi untuk menjaga kesehatan anggota masyarakatnya, menjaga kesucian lahir dan batin, seperti pepatah adat:

Rancak tapian dek nan mudo

Elok nagari dek pangulu

Elok musajik dek ulama

Eloknua keluarga dek induaknyo

(Baiknya tepian karena yang muda Baiknya nagari karena penghulu Baiknya  mesjid karena ulama Baiknya rumah tangga karena ibu).

 

c)      Berumah tangga

Artinya mempunyai rumah tangga untuk tempat tinggal. Dan yang terpenting adalah Rumah Gadang, atau rumah adat kepunyaan kaum, atau rumah pusat bagi yang seperut, yang sepayung sepetagak, yang selingkung cupak adat.

 

Rumah Adat atau Rumah Gadang ini menurut potongannya atau arsitekturnya terbagi atas empat jenis:

1.    Rumah Gadang Beranjung

2.    Rumah Gadang Raja Berbanding

3.    Rumah Gadang Gajah Mengeram

4.    Rumah Gadang Serambi Pepat.

Rumah adat ini sekurang-kurangnya mempunyai lima ruang dan sebanyak-banyaknya sembilan ruang dari kiri ke kanan, dan ditambah satu ruang yang bernama Anjung Tinggi, ditambah dengan sebuah tempat memasak (dapur), serta seruang lagi dengan tempat tangga atau jenjang untuk naik ke atas rumah gadang tersebut. Jadi jumlahnya menjadi dua belas ruang.

 

Kenapa dua belas? Ialah karena kita hidup dalam Undang-undang adat yang Kawi, yaitu menjadi bukti dari undang-undang yang delapan, dan berjumlah dua belas butir, yakni enam ke atas dan enam ke bawah, atau enam ke hilir dan enam ke mudik. Di depan rumah adat ini terdiri pula lima buah rangkiang atau lumbung padi, yang masing-masingnya bernama:

·      Sibayau-bayau: padinya digunakan untuk makan penghuni rumah gadang itu.

·      Suka Menanti: padinya digunakan untuk menyambut tamu-tamu agung, pembesar-pembesar yang datang berkunjung, dan untuk pesta-pesta keramaian yang diadakan di atas rumah gadang tersebut, seperti pernikahan, khitan, khatam quran, anak kecil turun mandi atau diberi nama, dan sebagainya.

·      Sitinjau Laut: padinya digunakan untuk membantu anak dagang yang kehabisan bekal, atau penanti tamu dari jauh.

·      Sitangkal Lapar: padinya digunakan untuk membantu fakir miskin, penolong rakyat yang kena musibah atau orang miskin yang terlunta-lunta.

·      Kapuk Nan Gadang: adalah lumbung yang besar, ukurannya dua kali lumbung biasa, padinya digunakan untuk membangun pusaka lama, pembangkit batang tarandam, untuk membangun gelar pusaka, atau kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan orang seperut terhadap nagari atau pemerintah.

 

d)      Bakorong bakampuang

Yang dimaksud dengan korong (jorong) ialah bahagian daerah dalam nagari yang ditempati oleh orang-orang yang berlainan suku atau keturunannya atau buah perutnya, mempunyai nenek yang berbeda.

 

Kampung adalah suatu daerah juga dalam nagari, tetapi ditempati oleh orang yang satu suku saja, tetapi berlainan perut, artinya tidak senasab terdiri dari beberapa orang penghulu selaku kepala kaumnya, dua atau tiga penghulu andiko yang dipimpin oleh Tuo Kampung.

 

Namun demikian bakorong bakampung lebih diartikan sebagai pemersatu rasa di antara penduduknya, serasa, seadat, selembaga, seberat seringan, yang merupakan satu kesatuan yang bulat seperti kata pepatah:

Korong tempat menghabiskan silang sengketa Kampung tempat kembali mengadukan nasib diri.

 

e)      Basawah baladang

Artinya mempunyai daerah persawahan dan perladangan, sebagai lambang ekonomi masyarakat untuk kelangsungan hidup penduduknya. Pepatah mengatakan:

Sawah ladang banda buatan

Sawah lah sudah jo lantaknyo

Ladang lah sudah jo janjinyo

 

Barangsiapa yang masih berani melanggar batas-batas tanah pusaka seperti di atas, menunjukkan bahwa orang itu telah kehilangan budi luhurnya, dan tidak lagi mempunyai lagi rasa malu dan sopan, apalagi bila diingatkan bahwa harta pusaka itu bukanlah jerih payah kita sendiri, tetapi diterima dari nenek moyangnya terdahulu.

             

f)       Babalai bamusajik

Artinya mempunyai balai adat tempat bermusyawarah dan mesjid untuk tempat beribadah. Ada yang membagi  “Balai” dalam tiga pengertian:

1.    Balai adat (balairung): yaitu tempat bermusyawarah bagi para ninik mamak (penghulu) dalam nagari, guna memperbincangkan persoalang yang bersangkut paut dengan Adat dan Pusaka, masalah anak kemenakan, korong kampung, dan nagari sendiri agar dapat membangun nagari yang lebih maju. Menjadi tugas Penghulu lah memperbaiki segala yang rusak dan mengadakan yang belum ada, mencari bulat yang  segolong, mencari pipih yang selayang. Di sinilah timbang menimbang salah dan benar, cari mencari hukum yang adil, mencari air yang jernih mencari sayak yang landai menurut ketentuan hukum adat yang dipakai.

2.    Balai gelanggang: yaitu balai tempat berhimpun rakyat banyak untuk melaksanakan keramaian atau menyaksikan kegiatan pesta rakyat, pencak silat, tari piring, randai, dan sebagainya.

3.    Balai pekan (pasar): yakni tempat berjual-beli, tempat rakyat nagari menjual hasil kebun ladang dan persawahannya, sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat, dan membeli segala kebutuhan rumah tang masyarakat nagari tersebut.

 

Sedangkan Mesjid untuk menjalankan ibadah kepada Allah Swt. dan tempat berkumpul untuk membicarakan kebaikan dan kemasalahatan masyarakat nagari tersebut dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan masyarakat.

 

g)      Bapandam pakuburan

Artinya mempunyai tanah tempat pusara pekuburan. Adat telah mengetahui dari syarak bahwa segala yang hidup akan mengalami mati, termasuk manusia sendiri. Untuk menjaga agar timbul keteraturan dalam menghadapi persoalan kematian ini, maka dalam undang-undang pembentukan nagari diwajibkan persyaratan fisiknya mempunyai tempat sebagai pandam pekuburan masyarakat nagari.

 

Unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minangkabau adalah orang-orang yang sesuku. Sebaliknya unit terbesar adalah kumpulan orang-orang senagari.

 

Adat Minangkabau pun mengatakan: Adaik salingka nagari (adat selingkar nagari), artinya adat pada masingmasing nagari bersifat independen dan defenitif, tegak berdiri sendiri. Jadi suku dan nagari mempunyai arti yang amat penting bagi orang Minang.

 

Persyaratan lain untuk bisa disebut sebagai nagari ditetapkan dalam apa saja yang disebut dalam Adat Minang dengan Undang-undang Pembentukan Nagari. Pemakaian kata Undang-undang di sini adalah menurut pengertian Adat Minang, bukan menurut pengertian hukum nasional Indonesia atau ilmu tatanegara modern. Dalam Undang-undang Pembentukan Nagari menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya suatu permukiman atau wilayah dapat disebut sebagai nagari. Tujuan yang hendak dicapai oleh undang-undang ini adalah agar ada keseragaman pengertian nagari di ketiga luhak di Ranah Minang. Syarat untuk berdirinya suatu nagari adalah sebagai berikut:

 

Nagari ba kaampek suku

Dalam suku babuah paruik

Kampuang nan ba tuo

Rumah nan batungganai

(Nagari punya empat suku

Dalam suku ada keluarga

Kampung punya pemimpin

Rumah tangga punya penanggung-jawab).

 

Dari kata-kata adat ini diuraikan sebagai berikut:

a.      Kaampek suku

Kaampek suku berarti suatu permukiman baru boleh disebut nagari bila penduduk di daerah tersebut telah tersusun sekurang-kurangnya 4 (empat) buah kelompok suku, yang masing-masingnya sudah mempunyai penghulu andiko atau mamak kepala kaum.

 

Oleh karena seluruh orang Minangkabau menganut paham Eksogami-Matrilinial dalam hal perkawinan, dalam arti kata seorang pria tidak boleh mengawini wanita dari kelompok suku asalnya sendiri, maka keempat suku itu terdiri dari dua bagian suku yang tidak serumpun sehingga antara dua kelompok itu dapat melakukan perkawinan.

             

Semula pembagian keempat suku itu mudah dilakukan yaitu dua suku yang menganut aliran Datuk Ketumanggungan, Suku Koto dan Suku Piliang, dan dua suku yang menganut ajaran Datuk Perpatih Nan Sebatang, suku Budi (Bodi) dan suku Caniago, sehingga perkawinan antara dua keturunan ini diperbolehkan. Oleh karena nagari menurut proses pembentukannya dimulai dari Taratak, Kampung dan Dusun, sehingga kemungkinan nagari itu hanya terdiri dari  orang yang serumpun menjadi bisa saja terjadi. Hal demikian tidak diperbolehkan sehingga untuk sahnya pembentukan nagari harus diambilkan suku yang lain yang tidak serumpun, sehingga perikatan perkawinan nantinya tetap dapat diadakan.

 

Secara teoritis sesungguhnya dapat dipastikan bahwa semenjak terbentuknya dusun sudah terdiri dari dua suku yang tidak serumpun. Jika tidak mana mungkin ada perkawinan. Jika tidak ada perkawinan sulit adanya pengembangbiakan, kecuali ada pendatang baru dari luar dusun. 

 

b.      Buah paruik

Pengertian suku harus memenuhi syarat tersendiri pula, yaitu dalam suku babuah paruik. Yang disebut saparuik terdiri dari sekurang-kurangnya seorang anak, seorang ibu, seorang nenek, dan seorang gaek (ibunya nenek), dalam arti kata sekurang-kurangnya terdiri dari empat generasi.

 

Dalam lingkungan saparuik itu harus ada seorang mamak yang dituakan, yang lazim juga disebut dengan Tuo Kampuang, dan dalam setiap rumah mempunyai seorang mamak rumah yang disebut Tungganai Rumah nan Gadang.

 

 

Orang-orang yang seninik disebut orang yang sesuku, orang yang segaek disebut juga  orang yang seperut, orang-orang yang senenek disebut juga orang yang sejurai, dan orang-orang yang seibu disebut juga samande.

 

Pengertian ataupun penamaan tingkatan generasi ini tidaklah sama pada semua nagari, terdapat perbedaan penamaan, namun hanya sebatas itu. Pada umumnya pengertian istilah sebagai berikut:

 

1.    Samande: anak-anak yang lahir dari seorang ibu disebut samande. Mande = Ibu, atau disebut juga dengan amak, amai, ayai, biyai, bundo, andeh, mama, ummi, induak, dan lain sebagainya.

2.    Sajurai: artinya sama berasal dari satu perut seorang nenek, yang biasa disebut juga dengan uwo, nenek, tuo. Biasanya nenek beserta semua anak cucunya menempati sebuah rumah gadang di lingkungan rumah-rumah biasa lainnya.

3.    Saparuik: saparuik artinya sama berasal dari perut seorang gaek yang sama. Gaek = ibunya nenek.

4.    Sasuku: artinya sama berasal dari seorang niniek yang sama. Niniek inilah yang menempati jenjang tertinggi dari susunan sesuku. Dari niniek inilah suku itu bermula atau berasal, kendatipun generasi di atas niniek itu nenek moyang kita juga.

5.    Sapayuang: bila kelompok itu ada pelindung atau Tua-nya maka kelompok itu disebut sapayuang (sepayung). Jadi sapayuang dalam pengertian ini tidak selalu merupakan garis keturunan, tetapi lebih berorientasi kepada kepemimpinan.

6.    Sakampuang: bila kelompok ini bertempat tinggal atau bertetangga dengan kelompok atau suku lain, maka himpunan kelompok ini disebut sekampung. Jadi sekampung bukan merupakan satu garis keturunan, tetapi lebih berorientasi  kepada Lokasi Pemukiman.

7.    Saparinduan: saparinduan atau seperinduan sama artinya dengan semande (satu ibu). Istilah ini orientasinya lebih mencerminkan garis keturunan matrilinial. Di Minangkabau orang bisa saja seperinduan namun tidak sebapak, misalnya karena ibunya menikah dua kali dan melahirkan anak-anak dari suami yang berbeda. Anak-anak tidak sebapak, tetapi tetap seperinduan dalam arti garis keturunannya. Sebaliknya istilah sebapak atau seayah di Minangkabau bukanlah istilah dalam garis keturunan, karena orang Minangkabau tidak menganut sistem kekerabatan Patrilinial ataupun Parental, tetapi Matrilinial.

 

             

c.       Tuo Kampuang

Bila kumpulan saparuik telah bertambah banyak jumlah keluarganya, maka untuk setiap kelompok yang seperut diangkat salah seorang mamak yang tertua atau yang dituakan sebagai Tuo Kampuang, dengan tugas antara lain mengawasi:

 

Hak nan bapunyo

Ganggam nan bauntuak

(Hak orang yang memilikinya

Serta hak yang merupakan bagian/jatahnya).

 

Mengurus harta pusaka di bawah pengawasan Penghulu Suku atau mamak kepala kaum.  Jadi tuo kampuang semacam pembantu penghulu suku tetapi tanpa gelar Datuk.

 

Bila terjadi pemekaran suku, biasanya tua kampuang atau tungganai ataupun mamak pusako ini diangkat menjadi Penghulu Andiko sebagai penghulu dari suku yang baru didirikan tersebut. Bila dilakukan pengangkatan penghulu-penghulu  suku yang baru, maka penghulu yang lama dalam keselarasan Koto Piliang naik pangkat menjadi Penghulu Pucuk, yang akan memimpin penghulu andiko yang baru tersebut. Sedanglan di kesalarasan Bodi Caniago penghulu suku asli tetap saja sebagai salah satu penghulu andiko dari persukuan tersebut.

 

             

d.      Tungganai

Semua saudara laki-laki dari ibu disebut „mamak rumah‟ dan saudara lelaki tertua dari ibu disebut Tungganai. Baik dalam urusan seperinduan maupun dalam urusan mamak dan kemenakan, peranan tungganai sangat penting. Tujuannya adalah supaya ada kerukunan dalam lingkungan seperinduannya, baik dalam urusan harta pusaka, urusan perkawinan, urusan pegang gadai, urusan bimbingan kemenakan, dan sebagainya. Tungganai ini lebih dikenal dengan sebutan Mamak kepala waris.

 

Peranannya dalam pengurusan harta pusaka tinggi sangat penting, karena dia lebih mengetahui seluk beluk harta pusaka, dan dianggap orang yang pintar dalam hal asalusul harta yang dimiliki kaumnya.

 

3.    Undang-undang dalam nagari

Undang-undang dalam nagari mengatur hubungan antara nagari dengan isinya, antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan masyarakat dan sebagainya. Undangundang dalam nagari juga menggariskan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Undang-undang dalam nagari ini menjamin keamanan dalam nagari karena orang disuruh untuk berbuat sesuatu, dan jika tidak ditaati juga diancam dengan hukuman.

 

Hukum yang paling berat adalah kehinaan yang ditimpakan terhadap diri seseorang, seperti tidak dibawa sehilir-semudik, dikeluarkan dari hubungan kekeluargaan dan lain-lain.

 

Hak dan kewajiban yang dikemukakan dalam Undangundang dalam nagari ini dikemukakan sebagai berikut:

Salah makan meluahkan

Salah tarik mengembalikan

Surut terlengkah kembali

Gawal mengisi

Salah kepada Allah meminta tobat

Salah kepada manusia meminta maaf

Adil berperdamaian

Berhutang mau membayar

Bersalah berpatutan

Jika gaib bersumpah

Yang berebut diketengahkan sementara menanti kata yang selesai

Suarang beragih sekutu berbelah

Silang berhukum selisih berhakim

Menjelang memulangkan

Hutang dibayar piutang diterima

Yang diberikan dapat saja oleh yang diberi Hilang ke tanah lekang oleh yang memberi.

 

4.    Undang-undang nan duopuluah

Undang-undang nan duopuluah merupakan undangundang yang mengatur persoalan Hukum Pidana. Ia dibagi atas dua bagian. Satu bagian bernama Undang-undang nan delapan dan satu bagian lagi bernama Undang-undang nan duabelas.

Adapun Undang-undang Nan Delapan, menyangkut bentuk-bentuk kejahatan, yaitu:

  1. Tikam-Bunuh: Tikam artinya sengaja menusuk orang lain dengan senjata tajam, tetapi tidak sampai meninggal dunia, sedang bunuh menggunakan segala daya upayanya sehingga orang lain tersebut meninggal dunia, bisa menggunakan senjata tajam untuk menusuk ataupun menggunakan alat lain untuk memukul sampai mati.
  2. Upas-Racun: Upas artinya memberi makan orang lain dengan zat tertentu sehingga mengalami kesakitan atau menderita penyakit tertentu, tetapi tidak sampai meninggal, misalnya menderita sakit perut, badannya gatal-gatal dan sebagainya.

3.      Sedangkan racun memberi zat racun memberi zat racun pada seseorang sehingga orang tersebut seketika itu atau tidak lama kemudian meninggal dunia.

  1. Samun-Sakar: Samun artinya mengambil barang orang lain dengan cara kekerasan di tengah jalan ataupun di tempat sunyi, sehingga barang itu dapat dikuasainya baik sebahagian maupun seluruhnya. Sakar berarti dengan sengaja mengambil barang orang lain serta membunuh si pemilik barang atau orang yang membawa barang tersebut.
  2. Siar-Bakar: Siar artinya membakar rumah atau tanaman orang lain dengan api tetapi tidak sampai hangus keseluruhannya, sedangkan Bakar memusnahkan seluruh harta atau rumah atau tanaman orang lain sehingga menjadi musnah seluruhnya.
  3. Maling-Curi: Maling adalah mengambil barang orang lain yang dilakukan pada malam hari, sedangkan Curi adalah mengambil barang orang lain pada siang hari, untuk dimiliki sendiri tanpa pengetahuan si pemilik barang.
  4. Dago-Dagi: Dago adalah perbuatan yang melanggar adat kebiasaan sehari-hari, seperti membuat keributan, sehingga orang lain merasa terganggu. Dagi adalah perbuatan melawan kebijakan dengan cara kekerasan terhadap penghulu atau pihak penguasa atau pemerintah yang sah, sehingga perbuatan tersebut telah melanggar adat yang kawi (kuat) dan syarak (agama).
  5. Umbuak-Umbai:  Umbuak yaitu merayu atau menipu seseorang dengan cara yang halus sehingga orang itu tertipu, atau memberi seseorang dengan barang yang murah sebagai hadiah tetapi ujungnya dia mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari orang itu. Umbai yaitu dengan cara kekerasan memaksa seseorang untuk membeli barang atau benda yang tidak semestinya didapat dengan harga tersebut, mengancam supaya orang tersebut menurut dengan kemauannya.
  6. Sumbang-Salah: Sumbang yaitu tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya, mencampur adukkan barang yang baik dengan yang buruk, meletakkan benda yang besar pada tempat yang kecil, dan sebagainya. Salah yaitu melakukan perbuatan yang dengan terang dan jelas telah dilarang, baik dilarang hukum agama maupun hukum adat.

 

Sedangkan Undang-undang nan duobaleh, dibagi menjadi dua bagian, yaitu 6 (enam) pertama yang menyangkut pembuktian kesalahan, dan 6 (enam) kedua menyangkut pendakwaan atau tuduhan, yang diuraikan sebagai berikut:

  1. Bajajak bak-bakiak, basuriah bak sipasin: Bakiak adalah sejenis burung berkek (Capella gallinago), dan Sipasin adalah sebangsa lipas tetapi tidak bersayap dengan bentuk badan yang agak pipih dan bundar, banyak hidup di sawah-sawah dan air dangkal , jika sipasin berjalan akan meninggalkan jejak di lumpur yang dilaluinya. Maksudnya ialah bahwa tanda-tanda dari si penjahat itu telah diketahui, misalnya sandal, sepatunya, kainnya yang tertinggal di tempat kejadian. Jika tanda-tandanya ini telah diketahui maka si tersangka telah dapat dituduh atau didakwa telah melakukan perbuatan yang tidak baik tersebut.

 

  1. Bajalan bagageh-gageh, pulang-pai basah-basah (berjalan bergegas, pulang pergi basah kuyup): Memang akan menjadi kecurigaan pada seseorang yang di tengah malam di waktu orang lain istirahat dia berjalan bergegas-gegas dan mengendap-endap, apalagi berbasahbasah dengan pakaian yang dipakainya.

 

Apabila pada keesokan harinya diketahui bahwa seseorang telah kehilangan barang atau kolamnya telah terkuras habis dicuri orang, maka orang yang berjalan bergegas malam tadi dan berbasah-basah dapat diduga sebagai pelaku pencurian ikan di kolam tadi.

 

  1. Menjual bermurah-murah: Semua orang pasti tidak mau merugi. Orang akan selalu mencari laba atau memeroleh keuntungan dari barang dagangannya. Apabila seseorang menjual jauh di bawah harga normal, maka dapat diduga dia telah melakukan penjualan atas barang yang mungkin berasal dari hasil pencurian, atau hasil penyelundupan. Di samping itu telah ada pengaduan kepada pihak yang berwajib bahwa di tempat lain telah terjadi pencurian dan barang-barang yang hilang termasuk di antaranya barang yang dijual murah oleh si penjual  tadi. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang itu telah melakukan pencurian di tempat lain tersebut.

 

  1. Dibawa pikat dibawa langau: Pikat adalah sejenis lalat juga tetapi lebih besar dari langau (lalat). Lalat tersebut suka hinggap di tempat yang busuk, dan membawa bau yang tidak sedap apabila hinggap dan melintas di depan kita. Artinya perbuatan busuk kalau tidak ada tentu tidak akan berbau. Dalam hal ini pepatah adat mengatakan:

Ibarat membungkus bangkai

Lambat laun akan tercium juga

Kalau tidak ada angin

Tentu daun kayu tidak akan bergoyang

 

  1. Terbayang-Tertabur (kecenderungan mata orang banyak): Seseorang yang telah melakukan kejahatan tertentu berulang kali, sehingga dianggap telah mahir, misalnya spesialis maling ayam. Artinya perangai orang itu telah diketahui secara umum oleh masyarakat. Apabila dilihat orang dia menjual ayam, sedangkan diketahui bahwa dia tidak pernah memelihara ayam, maka dapat diduga atau disangka dia telah melakukan pencurian dan menjual ayam tersebut, dengan kata lain ayam tersebut adalah ayam hasil curiannya.

 

  1. Anggang lalu jatuh, anak raja ditimpanya: Anggang di sini bukanlah burung enggang, tetapi alat (kiasan) yang digunakan untuk memisahkan atah (padi) dengan beras. Artinya orang berada di tempat yang salah. Apabila di tempat tersebut telah terjadi kemalingan, dan kebetulan dia malam itu lewat seorang diri di tempat kejadian, maka dia dicurigai sebagai pelaku pencurian tersebut.

 

Sedangkan 6 (enam) dari Undang-undang ini menyangkut pendakwaan atau tuduhan, yaitu:

1.    Taikek takabek: Pengertian pertama bahwa si penjahat itu dapat ditangkap oleh rakyat, sehingga dapat diikat dan ditaham. Pengertian kedua, penjahat tersebut belum tertangkap tetapi telah diketahui ciri-ciri dan identitasnya, meninggalkan tanda-tanda yang jelas bagi orang yang melihatnya.

 

2.    Tercencang teretas: Maksudnya ialah bahwa dalam usaha melarikan diri, si penjahat telah berkelahi dengan orang yang mengejarnya, bajunya yang robek ataupun badannya yang luka karena perkelahian itu dapat dijadikan bahan bukti bahwa dialah yang telah melakukan pencurian/kejahatan tersebut.

 

 

3.    Terlalah terkejar: Maksudnya seorang yang mencoba melarikan diri, walau telah dikejar oleh banyak orang tetapi tidak bisa ditangkap, tetapi rakyat banyak telah mengetahui bahwa dialah yang telah melakukan perbuatan tersebut. Apabila di kemudian hari si pelaku dijumpai lagi walau barang bukti tidak ada padanya maka orang tersebut masih bisa didakwa telah melakukan kejahatan tersebut.

 

4.    Tambang ciak: Maksudnya barang yang hilang ditemukan pada penadah (ciak). Walau dia tidak melakukan pencurian tetapi si pencuri setelah dipertemukan dengannya dan mengakui barang-barang tersebut memang dijual kepadanya, maka yang terlibat dalam pencurian tersebut adalah si pencuri (tambang) sendiri ditambah si penadah.

 

5.    Putus tali: Artinya apabila barang yang hilang ditemukan pada seseorang, dan mengaku bahwa barang tersebut dibelinya pada orang lain. Tetapi dia tidak dapat membuktikan siapa orang yang menjualnya, kapan, di mana, berapa harganya, maka dia dapat dituduh sebagai pelaku pencurian itu sendiri.

 

6.    Tertangkap tangan: Artinya pelaku kejahatan kepergok sedang melakukan kejahatan itu, dan dia dapat ditangkap pada saat itu juga atau beberapa saat kemudian.

 

B.     HUKUM NAN AMPEK

Pengertian hukum menurut istilah ini ialah dasar-dasar orang dalam mengadili, menjatuhkan vonis, atau memberikan sanksi hukum kepada yang bersalah. Adapun Hukum Nan Ampek terdiri dari:

1.    Hukum ilemu

2.    Hukum bainah

3.    Hukum kurenah

4.    Hukum perdamaian

 

·      Hukum ilemu (hukum ilmu) ialah keputusan yang dijatuhkan oleh pihak yang mengadili berdasarkan ilmu yang diyakini pada dirinya.

·      Hukum bainah (hukum sumpah) ialah keputusan hukuman yang dijatuhkan oleh pihak yang mengadili setelah yang bersangkutan bersumpah.

·      Hukum kurenah (hukum tingkah laku) ialah keputusan hukum yang dijatuhkan oleh pihak yang bersangkutan karena tingkah lakunya seperti keterangan berbelit-belit, pucat karena takut, kasar, keterangan palsu atau dusta, dan lain-lain.

·      Hukum perdamaian ialah keputusan yang dijatuhkan oleh pihak yang mengadili adalah berdamai. Hal ini didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai, atau kedua belah pihak berada di bawah satu Penghulu.

 

C.    CUPAK NAN AMPEK

Cupak dalam adat Minangkabau diartikan sebagai alat ukur nilai-nilai keperluan materil ekonomis dan alat ukur nilai-nilai kebenaran dan moral kehidupan. Adapun Cupak Nan Ampek terdiri dari:

1.    Cupak Usali (asli)

2.    Cupak Buatan

3.    Cupak Tiruan

4.    Cupak Nan Piawai

 

Terhadap Cupak Usali dan Cupak Buatan disebut juga Cupak Nan Duo (cupak yang dua).

Bagi keperluan nilai-nilai materil ekonomis, Cupak adalah alat ukuran, takaran dan timbangan dalam pengertian umum, dan takaran 0,5 liter dalam arti sempit. Sebagai nilainilain ekonomi pepatah mengatakan:

Cupak papek gantang piawai

Kok maukua samo panjang

Kok manganti samo barek

Kok mambilai samo laweh

 

(Cupak pepat gantang piawai

Kalau mengukur samo panjang

Kalau menimbang sama berat

Kalau mengembang sama luas)

 

Pepatah ini menutut setiap orang harus bekerja dengan benar dan adil, baik dalam pengertian nilai-nilai materil ekonomis maupun dalam nilai-nilai moral kehidupan.

 

Bagi keperluan moral kehidupan, cupak mengandung nilai-nilai benar, baik, dan adil. Jika melihat kepada pembagian cupak di atas, pengertian masing-masingnya secara singkat adalah:

1.      Cupak usali

Cupak usali ialah nilai-nilai benar, baik, adil yang didasarkan kepada Adat yang sebenar adat, yaitu agama dan falsafah alam takambang jadikan guru, serta Adat yang diadatkan yang telah diterima  dari nenek moyang.

Cupak usali, diasak layua dicabiak mati.

Cupak asli, jika dipindahkan akan layu jika dicabut akan mati).

 

Menghendaki setiap yang telah benar dan baik itu jangan diubah dan diganti lagi karena perubahan dan penggantian itu tidak akan diakui lagi kebenarannya.

 

2.      Cupak buatan

Cupak buatan, ialah nilai-nilai benar dan baik berdasarkan hasil musyawarah dan kesepakatan para pemimpin yang berlaku menurut tingkat kesepakatan dan lingkungan yang ditentukan oleh pembuatnya.

 

3.      Cupak tiruan

Cupak tiruan, ialah nilai-nilai benar dan baik menurut seseorang tergantung kepada kesukaaan dan kebutuhan. Contoh dari cupak tiruan ialah pakaian nan elok (pakaian yang bagus), pakakeh nan rancak (perkakas yang bagus), bini nan baiak (istri yang baik) dan lain-lain.

 

4.      Cupak nan piawai

Cupak nan piawai, ialah nilai-nilai benar dan baik karena ia merupakan kegiatan perbuatan atau perilaku dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak menyimpang dari norma-norma       hukum. Sebagai contoh ialah: bertani, berdagang, makan, minum, sekolah, dan sebagainya.

 

 

D.    KATO NAN AMPEK

Pengertian kata dalam kato nan ampek merupakan arti tersirat. Sedangkan arti sebenarnya tidak lain dari pada norma-norma, peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, mamangan, petitih, pepatah, peribahasa dan lain-lain. Kesemuanya itu dijadikan pedoman, dihayati serta diamalkan dalam kehidupan masyarakat.

 

Berdasarkan urutan sejarah terdapat ataupun lahirnya kata-kata yang mengandung norma-norma tadi dan bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari maka dalam adat Minangkabau kata tersebut dalam adat adalah sebagai berikut:

 

1.      Kato pusako

Kato pusako (kata pusaka) itu diwarisi, dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan dalam bentuk pepatah petitih dan lain-lain merupakan peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Yang termasuk kata pusaka dapat dikemukakan sebagai berikut:

Nan babarih nan bapahek

Nan baukua nan bajangko

Mamahek menuju barih

Tantang bana lubang ka tabuak

Manabang manuju pangka

Malantiang manuju tangkai

Tantang buah ka lareh

Kok manggayuang sabana putuih

Malantiang sabana lareh

(Yang bergaris yang dipahat

Yang berukur yang berjangka

Memahat menuju garis

Tepat benar lobang yang akan ditembus

Menebang menuju pangkal

Melempar menuju tangkai

Tepat benar buah akan jatuh Jika menggayung sebenar putus Kalau melempar betul-betul jatuh).

 

Hakikat kato pusako terletak dalam bakato sapatah sadang. Dalam kata sepatah: Yang genting putus, yang biang tembus. Pada kata pusaka tidak ada kata kompromi dan toleransi, tidak ada sanggah banding, tidak ada ulur tarik, tidak ada tolak angsur. Rumah sudah tukang dibunuh, nasi masak periuk pecah. Dengan pengertian semua yang akan dikemukakan oleh kata pusaka hendaklah dipedomani dan diamalkan secara konsekuen.

             

2.      Kato mufakat

Kato    mufakat           (kata    mufakat)          merupakan       hasil permufakatan melalui musyawarah tentang memecahkan suatu masalah, atau hasil permufakatan itu bisa juga menghasilkan ketentuan-ketentuan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.

 

Kata mufakat juga memberikan kesempatan, bahwa sesuatunya dapat disesuaikan dengan situasi, asal kemufakatan. Di sini juga memperlihatkan bahwa adat Minangkabau itu bukan statis melainkan dinamis sesuai dengan zamannya.  Mencari kata mufakat dikatakan dalam adat sebagai berikut:

 

Dicari rundiang nan saiyo

Baiyo-iyo jo adiak

Batido-tido jo kakak

Babana-bana jo bundo

Dibulekkan ayia ka pambuluah

Dibulekkan kato jo mufakat

Buruak dibuang jo etongan

Elok ditariak jo mufakat

(Dicari runding yang seiya

Beriya-iya dengan adik

Bertidak-tidak dengan kakak

Bersungguh-sungguh dengan bunda

Dibulatkan kata ke mufakat

Buruk dibuang dengan perhitungan Elok ditarik dengan mufakat).

 

Bila sudah diperoleh kesepakatan barulah dilaksanakan secara konsekuen sebagaimana dikatakan:

Kok lah dapek kato sabuah

Kok bulek pantang basuduik

Kok pipih pantang basandiang

Tapauik makanan lantak

Takuruang makanan kunci

(Bila sudah dapat kata sebuah

Bulat tidak bersudut

Ceper tidak bersanding Yang terikat makanan lantang Yang terkurung makanan kunci).

 

Dalam mencari kata mufakat tidak dikenal sistem suara terbanyak. Oleh sebab ada perbedaan pendapat maka persoalannya ditangguhkan terlebih dahulu sehingga yang berbeda  pendapat itu dapat lagi berpikir dan biasanya diadakan perembukan.

 

3.      Kato dahulu batapati

Kato dahulu batapati (kata dahulu ditepati) mempunyai pengertian bahwa segala ketentuan yang telah disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma yang telah disepakati untuk kepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari hasil kesepakatan tadi. Kalau terjadi penyimpangan berarti tidak ditepati apa yang telah diputuskan atau diikrarkan tersebut. Ketentuan adatnya mengatakan:

Pitaruah indak dihunikan

Pasan indak dituruti

(Petaruh tidak ditunggui Pesan tidak dituruti).

 

Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan: Janji harus ditepati, ikrar harus dimuliakan.

 

4.      Kato kudian kato bacari

Kato kudian kato bacari (kata kemudian kata dicari) dapat ditafsirkan atas dua pengertian. Dalam pengertian positif dapat diartikan, bahwa adanya pemikiran baru yang lebih baik daripada yang disepakati sebelumnya dengan alasan: Pikiran indak samo sakali tumbuah, ingatan indak sakali tibo, dengan pengertian ada kesepakatan untuk memperbaiki mengubah segala yang telah diputuskan sebelumnya asal saja ada kesepakatan bersama.

 

Dalam pengertian negatif yaitu adanya keinginan untuk menolak terhadap apa yang diputuskan tana dasar yang kuat, sedangkan sebelumnya sudah diterima dan disepakati. Menurut adat orang yang bersikap seperti ini dikatakan:

Kok duduaknyo alah bakisa

Kok tagaknyo lah bapaliang Mancaliak jo suduik mato Bajalan di rusuak labuah.

(Jika duduknya sudah berkisar

Tegaknya sudah berpaling

Melihat dengan sudut mata Berjalan di pinggir jalan).

 

 

Baca Juga: ADAT DAN BUDAYA MINANGKABAU