Oleh :
Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. PENGHULU
Dalam masyarakat adat
Minangkabau penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang
bergelar datuk. Sebagai pimpinan penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban
memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya.
Penghulu bertanggung
jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat dan hal ini
dikatakan kewajiban penghulu:
Kusuik
manyalasai
Karuah
manjaniah
Tumbuahnyo
ditanam
Tingginyo
dianjuang
Gadangnyo
diamba
Kedudukan penghulu tidak
sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal. Penghulu tidak dipusakai oleh
anaknya seperti dalam masyarakat feodal, melainkan oleh kemenakannya yang
bertali darah.
Sebagai penghulu ia
disebut datuk, baik ia sebagai
penghulu paruik maupun sebagai penghulu suku. Menurut adat Bodi Caniago seluruh
penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan Penghulu Andiko.
Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu „andika‟ yang berarti memerintah.
Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di
dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Jabatan penghulu itu
diperoleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya
dianjung, besarnya dipelihara dengan pengertian sebelum dia diangkat dan
memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga di dalam kaumnya.
karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada atau dikatakan juga: Tinggi menyentak rueh.
Penghulu sebagai
pemimpin haruslah baalam leba, badado
lapang, dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas
dalam menyelesaikan suatu masalah haruslah punya prinsip:
Tak
ado kusuik nan indak salasai
Karuah
indak ka janiah
(Tidak ada kusut yang
tidak selesai Keruh yang tidak jernih).
Dalam mencari
penyelesaian harus bijaksana dan diumpamakan seperti menarik rambut dalam
tepung, tapuang indak taserak, rambuik
indak putuih.
Seorang penghulu
diibaratkan: Air yang jernih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang,
uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung,
buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung.
Penghulu dikatakan juga
tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari. Juga dikatakan: Elok nagari
dek pangulu, elok tapian dek rang mudo. Dalam memimpin sukunya,
Penghulu Suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang.
1.
Manti
Dari aturan di atas
terkandung fungsi, tugas dan tanggung jawab seorang manti, antara lain:
a. Memegang bidang tata
laksana dan organisasi kepenghuluan yang diembannya.
b. Sebagai „angin‟ menjadi
pembawa informasi dan penghubung antar kaum atau antar penghulu yang berada
dalam lingkup kepenghuluan yang diembannya.
c. Menerima laporan dan
pengaduan serta menindak lanjutinya.
d. Menangani dan berusaha
menyelesaikan silang salisiah atau
sengketa antar kaum.
e. Dalam bersikap dan
berbuat berpedoman kepada ajaranajaran agama dan adat, dan kepada apa-apa yang
telah diadatkan.
f. Secara umum manti adalah
berusaha mengurus kegiatan sehari-hari.
2.
Malin
Pepatah aturan adat di
atas juga memberikan gambaran apa-apa yang menjadi tugas dan kewajiban seorang
malin, yaitu:
a. Dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya, seorang malin harus selalu teguh menegakkan agama.
b. Harus berusaha
memelihara dan mengembangkan ajaranajaran agama kepada seluruh kaum dan anak
kemenakan yang ada di dalamnya.
c. Mengurus masalah ibadah,
masalah keguruan, dan masalah-masalah keagamaan dalam acara-acara adat.
d. Dengan syariat agama,
malin juga bertugas dan berusaha „mencuci segala yang kotor dan kumuh‟ dalam
kaum dan anak kemenakan.
3.
Dubalang
Dan dari kandungan
pepatah aturan adat di atas juga tersimpul tugas dan kewajiban seorang
dubalang, yaitu:
a.
Dia adalah dubalang
(hulubalang) dari penghulu yang menjadi atasannya.
b.
Dia juga adalah dubalang nagari bersama-sama
dengan dubalang-dubalang pada kepenghuluan lainnya baik yang sesuatu maupun
yang tidak sesuku.
c.
Dalam hal memerlukan anggota atau tenaga
tambahan, dia dapat memanfaatkan dubalang-dubalang atau pemuda-pemuda yang ada
pada setiap kaum, sebagai anggota atau pasukan.
d.
Dalam hal tindak lanjut kesepakatan atau
keputusan yang telah diambil oleh musyawarah penghulu atau nagari, jika
terdapat hambatan atau ada pihak-pihak yang tidak mengindahkannya, maka
dubalang bertindak sebagai eksekutor.
e.
Ke dalam, dubalang berfungsi sebagai penjaga
keamanan
f.
(polisi).
g.
Keluar, dubalang berfungsi sebagai penjaga
pertahanan (tentara).
Sebagai penjaga keamanan
dan pertahanan, dubalang tampak berwatak keras. Sikap dan perilaku tersebut
tidak boleh dilakukan oleh seorang penghulu. Sebagian dari pantangan penghulu
adalah merupakan sikap dan penampilan dubalang dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
B. FUNGSI PENGHULU
Kayu
gadang di tangah padang
Tampek
balinduang kapanasan
Tampek
bataduah kahujanan
Ureknyo
tampek baselo
Batangnyo
tampek basanda
Pai
tampek batanyo
Pulang
tampek babarito
Biang
nan akan manabuakkan
Gantiang
nan akan mamutiahkan
Tampek
mangadu sasak jo sampik
(Pohon besar di tengah
lapangan
Tempat berlindung dari
panas
Tempat berteduh dari
hujan
Urartnya tempat duduk
bersela
Batangnya tempat
bersandar
Pergi tempat bertanya
Pulang tempat berberita
Orang yang akan
menetapkan Orang yang akan memutuskan Tempat meminta tolong).
Fungsi
penghulu atau datuk dalam tatanan Adat Alam Minangkabau adalah:
- Penghulu itu menjadi mamak dari
jurainya, yaitu mamak dari seluruh anggota kaumnya yang seperut, artinya
yang bertali darah menurut adat (senasab), yang sepayung sepatagak yang
selingkar cupak adat. Dalam sehari-hari penghulu disebut juga Mamak Kepala
Kaum.
- Penghulu itu adalah penghulu
kaumnya yang satu suku dan satu kampung, walaupun tidak bertali darah
(tidak senasab) menurut adat, yaitu terhadap orang-orang yang mengaku
“bermamak” kepadanya, yaitu orang-orang kemenakan yang:
Tabang
basitumpu tapak
Inggok mancakam batang
(Terbang bertumpu telapak kaki
Hinggap mencengkeram batang).
- Penghulu menjalankan dan
mengenadalikan peraturan adat dan syarak dalam rumah tangganya, dalam
korong kampung dan dalam masyarakat nagarinya.
- Penghulu menjadi wakil
tertinggi dan terpercaya dari seluruh anggota kaumnya untuk mengambil
langkahlangkah atau tindakan-tindakan yang diperlukan menurut adat dan
syarak dalam menyelesaikan silang sengketa yang terjadi, baik di dalam
kaumnya sendiri maupun dalam korong kampung dalam nagari menurut proses
adat yang berlaku, yaitu berjenjang naik dan bertangga turun.
Bagi kaum atau keluarga
sukunya, kepercayaan yang tulus dan ikhlas itu benar-benar diberikannya kepada
penghulunya yang dimaksud: pasan indak
baturuikkan, pitaruah indak dihunikan (ditunggui). Kalau kusut dalam rumah
tangga, maka tungganai rumah lah yang harus lebih dahulu menyelesaikannya, dan
kalau tidak bisa diselesaikan barulah penghulu sebagai mamak kepala kaum yang
harus turun tangan. Jika kusut dalam kampung, maka Tua Kampung yang bertanggung
jawab menyelesaikannya.
Demikian juga jika
terjadi silang sengketa antar persukuan maka Datuk Keempat Suku (Lantak
Suku)lah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya, sebab ajaran adat itu
sendiri yang mengajarkan “Yang tahu dipaso-paso
[1] itu
adalah ayam, yang tahu dikili-kili[2]itu
adalah kuda”.
Selanjutnya pepatah adat
tersebut dikuatkan pula dengan pepatah lain: Kalau kusut bulu maka paruhlah yang menyelesaikannya, maksudnya
ialah jika terjadi silang sengketa di dalam kaumnya, janganlah penyelesaiannya
diharapkan datang dari orang lain, sebab yang tahu di tingkah laku
kemenakan-kemenakannya tentulah mamak atau penghulunya itu sendiri. Janganlah
aib atau keburukan dalam kaum kita diberitahukan pula kepada orang lain, dengan
kata adat:
Jan maangok ka lua badan
(Jangan bernapas keluar
badan)
5.
Penghulu adalah tempat berlindung dan tempat
mengadu sakit dan senang bagi anak kemenakannya. Penghulu selaku orang tua
menurut adat, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berberita bagi kaumnya dan rakyat di nagari.
C. SYARAT-SYARAT JADI PENGHULU
Syarat-syarat atau
martabat untuk jadi penghulu ada sebelas perkara:
1.
Orang yang telah balig berakal, tahu membedakan
antara buruk dengan baik, antar yang halal dengan yang haram, atau antara salah
dan benar.
2.
Laki-laki
3.
Pengangkatannya menurut adat yang biasa di dalam
nagari.
4.
Orang yang berasal dari penghulu juga, yang
berhak memakai dan mewarisi gelar penghulu yang akan dipakainya itu.
5.
Orang yang berilmu pengetahuan terutama dalam
bidang Adat dan Syarak, di samping pengetahuan-pengetahuan umum lainnya. Tanpa
ilmu pengetahuan adalah alam kebodohan, sehingga tidak mengenal segala bentuk
perkembangan kemasyarakatan.
6.
Berharta dan banyak pula akalnya.
7.
Murah lakunya, tidak bersifat kegadang-gadangan
(tinggi hati) kepada siapapun, melainkan bersifat pengasih penyayang dan
berhati rahim kepada siapa yang teraniaya.
8.
Murah lakunya dan fasih lidahnya.
9.
Orang yang selalu ingat dan jaga. Maksudnya
ialah orang yang selalu waspada dan siap siaga dalam segala hal. Pepatah adat
mengatakan: Sediakan payung sebelum hujan, jangan sampai jalan dianjak urang
lalu, cupak jangan sampai ditukar orang penggaleh (pedagang), sehingga kalah
limau (jeruk) oleh benalu.
10.
Orang yang lapang dan sabar hatinya, beralam
lebar berpadang lapang, pandai bergaul dalam masyarakat.
11.
Tahu akan segala pekerjaannya.
Apabila ada penghulu
yang tidak memakainya atau tidak memakai syarat-syarat tersebut, bolehlah
penghulu itu dituduh bukan penghulu yang sebenarnya menurut adat. Walaupun dia
diangkat dengan kata mufakat oleh kaumnya sekadar memakai gelar penghulu itu
saja, akan jadi sangkutan atau akan menjadi tanda ahli waris saja dalam kaum
itu supaya gelar itu jangan terbenam, maka sia-sialah kaum yang mengangkat itu.
Ibarat orang berteduh pada rumah yang
bocor, hujan kehujanan panas kepanasan.
D. SIFAT-SIFAT PENGHULU
Dalam ungkapan adat
disebutkan bahwa penghulu “tumbuah dek ditanam, tinggi dek dianjuang, gadang
dek diamba” (tumbuh karena ditanam, tinggi karena dianjung, besar karena
dilambuk). Penghulu lahir karena dilahirkan oleh kaumnya, tinggi karena
didukung oleh kaumnya dan besar karena dibesarkan oleh kaumnya. Oleh karena ia
ditumbuhkan, ditinggikan dan dibesarkan, penghulu harus memelihara
kebesarannya, yaitu dengan martabatnya yang baik.
Untuk mempertahankan dan
memelihara martabatnya, penghulu memiliki empat sifat utama. Sifat-sifat
tersebut mempedomani sifat-sifat Rasul Allah, Muhammad, yaitu siddiq (benar),
amanah (dapat dipercaya), fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan). Keempat
sifat itu merupakan sifat dasar penghulu yang tidak boleh dilupakannya.
1.
Siddiq (Benar)
Seorang penghulu harus
bersifat siddiq (benar). Ia selalu benar dalam berfikir, berucap dan bertindak.
Kebenaran yang ia miliki adalah kebenaran menurut syarak dan adat. Seperti
ungkapan di dalam adat berikut:
Bajalan
luruih, bakato bana,
Jalan
luruih alua tarantang,
Luruih manahan tiliak, Balabeh Manahan
cubo.
Kebenaran itu ia
pertahankan dalam berbagai kondisi. Pada saat bermasalah ia juga berdiri pada
yang benar, tidak terpengaruh oleh keadaan. Seperti yang dinyatakan dalam adat
“bapantang kuniang dek kunik, bapantang lamak dek santan”. Kebenarannya tidak
terpengaruh oleh apa dan siapa pun.
2. Amanah (Dipercaya)
Seorang penghulu
bersifat amanah (dipercaya). Ia dapat dipercaya lahir dan batin. Kata-katanya
sesuai dengan perbuatan. Kepercayaan anak dan kemenakan kepadanya tidak pernah
ia sia-siakan. Ia tidak pernah berkhianat jika berjanji, janjinya selalu
ditepati. Sifat penghulu ini menjadi teladan bagi anak dan kemenakan serta
masyarakatnya. Sifat yang dihindarinya adalah “mangguntiang dalam lipatan,
manuhuak kawan sairiang”.
3. Fathanah (cerdas)
Seorang penghulu
memiliki sifat fatanah (cerdas). Orang yang menjadi penghulu adalah orang yang
cerdas, bukan orang bodoh. Kecerdasan itu ditandai dengan memiliki pengetahuan
yang luas. Pengetahuan yang ia miliki, selain pengetahuan tentang adat
Minangkabau, juga pengetahuan umum, pengetahuan kemasyarakatan, dan pengetahuan
agama Islam. Pengetahuan yang dimiliki sebagai tanda kecerdasan itu digunakan
untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakatnya. Pengetahuan itu ia
manfaatkan secara optimal dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan modal kecerdasan
tersebut, ia memimpin anak dan kemenakannya. Kecerdasan itu ia gunakan untuk
memimpin, untuk membimbing anak dan kemenakan menuju kesejahteraan lahir dan
batin. Penghulu bukanlah “cadiak mambuang kawan, gapuak mambuang lamak”, tetapi
kecerdasannya digunakan untuk melindungi dan mengayomi anak dan kemenakan serta
masyarakat.
4. Tabligh (Menyampaikan)
Penghulu bersifat
tabligh (menyampaikan). Sifat tabligh berhubungan dengan kemampuan
mengkomunikasikan, kemampuan menggunakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu
kepada anak dan kemenakannya. Segala peraturan dan ketentuan ia sampaikan
secara arif dan bijaksana. Ia sampaikan dengan sabar dan bahasa yang baik. Ia
menyampaikan dengan cara yang mendidik. Inti yang disampaikannya adalah
menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat salah.
E. KEWAJIBAN PENGHULU
Yang wajib pada penghulu
adalah menyuruh orang berbuat baik, melarang orang berbuat jahat, memakaikan
yang disuruh dan menghentikan yang dilarang sepanjang adat, maupun yang
dilarang sepanjang undang-undang dalam nagari, yang berguna untuk keselamatan
dan kemakmuran nagarinya. Di samping itu menguatkan segala titah, perintah dan
larangan (pantangan) yang akan memberi kebaikan dan nagari itu harus
dijakankannya dengan bersungguh-sungguh.
Untuk menyampaikan
segala maksud dan adat yang baik itu, perlulah segala penghulu berusaha memberi
pengajaran dan petunjuk kepada kaum kerabatnya dengan kata yang benar dan lurus
tujuannya, karena pekerjaan penghulu itu sesuai pula dengan ajaran syarak
menyuruh orang berbuat baik, melarang orang berbuat kejahatan serta memakai
yang disuruh dan menghentikan yang dilarang.
Jika ada penghulu yang
tidak memakai sedikit juga kewajibannya sebagai penghulu, niscaya jatuhlah
haknya sebagai seorang penghulu, dan apabila melanggar salah satu larangan
adat, ia wajib dihukum menurut besar kecil kesalahan yang dibuatnya itu.
F. LARANGAN-LARANGAN PENGHULU
1. Janganlah penghulu itu
merusakkan keamanan dan ketertiban serta kebahagiaan anak kemenakan dan
penduduk di dalam nagari, karena hilir melonjak ke mudik mengganggu, kiri dan
kanan memecah perang, mengacau nagari yang tenang, mengusutkan benang yang
lurus, mengeruhkan air yang jernih, pahamnya laksana kambing kena ulat,
rundingnya seperti sarasah terjun, itulah penghulu yang celaka, kena
Laknatullah di muka bumi.
2. Janganlah Penghulu itu tidak
tahu mengenai diri, pencupak asam garam orang, pembongkar najis dalam lobang,
penggantang balacan (terasi) yang dijunjungnya sehingga telah berulat dan
berbau, udang yang tidak tahu dengan bungkuknya yang berkotoran di kepalanya,
sehingga telah seperti mengemping hampa jadi, jangankan beras yang didapat
hanya abu saja yang akan bersua, itulah penghulu yang jahanam, yang dikutuk
Kalamullah di muka bumi.
G. PANTANGAN PENGHULU
Yang menjadi pantangan bagi Penghulu itu ada empat macam,
yaitu:
1.
Mamakai Cabua Sio-Sio
Maksudnya seorang
penghulu/ninik mamak sebagai pemimpin dalam lingkungan kaum, suku, korong,
kampuang dan nagari, dalam berbicara sangat dilarang berkata cabul/ kotor/
jorok, karena bisa merusak kredibilitas dirinya sebagai pemimpin yang harus
dicontoh dan ditauladani oleh anak kemenakan dan orang yang dipimpinnya.
2.
Maninggakan Siddiq jo Tablig
Maksudnya seorang
penghulu/ninik mamak dalam memimpin anak kemenakan dalam lingkungan kaum, suku,
korong kampuang dan nagari sangat dilarang meninggalkan sifat Siddiq
(kebenaran) dalam sikap dan tingkah lakunya. Selain itu seorang penghulu /
ninikmamak sangat dilarang pula meninggalkan sifat Tabliq (menyampaikan) karena
dia harus mengajak orang atau anak kemenakan untuk berbuat benar menurut ketentuan
adat dan syarak. Seorang penghulu harus mampu, untuk menyampaikan kebenaran
meskipun pahit. Tidaklah pantas seorang pemimpin atau penghulu disebut pemimpin
apabila tidak mampu berbuat benar dan mengajak orang/anak kemenakan untuk
berbuat kebenaran.
3.
Mahariak Mahantam Tanah
Maksudnya seorang
panghulu/ninik mamak sangat dilarang bersikap keras dan kasar dalam memimpin
anak kemenakannya, tetapi harus lemah lembut dalam berbicara serta bersikap
bijaksana dalam mengambil keputusan.
4.
Bataratik Bakato Asiang
Maksudnya seorang
penghulu/ninik mamak sebagai pemimpin sangat dilarang bersikap tidak konsekwen,
seorang penghulu harus konsisten dan konsekwen dalam memegang kebenaran, tidak
mudah terpengaruh oleh siapapun juga, seorang penghulu sangat dilarang bersikap
seperti (ibarat) baliang-baliang diatas bukik, kemana arus angin kesana ia
berpihak, atau seperti bunglon, berobah-robah setiap saat melihat situasi dan
kondisi yang menguntungkan. Selanjutnya seorang penghulu/ninik mamak juga
sangat dilarang besikap egoistis, tidak akomodatif, tidak mau mendengar
pendapat orang lain, atau bersikap benar sendiri.
H. TIPE PENGHULU
Tipe atau jenis penghulu
ada empat macam pula, yaitu:
1. Penghulu yang sebenarnya
penghulu:ialah barangsiapa yang melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang telah digariskan oleh Adat dan Syarak yang berlaku di Alam Minangkabau,
yaitu penghulu yang selalu bekerja untuk membawa seluruh anggota kaumnya dan
rakyat banyak agar selalu berbuat baik dan mencegahnya berbuat jahat atau hina
(amar makruf nahi munkar) untuk keselamatan anak kemenakannya di dunia dan di
akhirat.
2. Penghulu yang pengalah:ialah seorang penghulu
yang tidak kuat memegang amanah, sangat lemah dalam pendirian, tidak teguh
dalam memegang kata pusaka. Meskipun dia mempunyai pendapat yang benar, tetapi
apabila didebat oleh orang lain maka dia akan menurut saja pendapat orang yang
salah itu, sangatlah pengalah atau suka mengalah dan tidak mau mempertahankan
pendapatnya yang benar. Baginya biarlah mengalah asal kawan tidak tersinggung.
3. Penghulu yang pengulun:ialah Penghulu yang
tidak mempunyai pendirian, karena kepalanya tidak berisi ilmu sedikit pun,
berotak pada otak orang. Jika terjadi silang sengketa dalam korong kampung
ataupun nagari, jika mengaji sepanjang adat, dicari beliau bersua dipanggil dia
datang tetapi bila dihimbau tidak
berbunyi. Awak penghulu kata awak, sejak pagi sampai petang duduk bersama
penghulu yang banyak, tertawa orang tersenggeng-senggeng awak menompang
mengangguk saja, karena digila oleh yang lain saja. Itulah penghulu yang
pengulun.
4. Penghulu yang pengalih:ialah penghulu yang
pembantah, walaupun benar kata orang namun sedikit dibantah juga, sehingga apa
saja kerja tidak menjadi, karena tidak berasal dari dia, kalau dapat urat dan
urutnya mau dia bersusah payah mengeluarkan keringat biar merugi harta benda,
tetapi jika tidak dapat ulah dan kurenahnya, mau berbantah berkelahi, suka
menyingsingkan lengan baju, emosi tiba pahamnya hilang.Itulah penghulu yang
pembantah, bernama: cerdik urang-urang.
I. ULAYAT PENGHULU
Ulayat
penghulu enam perkara:
Pertama,
rimba yang berlinjung atau berkaratan.
Kedua,
gunung atau bukit yang bergiling air atau beranak sungai yang ke
lurahnya, atau berbiding tanah.
Ketiga,
padang atau gurun yang tiada berkendano, tetapi bintalaknya ke
bukit yang bergiling air atau berbiding tanah dan ke lurah beranak sungai.
Keempat,
sungai-sungai hingga menurut batas nagari itu.
Kelima,
paya atau rawang yang lebar dan tiada berkandano tetapi ada batas
bintalaknya.
Keenam,
lebih yang golong tepian yang ramai, balai masjid, gelanggang,
korong dan kampung serta pandam pekuburan.
Ke bukit yang bergiling
air atau berbiding tanah, ke lurah yang beranak sungai, atau ke rimba yang
berlanjung, itulah yang akan menentukan satu batas (bintalak) ulayat suatu kaum
dengan kaum lainnya.
J. HAK PENGHULU
Yang menjadi hak penghulu itu ada delapan perkara, yaitu:
1. Adat tanam batu
Adat tanam batu itu
termasuk kepada bilangan emas manah dalam hak raja. Apabila ada orang berjual
beli hutan tanah, sawah ladang, maka sewaktu menunjukkan bintalak (batas) tanah
yang akan dijual itu, wajib ditanam batu pada tanah daratan, dan ditanam lantak
(pancang) pada tanah paya atau tanah rawang untuk menunjukkan sempadan tanah
yang akan dijual itu. Pada saat itu kedua belah pihak yang berjual beli itu
wajiblah diisi adat dituang lembaga kepada penghulu yang duduk menghadiri
pekerjaan itu.
Adat itu gunanya
menunjukkan kepada penghulu dan orang banyak, bahwa harta itu telah beralih
kepada yang membelinya, dan adat itu dibagi oleh penghulu itu kepada mereka
yang hadir waktu berjual beli itu. Aturan mengambil adat jual beli itu dari
setahil penjualan, lima kupang adatnya sebelah menyebelah. Selain adat yang
lima kupang dari sebelah menyebelah itu, maka waris yang patut menerima harta
itu dari si penjualnya, boleh pula meminta haknya dari penjualan harta itu
kepada si penjual.
Kalau berjualan itu di
luar adat jual gadai sepanjang adat, yaitu hak si waris dalam setahil penjualan
sepaha banyaknya tidak dibagikan kepadanya, makanya waris itu berhak
membatalkan jual beli itu. Apalagi bila tidak ada kesepakatan di antara ahli
waris, maka jual beli itu tidak boleh dilakukan.
Selain hak waris dalam
setahil sepaha itu, ada lagi haknya dengan uang banyaknya dalam satu jualan,
yaitu adat tanam batu atau tukul lantak namanya. Adat yang delapan itu dapat
oleh waris si penjual bilamana bekerja menanam batu atau menukul lantak pada setiap sepadan jihad tanah-tanah yang
dijual itu. Sebab menurut adat, setiap harta hutan tanah yang dijual itu wajib
ditanami batu pada tanah daratan, lantak pada tanah rawang atau tanah paya pada
setiap batas tanah yang dijual itu.
Bertanam batu atau
lantak itu diwajibkan di depan segala penghulu dan orang-orang yang patut
hadir, serta di muka orang-orang yang punya tanah yang menjadi sepadan tanah
itu, ditanam oleh yang menjual tanah itu.
Apabila batu atau lantak
itu sudah tertanam, dan lantak sudah ditukulkan tiga kali dalam satu lantak
untuk memadatkan batu atau lantak itu, bolehlah orang lainnya mengerjakan
pekerjaan menanam batu atau memukul lantak itu. Itulah tandanya waris melakukan
jual beli itu. Namun apabila yang melakukan pekerjaan itu bukan warisnya, maka tiada sah pekerjaan
jual beli itu.
Adapun yang dikatakan
waris dari orang yang menjual harta hutan tanah, sawah ladang itu adalah segala
orang yang akan menjawat atau mempusakai harta itu. Kalau orang yang sekaum
yang menjual itu punah samam sekali, dan tidak ada orang yang sama sekaumnya
dikatakan warisnya, maka orang yang menjual harta itu adalah orang yang seharta
sebenda, laweh alun bakapiang, panjang
alun bakarek.
2. Adat pegang gadai
Aturan adat pegang gadai
hampir sama jalannya dengan aturan jual beli, bedanya yaitu pada penjualan
disebut berpelalu dan pada pegang gadai disebut berakui, yang memperlalu jual
itu adalah waris yang tersebut di atas, dan yang mengakui gadai itu pun
orang-orang yang menjadi waris itu.
Menurut adat, tiap-tiap
penjualan yang tidak dilalukan oleh waris, batal hukumnya. Demikian juga setiap
gadai yang tidak diakui oleh waris yang menggadai, batal juga hukumnya.
adat pemacitan dalam
pegang gadai itu menurut adat asli, dalam setahil gadaian lima kupang adatnya
yang diterima dari kedua belah pihak. Adat itu boleh diterima oleh penghulu
yang duduk menghadapi gadai itu, dan patut juga diberi sedikit seorang kepada orang-orang yang duduk
di sana, keuali kepada yang menggadai dan yang memegang waris itu. Begitu pula
di dalam gadai menggadai, waris yang menggadai itu tidak boleh meminta haknya
dalam setahil sepaha itu.
Dalam gadai menggadai
ini kesepakatan waris menjadi syarat pula untuk sah tidaknya. Apabila tidak
semufakat waris, maka gadai menggadai itu tidak boleh dilakukan, kecuali
tersebab oleh utang adat yang empat perkara yang akan dijelaskan pada bab
selanjutnya. Walaupun warisnya enggan untuk melalukan atau mengakui gadai itu,
maka penghulu atau korong kampung berhak melalukan atau mengakui gadai itu di
belakang waris yang enggan itu, dan tidak ada salahnya lagi sepanjang adat
kalau jual atau gadai itu dilalukan saja. Tetapi sebelum harta itu terjual atau
tergadai kepada orang lain, maka waris yang enggan atau menghambat itu boleh juga
menjongkang namanya, yaitu menggadaikan uang sebanyak harta yang akan dijual
itu sekadar yang perlu untuk membayar utang adat. Dan harta yang akan dijual
itu harus dibeli oleh waris tersebut.
Tetapi kalau harta itu
perlu dijual lebih dari kimatan utang tersebut, waris itu wajib mengadakan uang
sebanyak harga harta itu, bila ada kelebihannya wajiblah dilekatkan atau
dipegangkan, atau dibelikan kepada harta yang lain, dan harta itu masuk
hitungan harta pusaka juga, atau diambil uangnya masuk kepada uang pusaka yang
tidak boleh diambil oleh satu orang saja, melainkan wajib menjadi kepunyaan
dalam kaum itu bersama-sama menurut alurnya.
3. Adat Bunga Kayu
Apabila ada orang
mengambil apa-apa dari dalam ulayat penghulu, maka orang-orang yang mengambil
atau mengeluarkan hasil itu wajib membagi hasil itu dengan raja atau penghulu
yang empunya ulayat, sekurang-kurangnya sepersepuluh bagian dari hasil yang
dikeluarkan itu.
4. Adat bunga tanah
Apabila ada orang yang
mengambil hasil seperti berladang atau menambang menaruko pada tanah ulayat
raja atau ulayat penghulu, maka berapa hasil yang didapatnya wajib membagi
hasil dengan raja atau penghulu yang punya ulayat sekurang-kurangnya
sepersepuluh bagian dari hasil yang diperolehnya.
5. Adat Tekuk Kayu
Adapun adat tekuk kayu
itu, jikalau orang hendak berhuma bertahun, baik menggalung manaruko pada suatu
tanah lapang atau rimba-rimba ulayat raja atau ulayat penghulu, setelah
diizinkan oleh yang empunya ulayat, maka yang empunya ulayat wajib menekukkan
kayu di setiap sudut, sehingga jelas batas tanah yang akan dikerjakan itu. Oleh
yang berkehendak akan memakuk kayu wajib mengisi adat dituang lembaga kepada
penghulu. Adat tekuk kayu itu besarnya dalam sebidang tanah yang akan
dikerjakan oleh satu orang peladang setinggi-tingginya sepaha adatnya. Rupanya
tekuk kayu itu biasa diperbuat orang dahulu dalam bentuk tanda tambah (+) atau tanda kali (x).
Setiap kayu yang sudah
ditekukkan oleh penghulu itu tidak boleh dirusakkan oleh siapapun juga. Jika
ada orang yang melakukan pengrusakan, orang itu dapat dihukum sepanjang adat
dan didenda sampai dua puluh riyal banyaknya untuk setiap kayu yang ditekuk
itu.
6. Adat Tutup Bubung
Adat tutup bubung itu
adalah adat yang harus diisi oleh setiap orang yang akan mendirikan rumah
gadang bergonjong di dalam Luhak nan tigo. Adat tutup bubung ini tidak berlaku
apabila rumah yang akan didirikan itu diperuntukkan untuk rumah penghulu.
7. Adat Tahil Emas
Adapun yang dikatakan
adat tahil emas itu adalah adat yang diambil dari orang yang berperkara,
menurut besar kecilnya harta yang diperkarakan. Jika penghulu menerima suatu
pengaduan dalam hal silang sengketa, maka penghulu itu wajib meminta tanda
kepada yang mengadu tanda ia suka dihukum, tanda bersedia menerima keadilan
yang akan ditegakkan oleh penghulu itu.
Setelah menerima tanda
itu, baru perkara dijalankan oleh penghulu, bagi yang kalah wajib menebus tanda
itu kepada penghulu. Bagi yang kalah wajib menebus tanda itu kepada penghulu
yang menjadi hakimnya itu. Bila tidak ditebusnya, maka penghulu berhak menjual
atau menggadaikan tanda itu dan berapa hak tahil emasnya diambil oleh penghulu
dari hasil penjualan atau gadai tadi.
Bila ada kelebihannya,
maka penghulu itu wajib mengembalikan kepada yang empunya tanda tadi. Begitu
adat dahulu kata orang tua-tua, dan sebesar-besar perkara, tahil emasnya tidak
lebih dari duapuluh riyal, ke bawahnya delapan uang.
8. Adat Timbang Terima
Adat timbang terima itu
adalah adat yang dilazimkan orang dalam sebuah nagari saja, yaitu adat yang
diadatkan namanya. Adat itu tidak sama antara satu nagari dengan nagari lain,
seperti kata pepatah: Asing padang asing belalang Lain lubuk lain ikannya.
Dalam suatu nagari,
kalau seorang penghulu atau orang patut-patut meninggal, diisi orang adat
kepada penghulu dan orang-orang patut, atau orang kebanyakan yang datang
menjenguk. Di lain nagari adat ini diisi kepada orang yang mengantar mempelai,
dan lain-lain kegiatan. Adapun adat timbang terima itu masuk kepada cupak
buatan tiap-tiap nagari, dinamakan juga adat yang boleh layu, asal saja mufakat
segala penghulu di nagari itu untuk mengubahnya,. Tetapi bagi setengah orang,
adat itu dikatakan masuk kepada cupak asli yang tidak boleh diubah. Kalau
diubah tak dapat tidak akan mendatangkan kerugian dalam nagari itu, serta
menjadikan kurang aman sentosanya nagari itu.