Wahyudi Thamrin

Studi Rudolf Mrazek: Pengaruh Adat Minang Pada Tan Malaka




Rudolf Mrazek, “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience”

Rudolf Mrazek dalam artikelnya (1972) tentang tokoh ini mencoba mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan struktur pengalaman kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa yang berlaku. Seorang personalitas politik mengkonsepsuilkan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi yang sama dan sesuai dengan visi (atau nilai-nilai) struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.

Struktur pengalaman Tan Malaka, menurut Mrazek, adalah tipikal masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau permulaan abad ini (abad 20) yang mempuyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif, yang sampai sekarang tampak masih kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensiil buat mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat.

Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika” yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi. Kemampuan adat bertahan melawan perubahan zaman terletak keluwesannya mengembangkan diri dalam menerima proses pembaruan. Dari segi bentuk adat dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik diterima dan dimasukkan ke dalamnya. Dalam hal ini kaitan yang erat antara adat dan agama (Islam), umpamanya, dapat dilihat melalui perspektif itu. perspektif itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons terhadap kekuasaan kolonial dan kebudayaan Barat. Demikianlah analisa Mrazek tentang masyarakat Minangkabau yang umumnya didasarkannya atas karya ilmiah Taufik Abdullah.

Yang menarik perhatian ialah karena masyarakat Minangkabau berhasil mengidealisasikan adat dan falsafah hidup mereka melalui perspektif dinamisme dan anti parokhialisme itu, sehingga bukan saja tampak relevan dengan tetapi juga mendorong proses kemajuan atau modernisasi. Tidaklah mengerankan kalau kaum cendikiawan Minangkabau berpendidikan Barat pada pertukaran abad ini terundang untuk menerima dan memegang visi itu, terutama karena melihat bahwa alam Minangkbau membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi pada waktu yang sama mampu pula mempertahankan karakter dan bentuknya yang asli.

Oleh karena itu, pemasukan unsur-unsur baru dari luar (yang dianggap baik tentunya) ke dalam alam atau masyarakat mereka, tidaklah berarti merusak atau memperlemahkannya, melainkan justru memperkuat dan memperkayanya. Pada waktu yang sama proses dinamis itu dengan sendirinya pula menyingkirkan elemen-elemen yang terbukti lapuk atau usang dari alam itu sendiri. Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk mengambil yang baik dari luar dan menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika itulah kekuatannya terletak sehingga menjadikan dirinya tetap relevan dari zaman ke zaman.

Menurut Mrazek, Tan Malaka termasuk salah seorang cendikiawan Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang begitu. Itulah landasan atau dasar struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikirannya amat diwarnai oleh itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama dimungkinkan oleh konsep “rantau”. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar alam Minangkabau si perantau akan mampu melihat diri dan peranannya secara lebih jelas dalam konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, si perantau betapa jauhpun dia pergi pada suatu waktu akan kembali ke alamnya dengan segala bawaanya- harta ataupun ilmu.

Dia, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru penerang atau guru atau ulama sehingga masyrakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan melihat, lalu membuang, apa yang buruk dalam alam mereka sendiri. Di sini jelas terlihat bahwa pengertian rantau bukan semata mencari uang dan harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Ditarik lebih jauh, di samping merantau secara fisik, secara mental (pemikiran) seseorang (dalam hal ini cendikiawan) juga bisa merantau. Berdasarkan batasan ini, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik secara fisik maupun secara mental.

Kedudukan perantau yang begitu mulia dalam masyarakatnya, dan juga karela landasan struktur pengalamannya sendiri memperkuat atau membenarkan itu, maka Tan Malaka melihat dirinya sebagai guru atau pembaharu masyarakatnya. Tingkah laku politik serta pemikiran-pemikirannya juga tampak diwarnai oleh pemahaman peranan itu di dalam dirinya.

Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan tempat lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukittinggi. Walaupun masih berada di alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandam Gadang. Sewaktu dia tamat belajar di Bukittinggi ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya, sebagai kepala adat mereka. Baginya yang masih berusia remaja itu pemberian gelar begitu tinggi tentu berkaitan erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau, dan itu sekaligus membenarkan serta memperkuat visi struktur pengalamannya di atas. Ia menjadi orang terpandang bukanlah karena kebetulan, melainkan karena dinamika adat dan falsafah Minangkabau sendiri. Si perantau yang sukses pulang ke kampung halaman buat menerima eluan kaumnya.

Tidak lama sesudah itu, dia pergi lagi melanjutkan studinya. Kali ini ke Negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi seorang anak muda yang baru berumur 16 tahun. Walaupun landasan struktur pengalamannya relatif sama, namun ruang-lingkup alamnya lambat laun berubah dari Nagari Pandam Gadang yang kecil meluas menjadi alam Minangkabau dan kemudian Indonesia. Dengan lain perkataan, visi adat dan falsafah Minangkabau yang dimilikinya dikembangkannya untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia. Titik tolak dari pemikiran-pemikirannya adalah visi atau perspektif yang berasal dari kebudayaan Minangkabau seperti dijelaskan tadi. Hal ini jelas membekas dalam karya-karya tulisnya, terutama dalam karya terbaiknya Madilog.

Visi adat dan falsafah Minangkabau di atas menuntut kepada warganya, terutama si perantau, untuk mengkontraskan atau memperbandingkan dunia rantaunya dengan realitas alam asalnya, karena hanya dengan jalan begitulah dia akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu mengundang orang untuk berfikir kritis, dan itu bisa terjadi dengan tajam kalau ada refrensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam tempat asal adalah refrensi itu. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya menekankan cara berfikir dialektis, dan oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena difahami bahwa suasana kontradiksi atau konflik itu akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan mana yang buruk. Keberhasilan dari pemilihan itu tergantung pada akal, yaitu kemampuan berfikir secara rasionil.

Kalau begitu, visi itu mendorong orang untuk berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir yang dikembangkan Tan Malaka, yang dalam kamusnya dikenal dengan “thesis-antithesis-synthesis” tampak sesuai sekali dengan visi di atas. Rantau bagi Tan Malaka adalah antithesis yang berkonflik dengan thesis (alam sebagai refrensi asal), dan dari situ lahirlah synthesis-hasil pemikiran atau idealisme baru- yang mendorong manusia untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan nasibnya. Dia mengembangkan cara berfikir begini secara luas dalam bukunya Madilog, kependekan dari Materialisme, Dialektika dan Logika yang ditulisnya dalam tahun 1942-1943. Pada esensinya, Madilog dimaksudkannya sebagai suatu “cara berfikir” baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhyul yang menyebabkan orang menyerah kepada alam.

Walaupun Tan Malaka mengakui bahwa cara berfikir baru yang diperkenalkannya ini banyak berasal dari dunia Barat yang rasionil, logis dan Marxis-Leninist, Mrazek justru menunjukkan bahwa pada dasarnya itu berasal dari visi yang lahir dari struktur pengalamannya yang sudah lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau. Memang Tan Malaka doyan sekali memakai terminologi Marxist-Leninist dalam karya-karyanya. Tetapi, hal  yang selalu ditekankannya berulang kali adalah “kekuatan ide (the power of ideas) seagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dalam pertentangan kelas.” Di samping itu, konsep-konsep yang dilontarkannya mempunyai pengertian sendiri yang berbeda dengan apa yang lazim dimengerti orang Barat.

Konsepnya tentang materialisme, umpamanya, tidak identik dengan pengertian yang biasanya berlaku di Barat. Bagi Tan Malaka, materialisme adalah “cara berfikir” yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Orang yang berfikir dengan cara materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Orang yang begitu melandaskan kegiatan atau hasil karyanya berdasarkan serangkaian bukti yang nyata, yang sudah dialami dan dapat dicek. Barangkali, secara kasar pengertian materialisme Tan Malaka adalah cara berfikir yang terpusat paa masalah bagaimana memperbaiki atau merubah kehidupan duniawi secara realistis dan pragmatis.

Erat berkaitan dengan itu ialah konsep dialektikanya, yang dimaksudkannya untuk memerangi cara berfikir yang pasif atau dogmatis. Cara berfikir atau dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak percaya kepada kemampuan intelektuil dan kekuatan mereka sendiri untuk merubah dunia materi. Dia mengecam habis cara berfikir dogmatis sebagai menjerumuskan masyarakat ke dalam penipuan diri sendiri, kepasifan, mentalitas  budak, dan itulah yang mengakibatkan takluknya dunia Timur kepada Barat.

Sebaliknya dia menyanjung cara berfikir dialektis- yang antara lain dimaksudkannya sebagai cara berfikir dinamis – karena ini memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualitasnya secara terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan terus menerus, atau berfikir dinamis. Tetapi berfikir secara dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika. Di sini kita kembali melihat pertemuan antara visi adat dan falsafah Minangkabau dengan cara berfikir yang ingin dikembangkan Tan Malaka.

Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa hasil-hasil pemikiran Tan Malaka hanya membesit dari visi atau idealisasinya tentang adat dan falsafah Minangkabau mungkin terasa amat berlebihan atau keterlaluan. Ia sendiri mengakui bahwa dia juga melihat pada modernisme Islam (yang juga mulai berkembang di Minangkabau dan tempat-tempat lain sewaktu mudanya) sebagai pendorong cara berfikir dinamis itu dan anti dogmatis. Dari dunia Barat yang banyak diketahuinya dalam perantauan dia juga melihat begitu, bukan saja dari aliran Marx dan Lenin, tetapi juga dari dinamika yang diperlihatkan oleh masyrakat Amerika dan Jerman.

Sungguhpun begitu, visi adat dan falsafah Minangkabau seperti di atas, mungkin membekali dia dengan suatu perspektif dasar yang tajam sehingga memungkinkannya untuk selalu tetap kritis terhadap sesuatu yang baru ditemuinya di dunia luar. Pertemuannya dengan cara berfikir dialektis di Barat mungkin telah memperkuat atau bahkan memperluas perspektif tadi. Yang amat penting mungkin ialah bahwa struktur pengalaman Minangkabau yang dibawanya itu tidak menjadikannya merasa rendah diri terhadap pemikir-pemikir besar di Barat.

Dia tentu belajar dari karya-karya mereka, tetapi sebagai seorang intelektuil yang kritis, bukan sebagai murid yang “nrimo” saja. Oleh karena itu dia tidak pernah menjadi pengikut pemikiran seseorang, apakah itu Marx atau yang lain, secara dogmatis. Bahkan kalau kita ikuti cara berfikir dialektis, yang biasanya dikaitkan dengan Marx, Marx sendiri tentunya juga menentang dogmatisme, tidak perduli  apakah yang dijadikan dogma itu adalah hasil pemikirannya sendiri. Marx yang sejati, menurut salah seorang yang mempelajarinya secara tekun dan kritis, Michael Harrington, menginginkan kebebasan berfikir dan oleh karena itu mengutuk dogmatisme.

Segi lain dari adat  dan falsafah Minangkabau yang tampak berpengaruh pula pada Tan Malaka ialah tuntutan untuk selalu melihat pada realitas yang ada di alam tempat asalnya sebagai refrensi pembanding. Sebagaimana telah dikemukakan, pengertian alam di sini tentu bisa berubah dan meluas sifatnya. Dalam pemikiran-pemikirannya, Tan Malaka boleh dikatakan tidak pernah lupa kepada refrensi pembanding itu. pengetahuannya yang cukup dalam tentang masyrakatnya, sebagai refrensi, menjadikan dia semakin bertambah kritis terhadap dunia luar. Itu memberi kekuatan kepadanya untuk tidak mudah terpukau dengan ide atau pemikiran orang lain. Ia tetap mempunyai untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, Tan Malaka dapat dikatakan bertuan kepada dirinya sendiri, baik dalam tindakan politik maupun dalam berfikir. Hubungannya dengan kaum komunis dapat dipakai sebagai salah satu ilustrasi tentang itu.

Penulis : Rully Harmadi dan dibagikan di Group WA Tan Malaka Institute