Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. SAKO
Sako
(saka) artinya bentuk harta warisan yang bersifat immaterial, seperti gelar pusaka. Namun
di samping itu ada juga yang mengartikan dengan asal atau tua, seperti pada
kalimat: Ado karambie sako pulo (ada
kelapa tapi sudah tua pula). Atau pada kalimat: sang saka merah putih (saka di
sini bermakna „asal‟ atau pertama).
Sako dalam pengertian
Adat Minangkabau mengandung pengertian berupa segala harta kekayaan asal yang
tidak berwujud, atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Harta
kekayaan yang immaterial ini disebut
juga dengan Pusaka Kebesaran, seperti:
1. Gelar Penghulu
2. Garis keturunan ibu
(disebut juga „sako indu‟, yang disebut juga Matrilinial).
3. Gelar bapak (pada daerah
rantau Pariaman gelar bapak diturunkan ke anak, seperti Sidi, Bagindo, Marah,
Sutan).
4. Hukum adat Minangkabau
itu sendiri beserta pepatahpetitihnya.
5. Adat sopan santun atau
tatakrama.
Sako sebagai kekayaan
tanpa wujud diwariskan secara turun temurun menurut jalur sebagai berikut:
1. Gelar Penghulu
diwariskan secara turun temurun kepada kemenakan yang laki-laki.
2. Garis keturunan
diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan.
3. Gelar bapak khusus pada
daerah rantau Pariaman diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki.
4. Hukum adat beserta
pepatah-petitih serta adat sopan santun dan tatakrama diwariskan kepada semua
anak kemenakan dalam nagari, selingkup Adat Alam Minangkabau.
Sako sebagai kekayaan
tanpa wujud memegang peranan yang sangat menentukan dalam hidup dan kehidupan
masyarakat Minangkabau, dalam pembentukan moralitas dan kelestarian Adat
Minang. Sebagaimana halnya pembentukan atau pendirian gelar penghulu yang
menghabiskan dana dan upaya yang banyak dan mahal dari kaum yang hendak
mendirikan atau membangkit batang terendam sakonya yang belum ada, menyangkut
keberadaan (eksistensi) suatu kaum dalam pergaulan kemasyarakatan dalam nagari.
B. PUSAKO
Pusako (pusaka) atau
harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud (materiil), yang diwariskan
nantinya kepada anak kemenakan. Yang termasuk pusaka di sini adalah:
sawah-ladang, kolam ikan, rumah gadang, pandam pekuburan, tanah ulayat, balai,
mesjid atau langgar (surau), peralatan atau perlengkapan penghulu itu sendiri.
Pusaka ini merupakan
untuk kehidupan dan perlengkapan anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk
kehidupan masyrakat yang berlatar belakang kehidupan agraris di dusun dan
nagari. Perubahan kehidupan ekonomi menuju industrialisasi dan jasa, serta
perkembangan kehidupan metropolitan, maka peranan Minangkabau menjadi makin
lama makin berkurang. Namun begitu, peranan harta pusaka sebagai simbol
kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem kekerabatan matrilinial di
Minangkabau tetap bertahan. Harta pusaka
sebagai alat pemersatu keluarga masih tetap berfungsi dengan baik. Namun
sebaliknya, harta pusaka sebagai milik bersama (kolektif) tidak jarang pula
menjadi „biang keladi‟ dalam menimbulkan perselisihan dan sengketa dalam
keluarga Minangkabau. Kepemilikan kolektif dapat dalam bentuk samande atau seibu (dalam bentuk ganggam bauntuak), sejurai, seperut (saparuik), sesuku, senagari. Harta
pusaka terbagi dua, yaitu:
1. Harta Pusaka Tinggi
Yang
dimaksud dengan harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi
secara turun temurun dari orangorang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi
siapa yang pertama memeroleh atau mendapatkan harta tersebut, seperti
disebutkan dalam pepatah adat:
Biriek-biriek
tabang ka sasak
Tibo
di sasak mancari makan;
Dari
ninik turun ka mamak
Dari
mamak turun ka kamanakan
(Birik-birik terbang ke
sasak
Tiba di sasak mencari
makan;
Dari ninik turun ka
mamak
Dari mamak turun ke
kemenakan).
Proses pemindahan
kekuasaan atau harta pusaka ini (dari mamak turun ke kemenakan) dalam istilah
adat disebut juga dengan: Pusako bajawek.
Bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan:
Tajua
indak dimakan bali
Tasando
indak dimakan gadai
(Terjual tidak bisa
dibeli Agunan tidak bisa digadaikan).
Oleh karena harta pusaka
tinggi sesungguhnya bukan hanya diwariskan dari mamak ke kemenakan, tetapi jauh
lebih tinggi yaitu dari ninik diwariskan ke uwo
(nenek perempuan), dari uwo ke mande (ibu), dan dari ibu ke saudara
perempuan.
Dalam mendapatkan harta
di Minangkabau, jika dikaji asal usulnya, bersumber dari empat macam, yaitu:
a. Cancang letih galung
taruko sendiri
b. Diterima sebagai
warisan, dari ninik ke mamak, dari mamak ke kemenakan
c. Didapat karena dibeli
d. Dari pemberian orang
lain (hibah).
Dikatakan cancang letih
galung taruko sendiri seperti sawah dibuat sendiri, ladang ditebas dan
dicangkul/dicancang sendiri, diberi batas pagar untuk menentukan
batas-batasnya, yang dibuat di atas tanah yang bukan milik kaum atau suku,
seperti membuat sawah ladang dalam hutan rimba yang belum ada pemiliknya. Harta
ini menjadi milik kaum nantinya, sebab yang membuat (si pembuat) telah
dibesarkan dari harta-harta atau hasil panen tanah kaumnya, telah makan nasi
dari sawah milik kaumnya, dan karena itu harta ini menjadi milik kaum nantinya
dan diwarisi oleh kemenakannya.
Adapun harta yang
diterima sebagai warisan, dari ninik ke mamak dan dari mamak ke kemenakan
adalah berupa harta yang dicancang letih galung taruko oleh ninik moyangnya
terdahulu, didapat sebagai warisan dari orang tua terdahulu dan sampai kepada
kita.
Inilah dua hal tersebut
di atas yang dinamakan Harta Pusaka Tinggi, menjadi kepunyaan kaum secara
bersamasama (kolektif), semua anggota kaum sama berhak atas harta tersebut, dan
diwarisi oleh Mamak Kepala Waris, dan dipelihara oleh Penghulu untuk
kelangsungan hidup para kemenakannya anggota kaum.
Adapun harta yang
didapat dengan dibeli adalah harta yang diperoleh seseorang dengan jalan
membelinya dari pihak lain. Harta ini pada dasarnya mesti diwariskan kepada
kemenakan, bukan kepada anak, walaupun harta itu dibeli dengan hasil
pencaharian seseorang. Seseorang itu (sebagaimana halnya harta cancang letih)
dilahirkan dalam kaumnya dan dibesarkan oleh harta pusaka kaumnya, sampai ia
berpendidikan dan berkemampuan untuk mencari penghasilan sendiri, memiliki
harta kekayaan sendiri.
Namun pada dasarnya ia dimodali dari harta
kaumnya, baik berasal dari ganggam
bauntuak ataupun dari hasil tanah ulayat, yang diberikan oleh orang tuanya.
Sudah sewajarnya bila ia meninggal dunia dan meninggalkan, maka harta tersebut
diberikan juga kepada kaumnya, yaitu keluarga ibunya atau saudara-saudara
semandeh, para kemenakannya, sebagaimana galibnya harta pusaka tinggi yang
berasal dari cancang letih nenek moyang terdahulu.
Namun demikian cukup
sulit dilaksanakan pada keluarga Minangkabau yang merantau ke kota-kota besar,
yang membentuk keluarga inti, di mana orangtua (terutama ayah) bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap anak-anak dan keluarganya, menggeser peran mamak
dalam tatanan hidup orang Minangkabau. Di samping peran istri dan anak-anaknya
mendapatkan harta tersebut, sehingga bahagian kaumnya menjadi semakin kabur.
Adapun harta yang
didapat karena pemberian orang lain (Hibah), diwariskan kepada yang disukai
oleh yang punya, sebab harta ini terang kepunyaannya sendiri, tidak dicampuri
oleh hak orang lain, sehingga haknya untuk melakukan perbuatan hukum apapun
terhadap hartanya tersebut, termasuk menghibahkannya kepada seseorang atau
kelompok masyarakat yang diinginkannya.
Hibah
dalam Hukum Adat Minangkabau dapat dibagi tiga macam:
1. Hibah semata
2. Hibah beserta emas
3. Hibah selama-lamanya
Hibah
semata adalah cara melepaskan harta untuk dapat dimiliki oleh pihak
lainnya, khususnya kepada anak, oleh seorang anggota suatu kaum, yang disetujui
oleh mamak kepala waris, diketahui oleh penghulu kaum itu, serta disaksikan
oleh mamak kepala waris kaum yang menerima dan diketahui pula oleh penghulunya.
Dalam adat dikatakan bahwa hibah batau-tau,
setahu mamak dan penghulu dari kaum yang memberi hibah dan setahu mamak dan
penghulu kaum yang menerima hibah. Jadi diketahui oleh kedua belah pihak secara
lengkap, dilakukan di hadapan semua ahli waris kedua belah pihak, dan dilakukan
di rumah pihak yang memberi hibah. Hibah ini biasanya dilakukan kepada anak
oleh seorang bapak, dan berlaku sepanjang umur anak yang menerima hibah.
Jadi harta kaum si bapak
berpindah kepada kaum si anak, berlaku sepanjang umur si anak, artinya selama
ia masih hidup maka harta itu tidak dapat diganggu gugat oleh pihak kaum atau
ahli waris si bapak tadi. Si anak leluasa menikmati harta kaum seumurnya. Hibah
ini mesti setahu penghulu suku tadi dan diberitahukan kepada orang banyak dalam
kampung tadi agar semua orang tahu bahwa harta itu adalah hibah bapak kepada si
anak selama umur anak tadi. Oleh yang
menerima hibah (si anak), harta itu tidak boleh diwariskan kepada kaumnya atau
kepada kemenakannya, atau dihibahkan lagi kepada anaknya atau orang lain. Dan
bila si penerima hibah meninggal dunia maka harta itu langsung kembali kepada
kaum bapaknya, atau kepada waris bapaknya, dan oleh kaum si penerima hibah
(kaum si anak) diserahkan kembali kepada kaum yang punya (kaum si bapak) dengan
cara setahu-tahu seperti di atas pula, dan di rumah yang tadi juga.
Mengapa hibah semata ini
bertahu-tahu? Sebabnya ialah bahwa harta ini tidak boleh digadaikan apalagi
dijual oleh pihak yang menerima hibah.
Kesulitan akan terjadi
bila harta ini digadaikan kepada pihak lain oleh penerima hibah, sedang pada
waktu tergadang ini tergadai penerima hibah meninggal dunia. Pihak kaum pemberi
hibah dahlulu memberi hibah tidak dengan uang atau harta lainnya, tetapi
dihibahkan begitu saja kepada si anak pemberi hibah. Jadi karena itu pihak
pemberi hibah tidak berkewajiban untuk menebus gadai itu pada waktu mengambil
harta itu kembali. Pihak yang memegang gadai tentu tidak mau uang atau hartanya
hilang begitu saja, inilah kesuilitan yang terjadi bila harta yang diperoleh
dengan hibah semata digadaikan, apalagi dijual oleh penerima hibah.
Harta itu wajib kembali
kepada kaum pemberi hibah setelah si anak penerima hibah meninggal dunia, dan
kaum si anak tidak berhak mewarisi harta yang didapat dengan jalan hibah semata
itu. jika diperlukannya syarat bertahu-tahu dalam hubungan hibah semata ini
adalah menjaga agar jangan timbul kesulitan di kemudian hari, dan orang yang
tahu akan berpikir untuk memegang atau membeli harta hibah itu, karena akhirnya
harta tersebut akan mengalami masalah.
Hibah
beserta emas, adalah hibah dengan uang atau emas. Maksudnya penerima hibah
memberikan sejumlah emas atau uang kepada pemberi hibah, jangka waktunya tetap
seumur anak atau penerima hibah, tetapi bila dia meninggal dunia maka harta
hibah itu dapat kembali kepada pemberi hibah atau kaumnya bila sejumlah emas
atau uang yang diterima pemberi hibah dahulunya telah dikembalikan kepada kaum
penerima hibah. Harta hibah seperti ini dapat digadaikan seharga emas atau uang
yang diberikan kepada pemberi hibah dahulunya, tetapi tidak boleh lebih, dan
jika harga gadainya kurang dari jumlah emas atau uang yang dahulu diserahkan
kepada pemberi hibah, maka waktu kaum pemberi hibah menebus harta itu,
kelebihan emas atau uang dari gadai itu mesti juga diserahkan kepada kaum
pemberi hibah. Demikian juga sebaliknya, jika lebih maka waktu menebus
hendaklah ditambah oleh kaum penerima hibah. Ini biasanya jarang terjadi, sebab
semua orang tahu mengenai waktu hibah dan jumlah emas atau uang yang terkait
dalam hibah itu.
Hibah
selama-lamanya, adalah jenis hibah lepas dari pemberi hibah kepada penerima
hibah, biasanya diikuti oleh sejumlah emas atau uang tertentu, dan harta ini
tidak kembali lagi kepada kaum pemberi hibah untuk selama-lamanya. Untuk hibah
jenis ini harus diketahui oleh pucuk adat, dan biasanya diberi tanda dengan
batu atau kayu.
2. Harta Pusaka Rendah
Yang disebut dengan harta pusaka rendah adalah segala harta hasil
pencaharian dari bapak atau ibu kita (orangtua) selama ikatan perkawinan,
ditambah dengan pemberian mamak kepada kemenakan dari hasil pencaharian mamak
itu sendiri.
Harta pusaka rendah ini
merupakan calon atau cadangan di masa mendatang untuk menambah harta pusaka
tinggi dalam kaum. Harta pusaka rendah menurut garis adat, setelah ia meninggal
nanti (si bapak) maka harta ini dibagi
dua antara kaum si bapak dengan pihak yang menyelenggarakan atau membantu
mencari (istri/anak), sebab badan yang
mencari itu adalah milik kaumnya, laba dibagi dua antara pemilik modal dengan
yang mengusahakannya. Hal ini setelah adanya kesepakatan untuk ninik mamak
dengan kaum Paderi yang melahirkan filosofi: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendikan
syarak/agama, dan syarak bersendikan Kitabullah/Al-Quran), serta seminar hukum
adat di penghujung tahun 1959 di Padang, maka harta pencaharian suami istri
(Harta Pusaka Rendah) diatur menurut Hukum
Faraidh (Hukum Islam), di mana harta pencaharian jatuh kepada anak-anaknya
beserta segenap ahli warisnya yang lain, sedangkan Harta Pusaka Tinggi diatur
menurut Hukum Adat Minangkabau.
Dengan demikian pusako
dapat disimpulkan sebagai warisan dalam bentuk kekayaan materiil, yang oleh
sebagian ahli adat membaginya dalam kriteria sebagai berikut:
1. Harta Pusaka (Pusako)
Yang terdiri dari harta pusaka dan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi mempunyai ciri-ciri:
a. Tidak dapat diketahui
secara pasti asal-usulnya.
b. Harta tersebut dimiliki
secara bersama (kolektif) oleh kaum dan digunakan untuk kepentingan bersama.
c. Tidak dapat berpindah
tangan keluar dari kaum, kecuali memenuhi syarat-syarat tertentu yang disetujui
oleh seluruh anggota kaum.
Sedangkan harta pusaka rendah
berupa warisan yang baru diturunkan dari satu generasi saja (dari ibu dan
bapaknya, atau mamaknya), sebagai hasil pencaharian orangtuanya yang diwariskan
yang diwariskan untuk anak-anaknya dan kemenakan.
2. Harta Pencaharian
Merupakan harta yang
didapat oleh seseorang sebagai hasil usahanya sendiri, yang dapat dibedakan
dalam dua bentuk:
a. Hasil tembilang besi;
yaitu harta atau tanah yang didapat dari hasil teruko (pembukaan lahan) dari
tanah ulayat kaum. Hasil yang didapat dari menaruko merupakan hak orang yang
menaruko dalam bentuk ganggam bauntuak.
b. Hasil tembilang emas;
yaitu harta atau tanah yang didapat dengan cara membeli atau pegang gadai, yang
uangnya berasal dari usaha sendiri.
Pada dasarnya harta
pencaharian ini dimaksudkan untuk menambah harta pusaka. Dengan demikian
apabila yang mengusahakannya meninggal dunia maka harta pencaharian ini dengan
sendirinya bergabung dengan harta pusaka, yang selanjutnya akan diwarikan
kepada generasi berikutnya.
3. Harta Bawaan
Merupakan harta yang
telah dimiliki oleh suami sebelum perkawinan, dan harta tersebut ditempatkan
suami di rumah istrinya, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena
harta bawaan ini timbul di luar usaha bersama suami-istri, maka harta tersebut
menjadi hak mutlak suami. Bila suami meninggal dunia, maka berlakulah ketentuan
adat yang berbunyi: Harta tepatan
tinggal, harta bawaan kembali, harta surang dibagi, harta sekutu dibelah.
Berdasarkan ketentuan
tersebut maka harta bawaan suami dikembalikan kepada kaumnya.
Harta
surang adalah harta pencaharian seseorang sebelum perkawinan, dan
dimasukkan ke dalam harta perkawinan sebagai aset, baik sebagai modal pangkal
ataupun sebagai penambah modal, untuk menyangga kehidupan dan perekonomian
keluarganya tersebut. Seperti telah diuraikan di atas bahwa seorang laki-laki
yang meninggal dunia di Minangkabau, maka harta warisan dari pencahariannya
sebagian adalah milik kaumnya karena dia didik dan dibesarkan dari harta
kekayaan kaumnya, sebelum dia menikah dan berumah tangga dan hidup mandiri
bersama keluarganya. Maka semenjak perkawinannya itu hartanya (lebih tepat
dirinya bersama hasil usahanya‟) menajdi bercampur dengan usaha istri atau
anak-anaknya yang ikut membantu pengelolaannya, yang ikut menjaga dan
merawatnya. Akibat percampuran tersebut, maka setelah meninggalnya nanti, harta
surang tersebut dibagi antara kaum suaminya dengan istri dan anak-anaknya,
sehingga pepatah adat mengatakan: Harta
surang dibagi, dibagi antara kaum suaminya di satu pihak dan istri dan
anakanaknya di pihak lain.
4. Harta Tepatan
Adalah harta yang telah
ada di rumah istri sebelum perkawinan berlangsung. Harta tepatan yang dimiliki
oleh istri ini mungkin merupakan harta pusaka yang atau di rumah itu, atau
mungkin berasal dari harta pencaharian sendiri. Apabila istrinya meninggal
dunia, maka sesuai dengan ketentuan adat: Harta
tepatan tinggal, maka harta tersebut tetap tinggal di rumah istrinya dan
tidak boleh dibawa oleh suaminya ke manapun juga, baik untuk keperluan sendiri
maupun untuk dibawa ke dalam kaumnya.
Bila harta tepatan ini
berasal dari harta pusaka tinggi, maka akan diwarisi oleh anak-anaknya beserta
saudarasaudaranya; dan bila berasal dari harta pencaharian istri maka harta
tersebut akan diwarisi oleh anak-anaknya saja.
5. Harta Bersama (harta sekutu)
Adalah harta yang
didapat oleh suami-istri selama ikatan perkawinan ada. Di Minangkabau, harta
bersama ini disebut juga harta sekutu.
Harta bersama ini
sesungguhnya merupakan milik bersama dari pasangan suami-istri yang terpisah
dari harta pusaka dan harta bawaan, maupun harta tepatan. Dengan demikian,
apabila salah seorang dari pasangan suami-istri itu meninggal dunia maka sesuai
dengan pepatah adat: Sekutu dibelah, artinya
harta bersama atau sekutu itu dibagi dua, yaitu separoh untuk pasangan yang
masih hidup dan separoh lagi untuk keluarga atau kaum yang telah meninggal
dunia itu.
Jika dalam perkawinan
itu ada anak-anak mereka, maka bila yang meninggal dunia adalah si suami maka
harta bersama tersebut dibagi dua antara kaum si suami dengan istrinya bersama
anak-anaknya, dan bila si istri yang meninggal dunia, maka harta bersama tersebut
dibagi dua antara si suami dengan anak-anaknya yang lahir dari perkawinan
tersebut. Bagi anak-anak harta tersebut yang merupakan bagian ibunya menjadi
harta pusaka (pusaka rendah) bagi mereka.
C. FUNGSI PUSAKO
Pusako sebagai harta
mempunyai empat macam fungsi utama dalam masyarakat Adat Minangkabau sebagai
berikut:
1. Untuk menghargai jerih
payah nenek moyang yang telah mencancang,
melateh, merambah jo meneruko (mencencang, membuat terasan, merambah dan
meneruko) mulai dari ninik zaman dahulu sampai ke mande kita sekarang.
2. Sebagai lambang ikatan
kaum yang bertali darah supaya terus terbina hubungan sekaum setali darah,
sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), barangsiapa melanggar
akan merana dan sengsara seumur hidup termakan sumpah nenek moyang dahulu.
3. Sebagai jaminan
kehidupan kaum sejak dahulu hingga sekarang, terutama di daerah-daerah
pedusunan dan perkampungan yang masih terikat erat dengan tanah (kehidupan
agraris).
4. Sebagai lambang
kedudukan sosial, untuk kegiatan kemaslahatan kaumnya dan masyarakat di
negerinya, untuk orang-orang yang sedang kesusahan serta untuk membantu
orang-orang yang kehabisan bekal dalam menuntut ilmu agama.
D. TANAH ULAYAT
Di antara pusaka itu
terdapat tanah ulayat, yang terdiri dari
tanah perbukitan (hutan rendah), tanah pengembalaan, dan hutan tinggi (hutan
lindung). Tanah ulayat merupakan
„cagar alam‟ kaum yang biasanya terdiri dari hutan yang jauh
dari perkampungan dan semak belukar yang dekat dari perkampungan, biasanya di
kaki bukit. Pepatah adat menyebutkan:
Utan jauah diulangi
Utan dakek dikundano
(Hutan jauh didatangi
ulang
Hutan dekat dipungut
hasilnya).
Diulangi artinya
didatangi atau dikunjungi untuk mengambil hasil hutannya seperti kayu, rotan,
damar, madu dan lain-lain hasil hutan. Dikundano artinya dibuka, diolah,
dikerjakan, ditanami dan bila perlu dihuni sewaktu-waktu dengan mendirikan
dangau di dalam hutan itu untuk menjaga hasilnya tidak dimakan atau dirusak
binatang.
Ada tiga jenis tanah
ulayat:
1. Ulayat Nagari; yaitu
tanah hutan di luar kawasan hutan lindung (cagar alam) atau hutan negara dan
tidak termasuk kawasan yang telah menjadi ulayat suku atau ulayat kaum.
2. Ulayat Suku; yaitu tanah
hutan yang dibuat kawasan hutan negara dan ulayat nagari, belum menjadi ulayat
suatu kaum dalam suku tersebut.
3. Ulayat Kaum; yaitu hutan
yang sudah lepas dari kekuasaan ulayat nagari, ulayat suku, dan tidak pula
termasuk sebagai tanah milik perorangan (individual).
Dengan demikian
penggunaan tanah ulayat adalah untuk kesejahteraan anggota kaum ataupun suku
maupun nagari yang bersangkutan, yang dalam pelaksanaannya sehari-hari berada
di bawah pengawasan dan penguasaan para ninik mamak penghulu kaum yang ada
dalam nagari bagi tanah ulayat nagari, ninik mamak pengulu suku bagi tanah
ulayat suku, serta mamak kepala waris bagi tanah-tanah ulayat kaum.
Ada dua hal yang
menyebabkan tanah itu mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat, yaitu karena sifat-sifatnya, dan karena faktanya. Karena sifatnya
dikatakan bahwa tanah itu merupakan satu-satunya harta benda kekayaan yang
meski mengalami masa yang bagaimanapun, namun tetap tidak berubah, bahkan
semakin memberikan keuntungan. Misalnya saja tanah pertanian yang tertimbun
longsoran lava gunung atau tertimpa dan dilanda banjir, namun seiring perubahan
waktu tanah tersebut menjadi lebih subur akibat kedua peristiwa di atas, dan
memberikan keuntungan yang berlipat-lipat bagi masyarakat yang mengolahnya
kemudian. Sedangkan faktanya, bahwa di hamparan tanah tersebut dijadikan
sebagai: Tempat tinggal persekutuan atau kaum.
• Memberikan sumber
kehidupan bagi anggota seluruh kaum
• Merupakan tempat
penguburan manusia yang telah meninggal dunia.
Jika diperhatikan lebih
jauh lagi, tanah di samping sebagai penyangga kehidupan juga menunjukkan
martabat sosial masyarakatnya. Kaum atau orang-orang yang tidak mempunyai tanah
sebingkah (sebidang), dianggap sebagai orang yang miskin, atau merupakan orang yang
manapek (malakok/menumpang/menempel)
yang tidak jelas asalusulnya, diterima karena kasihan. Andaikata kemenakan
mereka dilahirkan tanpa tanah sebagai milik kaumnya, sama artinya kelahiran
tanpa tanah tumpah darah sebagai kebanggaannya kelak. Oleh karena itu tanah
bukan sematamata berfungsi ekonomis bagi
masyarakat Adat Minangkabau tetapi juga sebagai fungsi status sosial.
E. KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM SISTEM HUKUM TANAH
NASIONAL
1. Pengertian Hak Ulayat
Definisi dari hak ulayat
disini adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh
para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa
merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan)
bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti
suku.
Para warga sebagai
anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan
sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya
secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat
individual.
Dalam pada itu, hak
individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa
yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena
itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi
semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu
kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya
mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan.
Oleh sebab itu, hak
bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan
tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat
dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
2. Kedudukan dan Peran Hak Ulayat dalam Hukum Tanah
Nasional
Dalam banyak peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat
istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai
suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat
sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan
dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum
adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come
into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini
tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam
penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat. Perihal
UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan
salah satu dari lembagalembaga hukum adat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
Oleh karena itu,
kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini
bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan
suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat.
Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran
Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan
atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip
mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala
kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan
masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi
atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari
haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
Adapun untuk hak ulayat
yang pada kenyataannya sudah tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Pun
demikian juga tidak akan diciptakan hak ulayat yang baru. Dan dalam rangka
menegakkan hukum agraria nasional, maka tugas dan wewenang yang merupakan unsur
hak ulayat, dipegang oleh Negara Republik Indonesia.
3. Pembatasan Hukum Tanah Nasional terhadap Pelaksanaan Hak Ulayat
Seperti yang telah
dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana
halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia
Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional.
Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan
yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA
menyebutkan bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan
peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang
demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut
memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur
Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja
akan tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam
golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya
ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh
persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada
masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan
tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga
masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan
ketentuanketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal
tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
1. Pasal 2 ayat (4), yang
berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakatmasyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut
Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 3, yang berbunyi:
Dengan mengugat ketentuanketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undangundang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
3. Pasal 22 ayat (1), yang
berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan
Pemerintah.
Seperti yang telah
disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia
mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat,
misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami
perubahan.
Jika dulu sebelum
berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang
sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah
berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari
pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Andaikata karena
terjadinya proses individualisasi, seringkali hak ulayat ini mulai mendesak,
yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak – hak perorangan. Dengan
tumbuh dan kuatnya hak-hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat
mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui oleh Pemerintah
sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat
adanya hak ulayat baru.
Hak ulayat yang diakui
dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan
kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang
dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan Peraturan-peraturan
lainya.
Selain itu, ada juga
perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya
UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah. Sebelum
berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni
penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian
berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah
adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli.
Perubahan lain yang
terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut
tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas
izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun
tidak dikerjakan/ditanami kembali di tutul belukar dapat diberi peruntukan
lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan
tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalanan waktu,
apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang
hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus
makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di
atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.
F. SISTEM KEWARISAN ADAT MINANGKABAU
Di Indonesia hukum waris
adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada.
Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda,
yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik.
Masalahnya adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat
yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap
dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya.
Menguraikan sistem hukum
adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari
sistem kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian
pula halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat matrilineal di
Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut
hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai
pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila
dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di
Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem kekeluargaan di
Minangkabau adalah sistem yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang
dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan,
nenek beserta saudarasaudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan sistem tersebut,
maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik
untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa
generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.
Hukum waris adat dengan
sistem kekeluargaan matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibu, baik harta pencaharian maupun harta bawaan (harta
pusaka), oleh karenanya, sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat
Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu
yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh
seorang “mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris
lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris
harus cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak
pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri dari
kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau
ahli waris dapat dibedakan antara:
a. Waris Bertali Darah
Yaitu ahli waris kandung
atau ahli waris sedarah yang terdiri dari ahli waris satampok (waris setampuk),
waris sajangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta).
Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara
bergiliran, artinya selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris
bertali darah sejengkal belum berhak mawaris. Demikian pula waris seterusnya
selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.
b. Waris Bertali Adat
Yaitu waris yang sesame
ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali
waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian
tersendiri untuk waris bertali adat sehingga waris bertali adat ini dibedakan
sebagai berikut:
• Waris menurut caranya
menjadi waris: waris batali ameh, waris batali suto, waris batali budi, waris
tambilang basi, waris tambilang perak.
• Menurut jauh-dekatnya
terdiri dari: waris dibawah daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris
di bawah lutut.
• Menurut datangnya,
yaitu: waris orang dating, waris air tawar, waris mahindu.
c. Waris Bertali Budi
Yaitu waris dari orang
lain yang sering dating berkunjung di bawah lindungan satu penghulu.
d. Waris di Bawah Lutuik
Yaitu waris yang asalnya
tidak jelas dan keturunan pembantu (budak) yang menetap sebagai anggota
kerabat.
Dari keempat macam ahli
waris atau kemenakan tersebut yang sebagai ahli waris adalah kemenakan bertali
darag yang sepuluhan ke bawah dan sepuluhan ke atas. Para ahli waris tersebut
berhak menghalangi tindakan mamak kepala waris terhadap harta pusaka yang tidak
mereka setujui. Sedangkan kemenakan lainnya, yang bertali adat, bertali budi,
dan dibawah lutuik bukan ahli waris dari satu gadang (sabuah paruik) atau dari
satu kesatuan kerabat yang disebut “kaum”.
Sedangkan hak mewaris
dari masing-masing ahli waris yang disebutkan diatas satu sama lain
berbeda-beda bergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan
hak mewarisnya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat
terlihat dalam paparan di bawah ini.
1. Mengenai Harta Pusaka Tinggi
Apabila harta
peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi, cara pembagiannya berlaku
sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh
sekumpulan ahli waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya dan
dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek”. Walaupun tidak boleh dibagi-bagi
pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka tinggi dapat diberikan
sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala ahli waris selanjutnya
dijual atau digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja
dengan sepengetahuan dan seizing seluruh
ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan,
guna keperluan:
§ Untuk membayar hutang
kehormatan
§ Untuk membayar ongkos
memperbaiki Bandar sawah kepunyaan kaum
§ Untuk membayar hutang
darah
§ Untuk menutupi kerugian
bila ada kecelakaan kapal di pantai
§ Untuk ongkos naik haji
ke Mekkah.
2. Mengenai Harta Pusaka Rendah
Semula harta pusaka
rendah adalah harta pecaharian. Harta pencaharian mungkin milik seseorang
laki-laki atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian seseorang diwarisi
oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum masingmasing. Akan tetapi dalam
perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah
erat dan juga sebagai pengaruh agama
Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah
rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka istrinya dengan tanaman keras,
misalnya pohon kelapa, pohon durian dll. Hal ini dimaksudkan untuk membekali
isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal dunia.
3. Mengenai Harta Surang
Harta surang berbeda
sama sekali dengan harta pencaharian sebab harta surang adalah seluruh harta
yang diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan.
Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta surang,
dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan anggota
keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak isterinya melainkan untuk orang tua
dan para kemenakannya sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinan terbentuk
harta surang sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah
saudara atau mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang
nyata antara suami isteri untuk memperoleh harta surang sudah Nampak, terutama
masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh keluar tanah asalnya telah
menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah), yaitu
antara suami, isteri, dan anak-anak merupakan satu kesatuan dalam ikatan yang
kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha untuk kepentingan
isteri dan anak-anaknya sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan
mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga yang disebut harta
surang.
Harta surang dapat
dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang
meninggal dunia. Harta surang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi
terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
1. Bila suami-isteri
bercerai dan tidak mempunyai anak, harta surang dibagi dua antara bekas suami
dan bekas isteri.
2. Bila salah seorang
meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:
· Jika yang meninggal
suami, harta surang dibagi dua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan
separoh lagi merupakan bagian janda.
· Jika yang meninggal
isteri, harta surang dibagi dua, sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi
untuk duda.
3. Apabila suami-isteri
bercerai hidup dan mempunyai anak, harta surang dibagi dua antara bekas suami
dan bekas isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya.
4. Apabila salah seorang
meninggal dunia dan mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai berikut:
·
Jika yang meninggal suami, harta surang dibagi
dua antara jurai suami dengan janda beserta anak.
·
Jika yang meninggal isteri, harta surang
seperdua untuk suami dan seperdua lagi untuk anak serta harta pusaka sendiri
bagian ibunya.
Berkaitan
dengan pembahasan harta surang, di bawah ini akan ditunjukkan beberapa putusan
pengadilan mengenai harta surang sebagai bukti, bahwa antara suami-isteri orang
Minangkabau dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja sama dalam satu
kesatuan unit yang disebut somah (gezin) sehingga terbentuk harta keluarga.
1. Putusan Landraad Talu
tanggal 23 januari 1937 No. 5 tahun 1937 yang dikuatkan oleh Raad Van Justitie
Padang tanggal 13 Mei 1937 (T. 148/508) menentukan bangunan yang didirikan atau
tanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah harta surang.
2. Putusan Landraad
Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. Perdata 11 Tahun 1938, yang dikuatkan oleh
Raad van Justitie Padang tahun 1938 mengatakan: bila suami meninggalkan
beberapa orang janda, maka pembagian harta surang menjadi sebagai berikut:
separoh dari harta surang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi
merupakan bagian para janda yang masih hidup.
3. Putusan Pengadilan
Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 september 1953 yang dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret 1956 No. 23/1954, yang menetapkan,
bahwa harta surang bertanggung jawab atas hutang suami. Kemudian adanya rumah
di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu
kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan isteri bersama sebagai harta
surang.
Berkaitan dengan
berbagai persoalan yang menyangkut hukum adat waris daerah Minangkabau, pada
tahun 1971 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum
Nasional atau Babinkumnas) pernah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Andalas Padang dengan hasil sebagai berikut:
1. Harta pusaka diwariskan
kepada kemenakan sedangkan harta harta yang diperoleh di luar harta pusaka itu
boleh diwariskan kepada anak-anaknya.
2. Harta pencaharian
diwariskan kepada anak-anaknya dengan tidak dipersoalkan apakah dibagi dengan
sistem faraid atau tidak, yang penting, bahwa harta pencaharian itu diperuntukkan
guna kepentingan anak-anak.
3. Apabila pihak isteri
dari yang meninggal dunia mengusai harta pusaka dan ia enggan untuk
mengembalikan harta tersebut kepada kaum suaminya dan malahan di katakana
sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada anak-anaknya tanpa
sepengetahuan ahliwaris (kemenakan) suaminya, dalam hal demikian Kerapatan
Nagari yang diberi wewenang memuutus secara perdamaian.
4. Harta pencaharian tidak
diharuskan seluruhnya jatuh kepada anak-anaknya, melainkan harus jatuh pula
kepada kemenakannya sebab mamak laki-laki itu tadi dibesarkan, dididik, dan
bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah sewajarnya jika kemenakan juga memperoleh
bagian dari harat peninggalan.
5. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan yang prinsipil antara harta pusaka dengan harta pencaharian sebab
keduaduanya merupakan hasil jerih payah yang diperuntukkan bagi kesejateraan
anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi pepatah adat “anak dipangku, kemenakan
dibimbing” sehingga anak-anak yang termasuk suku ibunya dan kemenakan yang termasuk
suku mamaknya, keduanya harus dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan
dipertanggung jawabkan, baik fisik maupun rohaninya. Demikian pula kemenakan
yang termasuk kaum mamak harus dibimbing yang artinya harus dipelihara sama
dengan anak. Dengan demikian seorang kemenakannya harus memelihara anak-anaknya
dan juga kemenakannya.
G. PERSENTUHAN KEWARISAN ISLAM DENGAN KEWARISAN MINANGKABAU
Sebagaimana diketahui
Minangkabau terkenal dengan falsafah Adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Falsafah ini dirumuskan dalam
suatu konsensu antara tokohtokoh adat dan tokoh-tokoh agama di Bukit Marapalam,
Batusangkar, di awal abad ke-19.
Falsafah adat ini
menyatakan bahwa Adat Minangkabau itu bersendikan syarak (agama), sementara
syarak itu sendiri dasarnya adalah Kitabullah (Al-Quran). Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa ketentuan adat yang berlaku di
Minangkabau mendasarkan
dirinya pada ketentuan syarak yaitu ajaran Agama Islam. Penggunaan falsafah
adat ini memakan waktu yang cukup panjang, sebagai hasil dari kesepahaman di
antara tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama (Paderi dengan ajaran
Wahabi-nya).
Ketika Islam masuk ke
Minangkabau, Islam menemukan adat Minangkabau dalam bentuk yang terpadu dengan pengaruh agama Hindu dan Budha. Di samping
itu adat Minangkabau hanya mengenal hal-hal yang nyata saja sesuai dengan
kenyataan yang ada di alam, mengambil pedoman dari peristiwa-peristiwa yang
berlangsung di alam, sebagaimana
tergambar dari pepatah adat:
Panakiek
pisau sirauik
Ambiek
galah batang lintabuang
Palapahnyo
diambiak untuak ka niru
Nan
satitiek jadikan lauik
Nan
sakapa jadikan gunuang
Alam
takambang jadikan guru
(Penakik pisau siraut
Ambil galah batang
lintabuang
Pelepah ambil untuk ke
niru;
Yang setitik jadikan
laut Yang sekepal jadikan gunung Alam terkembang jadikan guru).
Hal ini bersesuaian
dengan ajaran Islam, di mana Tuhan memerintahkan manusia untuk memerhatikan dan
mempelajari keagungan dan kebesaran alam yang diciptakanNya, sebagai bukti atas
keberadaan-Nya, seperti penciptaan tumbuhan dan gunung, siang dan malam, hujan
dan panas, penciptaan binatang dan sebagainya, sebagaimana difirmankan Allah
dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 190,
Surat Ar-Ra‟du ayat 3,
dan sebagainya.
Perbenturan antara
ajaran Islam dan ajaran Adat Minangkabau muncul dalam bidang sosial
kemasyarakatan, terutama dalam bidang kekerabatan. Adat Minangkabau menganut
sistem kekerabatan Matrilinial, sementara Islam menurut ulama mujtahid,
menganut sistem kekerabatan Bilateral. Hal tersebut berdampak pada sistem
perkawinan, perwalian, dan kewarisan. Persentuhan dan persesuaian dalam hal
inilah yang memakan waktu dan tempo yang lama.
Pada tahap pertama satu
sama lain berjalan tanpa saling memengaruhi. Masyarakat menjalankan agama Islam
dengan taat, sementara di pihak lain menjalani kehidupan sosial berdasarkan
hukum adat, sehingga lahirlah pepatah adat: Adat
basandi alua jo patuik Syarak basandi dalil. (Adat bersendi alur dan patut
Syarak bersendi dalil).
artinya adat didasarkan
kepada alur dan patut, sedangkan syarak (agama) berdasarkan kepada dalil (yang
terdapat dalam Al-Quran dan Hadis). Atau dengan kata lain, adat dan syarak di
Minangkabau berjalan sendiri-sendiri, tidak ada hubungan yang saling
memengaruhi.
Pada tahap kedua,satu
sama lain saling menuntut hak tanpa menggeser kedudukan pihak lain. Pada masa
ini lahirlah pepatah adat: Adat basandi
syarak, syarak basandi adat (adat bersendi syarak, syarak bersendi adat),
di mana hal ini menurut Taufik Abdullah mengandung arti bahwa adat dan syarak
saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Walaupun secara
berangsur-angsur terjadi pertautan antara adat dan ajaran Islam yang telah
merata di Alam Minangkabau, tetapi rasa belum puas muncul pada diri sejumlah
pemuka agama yang menempa ilmu keislaman di Timur Tengah. Mereka ingin
mengadakan pemurnian Islam tanpa kenal kompromi. Pemuka-pemuka agama yang
berpendapat demikian
antara lain adalah Haji Miskin, Haji
Sumanik, Haji Piobang. Mereka diilhami oleh gerakan Wahabi, yang
dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, tokoh pemurnian ajaran Islam di Arab
Saudi. Mereka juga menginginkan agar bentuk pemurnian ajaran Islam dilaksankan
juga di Minangkabau.
Ide ini mendapatkan
dukungan penuh dari para ulama yang tidak menyukai kompromistis dalam beragama,
sehingga konflik secara terbuka tidak dapat dihindarkan antara golongan agama
dan golongan pemegang hukum adat. Gerakan pemurnian ajaran agama Islam di Minangkabau
ini dikenal sebagai Kaum Paderi, yang melaksanakan Hukum Islam secara murni,
baik dalam soal ibadah maupun mu‟amalah (kemasyarakatan). Mereka berpedirian
bahwa adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sama artinya
dengan adat jahiliyah.
Konflik secara terbuka
antara golongan agama dan golongan adat ini membawa hasil yang sangat
menentukan masa depan Adat Minangkabau, yang berakhir dengan suatu kesepakatan
di antara kedua golongan ini di Bukit Marapalam (Batusangkar). Isi kesepakatan mana
dikenal dengan nama Piagam Bukit
Marapalam, yang dihadiri oleh para pemuka adat dan pemuka agama di
Minangkabau. Isi dari Piagam tersebut
merupakan puncak penyebaran agama Islam tahap ketiga dalam masyarakat adat
Minangkabau, yang melahirkan falsafah adat: Adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Dengan rumusan ini dapat
disimpulkan bahwa adat secara keseluruhan menyesuaikan diri dengan syarak.
Di samping itu falsafah
ini menggambarkan dengan jelas bahwa adat adanya lebih dahulu daripada syarak
di Minangkabau, baru kemudian syarak datang atau masuk. Namun, walaupu adat
lebih dahulu hadir di Minangkabau, harus menyesuaikan diri dengan syarak,
sebagaimana kata basandikan atau
bersendikan, walaupun batu sandi merupakan dasar dari suatu rumah gadang, namun
batu sandi ini baru diletakkan setelah rumah gadang didirikan.
Pada zaman dahulu rumah
gadang yang dibangun dari kayu dididirkan suatu tanah yang lapang dan datar.
Setelah rumah berdiri maka dicarikan batu yang datar pula sebanyak tonggak
rumah (disebut batu sandi), untuk mengokohkan berdirinya rumah gadang tersebut.
Masing-masing batu ditempatkan di bawah masing-masing tiang rumah yang
dibangun, untuk menghindarkan lapuknya tiang karena lembabnya tanah atau
dibasahi air.
Hal ini menggambarkan
bahwa kedatangan syarak yang belakangan
ke Minangkabau bukanlah untuk menghapuskan adat yang ada, melainkan untuk
mengokohkan adat itu sendiri, agar tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh
hujan, sebagaimana pepatah adat itu sendiri:
Si
Muncak mati tarambau
Ka
ladang mambaok ladiang
Luko
lah paho kaduonyo
Adat
jo Syarak di Minangkabau
Ibarat
aue jo tabiang
Sanda
manyanda kaduonyo.
(Si Muncak mati terjatuh
Ke kebun membawa parang
Luka lah paha keduanya
Adat dan Syarak di
Minangkabau Ibarat aur/bambu dengan tebing Topang menopang keduanya).
Dari falsafah adat ini
juga terlihat bahwa adat dan agama sejalan dalam mengatur kehidupan sosial
kemasyarakatan, sebagaimana dikatakan oelh pepatah adat:
Syarak
mangato
Adat memakai
(Syarak menyatakan
Adat memakaikan).
Artinya syarak
memerintahkan, adat melaksanakannya. Sebagai contoh dalam hal perkawinan,
segala yang menyangkut sahnya pernikahan, seperti syarat dan rukunnya, semuanya
sama menurut ajaran Islam, tetapi cara pelaksanaannya dilakukan secara adat,
ada aturan membawa sirih dan pinang dalam cerana untuk meminang bakal calon
suami, serta rundingan dan alur sebagaimana dalam tatacara adat. Seperti
ketentuan-ketentuan menjadi wali untuk anak perempuan misalnya, untuk wali
menurut ajaran Islam adalah bapak kandungnya, maka ajaran adat mewajibkan
perempuan tersebut meminta izin kepada mamak kepala warisnya, karena menyangkut
kedudukannya nanti sebagai penyambut harta pusaka jika ibunya meninggal nanti.
Begitu juga dengan
masalah pewarisan. Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, tidak dikenal adanya
harta pusaka rendah (harta pencaharian), yang ada hanya harta pusaka tinggi,
yang harus diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan sesuai dengan
garis keturunan Matrilinial, dengan Mamak Kepala Waris sebagai penguasanya.
Setelah ajaran Islam masuk, dikenallah ketentuan tentang Harta Pencaharian,
yang pewarisannya dilaksanakan berdasarkan Hukum
Faraidh (Hukum Islam), walaupun dalam kenyataannya pada saat dilakukan
pembagian terselip juga tatacara ketentuan adat, di mana para ahli waris
sebelum membagi harta tersebut menurut ketentuan hukum Islam, biasanya mereka
membagikan terlebih dahulu sebagian yang mereka sepakati kepada kemenakan
pewaris, baik dalam bentuk wasiat maupun dalam bentuk lainnya, dan sisanya baru
dibagi menurut hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan
yang terkandung dalam falsafah Adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah ini, terlihat bahwa teori
mengenai keberlakuan hukum adat dan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan
tersebut adalah Teori Receptio a
Contrario, sebagaimana disampaikan oleh Sajuti Thalib. Teori tersebut
menyatakan bahwa hukum Islamlah yang berlaku, sedangkan hukum adat baru berlaku
bila tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, segala adat yang berlangsung
selama ini yang tidak sejalan dengan ajaran Islam dinyatakan tidak berlaku
lagi, seperti adat menyabung ayam, kenduri atas kematian penghulu, dan
sebagainya.
Namun demikian, masih
terdapat pertentangan yang menjadi dasar antara hukum adat yang berlaku dengan
ketentuan agama, terutama dalam hal sistem kekerabatan dan kewarisan. Menurut
ketentuan Islam, keturunan ditarik dari garis ayah dan ibu (parental),
sedangkan dalam adat Minangkabayu garis keturunan ditarik dari garis ibu
(Matrilinial). Begitu juga halnya dengan sistem kewarisan, dalam Islam sistem
yang berlaku adalah sistem Individual, sedangkan dalam ajaran Adat Minangkabau
sistem kewarisan yang dipakai bersifat kolektif. Semoga hal ini menemukan titik
temu dan jawaban yang diharapkan di kemudian hari, sebagai jawaban atas
pemberlakuan falsafah Adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah.
Harta pusaka di
Minangkabau merupakan milik bersama (kolektif) kaum. Harta tersebut diwarisi
secara turun temurun dari nenek moyang tanpa diketahui lagi siapa pemiliknya
secara perorangan, karena pada setiap generasi harta tersebut telah bercampur
dengan harta pencaharian dari masingmasing anggota kaum. Seseorang yang sedang
memegang dan mengusahakannya adalah sebagai peminjam pakai yang mengusahakan harta
tersebut berdasarkan hak ganggam
bauntuak. Sebagai peminjam, ia tidak berhak mengalihkan hak atas harta
tersebut baik melalui jual-beli, gadai,
hibah, ataupun tindakan hukum lainnya. Bila ia meninggal dunia, dengan
sendirinya harta tersebut kembali kepada pemiliknya, yaitu kaum. Harta tersebut
tidak dapat diwariskannya kepada para ahli waris berdasarkan ketentuan syarak,
karena pada dasarnya harta tersebut bukanlah miliknya (bukan Eigendoom dalam pengertian Hukum Barat).
Sedangkan menurut
ketentuan hukum Islam, harta yang dapat diwariskan adalah yang merupakan hak
milik kepunyaan pribadi dari si pewars, yang telah dibersihkan dari utang dan
wasiat yang telah dibuatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka harta pusaka tidak
memenuhi syarat untuk dijadikan barang warisan dalam ketentuan hukum Islam,
karena kepemilikannya berada di tangan kaum secara kolektif. Dengan demikian,
harta pusaka tidak dapat diwarisi oleh ahli waris menurut ketentuan syarak, dan
dengan tidak dapat diwariskannya harta pusaka sebagaimana dikehendaki hukum
Islam, tidaklah menyalahi ketentuan hukum
faraidh.
Harta pusaka yang
merupakan milik bersama anggota kaum dikuasai oleh mamak kepala waris sebagai
pengawas dan pengurus harta tersebut. Jadi, mamak kepala waris bukanlah pemilik
dari harta kepala tersebut. Kedudukannya sebagai pengawas dan pengurus harta
pusaka menyebabkan ia tidak dapat bertindak bebas untuk mengalihkannya kepda
pihak lain. Dan dengan meninggalnya mamak kepala waris tersebut, harta pusaka tersebut
tidak dapat diwarisi oleh anakanaknya sebagai ahli waris menurut syarak, karena
harta tersebut bukanlah hak milik dari mamak kepala waris. Sebaliknya harta
pusaka tersebut akan jatuh ke pihak kemenakan, karena kemenanakan adalah
anggota dari kaum mamak kepala waris yang bersangkutan.
Menurut Syekh Abdul
Karim Amarullah (ayahanda Buya Hamka), harta pusaka dapat dianalogikan sebagai
harta wakaf, atau sebagai harta musabalah
yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khaththab pada hartanya sendiri di
Khaibar, yang boleh diambil atau dipanen hasilnya, tetapi tidak boleh ditasyyarufkan tanahnya.
Tindakan Umar bin
Khaththab tersebut disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim yang berasal dari Ibnu Umar. Menurut hadis teesebut, Umar bin Khaththab
mempunyai sebidang tanah di Khaibar, suatu daerah pertanian dekat Madinah. Tanah
tersebut sangat disukai oleh Umar. Pada suatu hari Umar bertanya kepada
Rasulullah Saw., apakah sebaiknya ia melepaskan tanah yang disukainya itu
sebagai sedekah dalam rangka memenuhi seruan Allah untuk berbuat kebaikan,
supaya nanti bahagia.
Rasul menjawab,
“Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.”
Anjuran Nabi tersebut
dituruti oleh Umar. Ditahannya tanah tersebut, dalam pengertian tidak
dijualnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskannya kepada orang lain.
Ditetapkannya pula bahwa hasil tanah tersebut diperuntukkannya bagi fakir
miskin, keluarga-keluarga yang memerlukannya, orang-orang yang berada dalam
perjalanan fi sabilillah, para tamu, muallaf, dan lain sebagainya.
Ditetapkannya pula bahwa orang yang mengurus tanah tersebut dapat juga memakan
hasil tanah wakaf itu sekadar untuk keperluan hidupnya sendiri atau bersama
keluarganya dalam batas-batas yang pantas.
Dengan memerhatikan
garis pokok suatu wakaf, maka dapat ditarik garis perbandingannya dengan harta
pusaka. Pemilik dari harta pusaka adalah moyang yang tidak ingin hartanya
terjual atau berpindah tangan kecuali untuk anak kemenakannya dalam kaum
tersebut, untuk menunjang kehidupan generasi di bawahnya, hanya boleh dipungut
hasilnya untuk dipergunakan, tidak boleh dipindah tangankan ataupun dijual atau
hibah kepada pihak lain. Maka dapat disamakan di sini bahwa harta pusaka
identik dengan harta wakaf, dan menurut hukum Islam, tanah wakaf bukanlah hak
milik perorangan yang diwariskan kepada anak-anaknya, tapi dipergunakan untuk
kemaslahatan umat. Walaupun demikian, ada juga ulama Minangkabau yang
menganggap bahwa pelaksanaan waris yang berlangsung di Minangkabau menyalahi
ketentuan hukum Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatib. Menurut
beliau, harta pusaka di Minangkabau adalah harta syubhat, sehingga haram hukumnya, dan proses pewarisannya
bertentangan dengan agama. Beliau konsisten dengan pendapatnya tersebut, dan
meninggalkan Minangkabau untuk menetap di Mekah, sampai wafatnya tahun 1916 M
beliau tidak pernah pulangpulang lagi ke Minangkabau. Alasan Syekh Ahmad Khatib
berkenaaan dengan masalah haramnya pewarisan oleh kemenakan, dituangkannya
dalam bukunya yang berjudul:
Ad-Da‟i
al-Masmu‟ fi Raddi „ala Tawrisi al-ikhwati wa Awladi al-Akhwati ma‟a Wujudi
al-Ushuli wa al-Furu‟i (Dakwh yang didengar tentang penolakan atas pewarisan
saudara dan anak saudara di samping ada orangtua dan anak) sebagai berikut:
1. Adanya unsur perampasan,
yaitu merampas harta yang telah menjadi hak ahli waris yang telah ditetapkan
dalam hukum faraidh.
2. Memakan harta orang lain
secara tidak sah, karena harta tersebut merupakan hak ahli waris yang telah
ditetapkan oleh hukum faraidh.
3. Memakan harta anak
yatim, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang aniaya dan dosa yang besar.
4. Khianat terhadap amanat
Allah, karena tidak menyampaikan harta tersebut kepada ahli waris yang berhak,
dan hal tersebut perbuatan dosa besar, serta merupakan tanda orang munafik
(karena dipercaya tapi khianat).
5. Merelakan perbuatan
maksiat dengan tetap memperlakukan pewarisan harta pusaka secara adat,
menghalalkan sesuatu yang haram atau meragukan sesuatu yang terang haramnya.
Menurut Amir
Syarifuddin, alasan yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatib tersebut dalam
menetapkan haramnya hukum pewarisan harta pusaka menurut adat adalah karena
beliau hanya melihat masalahnya dari hal-hal yang lahir saja. Keseluruhan dalil
yang dikemukakan bertitik tolak pada anggapan bahwa harta pusaka yang berada di
tangan seseorang adalah hak miliknya secara penuh, oleh karenanya harus
diwarisi oleh anak secara hukum faraidh. Penyimpangan dari ketentuan hukum
faraidh berarti perampasan terhadap hak anak, memakan harta anak yatim atau
orang lain secara tidak sah, mengkhianati Allah dan menghalalkan sesuatu yang
haram.
Bahwa hak pribadi
diwariskan secara hukum faraidh adalah benar, namun menyamakan harta pusaka
sebagai hak pribadi adalah tidak benar. Karena pada dasarnya harta pusaka itu
merupakan milik kaum. Timbulnya anggapan bahwa harta pusaka merupakan hak
pribadi, adalah karena Syekh Ahmad Khatib tidak memisahkan (tidak
memilah-milah) antara harta pusaka dan harta pencaharian.
H. PERKEMBANGAN SISTEM KEWARISAN MINANGKABAU DEWASA
INI
1. Sistem Kekerabatan
Kehidupan manusia dalam
masyaraka selalu berkembang ke arah penyesuaian kebutuhan kehidupan zaman yang
selalu dinamis. Begitu juga yang terjadi dalam susunan masyarakat Adat
Minangkabau.
Telah diuraikan di atas
bahwa masyarakat Minangkabau mendasarkan keturunannya berdasarkan garis ibu
(Matrilinial), yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Keturunan dihitung
menurut garis keturunan ibu
b. (Matrilinial)
c. Ikatan kesukuan
terbentuk menurut garis ibu
d. Perkawinan keluar suku
e. Kekuasaan terhadap
kemenakan ada pada mamak
f. Perkawinan bersifat
Matrilokal (suami tinggal dalam lingkungan keluarga istri)
g. Warisan diturunkan dari
mamak ke kemenakan
h. Mamak bertanggung jawab
terhadap kehidupan kemenakannya
i.
Ayah sebagai kepala keluarga bersifat simbolik.
Dari beberapa ciri
tersebut, sampai sekarang ini hanya beberapa saja yang masih bertahan,
sementara ciri-ciri lainnya telah mulai memudar, mengalami pergeseran nilai sesuai
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Garis keturunan yang
digunakan masih tetap dipakai dan dipedomani sampai sekarang, yaitu berdasarkan
garis keturunan ibu. Begitu juga suku, masih tetap berdasarkan suku ibu. Namun
demikian, pada sebahagian masyarakat peran suku sudah tidak kuat lagi dipegang,
karena telah terjadi perkawinan antara anak suku Minang sehingga unsur kesukuan
itu sudah tidak menjadi sesuatu yang teramat penting. Pada beberapa tempat di
daerah Minangkabau perkawinan sesuku dibenarkan, tetapi dengan syarat salah
satunya harus berasal dari daerah (nagari) yang berbeda, dengan alasan Adat selingkar nagari.
Misalnya seorang
perempuan bersuku Koto di Tanah Datar kawin dengan laki-laki bersuku Koto dari
Luhak Agam. Ini dibolehkan, karena tidak berasal dari satu nagari yang sama.
Jadi adatnya sudah berbeda-beda, seperti pepatah adat: Lain padang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.
Mengenai perkawinan yang
bersifat Matrilokal, saat sekarang telah banyak mengalami perubahan. Pada
mulanya perkawinan Matrilokal seorang suami hanya datang ke rumah istrinya pada
malam hari, sedangkan siang hari ia berusaha di rumah orangtuanya (kaumnya)
untuk mencari penghidupan. Perkawinan ini tidak mengubah masing-masing orang
masuk ke dalam kelompok yang satu, tetapi tetap seperti pada awalnya, si suami
tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya, dan si istri tetap sebagai anggota
kaum dari suku ibunya juga. Jadi masing-masing pihak tetap merupakan anggota
dari kaum masing-masing.
Pada masa dahulunya,
sang suami hanya diperlukan sebagai pejantan yang tidak mempunyai tanggung
jawab penuh terhadap anak istrinya. Tanggung jawab terhadap kehidupan dan
pendidikan anak dan istri berada di pundak mamak dari anak-anaknya, yaitu
saudara laki-laki dari istrinya. Dengan demikian, seorang anak lebih mempunyai
hubungan yang akrab dengan mamaknya daripada dengan ayahnya sendiri, karena dalam
kehidupan sehari-hari ia lebih mengenal mamaknya sebagai orang yang bertanggung
jawab terhadap dirinya. Perkawinan seperti ini oleh Hazairin disebut dengan
istilah Perkawinan Bertandang.
Dengan masuknya ajaran
Islam, yang mengajarkan bahwa seorang suami merupakan pemimpin dalam keluarga,
imam dalam keluarga, dan harus bertanggung jawab terhadap istri dan
anak-anaknya, membawa perubahan dalam pergaulan rumah tangga keluarga
Minangkabau. Bila sebelumnya tanggung jawab terhadap anak berada di tangan mamaknya,
secara pasti berubah ke tangan ayahnya. Demikian juga sang mamak lebih
memerhatikan penghidupan istri dan anaknya pula. Sang ayah tidak hanya datang
pada malam hari, tetapi juga siang hari untuk berkumpul dan memberikan
perhatian yang sepenuhnya untuk anak dan istrinya.
Hubungan si ayah dengan
istri dan anak semakin akrab, dan ayah menjalankan kewajibannya sebagaimana
ajaran agama. Sang ayah mulai menetap di rumah istri dan anakanaknya, dan oleh
Hazairin ini dinamakan bentuk Perkawinan
menetap.
Si ayah mulai menetap
tinggal di rumah istrinya dan berusaha untuk kepentingan anaknya, dengan
mengolah dan mengusahakan harta pusaka kaum istrinya. Walaupun tanggung jawab
telah diambil alih oleh ayah, namun dalam beberapa hal masih dibutuhkan peranan
dari mamak, terutama dalam hal yang berhubungan dengan adat dan harta pusaka
istrinya. Dengan demikian, seorang anak mempunyai tempat bersandar, yaitu
ayahnya dan mamaknya. Dengan sendirinya seorang laki-laki Minangkabau juga
memikul tanggung jawab ganda, di sisi lain harus memerhatikan kelangsungan
hidup anak-anaknya, di sisi lain harus memerhatikan kelangsungan hidup para
kemenakannya, sebagaimana pantun adat:
Kaluak
paku kacang balimbiang
Daun
pandan lenggang-lenggangkan
Baok
manurun ka Saruaso
Tanamlah
siriah jo ureknyo;
Anak
dipangku kamanakan dibimbiang
Rang
kampuang dipatenggangkan
Tenggang
nagari jan binaso
Tenggang
sarato jo adatnyo.
Artinya, sebagai seorang
ayah ia bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, dan sebagai mamak ia ikut
bertanggung jawab (memerhatikannya) terhadap para kemenakannya, membimbing agar
menjadi orang yang berguna dan sebagai anggota kaum ia mempunyai beban moral
untuk menyumbangkan daya dan upayanya (baik materil maupun pemikiran) bagi
kesejahteraan dan kemakmuran kampung dan nagarinya.
Jika pepatah adat Anak dipangku kemenakan dibimbing dihubungkan
dengan harta pusaka, maka anak diasuh dan dididik oleh ayahnya dengan harta
pencaharian, sedangkan kemenakan dibimbing dan dijaga oleh mamak dengan harta
pusaka.
Kebiasaan merantau yang
dilakukan oleh laki-laki Minangkabau untuk mencari penghidupan lain, juga
berpengaruh terhadap sistem perkawinan Minangkabau, di mana seorang laki-laki
Minang berkeluarga membawa anak istrinya ikut
ke rantau. Di daerah rantau mereka menjadi suatu keluarga yang mandiri,
dan membentuk Keluarga Inti (terdiri dari ibu, bapak, dan anak-anak). Peran
ayah semakin dominan dalam keluarga, sehingga peran mamak menjadi semakin
berkurang, bahkan hilang sama sekali. Bentuk perkawinan yang telah membentuk
keluarga sendiri terlepas dari kaumnya, oleh Hazairin perkawinan Perkawinan bebas.
Dengan demikian,
sekarang ini ada kecenderungan bahwa bentuk keluarga masyarakat Minangkabau
bentuk Kolektif telah berubah menuju Keluarga Inti. Perubahan ini juga membawa
pengaruh terhadap hubungan mamak kemenakan yang berlangsung selama ini. Bila
selama ini tanggung jawab terhadap anak berada di tangan mamaknya, maka dengan
berubahnya bentuk keluarga menjadi keluarga inti, tanggung jawab tersebut
beralih kepada ayahnya. Sekarang menyangkut pendidikan dan ekonomi keluarga
sepenuhnya berada di tangan suami atau ayah anak-anaknya. Tanggung jawab mamak
hanya terasa pada saat melakukan pesta perkawinan, atau dalam pengurusan harta
pusaka.
2. Sistem Kewarisan
Harta pusaka sebagai
unsur pokok dari organisasi kekerabatan Matrilinial, menurut asalnya diperoleh
nenek moyang, yang kemudian diturunkan kepada anak cucunya dalam garis
keturunan ibu. Harta pusaka tersebut menjadi milik bersama dari anggota kaum
dan setiap anggota anggota mempunyai hak untuk mengusahakan harta tersebut
untuk kepentingannya, namun tidak bisa untuk dimiliki secara pribadi. Setiap
usaha yang dilakukan terhadap harta
pusaka pada dasarnya bertujuan untuk menambah jumlah dari harta pusaka tersebut.
Dalam hal ini biasanya yang bertanggung jawab adalah kaum laki-laki yang
berstatus sebagai mamak. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjaga, mengawasi
dan mengembangkan harta pusaka, baik dari hasil harta pusaka itu sendiri maupun
dengan jalan membuka lahan baru (manaruko).
Dengan demikian, ada dua
bentuk harta yang menjadi milik kaum, yaitu harta pusaka yang langsung diterima
dari mamaknya dahulu yang berasal dari nenek moyangnya dahulu, dan harta yang
diperoleh dengan hasil usahanya sendiri dari anggota kaum, yang disebut harta
pencaharian, namun masih terkait erat dengan harta pusaka, karena diperoleh
dari hasil harta pusaka itu sendiri. Maka harta pencaharian yang diperoleh
orang semasa hidup dengan cara begini, menjadi warisan bagi kaum dan kemenakannya,
tergabung ke dalam harta pusaka kaum. Kemenakan generasi selanjutnya akan
menerima waris sebagai harta pusaka yang tidak terpisah dari harta yang berasal
dari nenek moyangnya.
Terpisahnya pengertian
harta pencaharian dari harta pusaka terjadi semenjak Islam masuk ke
Minangkabau. Dengan semakin dominannya peran orangtua (ayah) dalam keluarga dan
anak-anaknya, maka harta pusaka yang tidak mencukupi lagi untuk dijadikan
penopang ekonomi rumah tangganya memaksa si ayah mencari penghasilan di luar harta
pusaka. Hal tersebut mendorongnya untuk mengeluarkan hasil kerja atau usahanya
dari kelompok harta pusaka, yang kemudian menyebabkan terjadinya pemisahan
antara harta pencaharian dan harta pusaka.
Terjadinya pemisahan
harta pencaharian dari harta pusaka tersebut pada dasarnya adalah pemisahan
dalam fungsi dan kegunaan harta tersebut. Harta pusaka sepenuhnya digunakan
untuk kepentingan keluarga Matrilinial. Dengan demikian pada harta pencaharian
ada kebebasan pribadi yang mengusahakannya untuk menggunakan bagi
kepentingannya tanpa harus memerlukan izin atau persetujuan dahulu dari
keluarga Matrilinial. Di samping itu pemisahan tersebut menyebabkan timbulnya
pengakuan akan adanya hak suami atas harta tersebut, serta hak anak dari
pencaharian ayahnya.
Sebelumnya hak anak atas
harta pencaharian ayahnya hanya dapat direalisasikan melalui lembaga hibah,
yang berlaku dalam beberapa tahap sebagai berikut:
a. Pada awalnya ayah
menghibahkan hara pencaharian bila ada persetujuan dari keluarga matrilinial si
ayah.
b. Selanjutnya hibah dapat
berlangsung dengan seizin kemenakan.
c. Kemudian si ayah dapat
melakukan hibah hanya dengan kewajiban memberitahukan kepada kaum tanpa
memerlukan izin secara khusus.
d. Dalam hal waris sedarah
tidak ada, hibah dapat terjadi walaupun tanpa sepengetahuan kaumnya.
e. Si anak berhak atas
peninggalan ayahnya bila ada pesan/wasiat dari si ayah sebelum meninggal.
f. Tahap akhir, si anak
mempunyai hak kewarisan penuh atas hasil hasil pencaharian ayahnya walaupun
tanpa ada pesan atau wasiatnya.
Lembaga Hibah merupakan
suatu cara yang kompromistis antara hukum adat dan hukum Islam yang menjadi
panutan masyarakat. Secara falsafah adat hibah bertentangan dengan struktur dan
sistem masyarakat yang komunal. Hal ini disebabkan karena hibah secara berangsurangsur
akan mengubah sistem kolektif menjadi sistem individual dalam pemilikan harta.
Namun masyarakat Minangkabau yang teguh menganut agamanya tidak mampu
menghalangi perubahan tersebut.
Lembaga hibah merupakan
perwujudan dari rasa tanggung jawab ayah terhadap kelangsungan ekonomi dan
pendidikan anak-anaknya. Agar yang dilakukannya tidak menyinggung perasaan
kebudayaan Minangkabau itu sendiri, dan sekaligus untuk menghindarkan silang
sengketa setelah ia (si ayah) meninggal dunia nanti, maka hibah merupakan suatu
jalan kompromi yang sering dilakukan oleh si ayah untuk anak-anaknya.
Pelaksanaan hibah dipelopori oleh para ulama yang memeroleh kekayaan dari zakat
yang diserahkan para pengikutnya. Sebagai ulama yang harus melaksanakan hukum
Islam, maka pewarisan atas harta yang diperolehnya dengan sendirinya akan
disesuaikan dengan hukum faraidh. Namun, sebagai orang yang bijaksana ini lebih
baik dilakukan secara kompromistis.
Menurut penelitian Franz
Von Benda Beckman, seorang Belanda yang meneliti adat dan keislaman, menyatakan
bahwa sejak dekade 1960-an terdapat kecenderungan dalam pelaksanaan waris,
bahwa harta pencaharian ayah diwarisi oleh anak-anaknya. Pendapatnya ini juga
didasari dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 K/Sip/1968, yang mengadili di
tingkat kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Bukittinggi nomor 46/Pdt/BT tahun
1967, dan putusan Pengadilan Negeri Padang Panjang Nomor 11/Pdt/1962, putusan
Kasasi mana menyatakan bahwa kemenakan tidak lagi mewarisi harta pencaharian
dari mamaknya Alm. Dt. Mudo atas sebuah kincir padi yang dibuat mamaknya
sebelum meninggal bersama istrinya, tetapi merupakan hak waris dari anak-anak
dan istrinya Alm. Dt. Mudo.
Adanya pemisahan harta
pusaka dan harta pencaharian dengan sendirinya membawa perubahan yang mendasar
dalam sistem kewarisan yang selama ini berlaku di Minangkabau. Jika sebelumnya
harta diwarisi secara bersamasama (kolektif) oleh anggota kaum, maka sekarang
ada kecenderungan penggunaan dua bentuk pewarisan. Bentuk pertama adalah
pewarisan secara kolektif yang selama ini berlaku dalam hukum adat, yaitu dari
mamak turun ke kemenakan. Maka bentuk
kedua adalah pewarisan secara individual terhadap harta pencaharian mamak,
yaitu diwarisi oleh anak-anak dan istrinya, yang diatur menurut hukum Faraidh
(hukum waris Islam).
Dari suatu hasil
penelitian yang dilakukan di Luhak Ranah 50 Kota yang dilakukan oleh Edison,
didapat suatu data bahwa 55% dari keluarga Minangkabau dalam pelaksanaan
pewarisan menggunakan kedua sistem pewarisan, yaitu menurut Hukum Adat dan
Hukum Islam, sedangkan 45% hanya mengenal pewarisan secara hukum adat. Dengan
demikian, walaupun ketentuan hukum waris Islam membawa pengaruh terhadap
ketentuan hukum waris Adat Minangkabau, namun ketentuan hukum waris Islam itu
tidaklah serta merta berlaku sepenuhnnya dalam masyarakat. Karena bagaimana pun
juga, masih ada kecenderungan dalam masyarakat untuk melaksanakan ketentuan
hukum waris adat secara murni dan utuh.
3. Mamak Kepala Waris
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa mamak kepala waris adalah seorang laki-laki (mamak)
tertua dalam suatu kaum yang memimpin dan bertanggung jawab terhadap harta
pusaka kaumnya. Di samping itu, mamak kepala waris juga bertindak sebagai hakim
bagi kaumnya dalam hal terjadi perselisihan dan persengketaan mengenai harta
pusaka. Juga mewakili kepentingan kaumnya dalam urusan-urusan keluar menyangkut
harta kaumnya.
Perkembangan yang
terjadi dalam kekerabatan Matrilinial pada dasarnya tidak memengaruhi jabatan
mamak kepala waris ini. Baik internal kaum maupun mewakili kepentingan kaum
dengan masyarakat di luar kaumnya, mamak kepala waris masih merupakan organ
vital yang tetap diakui keberadaannya di lembaga peradilan negara (Pengadilan
Negeri). Jabatan dan fungsi ini tidak bisa diambil alih oleh ayah (seorang sumando dalam keluarga Matrilinial). Hal
tersebut merupakan konsekuensi dari bentuk perkawinan yang berlaku di
Minangkabau. Walaupun perkawinannya bersifat Matrilokal, di mana suami tinggal
di rumah kaum istrinya, namun tidaklah berarti menjadi anggota dari kaum
istrinya. Dengan demikian, ia tidak mempunyai hak atas hal-hal yang berkaitan
dengan kekerabatan istrinya.
Perubahan yang mungkin
terjadi berkenaan dengan jabatan mamak kepala waris saat ini, mungkin hanya
masalah kewibawaan. Saat ini wibawa mamak tidak lagi seperti dahulu. Kemenakan
tidak lagi menaruh segan dan hormat kepada mamaknya seperti dahulu lagi.
Peranan mama sebagai pai tampek batanyo,
pulang tampek babarito telah semakin berkurang karena perannya telah
digantikan oleh ayahnya.
Baca Juga: KEBESARAN ADAT ALAM MINANGKABAU