Wahyudi Thamrin

Dalam Bayang-Bayang Korporatokrasi




Eropa mencapai titik baliknya ketika terjadi renaisans pada awal abad ke-16. Yang mengantarkan Eropa ke peradaban yang sama sekali baru. Peradaban yang membawa bangsa barat ke dalam kemajuan yang sangat pesat. Perubahan yang sama diharapkan oleh semua rakyat Indonesia ketika runtuhnya rezim orde baru: kedaulatan rakyat.

Reformasi yang diharapkan menjadi tonggak perubahan ke arah Indonesia yang lebih demokratis hingga sekarang masih belum bisa diwujudkan. Selama 22 tahun era peralihan ini berlangsung rakyat Indonesia terlihat sama sekali tidak bergerak maju ke arah cita-cita bangsa; menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Agenda reformasi terancam tinggal hanya sebagai sebuah konsepsi usang yang tidak akan pernah terwujudkan.

Baca Juga: 41 Orang Warga Sumbar terkonfirmasi Positif Corona

Permasalahan yang mengemuka sekarang adalah apa yang salah dengan reformasi? Dan kemanakah reformasi hendak diarahkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting untuk dijawab. Agenda utama dari reformasi adalah demokrasi. Ini artinya tatanan negara yang hendak dicapai oleh reformasi adalah kedaulatan penuh di tangan rakyat. Secara teoritis dalam suatu negara demokrasi rakyat memiliki peranan yang penting dan mempunyai andil yang besar dalam menentukan arah kebijakan negara. Adapun pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana dari kehendak rakyat tersebut. Namun dalam tatanan praktis--di Indonesia-- berbanding terbalik. Sebuah konsensus umum saat ini negara berhadapan dengan rakyat, keduanya saling mencurigai. Kita saksikan hak-hak rakyat dikebiri. Penggusuran dimana-mana, suara-suara dibungkam, hukum tebang pilih, kebijakan yang mencekik rakyat. Bersamaan dengan hal itu maka muncullah sikap skeptis rakyat terhadap negara.

Saat ini negara dikemudikan oleh mereka yang dulu bahu membahu menurunkan Soeharto. Merekalah dulu yang berteriak-teriak menuntut reformasi. Sebut saja Megawati, Adian Napitaluhu, Fahri Hamzah, Fadli Zon, mereka adalah nama-nama yang dulu berdiri di garis depan. Namun setelah merangkak dan duduk di lingkaran kekuasaan seakan terlupa akan apa yang dulu mereka perjuangkan. Sebuah lagu lama Power tends to corrupt , peluang di depan mata tentu harus disambar. Maka menahan diri adalah ujian yang nyata bagi mereka yang menceburkan diri ke dalam kubangan politik. Mereka yang berhasil melewati ujian tersebut yang benar-benar menang.

Sejatinya di tangan merekalah pilihan itu. Jika mereka konsisten dengan cita-cita mereka untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat tentulah negara dapat berjalan di atas rel yang seharusnya. Namun hal tersebut kian terlihat utopis, karena kenyataannya kepentingan kelompok di atas kepentingan bersama. Di samping sikap ambisius yang dilihatkan oleh penguasa, status mereka sebagai pengusaha dan keterkaitan mereka dengan korporasi semakin membuat rakyat harus menguburkan jauh cita-cita mereka akan keadilan dan kesejahteraan. Ketika penguasa jalannya miring tentu negara juga demikian.

Dalam keadaan seperti inilah andil pemuda sangat diharapkan. Mereka yang masih memiliki idealisme, mereka yang menyadari bahwa agenda reformasi telah diletakkan di keranjang sampah harus berani mengambil inisiatif. Generasi pemuda mempunyai kewajiban; menyadarkan kembali pendahulu-pendahulu mereka, atau menggantikan mereka sebagai promotor negara. Generasi muda bangsa harus berdiri di garda terdepan. Tentu dengan catatan generasi muda tidak ditunggangi dengan kepentingan tertentu. Kalau tidak demikian kita hanya akan terpaku dalam lingkaran setan: melihat opor kepentingan, dengan rakyat tetap menjadi korban.

Sejalan dengan agenda reformasi yang mandek dimana negara berjalan tidak seperti yang diharapkan. Demokrasi yang didambakan berputar arah menuju kekuasaan otoriter yang bersifat militeristik, elitis, anti kritik, dan membentuk lingkaran setan oligarki. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir dengan berdalih percepatan pembangunan dan untuk kemudahan investasi, pemerintah (Legislatif dan Eksekuti) kesetanan mengebut pelbagai legislasi yang berpihak kepada korporat. Sebut saja Omnibus Law RUU Cipta Kerja, UU Minerba, yang sangat jelas memuat kepentingan politis untuk kepentingan pemilik modal. Bagaimana  posisi rakyat dalam keadaan negara seperti ini? Rakyat masih menjadi elemen yang penting dalam artian bukan yang sebenarnya. Indonesia menampilkan wajah demokrasi semu seakan-akan berpihak kepada kepentingan rakyat tapi pada kenyataannya bukanlah demikian. Kapan rakyat benar-benar terlibat dalam perihal bernegara? Lima menit di bilik pemilihan umum dalam kurum waktu lima tahun sekali. Para politisi dengan wajah memelas berpura-pura peduli, berkoar-koar, menyampaikan janji-janji kampanye, pada saat-saat seperti itulah rakyat ambil bagian dalam negara. Terlepas setelah itu tidak ada lagi, yang ada negara menggembosi mereka yang berbicara.

Tentu bukan demokrasi yang seperti ini yang dulu diharapkan para tokoh-tokoh reformasi. Dan pasti bukan praktek demikian yang dicitakan dalam negara demokratis. Ketika rakyat diperlakukan hanya sebagai boneka dan permainan elit negara, negara seperti itu tidaklah pantas disebut sebagai negara dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Arah reformasi kita kian jelas, bagaikan anak panah yang salah sasaran, Indonesia kian jauh dari apa yang dicitakan. Singkatnya cita-cita reformasi menuju negara demokratis menyingkapkan diri sebagai negara korporatokrasi.

Baca juga: H Saiful SP terpilih Sebagai Ketua umum SP4 Limapuluh Kota

Dibalik carut marut yang terjadi saat ini, sudah sepatutnya kita mengingat kembali agenda yang telah dicanangkan lebih dari dua puluh tahun lampau. Mengingat bukan dalam artian bernostalgia semata, tetapi mengingat bahwa agenda itulah yang menjadi destinasi bangsa. Dan kaum mudalah yang paling utama dalam menjalankan amanat ini. Meskipun itu artinya berbenturan dengan kepentingan mereka generasi dulu yang sekarang bermain-main di tampuk kekuasaan. Tujuan reformasi adalah: demokrasi bukan korporatokrasi.



Penulis: Daniel Osckardo

*Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN imam Bonjol Padang