Wahyudi Thamrin

DIPILIHNYA WAKTU MALAM UNTUK MELAKSANAKAN TAHAJJUD


Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

  

 

“Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudahmudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Qs. Al-Isra [17]: 79)

 

Sengaja kata malam hari pada ayat tersebut ditebalkan, sebagai sebuah penegasan dipilihnya waktu malam oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud. Kenapa harus malam?  Tidak pagi, siang, atau sore hari? Energi apa yang dipancarkan dari waktu malam tersebut? Berikut ini alasan kenapa waktu malam yang dipilih oleh Allah.

             

A.    Karya-karya Besar Dihasilkan Pada Malam Hari

Waktu malam yang identik dengan keheningan dan kesunyian, ternyata mampu memberikan energi yang luar biasa untuk mendapatkan kelebihan, menambah ilmu pengetahuan, serta melahirkan sebuah karya besar. Pada saat malam hari, pikiran dan hati manusia masih jernih, belum dipenuhi dengan hal-hal urusan dunia yang menguras pikiran seperti halnya pada siang hari. Ketika siang hari, manusia sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas harian. Rutinitas sehari-hari yang kita lakukan membuat kita menghabiskan waktu untuk memikirkannya terlebih jika terjadi permasalahan. Maka, manusia akan memusatkan pikiran untuk menyelesaikannya. Sementara pada waktu malam, dengan suasana yang hening membuat manusia menjadi tenang dan mampu merenungkan sesuatu secara lebih baik.

 

Waktu malam tidak hanya baik untuk melakukan perenungan, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk belajar. Bagi Anda yang masih menjadi pelajar, waktu malam akan sangat tepat jika digunakan untuk mengulang pelajaran yang telah dipelajari pada siang hari dan mempelajari pelajaran esok hari. Di dalam kitab Ta‟lim Muta‟allim dijelaskan bahwa bagi pelajar akan sangat baik sekali jika mau membagi waktu malamnya untuk belajar dan beribadah. Sepertiga malam yang pertama untuk istirahat, sepertiga malam yang kedua untuk beribadah seperti shalat tahajud, shalat hajat, dan melakukan ibadah shalat lainnya, dan sepertiga yang terakhir digunakan untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang telah diterima pada siang hari. Menurut para ulama, jika seorang pelajar telah mampu membagi waktu malamnya untuk melakukan kegiatan belajar dan ibadah, serta selalu memohon taufik atau hidayah kepada Allah secara sinergi, maka kemungkinan besar dia akan menuai kesuksesan. Mengapa para ulama menganjurkan untuk mengulang pelajaran pada waktu malam? Karena malam adalah waktu yang sunyi, tenang, dan badan merasa segar setelah beristirahat (tidur) sehingga membuat tubuh dan pikiran dalam kondisi nyaman, yang membuat kita dapat berkonsentrasi dengan baik. Anjuran ini bukan sekadar anjuran biasa tanpa adanya pembuktian. Namun, kesuksesan para ulama pada zaman dahulu yang berhasil menulis beberapa kitab mereka yang kemudian menjadi karya yang besar dan fenomenal dilakukan di malam hari menjadi buktinya.

        Imam Al-Ghazali, berhasil mengarang kitab Ihya Ulumuddinyang fenomenal hingga sekarang. Menurut sejarah, Al-Ghazali menulis kitab ini pada setiap sepertiga malam setelah beliau melaksanakan shalat tahajud.

        Ibnu Rusyd, selalu menulis dan mengarang kitabkitabnya pada malam hari.

        Imam Ismail Al-Jurjani, setiap malamnya mampu menulis sebanyak 90 lembar dengan tulisan kecilkecil. Mengenai hal ini, Imam Adz-Dzahabi mengomentari, “90 lembar yang sekecil itu memungkinkan untuk menulis Shahih Muslim selama sepekan.” Dahsyat!

        Begitu juga dengan para ulama lainnya yang menjadikan malam hari sebagai waktu yang khusus untuk melakukan penulisan kitab-kitab mereka.

 

Selain para ulama terdahulu, para penulis di zaman ini pun banyak yang menulis bukunya di malam hari setelah mereka selesai melaksanakan tahajud. Beberapa penulis yang membagi pengalamannya tentang waktu malamnya untuk menulis di antaranya sebagai berikut:

        M. Fauzil Adhim, penulis bestseller „Kupinang Engkau dengan Hamdalah‟ menulis buku dalam keadaan bersuci dan ia lakukan pada malam hari setelah selesai melakukan tahajud.

        Habiburrahman El Shirazy, novelis no.1 Indonesia, menulis Ayat Ayat Cinta pada malam hari.

 

B.     Energi Introspeksi Terjadi pada Malam Hari

Waktu malam memang merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perenungan atau instrospeksi. Suasana malam yang sunyi dan tenang membuat hati dan pikiran menjadi sangat fokus sehingga melahirkan konsentrasi tingkat tinggi. Hal ini akan membuat pelaksanaan introspeksi dapat dilakukan secara optimal serta mampu mengingat dan menyesali semua kesalahan yang telah kita lakukan. Mengapa saya melakukan kesalahan demikian? Apa penyebabnya? Pertanyaan-pertanyaan ini akan  sangat mudah dipecahkan ketika pada waktu malam. Saya tidak mengatakan, bahwa pada siang hari kita tidak bisa melakukan introspeksi. Kita bisa saja melakukan introspeksi diri di siang hari, namun hasilnya pasti akan berbeda. Mengapa demikian? Pada siang hari, kita masih disibukkan dengan pekerjaan, rutinitas, keruwetan yang pastinya harus diselesaikan dengan menguras pikiran dan konsentrasi yang tinggi. Berbeda dengan malam hari pada waktu istirahat. Setelah istirahat Anda bisa memikirkan peristiwa yang terjadi pada siang hari. Jika menemui kegagalan atau kesulitan dan perlu dilakukan introspeksi diri, Anda lebih tenang dan jernih dalam memikirkan semua itu. Pada akhirnya akan ditemukan solusi yang tepat dan mampu memberikan progress yang lebih untuk diri Anda ataupun untuk lembaga Anda.

 

Selain digunakan untuk mencari solusi, waktu malam dapat kita gunakan untuk melakukan introspeksi diri terhadap dosa-dosa dan amal perbuatan yang telah kita lakukan. Jika Anda membaca lembaran sejarah, banyak para ulama yang menggunakan waktu malamnya untuk menghitung seberapa banyak amal kebajikan yang sudah mereka kerjakan dan seberapa banyak kesalahan yang telah dilakukan sehingga mereka dapat menyempurnakan amalnya. Oleh sebab itu, kita bisa menjadikan suri teladan dari kebiasaan baik para ulama saleh yang telah menggunakan waktu malamnya untuk melakukan introspeksi (muhasabah).

 

C.    Puncak Spiritualitas 

Sebelum menjelaskan tentang puncak spiritualitas yang terjadi di malam hari, izinkan saya untuk menjelaskan hakikat kata spiritualitas itu sendiri. Spiritualitas berasal dari kata “spirit”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata “spirit” diartikan sebagai ruh atau jiwa. Menurut Mahmudin–sebagaimana dikutip Muallifah–spiritual merupakan kata sifat atau kata keadaan yakni keadaan ruh yang bersifat ruhani atau meruhani. Selama ini banyak anggapan salah yang mengatakan bahwa kata spiritualitas dimaknai sebagai kata yang identik dengan agama, ibadah, shalat, puasa, dan ritual-ritual keagamaan lainnya. Padahal sesungguhnya spiritualitas lebih condong kepada hakikat ruh, kekuatan, dan motivasi yang mampu membangkitkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik.

 

Ketika saya membicarakan “spiritualitas malam” berarti yang dimaksud adalah spirit yang dimiliki dan diberikan oleh malam. Spirit tersebut merupakan keadaan ruhani yang ada  kaitannya dengan kedudukan atau posisi kita sebagai manusia di hadapan Allah. Jika kita merasa kita adalah makhluk yang lemah, biasa, dan tidak memiliki daya dan upaya tanpa mendapatkan pertolongan dari Allah Swt. maka secara otomatis kita memiliki spirit atau kekuatan lebih untuk mendekatkan diri kepada Allah. Caranya dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, niscaya puncak kekuatan spiritualitas tersebut akan kita dapatkan. Tetapi sebaliknya, jika kita merasa sebagai makhluk yang kuat, yang mampu melakukan apapun tanpa bantuan Allah, maka secara otomatis juga kurang ada motivasi dan semangat dalam diri kita untuk mencapai puncak spiritualitas lebih baik. Oleh karena itu, hamba Allah yang merasa dirinya lemah dan tidak berdaya jika tanpa sifat Rahman dan Rahim-Nya, biasanya mereka lebih mempunyai motivasi yang besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai spiritualtas yang tinggi.

 

Orang-orang yang mampu mencapai puncak spiritualitas yang tinggi, biasanya ditunjukkan dengan sikapnya yang siap melalui keheningan. Seorang Mukmin sesungguhnya dianjurkan untuk lebih banyak menyendiri dalam artian sering melakukan tafakur atau memikirkan sesuatu yang menjadikan maslahat bagi dirinya, baik secara ritual ibadah atau pun kebaikan yang lainnya. Menjadi hamba yang dekat dengan Tuhannya lebih sulit jika dilakukan secara bersama-sama dan beramai-ramai karena untuk mencapai spiritualitas yang tinggi membutuhkan waktu untuk berkontemplasi secara khusus agar dirinya dapat melakukan instrospeksi secara baik dan khusyuk.

 

Disamping itu, pencapaian puncak spiritualitas merupakan akhir anak tangga yang sangat menyenangkan, membanggakan, dan membuat ketenangan dalam hati. Sebab, jalan ini merupakan tangga akhir dari wujud pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah. Setiap hamba pasti melalui beberapa tahap anak tangga spiritualitas untuk bertemu dengan penciptanya. Ada beberapa anak tangga yang harus dilalui oleh seorang hamba sebelum dapat sampai di puncak spiritualitas. Anak tangga itu antara lain:

 

1.        Ketakutan 

Anak tangga paling awal yang dijalani adalah jalan ketakutan. Jalan ini adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang awam (orang-orang kebanyakan). Pada pribadi orang-orang awam, segala bentuk ibadah yang mereka lakukan didasarkan pada rasa takut yang berlebihan terhadap siksa dan Zat Allah Swt.. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh orang awam terkait dengan ritual ibadah semua karena takut kepada Allah Swt..

 

2.       Harapan

Anak tangga kedua adalah jalan harapan. Jalan ini merupakan jalan yang ditempuh oleh orang-orang awam yang sudah tercerahkan. Mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa Allah itu sesuatu yang menakutkan tetapi sebagai Zat yang memberi mereka harapan.  Mereka memandang bahwa Allah tidak hanya memberikan hukuman pada hamba-Nya yang membangkang, tetapi Dia juga pasti memberi kesempatan bertobat dan memperbaiki diri  kepada setiap hamba-Nya yang ingin menjadi lebih baik.

 

3.       Keikhlasan

Anak tangga terakhir yang menjadi puncak spiritualitas adalah jalan keikhlasan. Jalan ini sebagai jalan yang mengantarkan manusia ke singgasana Ilahi. Bukan ketakutan atau harapan yang menjadi dasar agama melainkan murni cinta seorang hamba kepada Tuhannya. 

 

Jika saya analisis lebih dalam, jalan terakhirlah yang bisa dijadikan sebagai acuan tentang hamba yang benarbenar yang mencapai ketinggian dan kedahsyatan spiritualitasnya. Mengapa demikian? Sebab, jika seorang hamba yang sudah mencapai tangga atau jalan yang ketiga maka baginya semua ibadah, baik melaksanakan segala perintah Allah maupun menjauhi semua larangan-Nya bukan lagi karena ketakutan akan ancaman dan harapan yang diberikan Allah. Tetapi, lebih pada rasa rindunya pada Allah Swt.. Hamba yang sudah mencapai tingkatan ini akan menerima dan merasa ikhlas dengan apapun takdir Allah yang telah dituliskan untuknya. Berkenaan dengan tingkatan ini, kita ingat cerita seorang sufi wanita dalam Islam yang sangat terkenal bernama Rabiah AlAdawiyah. Dia adalah satu-satunya wanita sufi yang merasakan kenikmatan dan cinta ikhlas kepada Allah dan beribadah. Ibadah yang dilakukannya tidak disebabkan karena ketakutannya dengan ancaman Allah atau pun bukan karena pahala yang dijanjikan Allah, melainkan murni karena rasa cinta ikhlasnya kepada Allah. Sehingga, apapun yang dilakukannya selalu karena Allah, tanpa ada pamrih dan mengharap apapun.

 

Mengapa puncak spiritualitas lebih mudah didapatkan pada waktu malam? Hal ini karena suasana malam adalah saat yang tepat untuk melakukan segala sesuatu dengan tenang, terlebih untuk melakukan introspeksi diri, terutama bagi mereka yang ingin beribadah seorang diri tanpa ada gangguan di tengah keramaian. 

 

 

D.    Detik-detik Berharga dan Menakjubkan

Malam waktu yang sangat berharga bagi setiap muslim. Sampai-sampai Allah sendiri mensinyalir tentang waktu malam ini dalam Al-Quran:

"Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian."(Qs anNaba: 10) 

"Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat."(Qs an-Naba: 9)

 

Dan banyak lagi ayat serupa yang menceritakan tentang waktu malam. Bagi seorang muslim, waktu malam adalah waktu yang amat istimewa. Di samping ia dapat beristirahat dari aktivitasnya di siang hari, waktu malam juga dapat membuatnya lebih dekat dengan Tuhannya. Ketika malam tiba saat-saat indah itu mulai menyelimuti dirinya. Di sepertiga malam, Allah menyuruhnya untuk bangun guna mengingat-Nya dengan cara beribadah kepada-Nya. Saat itu shalat malam atau tahajjud menjadi detik-detik yang sangat menakjubkan. Tentunya bagi seorang hamba yang mengetahui manfaatnya saja.

 

Wajar saja kalau Imam Syahid Hasan al-Banna mengungkapkan tentang mahalnya waktu malam ini. Katanya:   دَكاَنقُِ ا يلَّلِْ غََلَِّةٌَ فَلاَ ثرُ خَِّصُوهَْا باِمغَْفْنَةِ

Detik-detik malam sangatlah mahal Maka janganlah engkau sepelekan ia dengan kelalaian.

 

Ya, malam memang sangat istimewa. Kalau beliau menyifatkannya dengan detik-detik berharga. Kapan? Pasti pada tengah malam. Bukan awal atau menjelang tengah malam. Tapi sepertiga malam yang akhir. 

 

Banyak keajaiban langsung saat itu di luar pengetahuan seorang hamba. Apa itu? Yakni turunnya Allah, Tuhan semesta alam ke langit dunia. Untuk apa? Kata Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya, untuk mencari mana di antara hamba-hamba yang mengingatNya untuk dikabulkan permohonannya. Allah turun untuk membentangkan rahmat, maghfirah (ampunan) dan segala rahasia-Nya kepada mereka yang ingat pada-Nya. Allah akan mencari hamba-hamba yang beribadah kepadaNya. Mencari mana di antara mereka yang shalat, membaca al-Qur'an, merenung, menangis, tafakkur, berdoa, memohon dan 'curhat' untuk segala hal bagi kehidupannya dan kehidupan orang-orang di sekelilingnya.

 

Ya, saat-saat yang sangat luar biasa. Manakala seorang muslim rajin memanfaatkan momentum istimewa ini sungguh ini merupakan sebuah kemuliaan dan karunia yang sangat besar. Kenikmatan yang tiada tara dan salah satu dari tiga kenikmatan dunia yang tersisa dalam hidupnya.

 

Seorang sahabat pernah berkata tentang hal ini, "Tidak ada kenikmatan dunia yang tersisa bagi seorang mukmin selain 3 hal. Yakni berkumpul dengan saudarasaudaranya seiman dan seakidah, shalat berjamaah di masjid dan shalat malam."

 

Luar biasa...Inilah takaran keimanan itu. Dan shalat malam adalah salah satunya yang sangat istimewa. Pada sepertiga malam segala sesuatunya akan mulai dari nol lagi. Ketika seseorang bangun pada malam hari, maka pikirannya masih segar, mulai aktif, dan tentunya masih fitrah dari segala beban hidup. Nah saat itulah ketika ia mengisi pikirannya dengan mendekat kepada Tuhannya dalam shalat, munajat dan curhat maka -tentu saja- Allah akan mencurahkan semua cucuran rahmat-Nya kepadanya. Kemudian, menjadi lembutlah hatinya, segarlah pikirannya dan semakin fitrah dirinya.

 

Sebaliknya manakala seseorang bangun malam hanya untuk menunaikan hajat biologisnya semata, maka setan akan bertepuk-tangan dan bergembira karena orang itu akan kehilangan waktu berharga malam itu. Tidak hanya itu, setan kemudian mengencingkan pada kedua telinga orang tersebut sehingga ia lupa dan 'bablas' dari mengingat Allah dan kehidupannya. Jangankan untuk beribadah kepada Allah, hanya untuk memulai harinya dengan aktifitas kehidupan yang rutin saja terasa berat. Apalagi dengan hal-hal yang berurusan dengan akhiratnya. Sungguh...Sangat disayangkan sekali.

 

Berbahagialah Anda apabila Anda termasuk mereka yang memanfaatkan kesempatan baik nan berharga ini untuk bermunajat dan beribadah kepada-Nya. Pertahankan dan lestarikan ia sebaik-baiknya sampai berjumpa dengan-Nya. Karenanya Allah menyifatkan bahwa malam itu tanda kemuliaan seorang muslim kalau ia bisa mengisinya dengan berbagai macam bentuk taqarrub kepada-Nya.

 

Pernahkah Anda mendengar kisah Penduduk Basrah yang kekeringan ? Mereka sangat merindukan air yang keluar dari celah-celah awan. Sebab terik matahari terasa sangat menyengat, padang pasir pun semakin kering dan tandus. Suatu hari mereka sepakat untuk mengadakan Shalat Istisqa yang langsung dipimpin oleh seorang ulama di masa itu. Ada wajah-wajah besar yang turut serta di sana, Malik bin Dinar, Atha‟ As-Sulami, Tsabit Al-Bunani. Sholat dimulai, dua rakaat pun usai. Harapan terbesar mereka adalah hujan-hujan yang penuh berkah.

 

Namun waktu terus beranjak siang, matahari kian meninggi, tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Mendung tak  datang, langit membisu, tetap cerah dan biru. Dalam hati mereka bertanya-tanya, adakah dosadosa yang kami lakukan sehingga air hujan itu tertahan di langit ? Padahal kami semua adalah orang-orang terbaik di negeri ini ?

 

Shalat demi shalat Istisqa didirikan, namun hujan tak kunjung datang. Hingga suatu malam, Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani terjaga di sebuah masjid. Saat malam itulah, ia, Maimun, seorang pelayan, berwajah kuyu, berkulit hitam dan berpakaian usang, datang ke masjid itu. 

 

Setelah shalat, dengan penuh kekhusyukan ia tengadahkan tanganku ke langit, seraya berdoa, “Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu. Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis ? Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang ? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya.”

 

Lalu apa gerangan yang terjadi ? Angin langsung datang bergemuruh dengan cepat, mendung tebal di atas langit. Langit seakan runtuh mendengar doa seorang pelayan ini. Doaku dikabulkan oleh Tuhan, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang tandus yang sudah lama merindukannya.

 

Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani pun terheranheran dan Anda pasti juga heran bukan ? Ia seorang budak miskin harta, yang hitam pekat, mungkin lebih pekat dari malam-malam. Hanya manusia biasa, tapi ia menjadi sangat luar biasa karena doanya yang makbul dan malammalam yang ia penuhi dengan tangisan dan taqarrub padaNya.

 

E.     Rahasia Kemenangan

Dunia sempat tersentak, tercengang, dan terkagumkagum ketika imperium raksasa dunia, Persia dan Romawi tumbang oleh kekuatan umat Islam yang baru muncul. Raja Persia mengirim utusan untuk meminta bantuan pada Kaisar Cina. Dengan keheranan, Kaisar Cina bertanya, “Apa gerangan kekuatan istimewa tentara Islam?”

 

Utusan Persia menjawab, “Malam bagaikan pendeta dan siang laksana singa Tuhan.” (Versi Persia). Malam mereka menjalin hubungan mesra dengan Allah. Siang mereka sebagai pejuang yang gagah berani.

 

Nuruddin Mahmud Zanki, mampu menaklukkan pasukan Salib. Kemenangan demi kemenangan ia raih bersama pasukannya. Bahkan pasukan musuh itu terlibat dalam sebuah perbincangan seru. Kata mereka, “Nuruddin Mahmud Zanki menang bukan karena pasukannya yang banyak. Tetapi lebih karena dia mempunyai rahasia bersama Tuhan”.  Benar, kemenangan yang diraihnya bersama pasukannya adalah karena doa dan shalat-shalat malamnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyu‟an. Ibnu Katsir pun mengomentari dirinya, “Nuruddin itu kecanduan shalat malam, banyak berpuasa dan berjihad dengan akidah yang benar.

 

Pernahkah Anda mendengar kisah penaklukan Konstantinopel ? Sultan Muhammad Al Fatih, adalah sosok dibalik penaklukan itu.  Ia sangat lihai dalam memimpin bala tentaranya. Namun tahukah Anda bahwa sehari sebelum penaklukan itu, ia telah memerintahkan kepada pasukannya untuk berpuasa pada siang harinya. Dan saat malam tiba, kami laksanakan shalat malam dan munajat penuh harap akan pertolongan-Nya.  Dan benar saja, ia dan pasukannya mampu menaklukkan konstantinopel.

 

Kisah-kisah kemenangan di atas merupakan bukti sejarah bahwa kebangkitan umat Islam tidak saja diperjuangkan dengan keringat dan darah, tetapi juga dengan linangan air mata, tahajud. Inilah yang Allah janjikan dalam QS Al-Isra: 79.

 

Sungguh terbukti bahwa maqaman mahmudan ”kedudukan terpuji” diraih oleh umat Islam. Dua pertiga bumi dikuasai. Azan menjadi nada musikal terindah selama tujuh abad lamanya. Inilah kedahsyatan qiyamul lail. Betapa banyak kelompok yang sedikit, tetapi berkualitas (mukminin) mengalahkan kelompok yang banyak, tetapi sekadar kuantitas (kafirun, munafiqun, fasiqun, musyrikun, zhalimun) dengan izin Allah (QS Al-Baqarah: 249).

 Baca Juga: MAKNA DAN HUKUM TAHAJJUD