Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Yakinkah kita bahwa apapun yang terjadi dalam tiap hentakan detik hidup kita merupakan hal terbaik yang Allah berikan kepada kita? Keyakinan itu tentunya berkaitan erat dengan sejauh mana ketergantungan kita kepada Sang Khaliq.” (Abdul Hakim El Hamidy)
Alkisah, ada seorang raja yang selalu hidup sejahtera tanpa merasa kekurangan, tiada rasa sakit, resah bahkan gelisah sekalipun. Ia memiliki seorang penasehat kerajaan yang bijak bestari. Sang penasehat mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita. Nasehat ini selalu terpatri di hati sang Raja. Betul saja seumur hidup Raja ia selalu merasakan keindahan, kemewahan, dan kebahagiaan. Maka Raja pun makin percaya akan nasehat itu.
Hingga suatu saat ia mengupas sebuah apel untuk dimakan olehnya. Suatu pekerjaan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Akhirnya teririslah jarinya lentik nan lembut itu. Karena tak pernah merasakan kesakitan maka jarinya yang terluka itu amat menyiksanya. Maka dipanggillah sang penasehat seraya ia menanyakan perihal musibah yang menimpanya.
“Wahai penesehat, terangkanlah padaku apa yang terjadi dengan diriku hingga terluka?” ujar Raja. “Dengan luka ini, apakah memang benar bahwa takdir Allah itu yang terbaik untuk kita” lanjut sang Raja. Menanggapi hal itu sang penasehat pun tetap mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.” Lalu mengapa aku begitu kesakitan? Apa memang ini takdir yang baik?” timpal sang Raja. Akhirnya penasehat itupun dijebloskan ke penjara.
Dengan kejadian yang menimpa Raja, apakah kita masih berpikir bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita? Bagaimana dengan musibah-musibah yang kita alami? Apakah kita tetap yakin bahwa hal itu memang yang terbaik dari Allah untuk kita?
Untuk itu mari kita simak kelanjutan kisah Raja itu: Beberapa waktu berselang, Raja pun melakukan kegiatan rutinnya berburu ke hutan. Namun kali ini ia hanya ditemani para prajuritnya tanpa kehadiran sang penasehat. Seiring berjalannya waktu rupanya sang raja tersesat di hutan dan terpisah dengan rombongan prajurtitnya. Hingga ia masuk ke wilayah hutan yang dihuni sekumpulan suku pedalaman. Saat itu suku pedalaman hendak memberikan persembahan untuk dewa berupa tumbal.
Melihat ada seorang rupawan masuk ke wilayah mereka serta merta sang Raja yang tersest ditangkap dan akan dijadikan tumbal. Berkatalah salah seorang sesepuh kepala suku kepada kepala suku, “Wahai Baginda, aku menemukan seorang rupawan yang sangat pantas untuk kita jadikan persembahan bagi Dewa Agung kita.” “Bawalah kemari dan perlihatkan kepadaku,” ujar Kepala Suku. Maka digiringlah sang Raja dalam kondisi terikat ke hadapan Kepala Suku.
Kepala Suku itu pun melihat dengan seksama tubuh sang raja sambil tersenyum puas. Apa pasal? Ia begitu bahagia karena bisa memberikan tumbal kepada Dewa orang yang tampan rupawan serta berkulit bersih dan mulus. Namun, ketika ia melihat luka di jari sang Raja, senyumnya langsung memudar. Ia tak ingin tumbalnya memiliki cacat sedikitpun. Sambil berkata menggelegar, “Orang ini cacat! Kita tak bisa memberikannya untuk Dewa Agung kita.”
“Tapi Baginda, orang ini hanya memiliki cacat sedikit saja di tangannya,” timpal salah seorang yang lain. “Tidak bisa! Ia memiliki cacat! Ia tak bisa dijadikan tumbal!” tegas kepala suku. Akhirnya sang Raja dibebaskan dan dengan terbirit-birit ia berlari menjauh sambil mencari jalan menuju kerajaannya.
Berkat izin Allah, ia pun sampai di kerajaannya. Hal pertama yang dilakukan adalah berlari menuju penjara tempat sang penasehat dikurung. Lalu ia membebaskannya. “Wahai sahabatku, engkau benar! Engkau benar!” ucap sang Raja sambil terengah-engah. “Apa maksud Tuanku?” tanya sang penasehat sambil keheranan. Raja pun menceritakan kejadian yang ia alami. Berkat lukanya, berkat kesakitan yang ia rasakan, berkat darah yang menetes dari jarinya, berkat kesemuanya itu ia terbebas dari benar. Ya benar, takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.
Sang penasehat langsung mengucapkan hamdalah. “Wahai Raja, sungguh aku pun mengalami hal yang terbaik dari Allah,” kata penasehat. “Apa maksudmu, bukankah kau mengalami kesengsaraan selama di penjara?” tanya Raja. “Bukankah dengan aku di penjara maka aku tak ikut berburu bersama Tuan? Lalu bila aku ikut niscaya akulah yang akan mereka pilih untuk menjadi tumbal mereka” jelas penasehat. Sekali lagi takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.
Itulah setitik hikmah yang menyuratkan bahwa apapun yang kita alami pastilah yang terbaik dari Allah untuk kita. Lalu, kenapa harus bersedih? Kenapa harus kecewa?