Wahyudi Thamrin

KEDAHSYATAN DOA


Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

 

Secara  psikologis, doa itu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan rohaniah, membuat rohaniah semakin tenang dan kuat, mampu dan mempunyai desakan-desakan keinginan jasmaniah. Doa itu membentangkan tali pengharapan (optimisme). Sebagai diketahui, keadaan lahiriah atau jasmaniah manusia ditentukan oleh keadaan jiwanya, rohaniahnya.

 

Berbagai eksperimen dan penyeledikan secara ilmiah terhadap pengaruh dan energi doa itu dalam membentuk rohaniah manusia telah diakui oleh beberapa ahli-ahli. Disini kita kemukakan kesimpulan dari dua orang ahli dalam lapangan tersebut. Pertama, seorang penganut agama–malah pendeta Kristen–yang telah mencapai reputasi internasional dalam bidang kehidupan rohaniah itu. Namanya Dr. Norman Vincent Peale. Kedua, Dr. Alex Carrel, seorang dokter ahli jiwa.

 

Dr. Norman Vincent Peale menyimpulkan pengaruh doa dan kekuatan itu sebagai berikut:

 

“Doa adalah manifestasi dari energi. Seperti juga adanya metode-metode ilmiah untuk mengembangkan tenaga rohani dengan jalan doa. Bukti-bukti tentang energi doa itu dijumpai secara menyeluruh, energi doa itu ternyata sanggup menormalisir proses ketuaan, dan membatasi kerusakankerusakan jasmaniah.” Tidak perlu Anda kehilangan sumber energi atau kekuatan, atau lemah dan lesu hanya sematamata lantaran usia Anda bertambah. Tidak perlu Anda membiarkan semangat Anda melempem. Doa dapat menyegarkan Anda setiap pagi untuk menghadapi pekerjaan. Anda akan menerima bimbingan untuk memecahkan segala macam problema; jika Anda menerapkan doa memasuki bawahsadar Anda, sebab dia merupakan sumber kekuatan yang menentukan apakah tindakan-tindakan Anda benar atau keliru. Doa mempunyai kekuatan untuk memelihara reaksirekasi Anda yang tepat dan sehat. Doa yang Anda tancapkan dalam-dalam ke bawahsadar Anda akan mengembalikan kekuatan-kekuatan Anda dan mengalirkan kekuatan tersebut secara bebas.”

Demikian kesimpulan ahli pertama

 

Kesimpulan ahli yang kedua, yaitu Dr. Alex Carrel, diuraikannya dalam bukunya, “Man The Unknown” (Manusia makhluk yang tak dikenal), sebagai berikut:

“Doa adalah bentuk tenaga yang mahakuat yang dapat dilaksanakan oleh manusia. Tenaga itu dalam kenyataannya tak obahnya seperti gaya berat. Sebagai seorang dokter ahli jiwa, saya menyaksikan bahwa pasienpasien yang dapat diobati dengan segala macam perawatan, dapat sembuh karena tenaga tentram yang terkandung dalam doa. Doa adalah laksana radium yang mengandung sumber yang bercahaya dan membangunkan.

 

Didalam doa, manusia berusaha menambah tenaganya yang terbatas dengan tenaga dorong yang menggerakkan alam semesta. Kita berdoa supaya sebagian dari kekuatan itu dicurahkan untuk kebutuhan kita.”

 

Hanya dengan jalan berdoa, kekurangan insani kita diisi, dan setelah kita bangun terasa kuat dan sehat. Setiap kali kita berdoa dengan khusyu’ kepada Allah, maka rohani dan jasmani kita terasa berobah kepada keadaan yang lebih baik, setiap laki-laki yang mendoa walau bagaimanapun pendeknya, pasti akan merasakan pengaruhnya yang baik.

 

Pengaruh doa itulah yang mendorong pejuangpejuang untuk mencapai tujuannya mengatasi 1001 macam kesulitan yang terbujur dan terbentang di jalan yang dilaluinya. Doa. Menumbuh harapan yang kuat, hingga harapan itu membumbung tinggi, mengguncang ‘Arasy. Dan dengan izin-Nya, Dia mengabulkan doa-doa hamba-Nya. Di bagian ini, Anda akan terkagum-kagum dengan kekuatan doa. Anda akan takjub bagaimana begitu ajaibnya doa dalam mengatasi berbagai kesulitan. Kisah-kisah berikut akan membuat Anda semakin yakin, optimis, dan tidak meremehkan tentang hebatnya doa. Ya, saat doa bekerja. Ya, saat Allah menjadikan doa kita sebagai alat komunikasi efektif tanpa batas.


1.Sembuh Dari Penyakit Mandul

Allah SWT berfirman, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”. (QS. Ali Imran: 38). Ia juga berfirman, “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris yang paling baik. Maka Kami mem-erkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.” (QS. Al-Anbiya: 89-90) 

 

Setelah Nabi Zakaria As memohon kepada Allah agar Ia memberinya anak keturunan yang baik-baik, Allah kemudian mengabulkan permohonannya dan menganugerahinya seorang anak.  Ia berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak setelah ia mengagungkan Allah tatkala menyaksikan Maryam dianugerahi Allah berupa buah-buahan segara dengan beragam jenis yang tidak tumbuh pada musim itu di negeri mereka. Firman Allah, “Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dkehendaki-Nya tanpa hisab (perhitungan).” (QS. Ali Imran: 37). Pada saat itulah Zakaria As berdoa kepada

Allah, dan ia pun mengabulkan permohonannya dan menjadikan isteri Nabi Zakaria As sembuh dari penyakit (mandul)nya. 

 

     

2.Dapat Berjalan Dengan Normal Dan Mempunyai Anak

Lottie Summers adalah seorang wanita. Pada suatu ketika ia mendapat kecelakaan lalu lintas. Mobil yang dikendarainya ditabrak kereta api. Ia mendapat luka-luka berat dan harus dirawat di rumah sakit. Dokter yang merawatnya mengatakan bahwa akibat luka-luka itu akan meninggalkan cacat yang akan dideritanya seumur hidup. Pertama, sebelah kakinya akan lebih pendek dari kaki yang sebelah lagi, sehingga ia akan berjalan pincang. Kedua, benturan sebagian perut dan peranakannya akan mengakibatkan bahwa kelak ia tak mungkin melahirkan anak.

Mendengar diagnosa dokter yang mencemaskan itu, maka Lottie Summers selalu berdoa kepada Ilahi: “Ya Tuhan, tolonglah saya. Saya ingin dapat berjalan kembali dan untuk mendapat anak” (Oh God, help me I must walk and must be able to have a child).

 

Setiap pagi, sebelum dokter datang ke rumah sakit untuk memeriksanya, ia senantiasa melatih diri dengan meluruskan kakinya, sedikit demi sedikit. Latihan itu di kerjakannya dengan tertib dan teratur. Diwaktu malam ia senantiasa berdoa kepada Tuhan.

 

Pada suatu waktu, tatkala ibunya datang menjenguknya ke rumah sakit, maka dengan sangat terharu ibunya mempersaksikannya dari jendela betapa derita payah yang diderita oleh puterinya itu ketika menjalankan latihan-latihan tersebut. Berkat doa yang dimohon-kannya, ditambah dengan kemauan dan semangatnya yang kuat, maka tidak berapa lama ia pun sembuh. Kakinya dapat berjalan kembali seperti biasa, tidak pincang. Beberapa bulan kemudian sesudah keluar dari rumah sakit ia pun kawin, dan kemudian mendapat anak. Anak itu sehat dan normal.

 

                  

3. Terbebas Dari Kebutaan

Penulis buku al-istisyfa bercerita, “Beberapa tahun yang lalu mata saya tertimpa suatu penyakit yang tidak saya ketahui sebabnya. Saya kemudian memeriksakan diri pada dokter spesialis mata di rumah sakit. Dokter itu kemudian berpesan padaku  agar datang sepekan kemudian. Namun ucapan itu saya anggap bahwa ia akan berlepas diri dari penyakit yang saya derita sehingga saya kemudian merujuk kepada dokter mata lainnya yang lebih profesional, namun harapan hanya tinggal harapan, ia pun tidak dapat mengobati penyakitku.

 

Dalam beberapa hari penyakit yang saya derita semakin parah, seakan hendak membunuhku. Akhirnya saya kembali ke dokter yang pertama yang memarahiku karena terlambat datang berobat. Ia kemudian memberi obat penghilang rasa nyeri yang saya alami.

 

Dua bulan lamanya saya bolak balik-balik ke dokter tersebut hingga akhirnya diperiksa langsung oleh Kepala Bagian Terapi mata yang juga adalah dosen di fakultas kedokteran. Namun kalimat yang  mengerikan itu terdengar di telingaku, 

 

“Mata Anda mengalami kebutaan total, dan kita harus membatasi sebaran penyakit itu agar tidak mengenai mata yang satunya.”

 

Saya pulang ke rumah sambil menangis sedih, “Saya buta!!?” kataku dalam hati. Pada saat demikian saya memasrahkan diri kepada Allah dan berdoa pada-Nya semoga Ia mengangkat penyakitku. Keesokan harinya ketika saya kembali untuk memeriksakan diri, tiba-tiba dokter saat melihat mataku melalui kaca pembesar, 

“Mukjizat..., mukjizat, apa yang telah engkau lakukan?”

Saya berkata, “Tidak ada! Saya tidak melakukan apa pun, kok. Saya hanya berdoa dan memasrahkan diri kepada Allah atas kebutaan total yang bakal menimpaku sebagaimana engkau katakan.”

Dokter itu pun berujar, “Semoga kesembuhan mata bapak berkat doa yang bapak telah panjatkan kepada Allah, Tuhan semesta alam.”

 

            

4. Penyakit Telinganya Sembuh Total

Diriwayatkan, bahwa ada seorang perempuan yang mengeluhkan sakit di bagian telinganya. Ia pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan penyakitnya. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter menyimpulkan bahwa perempuan itu harus menjalani operasi pembedahan.

 

Cukup lama perempuan itu mempertimbangkan saran yang diberikan oleh dokter itu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak membuka cadar yang menutupi wajahnya. Saat itulah, dokter menceritakan seorang perempuan tua yang juga pernah bersikap sama dengannya. Sambil tersenyum ia berkata kepada perempuan itu, “Jika kamu tidak mau dioperasi, maka jadilah seperti perempuan tua itu. Ia datang kepadaku untuk memeriksa kesehatannya. Sebenarnya ia harus menjalani operasi untuk menyembuhkan gendang telinganya yang bocor. Namun, ketika aku memberitahunya, ia menangis dan berkata, “Wahai dokter, demi Allah aku tidak akan membuka hijabku di depan lakilaki yang bukan muhrimku.’ Lalu aku pun menjelaskan padanya bahwa kondisi kesehatannyalah yang memaksa harus dilakukan operasi, karena obat-obat lain sudah tak ampuh lagi. Namun ternyata perempuan itu tetap bersikeras tidak mau membuka hijabnya. Karena ia tetap berkeras hati, maka aku pun mengalah dan memberitahukan agar ia dapat memikirkannya secara matang, dengan harapan semoga ia dapat bersedia menjalani operasi.”

 

Tatkala waktu yang dijadwalkan telah tiba, perempuan itu pun datang. Saat itu aku melihatnya berdoa kepada Allah memohon kesembuhan segera. Manakala ia telah duduk di atas kasur untuk dilakukan pemeriksaan ulang, suatu keajaiban telah terjadi, keajaiban yang membuatku terkesima dan menambah ketebalan imanku. Padahal sebelumnya telinga perempuan itu harus dioperasi, tapi ternyata, aku melihatnya telah sembuh total. Karena heran dan penasaran aku bertanya kepadanya, apa yang baru saja aku saksikan. Ia menjawab, ‘Sejak aku keluar dari kantormu, aku berdoa kepada Allah SWT agar disembuhkan dari sakitku. Sebab aku lebih memilih mati daripada memperlihatkan bagian auratku kepada laki-laki yang bukan muhrimku.” “Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu,” ucapku mendengar penuturan perempuan tua itu.

 

Setelah menceritakan tentang perempuan tua itu, dokter pun berkata kepada perempuan yang sakit pada telinganya, “Kalau memang kamu menolak untuk dioperasi, maka berdoalah kepada Allah SWT, memohonlah dengan sungguh agar Dia menyembuhkan dan menghilangkan sakit yang ada pada dirimu.”

 

Sepulangnya dari ruang praktek dokter itu, ia mulai berdoa dan memohon kepada Allah agar menyembuhkan dan menghilangkan penyakit yang ia derita. Setelah beberapa hari kemudian, tibalah saatnya perempuan tua itu harus memeriksa kembali ke tempat dokter yang sedang menunggu kejutan kedua.

 

Pemeriksaan dimulai, teka-teki           membuat hati berdebar-debar, mengharap keinginan perempuan itu dikabulkan oleh Allah SWT. Betapa senangnya hati dokter, manakala memeriksa kembali telinga perempuan tua itu. Dengan wajah berseri-seri ia memberikan kabar gembira kepada perempuan itu sembari berzikir kepada Allah SWT, “Sesungguhnya telingamu telah sembuh total.”          


5. Mendoakan Wanita Yang Lumpuh Selama 20 Tahun

Abbas Ad-Dauri berkata, “Ali bin Abi Fazarah menceritakan kepada kami, “Ibuku telah mengalami kelumpuhan selama 20 tahun lamanya. Suatu ketika ia berkata padaku, “Pergilah, temui Abdullah bin Hambal, dan mintalah padanya agar ia mendoakanku.” Saya pun segera berangkat menemui beliau. Setelah mengetuk pintu rumahnya terdengar suara seorang laki-laki dari dalam, “Siapa di luar?” saya disuruh oleh ibuku yang telah lumpuh selam 20 tahun, agar engkau mendoakannya.” Tiba-tiba terdengar suara dengan nada tinggi seakan marah atas kedatanganku, “Kami lebih butuh doa kalian kepada Allah.” Mendengar kalimat itu saya segera pulang dan disambut oleh seorang tua yang berkata padaku, “Ia telah berdoa untuknya sesudah engkau meninggalkannya.”

 

Setelah saya masuk ke dalam rumah, saya menemukan ibuku dalam keadaan mampu berjalan.” Subhanallah…!

 

 6. Dari Botak Menjadi Lebat

Seorang wanita tetangga Habib memiliki anak yang masih kecil, tampan tapi botak. Ketika anak itu mulai besar, atau berusia sekitar 12 tahun, ayahnya kemudian membawanya kepada Habib dan berkata padanya, “Wahai Abu Muhammad, tidaklah engkau melihat keadaan puteraku yang demikian ini, tanpa sehelai rambut pun di kepalanya? Doakanlah ia, Wahai Habib!”

 

Melihat kondisi anak itu, Habib pun menangis dan mendoakannya sambil  mengusapkan air matanya pada kepala sang anak. Tak lama kemudian rambut di kepalanya mulai tumbuh lebat, sehingga anak itu dikenal dengan rambutnya yang indah. Majasyi (yang meriwayatkan kisah ini) berkata, “Saya melihatnya dalam keadaan gundul dan juga menyaksikannya dengan rambutnya yang indah lebat.”

 

7. Batu Keluar Dari Telinga

Ibnu Abid Dunya berkata, “Al-Hasan bin Arafah menceritakan kepada kami, dari Amr bin Jarir, dari Umar bin Tsabit Al-Khazraji berkata, “Suatu hari, sebuah batu kecil masuk ke dalam telinga seorang lelaki penduduk Bashrah. Ia pun kemudian berusaha mengeluarkannya melalui bantuan beberapa dokter, namun mereka tak mampu melakukannya. Rasa sakit yang ia derita membuatnya tidak dapat tidur malam hari atau melakukan apa pun pada siang hari. Ia lalu datang kepada salah seorang kawannya, mengadukan masalah yang ia derita.

“Bila ada sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka itu adalah doa Al-‘Ala bin Al-Hadhrami yang berdoa kepada Allah tatkala ia berada di tengah gelombang samudera dan panas sahara.”

“Apa doa yang ia panjatkan itu?” Tanya lelaki kepada kawannya.

“Doanya adalah, “Ya Allah, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, Yang Maha Mengetahui dan Maha Santun.”

 

Setelah mendengar saran kawannya, maka lelaki itu berdoa kepada Allah dengan doa itu. Dan demi Allah! Sebelum pagi menjelang batu itu keluar dari telinganya, suaranya berdenting ketika terjatuh di atas lantai, dan orang itu pun sembuh dengan izin Allah.

 
8. Sembuh dari Penyakit Kuning

Seorang wanita tertimpa penyakit kuning sehingga perutnya tampak membengkak. Ia kemudian datang kepada Malik dan berkata,

“Wahai Abu Yahya, tolong doakan aku kepada Allah, agar Dia menyembuhkan penyakitku.”

Malik berkata, “Apabila engkau berada dalam majelis ini, maka majulah ke depan.”

Maka si wanita tadi menuruti perintah Malik. Tatkala berada di hadapan Majelis tersebut, Malik berkata,

“Sesungguhnya wanita ini tertimpa penyakit kuning sebagaimana yang kalian saksikan. Kini ia meminta agar dia didoakan, maka doakanlah ia.”

Malik kemudian berdoa, “Wahai Yang Maha Pemberi karunia, wahai Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Engkau, sembuhkanlah wanita ini, dan angkatlah penyakitnya.”

Subhanallah, tak lama kemudian perut wanita yang membesar itu pun mengempis dan sembuh seketika. 

9. Terbebas Dari Liang Kubur

Seorang lelaki bercerita kepada Syaikh Khalid Sulaiman Ar-Rub’i tentang begitu dekatnya Allah terhadap hamba-Nya ketika sang hamba sangat mengharap pertolongannya.

Suatu ketika lelaki itu menuju Riyadh dari kota Dammam dan tiba di sana sekitar jam 12 siang. Setelah tiba di bandara ia menghubungi sahabatnya namun ia tak dapat menjemputnya karena pekerjaannya yang sangat padat dan agak terlambat keluar dari kantornya. Akhirnya ia menuju sebuah hotel dan menyewa sebuah kamar di lantai empat.

Setelah beristirahat sejenak, ia lalu masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah selesai ia pun berusaha membuka pintu untuk keluar. Namun, entah mengapa, pintu kamar mandi itu tidak dapat terbuka. Seribu macam cara telah ia lakukan, tapi hasilnya nihil. Tinggallah ia di sana termenung sendiri tak tahu apa yang harus dilakukannya dalam ruangan tanpa jendela atau handphone untuk menghubungi seseorang di luar sana.

Sepertiga jam berlalu seakan tiga hari lamanya. Sementara keringat di tubuhnya terus mengalir, dan jantungnya berdetak kencang. Tak ada jalan lain kecuali memasrahkan diri dan berdoa kepada Allah, semoga Ia membebaskannya dari kesulitan tersebut.

Setelah duduk lama di sana dalam kelarutannya berdoa, ia lalu berusaha kembali membuka pintu. Dan benar! Potongan besi yang mengganjal pintu itu bergerak perlahan-lahan. Ia terus mendorongnya dan berhenti sejenak bila kelelahan. Dan setelah mendorongnya berulang kali, akhirnya pintu itu dapat terbuka.

Rasa haru dan bahagia menyelimutinya. Ia berucap syukur kepada Allah. Sungguh, Allah telah mengabulkan doa hamba-Nya dengan mengeluarkannya dari ruangan sempit itu,  seakan terbebas dari lubang kubur.

            

10. Selamat dari Gelombang dahsyat

Abdullah bin Habib adalah seorang alim dari Andalus yang doanya kerap dikabulkan Allah. Suatu ketika ia berada di atas gelombang yang sangat dahsyat yang hendak menghempaskan kapal yang ia naiki. Ia kemudian berwudhu lalu mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, 

Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa perjalananku ini karena ikhlas pada-Mu semata dan menghidupkan sunnah Rasul-Mu, maka angkatlah kesulitan ini dari kami, perlihatkan rahmat-Mu sebagaimana Engkau perlihatkan kepada kami siksa-Mu.”

 

Dalam waktu singkat Allah hilangkan kesulitan yang mereka hadapi dengan lembut.


11. Tidak Bisa Berkutik


Hasan Al-Bashri pada suatu hari menemui Al-Hajjaj bin Yusuf. Tatkala ia masuk, tampak Al-Hajjaj duduk dengan penuh kepongahan. Melihat kepongahan Al-Hajjaj, Hasan Al-Bashri berkata,

 

“Segala puji bagi Allah, bahwa semua raja-raja itu menganggap diri mereka sebagai pemberi peringatan bagi semua orang, namun kita melihat adanya pelajaran yang harus kita petik dari setiap perilaku mereka. Di antara mereka ada yang berlindung dibalik kemegahan istana yang mereka bangun dengan segala kemewahan perabotannya. Mereka telah dibuat tuli oleh ketamakan mereka sendiri.”

Lalu Hasan Al-Bashri berkata,

“Wahai manusia fasik dan penjahat besar, sesungguhnya penghuni petala tujuh langit melaknat kalian, sebagaimana penghuni bumi murka  kepada kalian.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Hasan Al-Bashri meninggalkan ruangan Al-Hajjaj seraya berkata,

“Sesungguhnya perjanjian itu diambil dari para ulama, agar ia menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.”

Mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Hasan Al-Bashri maka naiklah amarah Al-Hajjaj lalu ia berkata,

“Wahai penduduk Syam, sesungguhnya warga Bashrah ini telah melontarkan peng-inaannya di hadapanku dan tak seorang pun di antara kalian yang mengingkarinya. Bawa orang itu kemari! Demi Tuhan, saya akan membunuhnya.”

Hasan Al-Bashri kemudian dibawa ke hadapan AlHajjaj dan memperlihatkan sebilah pedang yang telah ada di tangannya.

 

Tatkala tatapan mata Al-Hajjaj memandang wajah Hasan Al-Bashri, ia segera melontarkan makiannya. Namun Hasan Al-Bashri tetap menasehatinya sambil berdoa kepada Allah. Ia kemudian menyuruh Al-Hajjaj agar meletakan pedangnya dan menyuruhnya mengambil air wudhu. Al-Hajjaj menuruti kata-kata Hasan Al-Bashri. Setelah berwudhu kemudian ia mengusapkan wewangian pada tubuhnya dan mempersilahkan Hasan Al-Bashri meninggalkan tempat itu dengan penuh hormat.

 

“Cukuplah Allah sebagai pelindungku dari kejahatan orang itu, dan dengan karunia dan kemuliaan-Nya.”

 

 12. laut Jadi Tenang

Suatu ketika Baqiyah dan Ibrahim berada di tengah laut. Tiba-tiba angin bertiup kencang yang membuat perahu yang mereka tumpangi berguncang hebat. Seluruh penumpang yang berada di kapal itu pun menangis karena ketakutan. 

“Wahai Ibrahim, apa yang harus kita lakukan?” tanya mereka

“Tiada pertolongan selain pertolongan Allah. Tidak ada yang harus kita lakukan dalam situasi yang mencekam ini selain berdoa.”

“Berdoa?”

“Ya, berdoa kepada Allah.”

Lalu Ibrahim berdoa,

ياَ عَحََ خِ رلَ لاَحٌََّل وَ يهَا عَحََ قَترهنَ  كُُ  حََل وَ يهَا عَحََ يهَا قَ عَيه رمُل يهَا مُُرصِ ٌُ ياَ مًُُر ِنُ. ق ردَ أرََأيَرتَ اَ ق ردُرَحكََل فَ رَِ اَ خَ رف َكَ 

 

Wahai yang Maha Hidup ketika tak ada kehidupan. Wahai yang Maha Hidup sebelum seluruh yang hidup itu hidup. Wahai yang Maha Hidup setelah yang Hidup itu hidup. Wahai yang Maha Hidup dan Maha Mengurus makhluk-Nya. Wahai yang Maha Indah dan menjadikan segalanya indah. Sungguh Engkau telah perlihatkan kepada kami kekuasaan-Mu, maka perlihatkan pula maafMu.”

Tak lama berselang, laut pun menjadi tenang.

 

 

13. Service Mobil ditanggung Gubernur

Dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji menuju Riyadh, mobil yang dikendarai dua orang pemuda tiba-tiba mogok. Setelah diperiksa ternyata mesinnya mengalami kerusakan cukup parah dan membutuhkan biaya service cukup besar, sedangkan mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk itu. Setelah lama termenung memikirkan nasib yang mereka alami, seorang dari mereka lalu berdoa kepada Allah,

 

Ya Allah, yang kami mohon pada-Nya saat lapang, kini kami datang memohon kepada-Mu tatkala dalam kesempitan. Ya Allah, tolonglah kami sesuai yang Engkau kehendaki. Ya Allah, cukupkanlah untuk kami apa yang halal dari-Mu dan jauhkan kami dari yang haram, dan keutamaan dari pada-Mu, bukan dari yang selain dari-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya saya termasuk orang yang zalim.” 

Sungguh, Allah Maha Mendengar doa. Tak lama kemudian sebuah mobil mewah berhenti tidak jauh dari mereka. Penumpangnya kemudian turun menemui mereka yang sedang termenung dalam kesedihan. Ia pun lalu bertanya kepada keduanya tentang masalah yang menimpa mereka. Setelah keduanya menjelaskan tentang masalah yang menimpa mereka hadapi orang itu berkata,

“Sesungguhnya Gubernur Riyadh telah menyaksikan keberadaan kalian di tempat sepi di tengah siang bolong ketika ia sedang melewati jalan ini, dan berpesan kepadaku agar mendatangi kalian berdua, bila saja kalian membutuhkan pertolongan. Mari ikut saya sekarang!” 

Maka, salah seorang dari pemuda Kuwait berangkat mengikuti orang tersebut yang membawanya menuju rumah megah Gubernur Riyadh. Sesampainya di rumah gunernur, sanga pemuda tadi tercengang, karena gunernur telah menyediakan aneka makanan yang lezat.

Setelah selesai makan lalu sang gubernur bertanya,

“Adakah yang bisa saya bantu?”

“Ya, Pak Gubernur, di tengah perjalanan mobil yang kami kendarai mogok. Setelah diperiksa ternyata ada kerusakan, dan membutuhkan biaya service yang cukup besar. Kami kebingungan karena uang kami tidak mencukupi untuk servicetersebut.”

“Jangan cemas. Bawa saja mobil tu ke bengkel, semua biaya service biar saya tanggung.” 

“Terimakasih atas bantuannya, Pak Gubernur.”

“Sama-sama.”

 

 

Abu Mu’allaq adalah seorang bisnisman yang dikenal dengan sifat wara’ dan ahli ibadah. Sesibuk apapun, ia tak pernah lupa menyempatkan diri untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Suatu ketika ia keluar untuk menjalankan roda usahanya, namun di tengah perjalanan ia dihadang oleh sekelompok perampok dengan pedang terhunus di tangan mereka. Perampok itu lalu berkata padanya,

“Tinggalkan seluruh yang engkau miliki di tempat ini, karena saya akan membunuhmu.”

“Kau rupanya hanya menginginkan nyawaku, tidakkah cukup bila harta ini jadi milikmu?” kata Abu Mu’allaq.

“Adapun harta ini, maka ia telah menjadi milikku, dan saya tidak menginginkan yang lain kecuali ke-matianmu.”

“Baiklah. Tapi, saya minta syarat kepadamu.”

“Syarat apa?”

“Biarkan saya shalat 4 raka’at dulu.”

“Shalatlah sesukamu.”

Abu Mu’allaq kemudian berwudhu lalu me-laksanakan shalat 4 rakaat dengan penuh kekhusyu’an. Pada sujudnya yang terakhir ia kemudian berdoa,

 

Wahai Yang Maha Kasih, Wahai Pemilik Arasy Yang Maha Agung, Wahai Yang sanggup melakukan apa pun sesuai dengan kehendak-Mu, aku memohon pada-Mu dengan segala keagungan-Mu yang tidak tertandingi, dan kerajaan-Mu yang tidak terkalahkan. Wahai Yang Maha Penolong, tolonglah aku.”

 

Doa tersebut ia ucapkan sebanyak 3 kali secara berulang-ulang. Tatkala doanya yang ketiga kalinya, tibatiba seorang satria berkuda dengan sebilah tombak di tangannya muncul dan segera menyerang perampok tersebut hingga membunuhnya. Ia kemudian men-datangi

 

Abu Mu’allaq dan berkata padanya,

“Berdirilah!”

Mendengar perintah tersebut, Abu Mu’allaq tersentak kaget lalu berkata,

“Demi ayah dan ibuku! Dari manakah Anda gerangan, sungguh Allah telah menolongku hari ini melalui tangan Anda.”

 

“Saya adalah malaikat penghuni langit ke empat. Tatkala engkau memanjatkan doamu yang pertama, maka terguncanglah pintu-pintu langit. Ketika engkau mengucapkannya untuk yang kedua, maka getaran doa itu pun terdengar oleh penghuni langit, dan tatkala engkau mengucapkannya untuk ketiga kalinya, maka dikatakan padaku bahwa itu adalah doa hamba yang sedang dalam kesulitan. Saya lalu memohon kepada Allah agar menyerahkan tugas membunuh perampok itu padaku.”

 

Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa Anas bin Malik berkata,

“Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang berwudhu lalu shalat 4 rakaat dan berdoa dengan doa ini, niscaya Allah akan mengabulkannya, apalah ia berada dalam kesulitan atau tidak.”

 

Seseorang menceritakan tatkala ia berada dalam pesawat yang akan membawanya ke sebuah kota, “Ketika itu kami telah berada di udara, tiba-tiba co-Pilot memberitahukan bahwa pesawat yang kami tumpangi harus kembali ke bandara semula karena ada kerusakan yang terjadi pada pesawat. Kami pun lalu kembali ke bandara semula. Setelah kerusakan diperbaiki, pesawat berangkat kembali menuju kota tujuan. Namun, tatkala hendak mendarat, mendadak ban pesawat tidak dapat keluar sehingga pendaratan tidak dapat dilakukan. Pesawat pun akhirnya naik kembali dan berputar untuk melakukan pendaratan ulang, tapi usaha-usaha yang dilakukan kru pesawat agar ban pesawat dapat keluar tetap gagal. Pesawat yang hanya dapat berputar-putar di atas bandara itu membuat para penumpang di dalamnya dilanda kecemasan (stres) dan ketakutan luar biasa.  Mereka, khususnya para wanita mulai menangis membayangkan kematian yang siap merenggut mereka. Kami pun berserah diri kepada Allah dan larut dalam zikir kepada-Nya, “La ilaha illallah, wahdahu la syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir” (Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Untuk-Nya segala pujian dan Ia Maha Berkuasa atas segala sesuatu).

Seorang Syaikh kemudian berdiri dan menasehati kami, para penumpang agar berserah diri kepada Allah, berdoa dan memohon ampun pada-Nya. Kami pun kembali berdoa kepada Allah Yang mengabulkan orangorang yang berada dalam kesulitan. Pada putaran yang kesebelas atau kedua belas, roda pesawat itu akhirnya dapat keluar dan pesawat pun mendarat dengan selamat.

Tatkala kami keluar dari pesawat itu, kami merasa keluar dari liang lahad. Wajah penumpang menampakkan kegembiraan dan kecerian, serta syukur kepada Allah Yang Maha Lembut dan Maha Kasih.

Abdul Hakim adalah salah seorang muballigh. Suatu ketika ia naik kendaraan dari Padangpanjang menuju Payakumbuh. Tepat  di terminal Bukittinggi penumpang turun. Kebetulan ia duduk dibagian depan samping kiri dekat pintu. Karena ada penumpang disampingnya yang mau turun, maka ia pindah ke belakang. Pas penumpang sudah mulai agak berkurang, maka ia pindah lagi ke depan. Ketika kondektur meminta ongkos, ia merogoh saku, ternyata dompetnya hilang. Dompet tersebut berisi uang dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta surat-surat lainnya. 

Mengalami kejadian yang tak terduga tersebut ia terperanjat kaget, namun hal tersebut tak berlangsung lama. Ia kuasai dirinya lalu berkata kepada kondektur, “Maaf, Da, pitih di dompet ambo hilang (Maaf, Kak, uang di dompet saya hilang).

 

Mendengar penuturan Abdul Hakim,  kondektur terdiam dan ia sangat memaklumi musibah yang menimpa Abdul Hakim lalu berkata, “Sudah kena, Da!" 

 

Abdul Hakim baru menyadari, bahwa kejadian tersebut berawal ketika di terminal Bukittinggi ada beberapa orang naik mobil dan agak mendesak badannya dan penumpang lainnya. Ia tidak menyangka kalau itu adalah strategi yang dilancarkan oleh para pencopet. Namun, apalah daya, musibah datang dalam sekejap mata.

 

Abdul Hakim akhirnya tersadar, bahwa semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Dengan kekuatan imannya Abdul Hakim introspeksi diri lalu bergumam, “Alhamdulillah, Engkau telah menyadarkanku ya Allah. Mungkin selama ini saya kurang sedekah.” Bahkan, ia berdoa mudah-mudahan para copet itu diberi hidayah oleh Allah. 

 

Tak terasa mobil melaju dengan cepat dan sampailah di terminal Koto Nan IV  payakumbuh. Sesampainya di terminal Koto Nan IV, Abdul Hakim berpikir keras lagi, karena perjalanan yang harus ditempuh masih jauh dan harus naik mobil dua kali, yaitu dari terminal ke Pasar Kerbau, dan dari Pasar Kerbau ke Kapur IX. Sementara uang didompetnya tinggal Rp2000 (dua ribu rupiah), sedangkan ongkos sampai ke Kapur IX waktu itu adalah adalah Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah). 

Dalam kepanikannya, ia berdoa kepada Allah. 

 

Ya Allah, Engkau Zat Yang Maha Tahu segala-galanya. Inilah hamba-Mu sangat butuh pertolongan-Mu. Kepada siapa lagi memohon kalau bukan kepada-Mu? kepada siapa lagi meminta kalau bukan kepada-Mu?”

 Tiba-tiba ia ingat bahwa di Pasar Payakumbuh ada orang Kapur IX yang bekerja di Toko Kosmetik, namun ia tidak tahu persis dimana tempatnya. Lalu ia berdoa lagi. “Ya Allah, tolonglah saya. Pertemuan saya dengan Adi.”

Subhanallah, Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya yang amat butuh pertolongannya. Tiba-tiba, tatkala Ibnu berjalan antara harap-harap cemas, ia disapa oleh seseorang,

 ”Bang, dari mana dan mau kemana?” 

Abdul Hakim balik bertanya: “Maaf, Anda siapa?”

“Saya Iwan.” Jawabnya. 

“Oh, maaf Abang lupa. Maklum sudah lama nggak ketemu. O, ya, Wan, tahu nggak, tempat si Adi?”

 “Tuuuh, di depan!”

 Alhamdulillah, ya Allah, Engkau kabulkan doa hamba.” Abdul Hakim membatin

“Terimakasih Wan.”

“Sama-sama.”

Abdul Hakim mendekat ke toko tempat Adi bekerja lalu menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Mendengar penuturan Abdul Hakim, Adi merasa iba. Maka, ia berikan uang Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah) kepada Abdul Hakim.

Setelah menerima uang dari Adi, Abdul Hakim pamit dan tak lupa mengucapkan terimakasih. Kemudian berjalan menuju terminal Pasar Kerbau yang tak begitu jauh dari tempat Adi bekerja.

Dengan uang Rp20.000 sebagai buah dari kesungguhannya dalam berdoa-akhirnya Abdul Hakim sampai ke Kapur IX dengan selamat.

 

Seorang penerbang bernama Eddie Rickenbacker suatu waktu mengemudikan pesawat. Tiba-tiba pesawat yang dikemudikannya mengalami kecelakaan hebat, sehingga banyak orang yang menyangka bahwa ia telah hancur bersama-sama dengan pesawat yang dikendalikannya itu. Dalam keadaan luka parah, ia dirawat di rumah sakit Florida.

Tatkala sedang merintih berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba didengarnya dari pesawat radio yang ada dalam kamarnya itu satu berita yang mengabarkan bahwa ia telah tewas. Dalam keadaan penuh mengharap ia berdoa,

“Ya Tuhan, janganlah dibiarkan saya mati (God, don’t let me die)!”

Akhirnya ia menang, sakitnya sembuh, dan kemudian ia dapat  bekerja kembali seperti biasa.

 

Beberapa tahun kemudian, tatkala pecah perang dunia kedua, ia menjalankan tugas sebagai penerbang militer, sekali lagi pesawat yang dikendalikannya mendapat kecelakaan dan jatuh jatuh di perairan Pasifik Selatan. Selama 17 hari dan malam ia dihempaskan oleh pukulan gelombang laut kian-kemari, tidak ada makanan dan minuman.

Bantuan yang diharapkan semakin tipis. Satu-satunya yang masih memberikan pengharapan kepadanya ialah  doa yang dimohonkannya terus-menerus kepada Tuhan supaya jiwanya selamat. Pada saat-saat yang terakhir, seorang penerbang laut yang ditugaskan mencarinya, tatkala akan terbang menuju pangkalannya kembali sebab merasa tidak berhasil menemukan-nya, tiba-tiba memutar haluan pesawatnya kebelakang karena sayup-sayup jauh dilihatnya semacam benda terapung-apung diatas laut. Ternyata benda yang dilihatnya itu ialah tubuh Rickenbacker yang sudah sangat lemah, tapi masih bernapas. Akhirnya, ia dapat ditolong dan jiwanya selamat.

Didalam bukunya yang berjudul “At My Mother’s Knee”, Rickenbacker menarik kesimpulan bahwa kekuatan doalah yang senantiasa menghayati hidupnya pada saatsaat yang genting

Richard Evelyn Bird adalah seorang ahli ekspedisi Amerika. Ketika masih menjadi siswa, sebelah kakinya cacat akibat bermain sepakbola.

Sesudah menjabat berbagai macam jabatan penting, ia mengorbankan sebagian besar akhir hayatnya untuk pekerjaan-pekerjaan ilmiah ke tempat-tempat yang berbahaya.

Pada tahun 1983 ia mengarang sebuah buku yang berjudul “Alone” ‘sendirian’. Dalam buku tersebut dikisahkan pengalamnnya yang getir selama lima bulan hidup seorang diri dalam gubuk yang tertimbun dengan endapan es di daerah Kutub Selatan. Taufan salju mengamuk di atas gubuknya, suhu turun sampai 82 F derajat dibawah 0°.

Keadaan di sekitarnya gelap gulita. Dalam pada itu, uap api batubara mengepul pula dari alat memanaskan badan (sove) yang dipakainya, yang meracuni dan membahaya-kan jiwanya. Seringkali ia tak bisa bernapas dan berjam-jam jatuh pingsan.

Ia tak dapat lagi makan dan tidur, malah kondisi badannya sudah sedemikian lemah, sehingga untuk turun dari tempat tidurnya saja tidak berdaya lagi. Acapkali ia menyangka akan mati menjelang pagi datang dan akan terkubur begitu saja dalam lapisan salju yang tebal. Untuk mendapat pertolongan yang terdekat, jaraknya masih 123 mil lagi dan hanya mungkin dicapai dalam waktu berbulan-bulan. Dengan pikiran yang bergerak dengan teratur melalui garis edarnya. Ia melihat matahari tenggelam, dan pada waktunya terbit kembali menerangi daerah Kutub Selatan yang gelap-gulita.

Pada saat-saat yang kritis ia yakin bahwa diluar dirinya ada kekuasaan tempatnya mengharapkan pertolongan. Dalam buku catatan hariannya ditulisnya: The human race is not alone in the universe (umat manusia tidak sendirian saja di alam-raya ini).

Setiap saat ia berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Berkat doanya yang tak kunjung putus, maka pertolongan Tuhanpun datanglah. Keadaan alam dan suasana berangsur-angsur menjadi normal. Sehingga akhirnya ia lepas dari bahaya maut.

Pengalamannya itulah yang menumbuhkan insprirasinya untuk menulis buku yang berjudul, “Alone” itu. Didalam buku itu ditarik kesimpulan bahwa pengaruh dan energi doa senantiasa menolong manusia pada saatsaat yang mencemaskan.

Al-Muhaddits, Abu Sahl Al-Qaththan berkata, “Pada suatu hari saya bersama dengan Al-Imam Al-Muhaddits, Abul Hasan Ali bin Isa bin Daud bin Al-Jarrah yang ketika itu menetap di Mekkah. Hari yang panas membuat  tenggorokan kami kering karena haus. Ia kemudian thawaf, melempar jumrah dan berkata, 

“Aku malu kepada Tuhanku bila meminum air dingin di tengah panas terik ini.” 

Tak lama kemudian awan tebal pun menyatu menutup langit disertai suara petir, dan butir-butir salju jatuh dari langit disambut dengan anak-anak  yang berlarian ke sana kemari mengumpulkan butiran-butiran es itu. 

Ketika waktu berbuka telah tiba, saya kemudian membawa beberapa buah gelas untuk Abu Sahl Al-Qaththan yang ketika itu sedang berpuasa, ia lalu memberi minum orang-orang yang ada di sekitarnya dan berkata, “Semoga yang saya lakukan ini berbuah maghfirah (ampunan) dari Allah SWT.”

 

Pada suatu ketika penduduk kota Madinah dalam keadaan kekeringan. Dan di kota itu terdapat lelaki saleh yang selalu berdiam di dalam Masjid Nabawi. Tatkala penduduk Madinah sedang berdoa meminta hujan, lelaki itu pun mengenakan dua lembar pakaian lusuh. Ia kemudian shalat dua rakaat lalu mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah, saya bersumpah pada-Mu takkan menurunkan tangaku kecuali bila Engkau menurunkan hujan untuk kami sekarang.”

Belum putus doa yang ia panjatkan, tiba-tiba tampak awan mulai mendung menutup langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan sangat deras yang membuat penduduk kota Madinah khawatir terjadi banjir. Lelaki saleh itu berkata,

Wahai Tuhan, apabila Engkau mengetahui bahwa limpahan hujan ini sudah cukup untuk mereka, maka hentikanlah hujan itu.”

Dengan izin Allah, hujan itu pun berhenti.

Seseorang kemudian mengikuti lelaki saleh itu hingga tiba di kediamannya. Setibanya di sana ia lalu memanggil lelaki itu yang segera keluar menemuinya, ia lalu berkata,

“Saya datang padamu untuk satu keperluan.”

“Apa kebutuhanmu?” tanya lelaki saleh

“Khususkanlah aku dengan doamu.”

“Insya Allah.”

“O, ya, kalau boleh bertanya, ‘Apa yang menyebabkan dirimu sampai pada batas yang telah aku saksikan (doamu dikabulkan Allah).”

“Apakah engkau menyaksikan apa yang saya lakukan?”

“Benar, saya melihatmu.”

“Sesungguhnya saya senantiasa mematuhi perintahperintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka Dia pun mengabulkan apa yang saya butuhkan.”


Kebodohan pernah menyebabkan seorang laki-laki mengancam istrinya akan menjatuhkan talak jika ia tidak dapat memberikan anak laki-laki. Laki-laki itu tidak sadar bahwa anak adalah urusan Sang Pencipta. Yang ada dalam pikirannya adalah, bahwa urusan anak ada di tangan perempuan.

Dalam ketidakberdayaannya sang istri bersyair:

Kamu menginginkan anak laki-laki

Semua itu tidak ada di tangan kita Sesungguhnya kita hanya menerima Segala pemberian-Nya.

Pada suatu hari sang istri pergi ke Baitullah. Di tempat yang suci itu ia thawaf dan memperbanyak doa. Dengan sepenuh jiwa dan raga, di belakang maqam Ibrahim ia memohon kepada Allah. 

“Ya Allah, ya Rabb, Engkau Maha Tahu keadaan hamba-Mu pada saat ini. Ya Allah, berikanlah kepada seorang anak laki-laki sebagaimana yang diinginkan suami hamba, agar hamba-Mu ini terhindar dari ancaman suami hamba.”

Saat-saat melahirkan telah tiba, sambil menunggu keputusan dari Allah, kedua matanya berkaca-kaca penuh harapan semoga anak yang ia lahirkan adalah laki-laki. Tak lama kemudian, ternyata harapannya dijawab Allah, karena ia benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki.

 

Impiannya untuk melahirkan seorang anak laki-laki telah menjadi kenyataan. Dengan perasaan gembira yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, ia bersyukur pada Allah, karena Allah telah mendengar dan mengabulkan permohonannya

 

Kisah ini akan mencoba menghilangkan keresahan dan kegundahan kepada pasangan suami isteri yang sudah sekian tahun bahkan puluhan tahun belum diberi anak keturunan, agar tidak putus asa meminta kepada Allah SWT.

Salah seorang perempuan menceritakan, “Saya memiliki seorang kakak laki-laki yang setelah 10 tahun berumah tangga, ia belum juga dikaruniai seorang anak. Para dokter pun telah melakukan banyak tes dan pemeriksaan, mereka menyimpulkan bahwa kedua pasangan suami istri itu tidak memiliki hambatan yang dapat mencegah kehamilan sang istri. Selama itu pula kedua suami istri sangat berharap kepada Allah.

Berbekal dengan kebesaran harapan itulah keduanya berdoa memohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang saleh. Pasangan suami istri itu tidak pernah menyianyiakan saat-saat dikabulkannya doa. Dalam doanya, saudaraku itu sering membaca:

"Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". (QS.Ali Imran: 38)

Memang benar, Allah SWT tidak pernah mengecewakan harapan orang yang meminta kepada-Nya. Setelah beberapa waktu kemudian, Allah SWT mengaruniai mereka dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dua tahun kemudian, Allah kembali mengaruniai keduanya seorang anak perempuan.

Segala puji hanya untuk Allah. Maha benar Allah ketika Dia berfirman, “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dia kehendaki, Atau dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan dia menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-Syura: 49-50).

Kisah berikut akan mengajarkan kepada para istri dan suaminya untuk senantiasa melibatkan Allah dalam setiap kejadian dan mengambil hikmah atas setiap peristiwa.

Sepasang suami istri telah hidup bertahun-tahun dalam bahtera rumah tangga penuh bahagia. Namun, kebahagiaan ini berubah drastis tatkala sang suami tibatiba menjadi seorang yang temperamen, emosional. Perilaku ini dirasakan sang istri ketika saat-saat tertentu sang suami sering memberlakukannya secara tidak baik. Sang istri sangat heran dengan perubahan sikap yang dialami suaminya. Segudang pertanyaan terus menumpuk dalam pikirannya. “Apakah aku telah berbuat salah terhadapnya? Atau…dan atau?” batin sang istri.

Kian hari sikap suaminya semakin tampak tidak menghargainya. Hingga akhirnya sang isteri merasa muak duduk bersamanya. Ia berniat memberitahukan kepada pihak keluarganya untuk menggugat cerai ke-pada suaminya atas perlakuannya.

Maka datanglah sang isteri kepada pihak keluarganya. Namun, apa tanggapan keluarga-nya? Mereka bukannya mendukung gugatan cerainya, justru mereka menyarankan kepada-nya agar tetap bersabar dan mempertimbang-kan nasib anak-anaknya. 

Sang isteri pun menyadari akan ketidaksabarannya. Ia mulai mendelatkan diri kepada Allah lewat puasa, berdoa, beristighfar dan shalat tahajjud. Disamping itu, ia pun mengajarkan kepada anak-anaknya tentang Al-Quran dan riwayat hidup Rasulullah Saw.

Suatu hari, suaminya masuk dan memukulinya, kekerasannya terhadapnya sudah tak terhingga lagi. Ketika sang isteri tak berdaya untuk tetap bersabar mendampingi-nya, sambil menangis segera menghubungi keluarganya. Tak lama kemudian mereka tiba di rumah. Melihat kondisi sang anak, mereka tak kuasa menahan kucuran air mata sebagai pelampiasan rasa iba atas nasib anak mereka dan cucu-cucunya.

Dan ketika mereka tengah duduk-duduk dalam suasana penuh kesedihan, tiba-tiba obrolan mereka terputus oleh sebuah suara keras. Mereka bergegas lari menuju dapur, barangkali tabung gas atau listrik telah meledak. Namun, ternyata mereka tidak menemukan apaapa. Mereka semakin penasaran. Lalu mereka pergi ke luar menuju halaman rumah. Keajaiban pun muncul, dimana mereka melihat satu ubin lantai rumah mereka telah keluar dari tempatnya.

Dengan perasaan takut bercampur heran, mereka perlahan mendekatinya. Dalam hati mereka muncul pertanyaan, “Apakah suara keras tadi berasal dari benda ini?” Mereka angkat ubin itu dan melihat ke bawahnya, mereka baru yakin kalau suara keras tadi berasal dari benda itu dan mereka yakin kejadian ini berasal dari sihir. Mereka lalu menghubungi salah seorang Syaikh dan menceritakan kejadian itu, sang syaikh pun mem-berikan kepada mereka cara melepaskan diri darinya.

Subhanallah…tak lama berselang. Sang suami yang ketika kejadian itu berada di luar rumah itu pun datang, dan keajaiban pun datang. Sang suami datang dengan wajah penuh senyum ceria, padahal beberapa jam sebelumnya, ketika keluar rumah, ia sangat kasar dan membenci istrinya.

 

Inilah buah dari doa yang dipanjatkan sang istri yang dibarengi dengan istighfar dan shalat tahajjud. Doa sang istri telah menghancurkan sihir mahabbah yang dikenakan kepada suaminya.

Dikisahkan, seorang lelaki tinggal di Inggris. Namun, beberapa pekan lagi masa tinggalnya di Inggris berakhir, itu berarti ia harus memperpanjang visa tinggal di Departemen Dalam negeri sebelum masa berlakunya habis, dan proses perpanjangan ini tidaklah rumit apabila berkas-berkas yang dibutuhkan lengkap. Ia pun kemudian menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, namun beberapa hari itu ia tidak mengurusnya karena banyaknya pekerjaan yang harus ia lakukan.

 

Hingga sepucuk surat dari bagian urusan tinggal orang asing di Markas Kepolisian setempat datang kepadanya agar segera memenuhi panggilan tersebut, bila tidak visa tinggalnya akan segera dibatalkan. Maka, ia kemudian mengambil berkas dan surat-surat keluarga yang telah ia siapkan sebelumnya dan meletakkannya di dalam sebuah kantong plastik agar tidak menggoda mata perampok yang berkeliaran di wilayah tersebut. Karena apa yang ada di tangannya sekarang adalah harta paling berharga yang dimiliki seorang pendatang Palestina sepertinya.

 

Karena hari masih pagi, lelaki tersebut kemudian menuju kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Namun alangkah terkejutnya ia tatkala menemukan pintu kantornya, Organisasi Mahasiswa Muslim, tergeletak begitu saja di atas tanah. Ia baru sadar ternyata para perampok telah menyerbu kantornya dan mengambil barang-barang berharga yang ada di dalamnya. Ia kemudian menghubungi polisi dan beberapa kawan yang belum datang pagi itu.

 

Setelah memperbaiki dan membenahi kantor tersebut, lelaki itu kemudian pulang ke rumah dalam keadaan bingung, karena paspor dan berkas-berkas untuk mengurus izin tinggal yang harus ia bawa ke Markas Kepolisian lenyap entah di mana. Istri dan anak-anaknya juga tidak tahu menahu tentang hal itu. Ia kemudian memeriksa di dalam mobil, di laci kamar, di dalam kantor, namun semuanya nihil. Selama sepekan lamanya ia mencari berkas-berkas berharga sambil berharap seseorang datang membawanya setelah menemukannya di jalan, atau melalui pihak kepolisian setelah melaporkan peristiwa yang telah dialaminya, tapi semua itu sia-sia belaka.

 

Akhirnya panggilan kedua pun datang setelah Markas Kepolisian memberinya kesempatan selama seminggu untuk mencarinya. Surat itu juga berarti bahwa ia dan keluarga harus kembali ke tanah air. Maka pada hari itu ia segera bersiap memenuhi panggilan itu, namun sebelum ke Kantor Kepolisian, ia terlebih dahulu mampir di kantornya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, “Mengapa saya tidak shalat dahulu dan berdoa kepada Allah agar Dia memudahkan urusanku?” Ia pun kemudian mengambil air wudhu dan shalat duha dua rakaat. Tatkala ia sujud, ia pun berdoa dengan hati yang tulus dan penuh harap pada-Nya, “Ya Allah, Dzat yang Maha Mengetahui kesulitan, bebaskan hamba dari kesulitan ini dan tunjuki hamba dari kesesatan ini.”

 

Subhanallah, tatkala ia bangkit dari sujud, ketenangan yang selama ini hilang darinya, mulai menyergap jiwa dan perasaannya. Ketika ia mengucapkan salam ke kiri, tibatiba pandangan matanya tertuju pada sebuah plastik hitam yang tergeletak di bawah meja. Antara percaya dan tidak, saya segera meraih plastik itu dan membukanya dengan tangan gemetar. Ia bergumam, 

 

Alhamdulillah, inilah yang saya cari-cari selam ini. Paspor, surat-surat keluarga dan berkas-berkas lainnya lengkap, tak kurang sedikitpun.”

 

Lalu ia meletakkan plastik dan segera sujud syukur di hadapan  Allah atas karunia-Nya. ‘Allahu Akbar!’ Pekiknya dalam.  Hati. Tanpa terasa air mata membasahi pipinya, “Kenapa tidak sejak dulu saya melakukan hal ini?” Ia membatin. Ketika itu ia baru teringat bahwa benda itu dahulu ia letakkan di samping meja, kemudian tertutup benda lainnya ketika kantor ini dibenahi.” Sungguh, Allah Maha Mendengar doa hamba.   

Suatu ketika, Abdurrahman bin Ziyad bin An’am, seorang ahli hadits, ditawan oleh pasukan laut dan dibawa ke Konstantinopel. Ia kemudian dihadapkan kepada raja Tiran dan berada dalam pengawasannya. Ketika Hari Ied tiba, mereka lalu diberi makanan dan minuman yang lebih baik dari hari-hari biasa. Beberapa hari kemudian seorang wanita terhormat datang menemui raja dan diberitahu bagaimana raja itu menghormati tamunya (para tawanan Arab) dengan memberi hidangan hari raya.

 

Betapa marahnya wanita itu mendengar ucapan sang raja. Ia segera merobek pakaian yang ia kenakan dan mengacak-acak rambutnya dan melumuri wajahnya dengan arang, dan berkata,

 

“Mereka itu telah membunuh suami, saudara dan anak-anakku, lalu kalian memperlakukan mereka dengan kebaikan yang aku dengar itu?”

 

Mendengar penuturan wanita itu, Raja pun marah dan segera memanggil semua tawanan itu dan menyuruh sang algojo agar memenggal kepala mereka satu persatu. 

Ketika tiba pada giliran Abdurrahman, ia tampak menggerak-gerakkan bibirnya, hanyut dalam doanya.

“Ya Allah, ya Allah, Engkaulah Tuhanku yang tiada aku sekutukan Engkau dengan apapun jua.”

Melihat bibir Abdurrahman yang bergerak-gerak itu, raja berkata, “Hadapkan kemari orang yang alim di antara mereka.” 

 

Setelah itu ia pun membebaskan Abdurrahman dan orang yang ada di belakangnya setelah ia bertanya mengapa bibirnya ia gerakkan.


Alangkah gelapnya hari itu. Di langit tampak awan hitam bergantungan. Tanda sebentar lagi akan turun hujan. Angin pun bertiup kencang menerbangkan pasir dan dedaunan. Tiba-tiba dari kejauhan tampak tiga orang laki-laki berjalan bergegas menyusuri lereng bukit, seakan-akan dikejar rasa takut. Takut kalau hujan turun dengan cepat sebelum mereka menemukan tempat berteduh. Dan ternyata dugaan mereka benar. Tidak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatya, bagaikan dicurahkan dari langit.

 

Dalam kebingungannya, tiba-tiba mereka melihat sebuah gua kecil tak jauh dari tempat ia berdiri. Dengan tidak membuang waktu, maka berlarilah ketiga orang itu memasuki gua tersebut untuk berteduh, sambil menunggu hujan reda.

“Alhamdulillah, akhirnya kita dapat juga berteduh.” Kata lelaki pertama.

“Sekalipun gua ini sempit dan kotor.” Sahut lelaki kedua.

“Ah, kau jangan menggerutu. Syukuri aja, untung dapat tempat untuk berteduh. Kalau tidak, kan kita sudah basah kuyup kedinginan.”

“Sudahlah…..” Kata lelaki pertama menengahi.

Kemudian suasana menjadi sepi. Masing-masing sibuk mengatur dirinya sendiri. Sementara di luar hujan masih turun dengan lebatnya. Sebentar-sebentar terdengar suara gemuruh dan petir bersambungan.

Darr….!!

Terdengar suara petir menggelegar disusul suara batu besar menggelinding ke bawah.

Darr….!!

Dinding gua pun bergetar. Seketika itu juga ruangan di dalam gua menjadi gelap gulita.

“Hai, apa itu?” Teriak lelaki pertama sambil berdiri.

“Hah, batu….? Lobang gua ini tertutup oleh batu besar.” Sahut lelaki kedua.

“Celaka dua belas, kalau begini.” Sambung lelaki ketiga.

“Lalu bagaimana caranya kita keluar dari sini?” Ucap ketiga laki-laki.

“Mari kita coba…!” Kata lelaki pertama.

“Coba bagaimana?” tanya lelaki ketiga.

“Kita coba mendorong batu besar ini keluar.” 

Mulailah ketiga orang itu menyingisingkan lengan bajunya. Mereka mencoba mendorong batu besar itu. Tetapi hasilnya sia-sia saja. Batu besar itu bagaikan terkunci di mulut gua.

“Wah…, celaka kalau begini.” Keluh lelaki kedua sambil mengusap air matanya.

“Ya, kita istirahat sebentar sambil cari akal.” Sambung lelaki ketiga.

“Cari akal bagaimana? Batu ini terlalu besar. Kita bisa mati kelaparan.” Bantah lelaki pertama setengah berteriak.

“Duduklah dulu, kita cari jalan keluar.” Sela lelaki ketiga.

Suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing berpikir mencari jalan keluar.

“Nah, saya ada ide.” Kata lelaki ketiga memecah kesunyian. Begini, kita memohon kepada Allah (berdoa).”

“Berdoa…?” tanya lelaki pertama dengan nada mengejek. 

“Ya, kita berdoa kepada Allah agar menghilangkan kesulitan kita.” Jawab lelaki ketiga.

“Hah…, mana mungkin batu besar ini akan minggir hanya dengan doa.” Ejek lelaki kedua.

“Kalian mau keluar dari cengkraman gua ini atau tidak?” Bentak lelaki pertama.

“Baiklah kalau begitu….” Jawab ketiga ketakutan.

Maka mulailah ketiga orang tersebut berdoa dengan menunjukkan amal kebajikan yang pernah mereka lakukan. 
Lelaki pertama berdoa,

“Ya Allah, Zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, begitu besarnya hormat dan cintaku kepada ibu dan ayahku yang sudah tua hingga aku tidak mengizinkan isteri dan anak-anakku meminum susu di pagi hari sebelum ibuku dan ayahku meminumnya lebi dahulu. Sekalipun anak-anakku menangis, aku tetap melarangnya. Oleh karena itu, setiap pagi aku pergi ke rumah orang tuaku, mengantarkan susu itu.

Tetapi, pada suatu waktu, terjadilah sedikit perselisihan antara aku dan kedua orang tuaku, hingga beliau tidak berkunjung ke rumahku. Sekalipun anakanakku menangis karena ingin meminum susu, aku tetap melarangnya. Oleh sebab itu, setiap pagi aku pergi ke rumah mengantarkan susu itu, bahkan suatu hari isteri dan anak-anakku kuajak ke rumah orang tuaku.

Dan seperti biasanya, aku pun membawa sekaleng susu buat mereka. Tetapi, ketika kami datang ibuku masih tertidur lelap. Hingga aku pun tidak berani membangunkannya. Aku pun duduk menunggui ibuku yang tidur tadi. Karena rasa haus tak tertahankan, anakanakku menangis, merengek meminta susu. Tapi, aku tidak mau memberikannya sebelum ibuku meminumnya. Karena mendengar tangisan anak-anakku yang semakin keras, maka ibuku terbangun, dan bertanya kenapa anakanakku menangis? Aku jawab, “Aku tidak akan memberikan susu ini kepada anakku sebelum ibu meminumnya.” Mendengar jawabanku, ibuku lalu mengambil gelas berisi susu, lalu meninumnya sedikit. Kemudian ia memanggil anak-anakku agar meminumnya.

Ya Allah, semua itu aku lakukan, karena cintaku padaMu, ya Allah, dan karena baktiku kepada orang tuaku.

Ya Allah, kalau apa yang aku lakukan itu termasuk perbuatan baik, maka tolonglah kami bertiga. Lepaskan kami dari gua ini ya Allah, singkirkan batu besar yang menutup pintu gua ini dengan kekuasaan-Mu.”

Hanya sampai di situ lelaki pertama berdoa. Ia sudah tidak mampu lagi mencari kalimat-kalimat yang lain. Hatinya amat terharu dengan kata-katanya sendiri. Namun, dalam hati ia terus dan berdoa sambil menangis. 

Tiba-tiba terjadi kehendak Allah. Batu itu bergeser dan tampaklah seberkas cahaya masuk ke dalam goa itu.

Alhamdulillah!” ucap mereka serentak.

Lalu lelaki kedua berdoa,

“Ya Allah, ya Tuhan kami, aku adalah seorang pemuda yang sedang dimabuk asmara. Kebetulan gadis yang kucintai adalah anak pamanku sendiri. Namun, perjuangan cintaku ternyata tak semudah yang dibayangkan. Suatu saat, ketika aku melamar gadis itu, ayahnya menolak lamaranku. Aku boleh melamarnya, kalau sudah dapat menyediakan uang sebanyak 100 dinar buat gadis itu. Oleh sebab itu, aku pun berusaha matimatian, untuk mencari uang yang dimintanya.

 

Setelah mempunyai uang sebanyak seratus dinar, maka pergilah aku menemui gadis yang aku cintai tadi. Tiba-tiba pikiranku dikuasai setan. Aku bujuk gadis itu agar memenuhi syahwatku. Tetapi dia menolak, dan berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah kau membuka cincin dengan jalan yang terlarang.”

Sungguh, kata-kata itu membuatku tersadar. Aku minta maaf kepada gadis itu, dan aku pulang ke rumah. ‘Ya Allah, ya Tuhan kami, kalau apa yang aku la-kukan termasuk perbuatan baik, maka kabulkanlah doaku. Tolong kami bertiga ya Allah. Singkirkan batu besar yang menghambat gua ini, agar kami semua dapat pulang ke rumah kami.

Wahai Tuhan yang mendengar semua jeritan, perkenankan doa kami.”

Selesai lelaki kedua ini mengucapkan doa, tiba-tiba terjadi peristiwa luar biasa, batu itu bergeser dan rengganglah dua pertiga goa.

Kemudian lelaki yang ketiga berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya saya memburuhkan kepada seorang buruh dengan satu faraq (3 sha’) jagung, maka saya berikan upah kepadanya, dan orang itu enggan untuk mengambilnya. Saya sengajakan terhadap faraq itu, maka saya tanam sehingga darinya saya belikan lembu dan digembalanya, sehingga buruh itu datang dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikan hak saya.’ Saya katakan padanya, ‘Ambillah lembu itu dan gembalalah, sesungguhnya lembu itu adalah milikmu.’ 

Ya Allah, kalau apa yang hamba perbuat ini adalah suatu kebaikan, maka selamatkan kami dari cengkraman maut ini.”

Selesai lelaki ketiga itu berdoa, maka terbukalah pintu goa.

 “Allahu Akbar…!” seru ketiga lelaki itu.

Lalu mereka berpelukan sambil menangis tersedusedu terharu tanda bahagia. Tampak mata mereka bersinar terang. Dan seperti digerakkan tenaga gaib, ketiga lelaki itu pun langsung bersujud ke bumi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Tak lama kemudian, hujan pun reda.           

     
Ada seorang laki-laki yang menikah lagi dan tidak mau kembali kepada isteri pertamanya. Ia tidak lagi memberi nafkah maupun jatah giliran. Padahal, saat itu isteri pertamanya masih dalam masa nifas setelah melahirkan.

Sikap suami itu membuat isterinya merasa seakan dunia menjadi gelap, sulit baginya memejamkan mata, bahkan sering menangis hingga air matanya kering. Tidak ada yang dapat menolongnya selain Allah SWT.

Sejak itulah ia mulai sering bangun tengah malam, bermunajat dan memohon kepada Allah. Akhirnya, belum lagi ia selesai dari masa nifasnya, ternyata suaminya telah kembali dan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan suaminya itu sering berkata, “Sesungguhnya, setiap kali aku masuk ke rumah ini, aku merasakan kebahagiaan dan ketenangan hati.”

Di sebuah kota, tinggallah seorang perempuan bersama anak-anaknya, ia tidak memiliki income sama sekali. Suatu hari, ia keluar dari rumahnya yang sangat sederhana, ia melihat ke arah kilometer listrik, ternyata di sampingnya telah ditempelkan faktur tagihan. Ia pun mengulurkan tangan untuk melihat jumlah tagihan yang harus dibayar.

Tagihan itu memang tidak banyak, namun diukur dengan kemampuannya yang tidak memiliki pendapatan, tentunya ia tidak dapat melunasinya. Sehingga manakala ia terlambat membayar tagihan tersebut, datanglah surat peringatan terakhir yang menyatakan keputusan bahwa jika ia masih tidak melunasinya, maka petugas akan memutuskan aliran listrik ke rumahnya.

Tinggal satu hari lagi kesempatan untuk melunasi tagihan itu. Dadanya terasa sesak, ia sangat kebingungan dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar tagihan tersebut.

Di tengah kebingungan, ia pergi mengambil air wudhu. Lalu di tempat shalatnya,  dengan mengenakan mukena dan deraian air mata, sepanjang malam ia berdoa, menghadap kepada Sang Pemilik kekayaan langit dan bumi, memohon rezki dari Allah .

Setelah itu, bersama keheningan malam, ia tidur sambil mengharap jalan keluar yang akan datang hingga tiba waktu fajar.

Keesokan harinya, datanglah seorang laki-laki yang tidak dikenal, sambil mengetuk pintu ia bertanya, “Apakah ini rumah si fulan?”

“Benar,” sahut perempuan itu.

Tanpa basa-basi laki-laki misterius itu langsung menyerahkan sejumlah uang. Begitu aneh, karena uang yang diserahkan laki-laki itu senilai tagihan listrik yang tertera di atas faktur.

Wail namanya. Ia telah lulus SLTA. Kedua orang tuanya begitu senang dan bahagia saat membayangkan masa depannya yang sukses. Setelah itu keluarga itu pun bermusyawarah dengan anak semata wayangnya tentang bidang ilmu dan jurusan yang diinginkannya, sehingga ia bisa memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat. 

“Nak, kamu rencana mau kuliah di mana dan ngam-bil jurusan apa?” tanya orang tua Wail.

“Saya ingin masuk jurusan kedokteran di Univer-sitas Sourbon di Paris ibukota Perancis.”

“Kalau memang itu keinginanmu, kami sebagai orang tua setuju-setuju saja.”

Ayah Wail adalah seorang pedagang sukses dan hidup bahagia dengan keluarganya. Ia laki-laki saleh, jujur dan terpercaya. Ia tidak terbiasa berdusta seperti sebagian pedagang lainnya. Karenanya, orang-orang pun menyukainya, mempercayainya dan senang ber-bisnis dengannya.

Tibalah saatnya Wail untuk melanjutkan studinya di Universitas idamannya. Maka sang ayah mempersiapkan semua biaya untuk studi buah hatinya dan harapan hidupnya tersebut. Hari-hari pun terus berjalan. Waktu terus berlalu. Setiap tiga bulan sekali orang tuanya mengirimkan sejumlah uang untuk biaya hidup Wail; untuk asrama, makan dan lainnya. Wail hidup di sebuah flat dekat kampus yang ia sewa dari sebuah keluarga berkebangsaan Perancis. Selama di flat tersebut, Wail berkenalan dengan seorang gadis Perancis yang terkenal kecantikannya dan semampainya. Dengan berganti hari demi hari, hubungan keduanya semakin kuat dan semakin bertambah pula rasa cintanya.

Tetapi manusia tetaplah manusia. Seorang gadis tetaplah seorang gadis, dan setan akan terus mengikuti manusia di manapun ia berada. Ia akan terus membuat indah segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan di mata manusia. 

Si gadis itu pun hampir setiap waktu datang ke flat Wail. Ia mulai terbiasa ngobrol dan bercanda dengan-nya, sebagaimana si gadis pun mencintainya. Mulai saat itu, Wail biasa memanjakan gadisnya itu dengan berbagai hadiah dan pemberian. Dan benarlah orang yang mengatakan, “Barangsiapa mengambil suatu bangsa tanpa ada perlawanan, maka mudah baginya menguasai bangsa tersebut.”

Dasar tak tahu diri ! Orang tua bersusah payah membanting tulang, berpeluh keringat, sedangkan sang anak tenggelam dalam kesesatan, hura-hura dan keharaman. Ibarat tempat pembuangan kotoran, tidak ada sedikit pun harta yang tersisa. Pikirannya sibuk memikirkan kekasihnya, sementara studinya berantakan. Maka setiap satu tahun waktu belajar, ia tempuh dua tahun. Adapun keluarganya tidak mengetahui sama sekali apa yang telah dan tengah terjadi. Sedangkan keluarga si gadis tidak pernah ambil peduli dan cuek dengan apa yang terjadi. Ini semua karena budaya materialisme telah memberikan mereka kebebasan tanpa batas, sehingga melahirkan pola hidup hura dan rendah. Kepedulian dan Kecemburuan sirna atas nama modernitas.

Pada suatu pagi, Wail terbangun karena mendengar tangisan dan rintihan kekasihnya. Dengan penuh ketakutan dan kecemasan, ia langsung beranjak dari tempat tidurnya. Ia usap air mata kekasihnya yang mengalir di kedua pipinya. Dengan kedua tangannya ia memegang pundak kekasihnya, menenangkan tangis dan kesedihannya dengan penuh kelembutan. Dengan katakata yang lembut Wail meredakan gemuruh hati kekasihnya. Setelah tangisnya mulai reda dan tenang kemudian Wail bertanya kepada kekasihnya,

“Wahai kekasihku yang kucinta, kalau Kanda boleh tahu apa apa yang telah terjadi pada dirimu?”

“Kanda, orang tuaku memberitahuku, bahwa aku telah sampai pada usia yang secara undang-undang mereka sudah tidak berkewajiban lagi memberikan biaya hidup kepada putrinya, dan mereka juga memintaku untuk keluar meninggalkan rumah atau aku harus membayar seratus Frank sebagai biaya tinggal.”

“Kanda, sudah berulang kali dinda meminta kepada mereka agar meringankan biaya tersebut, tapi selalu ditolak. Begitupun berbagai cara sudah lakukan, tapi mereka tetap tidak mau menerima malah mereka mengatakan, “Bayar dulu, atau kamu keluar dari rumah ini dan tidak usah kembali lagi !”

“Wahai dinda, jangan cemas. Kalau pun kamu diusir dari rumahmu, Kanda bersedia untuk menampungmu, tapi dengan satu syarat, maukah dinda kawin denganku?”

“Wahai Kanda, jiwaku sudah kuserahkan untukmu, aku siap menjadi isterimu.” 

Maka keduanya pergi ke pengadilan melangsungkan perkawinannya. Dengan itu berakhirlah sudah kesedihan dan kesusahan gadis itu.

 

Persoalan si gadis selesai untuk memulai permasalahan baru bagi si pemuda Wail. Kini ia harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan isterinya. Dan tentunya ia meminta kepada keluarganya tambahan biaya hidup yang dikirimkan, dengan alasan naiknya semua harga kebutuhan dan kondisi yang buruk. Ayahnya pun memenuhi keinginannya dengan menambah biayanya sampai semua hartanya habis. Ayahnya mulai kebingungan dan tidak tahu dari mana lagi bisa memenuhi biaya anaknya. Ayahnya menyampaikan keadaan yang terjadi kepada isterinya, mendengar itu, ibunya pun tidak pelit. Ia segera menjual semua perhiasannya demi memenuhi ke-butuhan anak dan permata hatinya, Wail, serta demi mewujudkan masa depannya yang cemerlang. Walaupun sudah begitu banyak harta yang dikeluarkan, si anak masih terus meminta tambahah biaya. Dan ternyata Wail menggunakan itu semua biaya yang dikirimkan dengan boros dan tidak sedikit pun terbesit dalam benaknya apa yang dirasakan kedua orang tuanya demi memberikan biaya kepada dirinya.

Bagaimana kedua orang tuanya mampu memberikan itu semua, sedangkan kondisi ekonominya semakin memburuk, dan sumber-sumber penghasilannya menurun, sedangkan putranya tetap lupa dan gelap mata.

Sudah bertahun-tahun waktu belajar yang dijalani Wail, sementara kedua orang tuanya menunggu-nunggu kelulusannya dengan penuh kesabaran. Angan-angan terus mempermainkan khayalan mereka. Harapanharapan indah terus mengalir dari hati keduanya. Lebihlebih ibunya, ia selalu menguatkan suaminya, menghilangkan kesedihannya dan menghiburnya bahwa sebentar lagi Wail akan lulus menjadi seorang dokter yang sukses, yang akan memberikan kebaikan yang berlipat ganda kepada keluarganya, juga mengangkat derajat mereka. 

Kedua orang tuanya semakin bingung, dan hatinya merintih dari beratnya beban. Tetapi sang anak terus dan terus meminta tambahan biaya dengan membohongi keduanya bahwa ia akan segera lulus. Tiada jalan bagi kedua orang tua itu selain menjual rumah demi menuruti dan memenuhi kebutuhan anaknya. Keduanya rela menyewa rumah selama anak semata wayangnya bisa lulus, dan akan membangunkan kembali kesuksesan untuk keduanya dari awal. Kedua orang tuanya terus mengirimkan uang sampai uang penjualan rumahnya itu pun habis. Tapi perjalanan itu belum berakhir.

Sementara sang anak terus menerus menghamburhamburkan uangnya. Seakan-akan ia anak seorang menteri atau pedagang besar. Ia terbiasa meminta tambahan biaya dalam setiap surat yang dikirimnya, seakan uang yang dimintanya datang begitu saja tanpa susah payah dan kerja keras. Padahal, orang tuanya sekarang sudah jatuh miskin, sebuah kondisi yang layak dikasihani bahkan ditangisi.

Kedua orang tua Wail semakin bingung di depan kesulitan yang akut dan menumpuk. Keduanya tidak bisa menahan tangis dari beratnya ujian, kesedihan dan kepedihan. Akhirnya ayahnya mengirim surat kepada putranya, Wail memberitahukan bahwa hartanya telah habis, rumahnya telah dijual, dan perhiasan ibunya juga habis. Karena itu berpikirlah untuk mencari jalan keluar dan uruslah urusanmu sendiri. Tetapi sang anak Wail tidak percaya. Ia mulai berburuk sangka. Hatinya sudah mengeras. Ia telah jauh dari Tuhan-nya dan telah menyimpang dari jalan-Nya yang lurus yang telah digariskan oleh Penciptanya; Allah Al-Hakim. Dan tiada jalan lain bagi Wail selain berusaha sendiri untuk menyelesaikan studinya dan memperoleh ijazah kelulusan.

Setan laknatullah ‘alaih terus membisikinya agar menumpahkan bara kemarahan kepada orang tuanya, dan berlepas diri dari keduanya seperti ular terlepas dari kulitnya dengan memutus hubungan selama-lamanya. Setan membisikkan dalam hatinya, “Wail, orang tuamu telah mengkhianati janji, menyia-nyiakan masa depanmu, dan memutus tali harapanmu.”

Akhirnya, selesailah studi Wail dengan memperoleh gelar dokter (dr). Tetapi, hal ini tidak lantas membuatnya puas. Ia terus bekerja untuk mewujudkan angannya dan mengumpulkan harta untuk membuka praktek di negerinya saat kembali nantinya.

Segala angan dan harapannya pun terwujud. Ia segera kembali bersama isterinya ke negaranya tanpa sepengetahuan orang tua dan kerabatnya. Ia pulang dengan hati yang lebih keras dari batu, lebih gelap dari kegelapan malam, dan lebih sesat dari para durjana.

Bersama isterinya, Wail hidup tanpa hati seorang mukmin yang penuh kasih. Ia tidak lebih seperti binatang liar atau setan yang tersesat. Akan tetapi Allah SWT senantiasa mengawasi keduanya, tidak pernah sedikit pun lalai dari urusan hamba-Nya, dan tidak pula tertidur dari mengatur alam semesta, karena Ia Suci dan Bersih dari segala kesia-siaan atau kelalaian. Ia mengulur tali untuk Wail agar bertambah kesesatannya, dan tidak mencegahnya dari kesesatan, kezaliman dan kebejatannya. Ia memperoleh ijazah dokternya, tapi ia menyia-nyiakan ijazah dari Rabb-nya. Memang ia telah memperoleh dan mendapatkan budaya dan pola pikir Barat, juga wanita asing, tapi ia kehilangan agama, akhlak dan prinsip-prinsip yang agung, sehingga ia berada dalam kesesatan setelah hidayah, dan tenggelam dalam lautan kemaksiatan dan penyimpangan yang tidak berujung.

 

Takdir pun menentukan lain. Salah seorang teman ayahnya datang ke tempat prakteknya. Begitu melihat Wail, ia sangat kaget dan terkejut, secepat kilat ia pulang menemui ayah Wail untuk menyampaikan kabar gembira dari apa yang dilihatnya barusan. Bahwa anaknya telah menjadi seorang dokter dan membuka praktek.

Mendengar itu ayah Wail berkata,

“Temanku, janganlah menghina, biarkanlah kami dalam kesedihan dan kegundahan kami.”

Mendengar penuturan temannya yang seolah tak percaya dengan apa yang dikatakannya, ia berkata,

“Wahai temanku, pernah aku berbohong kepadamu? Kalau memang engkau tidak percaya maka aku bersumpah kepada Allah. Demi Allah, sungguh aku melihat anakmu tadi.”

Maka percayalah ayah Wail terhadap penuturan temannya, lalu ia berkata,

“Kalau begitu, mari kita pergi ke tempat praktek Wail.”

Ayah Wail melangkahkan kakinya berjalan bersama temannya antara percaya dan tidak, sedang dalam hatinya ada perasaan kagum sekaligus heran yang tidak terkirakan oleh siapapun. Angan-angan mendorongnya, sehingga ia mempercepat langkahnya dan menepis keraguannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sepenuh hatinya. Sampai akhirnya kedua matanya melihat sebuah papan nama anaknya yang tertulis di atasnya dan mencium aromanya, kedua matanya telah bercucuran air mata menyapu segala kesedihan, air mata kegembiraan dengan hilangnya segala kesulitan dan derita.

Keduanya menaiki tangga tempat praktek ter-sebut, dan hampir-hampir kedua mata ayahnya tidak percaya, dan berkata ‘apakah saya sedang bermimpi atau tersadar’. Tangga pun sampai pada ujungnya. Dan sebelum kegembiraan datang, ia melihat Wail dengan kedua matanya. Tetapi sungguh, putranya telah benar-benar berubah. Ia berjalan seakan tidak mengenal ayahnya, bahkan ia tidak ingin melihat ayahnya apalagi mengenalnya sebagai balasan darinya atas “kekejaman” ayahnya yang ia kira selama ini. Maka ia berkata kepada ayahnya dengan kasar,

“Hai tua bangka, enyahlah dari sini dan tetaplah di rumahmu agar isteriku tidak melihatmu. Aku tidak ingin direndahkan olehmu setelah kehormatan yang aku peroleh, dan aku tak ingin dijatuhkan martabatku dengan keberadaanmu sekarang. Saya ingin memberikan apapun kepadamu, asal kamu mau menjauh dari tempat praktek ini, bahkan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan, tapi dengan syarat jangan kamu akui aku sebagai anakmu.”

Mendengar itu, berguncanglah tubuh ayah Wail karena menahan kemarahan dan kesedihan yang luar biasa. Semua harapannya sirna. Ia tak menyangka bahwa anaknya akan berubah 180 derajat. Maka, dengan serta merta sang ayah berkata,

 

“Semoga laknat Allah dan seluruh manusia menimpamu, juga kemurkaan Allah sampai hari kiamat, dan semoga kecelakaan menimpamu selama-lamanya.

Sungguh, kami tidak membutuhkanmu lagi.” Kemudian ia meludahi wajah anaknya untuk sedikit meringankan kepedihan hatinya.

Sang ayah segera pulang menemui isterinya dengan penun kesedihan yang luar biasa. Kesedihan telah merobek-robek hatinya. Kegagalan terukir jelas di kerutkerut dahinya. Sesampainya di rumah, ia memberitahu isterinya berita yang menyedihkan itu dengan air mata yang berurai di kedua pipinya. Kesedihan dan kedukaan sang ibu mendengar itu tidak kalah besarnya. Ia menangis tersedu mengungkapkan kesedihan dan kepedihannya.

Inilah hasil menyekolahkan anak ke negeri Barat yang jauh dari nilai-nilai akhlak. Kedua orang tua itu telah menuai apa yang telah mereka tanam, dan memperoleh balasan dari apa yang mereka lakukan. Akan tetapi sebuah keharusan bagi orang zalim menerima balasan dari kezalimannya. Maka apa gerangan balasan yang diterima Wail si anak durhaka itu?

Saat liburan, Wail bersama isterinya dengan mengendarai mobil keluar kota untuk berlibur. Saat berada di sebuah tikungan tajam, tiba-tiba mobil yang dikendarainya mundur, hingga oleng dan menimpa diri dan isterinya, dan keduanya mati seketika. Berita kematiannya itu pun disampaikan kepada kedua orang tuanya. Maka keduanya semakin yakin kepada Allah bahwa Ia tidak menolak doa orang yang terzalimi. Akhirnya keduanya mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkan putranya, Wail.

Suatu hari Az-Zamakhsyari kecil menangkap seekor burung. Setelah menangkapnya burung itu ia ikat dengan benang. Tiba-tiba burung itu terlepas dari tangannya dan masuk ke dalam sebuah lubang. 

Karena burung itu lepas dari tangannya maka AzZamakhsyari menarik benang itu dengan kencang sehingga kaki burung itu terputus. Melihat kejadian tersebut ibunya sedih dan marah sehingga keluarlah katakata dari mulutnya, “Semoga Allah memotong kakimu sebagaimana kamu telah memotong kaki burung itu.”

Singkat cerita, ketika Az-Zamaksyari pergi ke Bukhara untuk menuntut ilmu (belajar), di tengah jalan ia terjatuh dari kendaraan yang ia tunggangi yang menyebabkan kakinya patah. Karena parah dan tak mungkin dipertahankan lagi, maka tabib menyarankan agar kakinya diamputasi.

Ajaib! Memang doa itu ajaib. Hanya beberapa patah kata sebagai bentuk kekesalan dari seorang ibu terhadap anaknya, Allah memperkenankan permintaan-nya. Inilah yang dialami oleh seorang Az-Zamakhsyari, yang kelak ternyata ia menjadi seorang ulama terkenal dengan karya monumentalnya, Tafsir Al-Kasysyaf. Ia terkenal sebagai ulama yang cacat, kakinya buntung, buah dari kata-kata yang dilnontarkan ibunya.

Wahai para Ibu, hati-hatilah dengan kata-kata. Janganlah kekesalanmu terhadap ulah anakmu membuatmu tak terkendali sehingga mengeluarkan sumpah serapah. Sumpah serapahmu dan doamu itu bisa dikabulkan Allah.

Wahai anak-anakku, anak dari kedua orang tuamu, janganlah kamu pancing kemarahan kedua orang tuamu, terutama ibumu, ibumu, dan ibumu. Tidakkah kisah di atas menjadi pelajaran bagimu?

Abu Muslim Al-Khaulani adalah salah seorang ahli ibadah yang terkenal zuhud dan mustajab doanya. Ia dan keluarganya hidup dalam keadaan pas-pasan. Namun ia mampu membuat istri dan anak-anaknya ikhlas dan bersyukur atas segala yang ditetapkan oleh Allah untuk mereka. Ia hidup bahagia apa adanya bersama dengan keluarganya.

Di antara kebiasaan Abu Muslim Al-Khaulani adalah, jika ia hendak memasuki rumahnya terlebih dulu ia mengucapkan salam. Isterinya akan menjawab salamnya. Ia lalu bertakbir dan isterinya akan menyambut takbirnya. Setelah masuk, di dalam rumah ia kembali bertakbir, dan isterinya akan membalas takbirnya dengan bahagia. Barulah setelah itu ia melepas sorban dan burdahnya. Lalu ke meja makan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan isterinya.

Kehidupan mesra dan bahagia itu telah berlangsung bertahun-tahun. Isterinya tidak menge-luh meskipun hidup seadanya.

Suatu malam Abu Muslim Al-Khaulani datang dari mesjid. Sampai di depan pintu rumahnya ia mengucapkan salam. Namun aneh, tidak seperti biasanya, isterinya tidak menjawab salamnya. Ia lalu bertakbir dengan suara keras, namun tidak juga terdengar suara takbir isterinya. Ia lalu perlahan-lahan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam rumah. Aneh, tidak seperti biasanya, rumahnya begitu gelap, tak ada nyala lentera seperti biasanya. Sampai di dalam ia mengucapkan takbir, suara isterinya tidak juga ia dengar. Lalu ia mencari-cari lentera dan menyalakannya. Kemudian masuk ke kamarnya, di sana ia mendapati isterinya duduk dengan bertopang dagu pada sebilah tongkat. Wajah isterinya itu tampak suram, tak ada senyum tersungging di sana seperti biasanya.

“Ada apa isteriku? Kenapa tidak kau balas salamku? Kenapa tidak kau sahut takbirku? Kenapa wajahmu muram tidak cerah seperti biasanya?” tanya Abu Muslim.

“Buat apa membalas salam dan takbirmu, toh tidak akan mengubah keadaan hidup kita. Abu Muslim, cobalah kau lihat para tetangga di sekeliling kita. Mereka hidup berkecukupan lebih baik dari kita. Apakah kita akan hidup pas-pasan terus begini. Mau beli bahan makanan saja susah. Pakaian ini sudah bertahun-tahun tidak diganti. Padahal kalau kau mau, kita bisa hidup lebih baik. Kau sangat dekat dengan Khalifah Mu’awiyah. Cobalah kau ke sana. Mu’awiyah pasti akan memberi kita sesuatu.”

Mendengar perkataan isterinya, Abu Muslim bagai disambar petir. Ia sangat terkejut, isterinya yang selama ini ikhlas dan qana’ah, tiba-tiba bisa berbicara seperti itu. Firasatnya mengatakan hal itu timbul bukan semata-mata dari diri isterinya. Sebab sebelum pergi ke mesjid isteriya masih tersenyum padanya, pasti ada orang yang membisikkan hal tidak baik ke telinga isterinya. Seketika itu juga Abu Muslim Al-Khaulani mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, butakanlah mata orang yang merusak isteri dan keluargaku.”

Memang betul, ketika Abu Muslim masih di mesjid ada seorang wanita yang datang mengunjungi rumahnya. Wanita itu diterima dengan baik oleh isteri Abu Muslim. Sebab wanita itu adalah salah seorang tetangganya. Wanita itu adalah orang yang suka dunia. Ia datang dengan dengan memakai pakaian yang bagus dan mengenakan perhiasannya. Maka ketika melihat keadaan rumah tangga Abu Muslim, ia berkata pada isteri Abu Muslim,

“Bagaimana mungkin kau bisa hidup menderita seperti ini padahal suamimu itu dekat dengan Khalifah Mu’awiyah. Kau jangan berdiam diri saja. Suruhlah suamimu itu minta sesuatu pada Mu’awiyah, pasti Mu’awiyah akan memberi kalian sesuatu yang bisa membuat keadaan kalian lebih baik.”

Perkataan wanita itu rupanya membekas dalam diri isteri Abu Muslim. Dan berubahlah keikhlasan hatinya. Kebeningan untuk hidup ikhlas seadanya, bahagia dengan apa yang dikaruniakan Allah menjadi keruh oleh nafsu duniawi. Kezuhudan yang telah dibina selama bertahuntahun dengan suaminya goyah. Dan terjadilah apa yang ia perbuat pada suaminya malam itu. Tidak menjawab salam dan takbir. Tidak menyalakan lentera. Dan meminta suaminya meminta sesuatu pada Khalifah. Padahal Abu Muslim adalah orang yang sangat pemalu. Ia tidak pernah meminta bantuan dan apa pun selain kepada Allah SWT. Abu Muslim tidak serta merta memarahi isterinya, sebab ia tahu ada yang mempengaruhi isterinya. Maka berdoalah ia agar Tuhan memberi pelajaran pada orang yang merusak kepribadian isterinya. 

Pada saat Abu Muslim mengucapkan doanya, wanita yang mempengaruhi isterinya sedang duduk makan di depan lentera, tiba-tiba matanya keruh. Makin lama makin keruh. Lalu ia merasa gelap tidak melihat cahaya lentera sama sekali. Ia berkata pada suami dan anaknya,

“Hai, apa kalian mematikan lentera?”

Suami dan anaknya menjawab keheranan,

“Tidak!”

Innalillah, celaka! Penglihatanku hilang! Mataku buta!” wanita itu bingung.

“Ya Rabbi, apa dosaku? Kenapa tiba-tiba aku buta?”

Ia meratap sambil terus mengusap-usap kedua matanya. Suami dan anaknya juga bingung. Mendadak suaminya ingat sesuatu.

“Isteriku, apa yang tadi kau perbuat di rumah Abu Muslim?”

Wanita itu diam. Lalu berkata,

Astaghfirullah! Aku tadi membujuk isteri Abu Muslim yang bukan-bukan? Mungkin inilah sebabnya.”

“Ayo cepat kau ke sana minta maaf sama Abu Muslim.

Dan          mintalah          padanya           agar     mau     mendoakan penglihatanmu kembali lagi seperti sedia kala. Dia orang yang sangat mustajab doanya!” Perintah suaminya.

Dengan dituntun anaknya, wanita itu pergi ke rumah Abu Muslim Al-Khaulani. Sampai di sana wanita itu menangis dan berkata, 

“Abu Muslim, aku telah membujuk isterimu untuk mengatakan begini dan begini. Tolong maafkanlah aku. Aku sungguh menyesal. Aku bertobat. Tolong doakanlah agar penglihatanku kembali seperti sedia kala.” Abu Muslim hanya diam saja.

“Abu Muslim, aku sungguh menyesal. Aku minta maaf. Tolong doakanlah aku.”

Abu Muslim lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa,

“Ya Allah, jika benar-benar telah bertobat maka kembalikanlah penglihatannya.”

Seketika itu juga wanita itu bisa melihat sekelilingnya. Ia menangis sambil mengucapkan hamdalah berulangulang.

 

Kejadian itu sangat menyentuh hati isteri Abu Muslim. Ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Serta merta ia beristighfar. Ia sadar akan kekeliruannya. Ia langsung bersimpuh di hadapan suaminya, mencium tangan kanannya dan memohon maaf atas apa yang tadi dilakukannya. Kebeningan hati dan keikhlasan kembali menyelimuti keluarga Abu Muslim Al-Khaulani. 

At-Tanukhi menyebutkan bahwa ada seorang Perdana Menteri di Baghdad yang telah bertindak aniaya terhadap seorang perempuan renta; hartanya dirampas dan hakhaknya dirampok. Ia kemudian datang kepada Perdana Menteri itu sambil menangis dan mengadukan kezaliman yang telah dilakukan padanya.

Mendengar pengaduan perempuan renta tersebut Perdana Menteri bukannya iba atau menyesal dan meminta maaf atas apa yang ia lakukan, malah tertawa terbahak-bahak tanda puas.

“Saya akan mengadukanmu kepada Allah.” Ucap nenek tersebut.

“Ah…ah…! Tua bangka, tua bangka, kalau memang kau ingin mengadukannya adukanlah. Kalau perlu engkau adukan kepada Tuhanmu disepertiga malam.” Sahut Perdana Menteri mengejek.

Mendengar ejekan Perdana Menteri tersebut, maka nenek tadi langsung berdoa kepada Allah dengan mengalirkan air mata kepedihan.

“Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Membalas setiap perbuatan makhluk-Mu, baik yang baik atau pun yang buruk, maka balaslah penganiayaan makhluk-Mu sesuai dengan apa yang telah ia lakukan kepada hamba-Mu ini.”

Tak lama setelah nenek tadi berdoa, ia mendengar bahwa Perdana Menteri dicopot jabatannya dan hartanya pun diambil oleh negara, ia kemudian dibawa ke pasar dan disalib di sana, akibat dari kezaliman yang ia lakukan selama ini. 

Syaikh Sa'id Bin Masfar Al-Qahtani menceritakan sebuah kisah tentang pemilik tanah yang dizalimi. Ini dia ceritanya!

Ketika tanah milik orang itu berusaha dirampas oleh tetangganya dan dijadikan sebagai garasi karena terletak di depan rumahnya, ia pun lalu melaporkan kepada pengadilan setempat. Pengadilan kemudian memanggil orang yang berusaha menyerobot tanah yang bukan miliknya itu.

“Apakah tanah ini milikmu?” tanya hakim.

“Ya, tanah itu milikku, dan saya memiliki saksi yang dapat membuktikan ucapanku.”

Keesokan harinya orang itu mendatangkan dua orang saksi dusta yang telah ia jelaskan padanya batasanbatasan tanah milik orang itu, agar mampu menjawab pertanyaan hakim dan menerangkan persaksiannya dengan jelas.

Kedua saksi itu kemudian mengangkat sumpah atas perkasiannya bahwa tanah itu adalah milik kawannya si fulan sambil menjelaskan luas tanahnya, jarak dari arah Timur, Barat dan sebagainya, dan bahwa tanah itu adalah milik ayahnya yang diwariskan kakeknya. Di ujung kesaksiannya ia berkata, 

“Dan Allah adalah adalah saksi atas apa yang aku ucapkan.”

Kemenangan itu pun akhirnya dimenangkan oleh orang zalim itu, selain karena pemilik tanah yang sesungguhnya tidak memiliki saksi yang dapat menguatkan alasannya, sehingga akta tanah itu pun jatuh kepada lawannya.

“Apakah Anda menyangkal saksi-saksi itu?” tanya hakim.

“Tidak! Tetapi saya hanya ingin mengucapkan sebuah kalimat yang diketahui dengan baik oleh kedua saksi dan orang itu, bahwa mereka sesungguhnya adalah pendusta, bahwa tanah yang mereka rampas itu adalah milikku.


Namun masalah ini hanya akan saya adukan kepada Allah.”

“Apakah Anda memiliki eksepsi atas akta tanah itu?” tanya hakim kembali.

“Tidak. Saya tidak memiliki eksepsi tanah itu.” Dan pengadilan itu selesai.

Pemilik tanah itu kemudian menuju mesjid pengadilan. Setelah berwudhu dan shalat, ia kemudian berdoa kepada Allah,

 

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa si fulan telah menganiaya saya, mengambil tanah milikku dan mengklaim bahwa itu adalah tanah miliknya. Ia juga mendatangkan dua saksi yang mengangkat sumpah atas nama-Mu padahal mereka adalah pendusta. Ya Allah, sesungguhnya saya memohon pada-Mu agar menurunkan pertolongan-Mu untukku pada kesempatan ini.”

Setelah itu, kemudian ia pulang ke rumahnya dengan hati sedih karena kehilangan tanah miliknya. Adapun si fulan yang memenangkan perkara itu, keluar dari pengadilan dengan perasaan puas dan bahagia karena akta tanah telah berada dalam geng-gaman tangannya. Bersama dengan kedua saksi-nya, mereka lalu berangkat untuk makan siang setelah memberi upah atas persaksian yang mereka saksikan. Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Mobil yang mereka naiki dengan kecepatan tinggi terbalik di atas jalan raya, dan merenggut nyawa ketiga orang yang ada di dalamnya, termasuk si perampas tanah tadi.

Sebelum matahari terbenam hari itu, ketiga orang tersebut telah merasakan gelapnya kuburan yang menghimpit mereka. Keesokan harinya, isteri si fulan lalu mengambil akta tanah itu dan menyerahkan kepada sang hakim, yang selanjutnya memberikannya kepada pemiliknya yang asli. 

Kisah ini dituturkan oleh Syaikh Anas bin Said bin Misfar, sebagaimana dikutip Syaikh Sulaiman Ar-Rabi’i dalam buku Min ‘Ajaib ad-Dua.

Alkisah, ada seorang laki-laki yang durhaka terhadap ibunya. Ia selalu bersikap keras terhadap ibunya, sering berteriak di depan wajah dan mencaci makinya. Ia telah diberikan Allah SWT kekuatan, namun sangat disayangkan, kekuatan itu ia gunakan untuk berbuat zalim dan aniaya.

Menghadapi kedurhakaan anaknya, sang ibu selalu menasehatinya dengan baik bahwa perbuatan itu sangat dilarang agama. Namun, nasehat itu bukan digubrisnya, malahan sang anak semakin menampak-kan kedurhakaan dan kezalimannya. Sehingga istrinya sendiri minggat dari rumah karena tak tahan dengan sikap suaminya.

Semakin hari sang anak semakin gila. Tanpa merasa berdosa, ia perlakukan ibunya seperti seorang pembantu yang mengurus kebutuhannya. Padahal ibulah yang seharusnya mendapat perhatian dan perawatan dari anaknya. Sikapnya membuat sang ibu sedih bukan main, air mata pun tak kuasa ia bendung menetes keluar.

Meskipun demikian, sang ibu tetap berdoa, semoga Allah SWT membuka pintu hidayah-Nya untuk buah hatinya itu. Karena, bagaimana tidak? Hanya dialah orang yang menjadi temannya dalam kesepian.

Pada suatu hari, laki-laki itu menemui ibunya, dari kedua matanya terlihat amarah dan tanda-tanda yang tidak baik. Sambil memandangi ibunya, laki-laki tadi berteriak dan berkata, “Kenapa kamu tidak menyiap-kan makan siang?”

Mendengar bentakan itu, sang ibu berdiri dengan kedua tangan gemetaran dan tubuh yang sangat lemah dimakan usia. Ia bangkit membuat makan siang untuk buah hatinya. 

Namun, ketika sang anak melihat makanan yang disediakan ibunya, ia tidak tertarik dan malah melemparkannya ke lantai. Sambil marah dan menggerutu ia berkata,

“Hai Wanita tua bangka, kau  hanya mendatangkan malapetaka. Kalau begini lebih baik kau cepat mati saja.”

Sang ibu pun menangis lalu berkata, “Wahai anakku, takutlah kepada Allah, apakah kamu tidak takut dengan api neraka? Apakah kamu tidak takut dengan kemurkaan dan kemarahan Allah SWT? Tahukah kamu bahwa Allah SWT melarang durhaka kepada orang tua? Apakah kamu tidak takut seandainya aku berdoa atas dirimu?”

Ucapan sang ibu itu bukan menyadarkan anaknya, malah membuat amarah dan kegilaannya menjadi-jadi. Ia pegang baju ibunya, lalu sambil menggoncang-kannya, ia menghardik,

“Dengar, aku tidak butuh nasehat. Aku bukan orang yang dapat ditakut-takuti dengan ucapan, “Takutlah kepada Allah!” 

Kemudian ia dengan sekuat tenaga melemparkan ibunya.

Seketika itu, bercampurlah tangisan snag ibu dengan tawa ejekan dan kesombongan anaknya.

“Mari kita lihat, jangan harap Allah akan mengabulkan doa yang kau panjatkan atas diriku,” tantang anaknya sambil mengejek dan mengolok-olok ucapan ibunya, lalu keluar meninggalkannya.

Selama beberapa hari sang ibu hanya menangis, tenggelam dalam kesedihan dan kepedihan yang mendalam, menangisi masa muda yang telah ia habiskan untuk merawat anaknya itu. Sementara si anak, tanpa sedikit pun merasa bersalah, keluar lalu masuk ke mobilnya. Dengan volume tinggi ia menyalakan musik kegilaan, seakan tidak pernah berbuat jahat terhadap ibunya yang ia tinggalkan dengan hati yang tercabik-cabik, seorang diri memeras kepedihan hatinya.

Keputusasaan telah membakar hati. Sang ibu hanya dapat meratapi tingkah laku anaknya yang begitu memilukan. Akhirnya, kepedihan itu memaksa sang ibu untuk mengangkat kedua tangan, berdoa kepada Allah SWT sembari mengucapkab, “Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”

Suatu hari, ketika anak durhaka itu tengah melakukan perjalanan rutinnya ke daerah yang berdampingan, saat ia melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada seekor unta menghalangi jalannya. Kemuculan unta secara tiba-tiba itu membuatnya panik dan tidak dapat mengendalikan mobilnya, dan… terjadilah kecelakaan. Dalam insiden kecela-kaan itu, ia mengalami luka tusuk sebilah besi pada bagian perutnya. Ia memang selamat dari renggutan maut, namun ia mengalami kelumpuhan total, sehingga hanya kepala saja yang dapat ia gerak-gerakkan. Kian hari kondisi si anak durhaka itu kian parah. Setelah cukup lama menderita kelumpuhan, akhirnya anak durhaka itu pun meninggal dunia.

 

Kisah ini menjadi pelajaran bagi setiap anak yang durhaka kepada orang tua dan meremehkan doa seorang ibu. 

Beberapa koran dan majalah pernah memuat sebuah kisah tentang seorang anak yang menyakiti dan memukul punggung ibunya derngan sepatu. Sementara sang ibu hanya bisa lari ketakutan dari anak yang telah ia kandung, ia susui dan ia rawat agar berguna terhadap orang tua.

Sikap anaknya itu memaksa sang ibu mengangkat kedua tangannya kepada Allah SWT. Dengan air mata kesedihan bercampur dengan keputusasaan dan kepedihan yang mendalam terhadap sikap dan balasan yang ia terima dari anaknya, sepenuh hati sang ibu berdoa, pada saat anaknya telah terlelap tidur pulas seakan tidak pernah menyakiti ibunya.

Doa itu pun dikabulkan Allah, sehingga ketika bangun tidur, anak durhaka itu yelah mengalami kelumpuhan pada saat tangan kanannya yang sering ia gunakan untuk memukul ibunya dengan sepatu.

Selain itu, tentunya masih tersisa untuknya siksaan yang lebih pedih pada hari kiamat kelak. 

Syaikh Khalid Bin Sulaiman Ar-Rub’i dalam bukunya, “Min Ajaib ad-Du’a (Keajaiban Doa) menuturkan kisahnya berikut ini.

Di salah satu desa terdapat sebuah sekolah yang salah satu gurunya tidak shalat dan jauh dari ajaran agama. Saya pun ditunjuk untuk menjadi guru di sekolah tersebut. Pada waktu istirahat, saya melihat guru tersebut duduk memisahkan diri dari guru lainnya yang juga tampak berusaha menghindarinya. Saya bertanya kepada salah seorang guru,

“Pak, kenapa bapak dan teman-teman menjaga jarak dengan guru tersebut?”

“Kami malas. Dia tidak shalat, maka kami pun enggan bergaul dengannya.”

Saya kemudian berusaha mendekati guru itu, namun ia berusaha menghindar dariku. Setelah pertemuan kedua ia mulai dapat diajak ngobrol. Saya lalu berkata padanya,

“Tuan, saya ditempat ini hanya seorang diri tanpa keluarga dan membutuhkan bantuan tuan. Kiranya tuan berkenan menerima saya untuk tinggal di rumah tuan buat sementara waktu sebelum saya mendapatkan rumah kontrakan sendiri.”

“Tuan, saya adalah orang yang tidak memiliki kebaikan sedikit pun. Bagaimana mungkin engkau tinggal bersamaku?”

“Tidak masalah. Yang penting bagi saya adalah bisa tinggal di rumah tuan.”

“Kalau memang itu permintaanmu, ya bolehlah.”

 

Singkat cerita, mulailah saya tinggal di rumah guru itu. Saya lakukan apa saya bisa saya lakukan. Saya berusaha memenuhi kebutuhannya, mencucikan pakaiannya, memasak dan membersihkan rumah tanpa mengungkit sedikit pun kelalaiannya dalam melaksanakan shalat. 

Pada suatu hari saya berkata padanya bahwa saya akan segera pindah karena telah mendapatkan sebuah rumah kontrakan. Namun ia melarangku pergi karena mengingat bantuan yang aku berikan selama ini.

Suatu ketika setelah makan siang, kami lalu duduk santai sambil minum teh. Tatkala azan shalat Ashar berkumandang, saya segera bangkit dari dudukku dan berkemas untuk menuju ke mesjid. Tak kusangka ia bertanya,

“Tidakkah engkau merasa lelah, 5 kali sehari semalam berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat?”

“Tidak sama sekali, saya bahkan merasakan ketentraman jiwa, dan kesejukan kalbu, seakan saya berada di dunia lain selain dunia ini. Tidakkah engkau mau mencobanya?” Kataku

“Okey!” Jawabnya sambil berdiri dan ikut ke mesjid walaupun tanpa wudhu.

Setelah shalat Tahiyatul Masjid, saya lalu duduk di belakangnya, mengangkat kedua tanganku mengadu kepada Allah,

“Ya Rabb, saya telah melakukan banyak hal untuknya sehingga ia pun dapat masuk ke rumah-Mu ini dan menghadap pada-Mu, maka limpahkan hidayah-Mu untuknya. Amin.”

Setelah shalat saya lalu bertanya padanya,

“Apakah engkau merasakan ketenangan dalam hatimu?”

“Ya, kenikmatan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.”

“Kalau begitu, sebelum shalat Ashar nanti, engkau harus mandi dan berwudhu terlebih dahulu sebelum kita ke mesjid.”

“Baiklah.”

Demikianlah, hidayah Allah datang kepadanya. Ia berubah dari sosok yang malas menunaikan shalat menjadi orang yang sangat taat.

Pada suatu hari saya berkata kepada para guru yang selama ini menjauhinya,

“Cara kalian bergaul dengannya tidak benar. Lihatlah kini, bagaimana hidayah Allah tercurah bagi orang yang dahulu tidak shalat itu melalui pergaulan yang lembut dan penuh kasih.”

 

Beberapa tahun kemudian orang itu mendapatkan pekerjaan di luar Arab Saudi. Ia pun berangkat ke sana, dan beberapa orang masuk Islam melalui dirinya. Alhamdulillah!

Seorang ahli zuhud bernama Syaiban memiliki seorang tetangga yang bernama Ibnu Shaiqal. Tetangganya itu memiliki sebuah rumah yang berdempetan dengan rumah Ibrahim bin Isa bin Hayawiyah Al-Faqih.

Ibnu Hayawiyah meminta Ibnu Shaiqal agar ia menjual rumahnya kepadanya, namun permintaan itu tidak ia penuhi. Karena kesal Ibnu Hayawiyah berkata, ”Sesungguhnya hartamu itu tidak bersih, sedangkan rumah kecil ini murni halal, ia aku warisi dari ayah dan kakekku.”

Meskipun ia memaksa untuk menjualnya, Ibnu Shaiqal tetap tidak mau. Akhirnya Ibnu Hayawiyah pun berkata, ”Jika kamu tidak mengambil harta penjualan ini, maka aku akan selalu mengusik kamu, hingga akhirnya kamu sendiri yang angkat kaki dari rumah itu.”

 

Ibnu Shaiqal menjawab, ”Aku akan mengharap kepada Allah dengan doa saudara-saudaraku agar Dia melindungimu dari kejahatanmu.”

Ibnu Hayawiyah kembali menjawab, ”Ya, silakan. Kalau perlu mintalah kepada Syaiban dan Hasan agar mereka berdoa untukmu di shaumi’ah (sebutan untuk tempat ibadah sebelum Islam datang) itu! Karena tempat itu lebih dekat kepada Allah!”

“Ya, kami akan melakukannya.” Jawab Ibnu Shaiqal.

Tak buang-buang waktu ia pun pergi menemui Syaiban dan Hasan dan menceritakan perkataan yang diucapkan oleh Ibnu Shaiqal.

Insya Allah, Ibnu Shaiqal, kami akan berdoa kepada Allah.” sahut keduanya setelah mendengar cerita Ibnu Shaiqal.

Tatkala malam telah tiba, mereka pun menginap di saumi’ah yang dimaksud. Di sana mereka shalat dan berdoa. Lalu ketika menjelang Subuh, tiba-tiba terderngarlah teriakan dan tangisan. Ternyata pada waktu itu Ibnu Hayawiyah telah meninggal dunia. Allah SWT telah mengabulkan doa kedua orang saleh itu atas Ibnu Hayawiyah. Dengan kematian Ibnu Hayawiyah, maka Ibnu Shaiqal dan kaum muslimin lainnya pun telah terhindar dari kejahatan-kejahatan yang sering ia lakukan.

Demikianlah, balasan dari Allah terhadap orang yang meremehkan doa. 

Pada suatu hari, Abu Muslim sampai ke rumahnya. Istrinya sudah menyambutnya di depan pintu.

Dengan wajah sedih, istrinya berkata, ”Tidak ada kayu di rumah kita yang bisa digunakan untuk meng-hangatkan tubuh dari muslim dingin yang menggigil ini.”

Abu Muslim menjawab dengan hati pilu, ”Di dalam sakuku tidak ada uang dinar atau dirham untuk membeli kebutuhan kita!”

 

Istrinya menyahut, ”Bagaimana bisa kau mengeluh fakir dan tidak punya apa-apa, padahal engkau adalah orang yang paling dekat dan dihormati Khalifah? Pergilah ke sana dan jelaskan kepadanya keadaan kita, bahwa kita sangat kekurangan, fakir dan perlu bantuannya segera. Aku yakin, khalifah pasti membantu dan tidak

membiarkan kita hidup fakir.”

 

Abu Muslim menjawab, Naudzubillah, aku berlindung Allah kalau sampai aku melakukan hal itu. Aku sangat malu kepada Allah. Kalau sampai minta bantuan kepada makhluk ciptaan Allah, padahal Allah Maha Pemurah. Aku tidak mungkin meminta bantuan kepada selain Allah.”

 

Lalu Abu Muslim keluar rumahnya dan pergi ke masjid. Setibanya di masjid, dia langsung shalat dua rakaat.

Selesai shalat, ia berzikir beristighfar, dan berdoa,

 

“Ya Allah, ya Rabbi, wahai Tuhan yang Maha Mengetahui rahasia, Engkau Mahatahu, bahwa aku malu jika meminta pertolongan kepada selain-Mu. Wahai Tuhan yang luas kemurahannya, karuniakan-lah kepadaku gandum, terigu, adas, minyak dan kayu bakar. Karuniakanlah pada istriku, pakaian dan kerudung, dna karuniakanlah pada anakku pakaian dan sapi untuk diminum susunya. Ya Allah, kabulkanlah doaku.” Amin.” Kebetulan, saat itu, di dalam masjid ada seorang lelaki yang termasuk salah satu pengawal istana khalifah. Pengawal itu merasa aneh mendengar doa itu, cepat-cepat ia bergegas keluar masjid dan langsung menuju istana. Ia ingin menemui khalifah untuk menceritakan apa yang didengarnya di dalam masjid.

Begitu sampai di hadapan khalifah, ia berkata, ”Aku melihat, sekarang ini ada seorang lelaki di masjid berdoa pada Tuhannya dan meminta hal-hal yang aneh.”

Lalu, ia menyebutkan hal-hal yang diminta oleh lelaki –yang tak lain adalah Abu Muslim– itu pada khalifah.

 

Ketika mendengar hal-hal yang diminta itu, khalifah tertawa dan berkata, ”Aku yakin, aku tahu siapa lelaki yang berdoa di dalam masjid itu. Aku yakin ia adalah Abu Muslim. Ia seorang lelaki yang sangat malu kepada Allah. Sekarang coba kau ulangi lagi isi doanya. Aku ingin mengirim barang-barang yang dimintanya itu ke rumahnya secepatnya sebelum ia keluar dari masjid. Setiap satu barang yang ia minta, kirim dua.”

 

Sementara itu, Abu Muslim tetap berada di dalam masjid beberapa saat lamanya untuk membaca Al-Quran dan berdoa kepada Tuhannya. Setelah dirasa cukup lama, ia keluar dari masjid dan pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, ia disambut oleh istrinya dengan penuh tasa gembira. Sang istri menyambutnya dengan penuh kehangatan.

Istrinya berkata, “Coba renungkan Abu Muslim, sekarang kita tidak kekurangan lagi. Ini tak lain karena kau mau mendengar nasehatku. Akhirnya, kau pergi juga ke tempat khalifah.”

Abu Muslim terkejut dengan ucapan istrinya. Ia bersumpah bahwa ia tidak pergi menemui khalifah. Bahkan, ia berjumpa dengannya selama satu minggu.

Istrinya berkata, ”Kalau begitu, ceritakan kepada-ku,  ke mana kau pergi? Kepada siapa kau mengadu?”

Abu Muslim menjawab, ”Aku pergi ke masjid dan mengadukan keadaan kita kepada Allah SWT. Sebagaimana kau ketahui selama ini, wahai Ummu Muslim, aku sangat malu minta tolong kepada Allah kalau sampai Dia melihat aku minta tolong kepada selain-Nya.”

Seketika itu, istrinya meneteskan air mata, terharu. Ia bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada suaminya.

Ia berkata, ”Alangkah mulianya jiwamu! Alangkah indahnya perbuatanmu, suamiku! Alangkah pengasihnya Allah yang tidak pernah melupakan hamba-Nya.” 

Seorang maharaja terbaring sakit. Badannya pucat pasi bagai mayat seolah akan mendekati ajalnya. Ketika sakitnya semakin kritis, sang maharaja bertanya kepada seorang kyai yang menungguinya, tentang tampuk kepemimpinannya selama ia memerintah. Sang kyai menjawab bahwa selama ini baginda memerintah dengan zalim.

 

Bak disambar petir di siang bolong, sang maharaja terpental dari pembaringannya karena kaget, lantas merasa sehat walafiat kembali. Serta merta ia peluk sang kyai itu erat-erat untuk menunjukkan terima-kasihnya. Berhari-hari baginda merasa sedih karena ternyata keyakinannya selama ini meleset. Mengira sebagai maharaja yang adil bijaksana, tak tahunya penindas yang ditakuti karena kejamnya. Tapi ia bisa bangkit cepat untuk bergembira. Kemudian pada suatu malam, baginda mengadakan pesta tasyakuran bahwa ia telah selamat dari kematian.

Hampir seluruh warga ibukota kerajaan hadir. Tak ketinggalan kaum dhu’afa berbondong-bondong yang selama ini ditindasnya.

“Mana doa dan kutukan kalian terhadap raja zalim yang kalian dengung-dengungkan setiap saat, supaya aku cepat hancur?” seru maharaja dengan garang kepada kaum dhu’afa itu.

Kyai yang mewakili kaum du’afa menjawab, ”Baginda, kami sadar sekali bahwa doa kaum yang tetindas itu makbul. Karena kami sakti maka kami pun mengutuk, ”Ya Allah, jatuhkan kutuk-Mu sehingga baginda menjadi penguasa yang adil, bijaksana, luhur, agung, berbahagia di dunia dan di akhirat, dikaruniai nikmat Islam, serta husnul khatimah turun-temurun. ”

Mendengar hal itu, sekali lagi maharaja itu terpental dari singgasananya, lantas memeluk kyai itu lagi erat-erat sambil menangis sejadi-jadinya.

 

Nurjani adalah seorang ibu yang bekerja sebagai pedagang kaki lima. Walaupun demikian, semangat untuk mempelajari agama cukup bagus. Suatu saat ia menemui ustadz Abdul Hakim dan mengadu kepada sang ustadz perihal dirinya, bahwa beberapa hari ini jiwanya resah, shalatnya sering terlambat dan mengaku kurang khusyu.’ Lalu ia meminta saran dan doa kepada sang ustadz agar dikuatkan dalam memegang teguh agama. Lalu sang ustadz menasehatinya dan menyuruh Nurjani agar mengamalkan sebuah doa yang tertera dalam surat Ali Imran ayat 8:

 

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami; dan karuniakanlah kepada kami dari sisi Engkau’ karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karuna).”

 

Beberapa hari kemudian ia datang lagi kepada sang ustadz dan berkata: “Alhamdulillah Ustadz, jiwa saya sudah tenang kembali dan shalat saya terasa nikmat.”

Suatu hari, Muthrif Mush’ab pergi ke rumah Mansur. Ketika sampai di rumahnya, Muth-rif melihat Mansur murung dan tak mau berbicara. Wajar saja, ia baru kehilangan salah se-orang yang sangat dicintainya. Muthrif pun menghibur Mansur dan barulah Mansur bisa membuka mulutnya.

 

“Muthrif, aku dilanda kesedihan yang sangat dan hanya Allah saja yang dapat menghapuskannya, adakah doa yang bisa aku baca agar Allah menghapuskan

kesedihan ini dari hatiku?”

“Wahai Amirul Mukminin, Muhammad bin Tsabit AlBashri telah meriwayatkan kepadaku dari Amr bin Tsabit Al-Bashri, ia berkata, ‘Ada seekor nyamuk masuk ke lubang telinga seorang laki-laki penduduk Bashrah, hingga sampai ke bagian rongga yang paling dalam. Nyamuk tersebut menyebabkannya jatuh sakit dan tidak dapat tidur, baik pada waktu siang maupun malam hari. Maka salah seorang teman Hasan berkata, “Bacalah doa- Al-A’la bin Hadhrami, salah seorang sahabat Nabi Saw. yang selalu ia baca, baik di daratan maupun di lautan, dan berkat doa itu Allah selalu memberikan keselamatan untuknya.”

Laki-laki itu berkata, ”Tolong ceritakan kepadaku. Semoga Allah memberikan rahmatnya pada-Mu!”

 

“Al-A’la bin Hadhrami pernah diutus menuju Bahrain, rombongan yang berangkat bersamanya berjalan melewati padang pasir. Setelah lama melakukan perjalanan, mereka merasa sangat kehausan, hingga nyaris mati dicekik rasa haus.

Pada saat terjepit seperti itu, Al-A’la singgah dan melakukan shalat dua rakaat. Ia berdoa, ”Wahai Allah Yang Maha Mengetahui, wahai Allah Yang Maha Lembut, wahai Allah Yang Maha Tinggi, wahai Allah Yang Maha Agung, berikanlah kami air.”

Tiba-tiba di atas kepalanya terlihat awan bagaikan sayap burung yang dikepakkan ke arahnya dan seketika itu pula hujan pun turun, sehingga ia dan rombongan dapat mengisi kantong-kantong air yang dibawanya. Setelah itu ia dan rombongan pun melanjutkan perjalanan hingga mereka tiba di sebuah teluk lautan yang sebelumnya tidak pernah diarungi oleh siapapun.

Sementara itu, mereka tidak memiliki bahkan tidak menemukan satu kapal pun. Lagi-lagi Al-A’la turun dan melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian ia membaca doa, ”Wahai Allah Yang Maha Mengetahui, wahai Allah Yang Maha Lembut, wahai Allah Yang Maha Tinggi, wahai Allah Yang Maha Agung, berikanlah kami jalan agar dapat menyeberangi teluk ini.” Selesai berdoa, ia pun memegang bagian atas kudanya dan berkata, ”Seberangilah dengan nama Allah.”

Dengan izin Allah, mereka pun dapat berjalan di atas air. Dan dengan kuasa Allah, kaki dan sepatu mereka tidak kebasahan. Sementara itu, jumlah pa-sukan yang ada pada saat itu kurang lebih 4000 penunggang kuda.”

Mendengar kisah itu, laki-laki itu pun berdoa kepada Allah dengan doa yang dibaca oleh Al-A’la Al-Hadrami, belum lagi ia beranjak meninggalkannya, nyamuk yang ada di dalam telinganya keluar dan ia pun sembuh dari sakitnya.”

 

Mendengar kisah yang dituturkan Muthrif, Mansur langsung menghadap kilbat dan membaca doa tersebut untuk beberapa saat. Tak lama kemudian ia kembali menghadapkan wajahnya ke arah Muthrif, seraya berkata, ”Wahai Muthrif, sesungguhnya Allah telah menghapuskan kesedihan itu dari hatiku.” Lalu ia memanggil dan menyuruh pelayannya untuk menyiapkan makan sembari mengajak Muthrif makan bersamanya dan ajakan itu pun disambut oleh Muthrif dengan hangat. 

Alkisah, ada seorang laki-laki yang hendak di PHK dari pekerjaannya. Rencana perampingan karyawan itu membuatnya terus menerus merasa sedih dan kebingungan. Untuk mempertahankan pekerjaannya, ia berusaha mencari seseorang yang menjadi perantara agar ia tidak di PHK.

Suatu hari ia bertemu dengan salah seorang syaikh, keduanya berbincang-bincang soal pekerjaan. Laki-laki itu bertanya kepada syaikh tersebut,

“Syaikh, apakah engkau melihat si anu?”

“Maaf, aku tidak pernah melihatnya!” Jawab Syaikh.

“Tapi apakah kamu telah mendapatkan apa yang sedang kamu cari?” Syaikh balik bertanya.

“Aku masih mencari orang yang dapat menjadi perantara,” sahut laki-laki itu.

Mendengar jawaban itu, syaikh berkata, “Di sana ada yang      dapat   menyelesaikan            permasalahan   dan menghilangkan kegundahanmu.”

“Apakah ia dapat menjadi perantara agar aku tidak di PHK?” Laki-laki itu balik bertanya penuh harap.

“Ya,” sahut Syaikh tanpa ragu.

“Siapakah dia?” Tanya laki-laki itu tak sabar.

“Dia adalah Allah SWT,” tegas syaikh.

Mendengar ucapan itu, terlihat keraguan di wajah laki-laki. Syaikh pun kemudian berkata, 

“Takutlah kepada Allah! Jika aku katakan si Anu, tentunya kamu akan mengatakan, mari kita langsung menemuinya, pernahkah kamu berdoa di penghujung malam menjelang waktu Subuh?”


Setelah berbincang-bincang keduanya pun berpisah. Beberapa waktu kemudian, keduanya bertemu kembali. Dengan wajah berseri-seri, laki-laki itu bercerita pada syaikh, ”Pada hari itu aku tidak pergi ke mana-mana, aku hanya bangun saat menjelang Subuh (waktu sahur), ketika itu aku merasa seakan-akan ada seseorang yang telah membangunkanku. Dengan kesungguhan dan ketulusan hati, aku berdoa memohon kepada Allah.”

“Keesokan paginya, ketika aku hendak berangkat ke tempat pekerjaanku, tiba-tiba aku merasakan bahwa Allah SWT membisiki hatiku agar aku memutar arah langkah kakiku. Aku pun berjalan mengikuti kehendak hati dan tak lama kemudian aku melewati sebuah kantor pemerintahan. Tiba-tiba hatiku berkata, ”Kenapa aku tidak masuk dan bertanya kepada mereka barangkali di sana ada lowongan kerja,” lanjutnya.

“Setelah dipersilahkan menemui pimpinan, dengan hati berdebar-debar aku masuk ke dalam. Melihat kedatanganku, ia berdiri dan menyambutku dengan sangat ramah. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, aku menyampaikan kepadanya bahwa aku sedang mencari pekerjaan,” ia menambahkan.

“Kami memiliki dua pekerjaan yang masih kosong, silakan kamu memilihnya!” Pimpinan itu menawarkan kepadaku. Lalu aku pun mulai kerja sejak hari yang telah ditetapkan,” ujar laki-laki tersebut.

 

Beberapa hari kemudian, barulah laki-laki itu tahu bahwa ternyata pimpinan yang memberinya pekerjaan itu adalah orang yang selama ini ia cari untuk menjadi perantara agar ia tidak di PHK dari jabatannya yang sebenarnya lebih rendah dari apa yang baru saja ia dapatkan.

Alkisah, ada seorang laki-laki yang telah lama berkubang dalam lumpur dosa dan maksiat. Ia memiliki seorang istri salehah yang rajin menegur, menasehati, dan lemah lembut berbicara dengannya.  Namun, kesalehan dan kelembutan isterinya sedikitpun tidak membekas di hati laki-laki itu.

Ketika sang istri mengetahui bahwa berdoa kepada Allah SWT merupakan cara yang paling ampuh, maka ia pun terus berdoa,

“Ya Allah, Engkaulah Dzat Pemberi petunjuk hambahamba-Mu, berikan hidayah kepada suamiku agar ia senantiasa berada di jalan-Mu, jalan yang lurus, jalan yang Engkau cintai.”

Siang dan malam ia berdoa dengan penuh kesungguhan, hingga akhirnya datanglah suatu hari yang telah lama ditunggu-tunggu. Ia tiba-tiba melihat perubahan pada sang suami. Tanda-tanda kesalehan, kebaikan dan ketaatan pun muncul. Sang suami yang selama ini gemar melakukan maksiat, atas kehendak Allah ia menjadi ahli taubat sejati.  Alhamdulillah, segala puji bagi Allah pembolak-balik hati manusia. 

Aku pernah duduk di dalam sebuah halaqah (Majelis ta’lim dengan posisi duduk membentuk lingkaran) yang dipimpin oleh Ibrahim Al-Harbi. Pada saat itu ada dua anak laki-laki yang duduk bersama kami.

Keduanya seakan-akan ruh dengan jasad, berdiri bersama dan hadir bersama-sama juga. Pada suatu hari Jum’at, aku melihat hanya salah seorang saja yang hadir, wajahnya terlihat pucat dan dari kedua bola matanya tampak kesedihan.

Jum’at berikutnya, aku hanya melihat anak yang pada hari Jum’at sebelumnya tidak hadir. Wajahnya yang terlihat pucat dan terlihat sedang me-nyembunyikan kesedihan yang cukup dalam. Hatiku mencoba menjawab, ”Mungkinkah kesedihan itu disebabkan oleh perpisahan yang terjadi antara mereka yang sesungguhnya telah lama disatukan oleh cinta.”

Setelah kuperhatikan, ternyata setiap Jum’at keduanya selalu berlomba untuk menghadiri halaqah itu.  Apabila yang satunya terlebih dahulu datang, maka yang satunya pun tidak akan duduk.

Lalu pada suatu Jum’at, ketika salah satunya terlebih dahulu datang dan duduk bersama kami, tiba-tiba datanglah teman yang lainnya. Ia menengok ke arah halaqah, di sana ia melihat ternyata temannya telah mendahuluinya. Seketika itu, terlihatlah dari kedua bola matanya perasaan sangat cemburu.

Di tangan kirinya aku melihat beberapa potong kain kecil yang telah bertuliskan. Lalu dengan tangan kanannya ia mengambil satu potong kain itu. kemudian sambil bersembunyi di balik kerumunan orang banyak ia pun melemparkan potongan kain tersebut.

Sementara pada saat itu, kebetulan Abu ’Ubaidah sedang berada di sana. Potongan kain itu pun ia ambil dan lalu membacanya. Ternyata yang tertulis di sana adalah sebuah doa, semoga temannya yang telah mendahuluinya itu jatuh sakit atau terkena musibah lainnya. Di ujung doa itu terdapat harapan semoga doa itu diaminkan oleh orang yang berada di majelis tersebut.

Setelah membaca isi surat tersebut, syaikh berdoa, ”Ya Allah satukanlah mereka berdua, buatlah hati keduanya saling mencinta dan jadikan cinta itu untuk hal-hal yang mendekatkan mereka kepada-Mu.” 

Doa itu pun diamini oleh orang-orang yang mendengarnya. Selepaskan mengucapkan doa, syaikh melipati kembali potongan kain itu dan melemparkannya kepadaku. Aku memperhatikan tulisan yang ada pada sepotong kain itu. Ternyata doa yang tertulis di dalamnya berbunyi,

”Semoga Allah memaafkan seorang hamba yang membantu dengan doa

Dua kekasih yang dulunya selalu di atas cinta kasih

Sampai akhirnya datanglah bisikan hawa nafsu membawa adu domba

Sampai di situ kondisinya, dan keduanya pun mengingkari janji.”

Hari Jum’at berikutnya, keduanya terlihat hadir bersama-sama dan kepucatan yang tadinya mewarnai wajah keduanya pun telah sirna. Aku berkata kepada Ibnu Harbaweih, ”Menurutku doa syaikh telah dikabulkan oleh Allah dengan sangat sempurna.” Kemudian pada tahun itu pula aku menunaikan ibadah haji, dan lagi-lagi aku bertemu dengan kedua anak laki-laki tersebut. Mereka berdua sama seperti aku, sedang mengenakan kain ihram. Di antara Mina dan Arafah aku melihat keduanya saling mencinta, cinta yang utuh sampai tua.

Demikianlah kisah tentang energi doa yang diceritakan oleh Ibrahim bin Jabir.