Wahyudi Thamrin

ANAK ANGKAT DALAM ADAT MINANGKABAU

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh

 

 

 

A.    PENGERTIAN ANAK ANGKAT

Secara etimologi, pengangkatan anak atau Adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda), atau adoption/adopt (bahasa Inggris), yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam kamus hukum, adopsi berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

 

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi ini, di antaranya Hilman Hadikusuma, yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.

 

Menurut Prof. Soerjono Soekanto, adopsi adalah mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau secara umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolaholah didasarkan pada faktor hubungan darah. Sedangkan menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, pengangkatan anak adalah mengambil seorang anak yang bukan keturunan suamiistri tersebut untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak turunannya sendiri.

 

Pengangkatan anak merupakan suatu lembaga hukum yang sudah dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat Indonesia. Bermacam-macam motif orang melakukan pengangkatan anak, baik sebagai pemancing keturunan darahnya sendiri, pelanjut keturunan, diangkat karena belas kasihan, atau karena alasan-alasan lainnya.

 

Khusus pada masyarakat Minangkabau, perihal pengangkatan anak menarik untuk diteliti dan dibahas, karena di satu sisi hukum Adat Minangkabau sendiri tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak, sedangkan di sisi lain cukup banyak warga masyarakat Minangkabau melakuka atau mengajukan permohonan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri. Hal ini menggambarkan bahwa lembaga pengangkatan anak semakin penting dalam tatanan hukum keluarga masyarakat Minangkabau.

 

Perkembangan masyarakat sekarang menunjukkan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata dilandasi keinginan untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada berbagia motivasi yang mendorong seseorang untuk mengangkat anak, bahkan tidak jarang pula karena faktor politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya.

 

Pengangkatan anak pada mulanya hanya diatur khusus bagi golongan timur asing (Tionghoa) sebagaimana tertuang dalam Staatsblad tahun 1917 nomor 129. Peraturan perundang-undangan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undangundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Surat Edaran Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2  tanggal 24 Februari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 1979, dan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, Kep.Men.Sos RI No.44/Huk/Kep/1997 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Pengangkatan Anak, juncto No.41/Huk/Kep/VII/1984 tanggal 14 Juli 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, belum cukup mengatur secara keseluruhan tentang aspek-aspek dan akibat hukum pengangkatan anak. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 8 Februari 2005 Tentang Pengangkatan Anak, khususnya terhadap anak-anak yang orangtuanya menjadi korban bencana gempa bumi dan gelombang  Tsunami tanggal 26 Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara.

 

Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan asas legalitas serta payung hukum pengangkatan anak, terakhir pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor

54 Tahun 2007 tanggal 3 Oktober 2007 Tentang Pengangkatan Anak. Dalam penjelasan umumnya dinyatakan bahwa peraturan ini dikeluarkan untuk menghindari penyimpangan dan penyalahgunaan pengangkatan anak karena tidak melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak (trafficking), bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak tersebut. Untuk itu pemerintah membentuk Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak, beranggotakan perwakilan dari dinas instansi terkait.

 

Beragamnya suku bangsa dan adat istiadat di tanah air telah menimbulkan semakin beragam pula persoalan pengangkatan anak yang didasarkan kepada hukum adat. Hukum adat ada yang mengenal lembaga pengangkatan anak dan ada pula yang tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, karena pengangkatan anak berhubungan erat dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh hukum adat masingmasing, sehingga pelaksanaan pengangkatan anak yang didasarkan kepada hukum adat menimbulkan tata cara dan persyaratan yang berbeda pula.

 

Soerjono Soekanto menerangkan bahwa adopsi tidak dikenal di kalangan orang Minangkabau, oleh karena prinsip keturunan ketat sekali. Dalam suku Minangkabau hanya dikenal pengangkatan orang luar menjadi anggota kaum. Dijelaskan bahwa daerah-daerah yang mengikuti garis keibuan (Matrilinial) terutama di Minangkabau tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak, yang ada hanya manapek (mengangkat mamak), di mana seorang atau keluarga garis keturunan ibu menundukkan diri secara sukarela kepada satu kesukuan, menjadi anggota suku atau kaum, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, yaitu adat diisi limbago dituang.

 

Fathur Rahman yang mengutip pendapat Mahmud Syaltut, membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu:

1.    Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa anak tersebut sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya, diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan, dan pemenuhan dalam segala kebutuhannya, namun tidak diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.

2.    Seperti yang dipahami dari pengertian Tabbani (mengangkat anak secara mutlak). Tabbani ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab dengannya, sebagai anak yang sah yang mempunyai hak dan tanggung jawab sebagai anak kandungnya sendiri (waris bertali darah/waris nasab).

 

Pengertian yang pertama menurut Mahmud Syaltut yang lebih tepat untuk kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sebab penekanan anak angkat adalah perlakuan anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan serta pemenuhan segala kebutuhannya seperti pendidikan dan kesehatannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri (waris bertali darah/nasabnya) sebagaimana pengertian kedua. Pengertian kedua menurutnya sama dengan pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih ditekankan pada status dan fungsi anak angkat yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri.

 

Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian anak angkat, tetapi pada dasarnya hanyalah dilihat dari segi etimologi dan sistem negara yang bersangkutan. Adopsi yang dalam bahasa Arab disebut tabbani mengandung pengertian memberikan status yang sama seorang anak angkat sebagai layaknya anak kandung, dengan akibat hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula sebagaimana halnya anak kandung. Sedangkan istilah anak angkat adalah pengertian menurut hukum adat di Indonesia, dan dalam penamaan ini masih dikenal dengan bermacam istilah dengan pengertian sesuai keaneka ragaman budaya adat di Indonesia.

 

B.     ALASAN-ALASAN PENGANGKATAN ANAK

Pengangkatan anak pada dasarnya merupakan Artificial family relationship, yang memberikan hubungan antara Adoptandus (anak angkat) dengan adoptandt (orangtua angkat) seolah-olah merupakan hubungan antara anak dengan orangtua kandung.

 

Adanya orangtua yang tidak mempunyai anak sama sekali hendak menutup-nutupi pengangkatan anaknya (rejection off differende) supaya dipandang sebagai orangtua asli dari anak tersebut. Orang mempunyai naluri untuk menutupi hal-hal yang dianggap kurang baik atau kurang sempurna, karena dalam kehidupan masyarakat sebuah keluarga yang normal adalah mempunyai anak, dan pasangan yang tidak mempunyai anak dianggap sebagai keluarga yang kurang normal.

 

Secara umum disadari bahwa yang terpenting dalam hal pengangkatan anak adalah untuk menjamin kebahagiaan si anak, adanya jaminan bahwa kebahagiaan lahiriah dan batiniah si anak akan lebih baik untuk masa depannya, dan tekanannya bukan untuk melengkapi susunan pada suatu keluarga yang belum atau tidak mempunyai anak. Paling tidak faktor kecocokan dan saling menerima antara Adoptan dan Adoptandus harus lebih diperhatikan.

 

Di kalangan masyarakat adat terdapat berbagai alasan seseorang atau pasangan suami-istri melakukan pengangkatan anak. Pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan ayah (Patrilinial) pada prinsipnya pengangkatan anak hanya terhadap anak laki-laki dengan tujuan utama sebagai pelanjut keturunan. Sedangkan pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan orangtua (Parental) seperti Jawa dan Sulawesi, pengangkatan anak (laki-laki ataupun perempuan) dilakukan dalam kalangan keluarga sendiri, seperti keponakan sendiri atau anak saudara yang lain.

 

Pengangkatan anak oleh kalangan pegawai negeri sipil diduga hanya bersifat administrative, didorong oleh keinginan agar mendapat tunjangan yang lebih besar dengan jalan memasukkan anak angkat tersebut dalam daftar tanggungannya. Sementara pengangkatan anak oleh warga negara Cina (Tionghoa) di Indonesia lebih terdorong keinginan untuk mendapat status kewarganegaraan Indonesia.

 

Inti dari motivasi seseorang atau keluarga melakukan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia di antaranya dapat diringkaskan sebagai berikut:

1.    Karena tidak mempunyai anak.

2.    Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidak mampu memberikan nafkah anaknya.

3.    Karena belas kasihan disebabkan anak tersebut sudah menjadi yatim piatu.

4.    Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan sebagai anak asuh, atau sebaliknya.

5.    Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak agar nanti mempunyai anak kandung.

6.    Untuk menambah tenaga dalam keluarga.

7.    Untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak tersebut.

8.    Karena unsure kepercayaan/keyakinan.

9.    Untuk menyambung keturunan bagi yang telah positif tidak mungkin beranak lagi.

10.    Adanya hubungan keluarga, maka dimintalah kepada orangtua si anauntuk mengasuh dan mendidiknya.

11.    Untuk membantu dan menolong di hari tua nanti.

12.    Karena melihat anak tersebut sudah tidak terurus.

13.    Untuk memperkuat tali kekeluargaan.

14.    Karena anaknya yang terdahulu sakit-sakitan dan meninggal, maka anak yang baru lahir tersebut diserahkan kepada orang lain untuk diadopsi dengan harapan anak tersebut sehat dan berumur panjang.

 

Untuk daerah-daerah yang sistem kekerabatannya masih kokoh, alasan pengangkatan anak dari luar kekerabatan pada umumnya karena kekhawatiran akan habis mati kerabatnya. Keluarga yang tidak mempunyai anak dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya, bersama-sama kerabatnya memungut atau mengangkat seorang anak sebagai perbuatan kerabat, di mana anak itu menduduki seluruhnya kedudukan anak kandung dari ibu bapak yang memungutnya dan terlepas dari golongan anak saudaranya semula.

 

Pengangkatan anak ini harus dilaksanakan dengan upacara-upacara tertentu dan dengan bantuan penghulupenghulu setempat serta disaksikan oleh khalayak ramai dan diketahui oleh anggota keluarga orangtua angkat, agar menjadi jelas statusnya dan terang bagi anggota kerabat lainnya. Cara seperti ini ditemui di daerah Batak, Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Dari berbagai sistem hukum adat yang dikenal di dunia, ternyata lebih banyak yang mengenal lembaga pengangkatan anak (adopsi) dari yang tidak mengenalnya. Hukum Islam dan Hukum Adat Minangkabau merupakan sedikit dari sistem hukum yang tidak mengenal lembaga pengangkatan anak.

 

Selain dari cara dan motivasi pengangkatan anak di atas, ditemukan juga pengangkatan anak yang bertujuan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih baik kepada anak yang diangkat tersebut.  Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir suami menjadi anak yang akan dipelihara oleh istrinya (seperti di Bali dan Lampung), ini sangat menguntungkan bagi anak tersebut, sebab anak yang bersangkutan dengan begitu akan memeroleh hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Juga mengangkat anak tiri (anak istri dengan suami yang lain) menjadi anak sendiri, karena tidak mempunyai anak kandung sendiri.

 

Di daerah Rejang pengangkatan anak ini disebut dengan mulang jurai, sedangkan pada suku Mayan Siung (Dayak, Kalimantan) disebut dengan ngukup anak. Namun mengangkat anak tiri menjadi anak kandung di daerah Rejang ini tidak diperkenankan apabila ayah kandung diri anak itu masih hidup.

 

Di kalangan masyarakat adat terdapat berbagai alasan seseorang atau pasangan suami istri melakukan pengangkatan anak. Pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan ayah (Patrilinial) pada prinsipnya pengangkatan anak hanya terhadap anak laki-laki dengan tujuan utama untuk penerus keturunan. Pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan Parental (Jawa dan Sulawesi), pengangkatan anak pada umumnya dilakukan dengan tujuan:

1.    Untuk mempererat atau memperkuat tali kekeluargaan dengan orangtua anak yang diangkat.

2.    Untuk membantu anak angkat atas dasar belas kasihan

3.    Untuk pemancing, agar orangtua angkat mendapatkan anak kandung sendiri.

4.    Untuk membantu pekerjaan orangtua angkat.

 

Sahnya seseorang untuk diangkat sebagai anak angkat diperlukan beberapa persyaratan. Pemenuhan persyaratan ini bersifat kumulatif, artinya semua persyaratan pokok ini harus dipenuhi agar pengangkatan anak sah menurut hukum, yaitu: 

a.    Anak yang diangkat mesti anak laki-laki.

b.    Adanya persetujuan bersama antara pihak orangtua alami dengan orangtua angkat.

c.    Pengangkatan anak dalam adat dilakukan menurut tata cara hukum adat itu sendiri, yang dihadiri oleh Ketua Adat.

d.   Calon orangtua angkat tidak mempunyai anak laki-laki.

 

Apabila syarat-syarat yang dikemukakan di atas telah terpenuhi, maka pengangkatan anak menimbulkan akibat hukum:

1.    Anak angkat sama hak dan kedudukannya seperti anak kandung.

2.    Anak angkat langsung masuk ke dalam lingkungan kekerabatan geneologis marga ayah angkat.

3.    Putus hubungan kekerabatannya dengan ayah alaminya.

4.    Sepenuhnya berhak dan berkedudukan sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan ayah angkatnya.

 

C.    ADOPSI SEBAGAI SATU LEMBAGA HUKUM

Mengambil anak sebagai anak angkat dan memelihara anak itu menjadi dewasa dan mandiri, maka timbul dan berkembanglah hubungan rumah tanggal (gezinsverhouding) antara bapak dan ibu angkat di satu pihak dan angkat di lain pihak. Hubungan rumah tanggga ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang mempunyai konsekuensi terhadap rumah tangga tersebut. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, juga tidak jarang ditemui kejadian adopsi semu, yaitu adopsi yang dilakukan sehubungan dengan tindakan magis, agar terhindar dari bahaya, misalnya seorang anak yang sakit terus menerus disebabkan kelahiran anak tersebut sama dengan hari pasar (pon, kliwon, wage dan seterusnya). Untuk menghindarkan hal tersebut anak ini kemudian diberikan kepada orangtua yang lain (biasanya saudara dari ibu atau bapaknya).

 

Terdapat berbagai variasi dalam motif pengangkatan anak di Indonesia. Jika dilihat dari sudut anak yang diangkat, dapat diringkaskan sebagai berikut:

1.    Mengangkat anak bukan dari warga keluarga

Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis ataupun uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi adalah takut tidak ada keturunan. Pelaksanaan pengangkatan ini dilakukan secara resmi dengan upacara adat dengan bantuan kepala adat, sebagaimana dilakukan pada suku Batak, Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan.

2.    Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga. Takut tidak punya anak juga merupakan alasan  pengangkatan anak, seperti di Bali yang disebut dengan nyentanayang. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang dahulunya ada hubungan tradisional dengannya, yang disebut dengan Purusan, tetapi akhirakhir ini diambil dari luar clannya, bahkan di beberapa desa dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana). Dalam keluarga dengan selir-selir, maka apabila istri tidak mempunyai anak, biasanya anak dari salah seorang selir diambil dan diangkat sebagai anak kandung sebagai pewaris hartanya.

3.    Mengangkat anak dari kalangan keponakan.

Pengangkatan anak dari kalangan keponakan banyak ditemui di Pulau Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya. Sebab-sebab mengangkat keponakan sebagai anak angkat adalah:

a.    Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.

b.    Diharapkan pengangkatan ini mempercepat kemungkinan mendapat anak.

c.    Karena belas kasihan terhadap keponakan yang nasibnya tidak beruntung sehingga dipandang sebagai rasa solidaritas terhadap sesama keluarga.

 

Dari sisi lain, adopsi adalah sebagai bagian dari bentuk kebudayaan. Sedangkan hukum jika ditilik dari sudut ilmu pengetahuan juga sebagai bagian dari kebudayaan. Jadi di sinilah titik tautnya, bahwa adopsi adalah sebagai lembaga hukum yang hidup dan berkembang serta diperlukan  keberadaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu adopsi sebagai lembaga kemasyarakatan di satu sisi dengan misi ketertiban hukum tidak dapat dipisahkan, termasuk adopsi sebagai bagian dari sistem lembaga hukum.

 

Lembaga pengangkatan anak menurut hukum adat pada umumnya dengan diangkatnya seorang anak sebagai anak angkat maka hubungan hukum si anak dengan orangtua kandungnya tidaklah terputus, kecuali antara lain menurut hukum adat di Bali (sentana).

 

Pengangkatan anak pada masing-masing hukum adat mempunyai konsekuensi yang berbeda sesuai aturan hukum adat pada masing-masing daerah. Di samping anak angkat ada lagi yang disebut dengan anak asuh, di mana anak tersebut hanya dibantu dalam hal kelangsungan hidupnya maupun kebutuhannya sehari-hari maupun pendidikannya. Perihal anak asuh ini ada yang mengikuti orangtua asuhnya dan ada yang tetap mengikuti orangtua kandungnya, namun biaya hidupnya dan biaya pendidikan didapatkannya dari orangtua asuh. Hubungan hukum antara orangtua asuh dengan anak asuh tidak ada, sehingga dengan demikian dalam hal pewarisan anak asuh sama sekali tidak mendapatkan bagian, terkecuali bila orangtua asuh memberikan hartanya melalui hibah ataupun wasiat bagi anak asuh tersebut.

 

Sebagai suatu lembaga hukum, stelsel hukum barat yang bersumber dari Burgerlijk Wetboek (BW) tidak ada mengatur masalah adopsi secara khusus. Hanya terdapat dalam staatsblad 1917 nomor 129, ketentuan ini khusus berlaku bagi golongan Tionghoa, di mana pada Pasal 5 dari staatsblad ini dapat diketahui bahwa adopsi dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pasangan suami istri atau duda atau janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dapat mengajukan permohonan pengangkatan anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya.

 

Bagaimana aturan hukum terhadap golongan bumi putra (pribumi) yang hendak melakukan pengangkatan anak?

 

Terhadap bumi putra terdapat Peraturan Penundukan Diri Secara Sukarela  Kepada Hukum Perdata Eropa (Regeling Nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privaatrecht), Staatsblad 1917 Nomor 12 juncto 528, Pasal 26 menyatakan:

“Orang-orang Indonesia dapat menundukkan diri secara sukarela terhadap perbuatan hukum tertentu dari peraturan-peraturan yang tidak berlaku bagi mereka tentang hukum perdata dan  hukum dagang orang-orang Eropa mengenai perbuatan hukum yang demikian itu.” Ini acapkali dijadikan dasar untuk melakukan pengangkatan anak atau adopsi bagi golongan bumi putra.

 

Pasal 2 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menegaskan bahwa untuk memeroleh kewarganegaraan Indonesia, maka seorang anak asing yang diangkat oleh WNI harus memeroleh penetapan dari Pengadilan Negeri. Ini dikuatkan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 2/1979 juncto nomorn 6/1983, juncto nomor 4/1989 tentang Pengangkatan Anak, yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu pengangkatan anak harus dengan penetapan Pengadilan Negeri.

 

Pengangkatan anak sebagai bagian dari peradilan yang memakai hukum acara perdata, dan termasuk dalam pengadilan voluntair (yang bersifat memberikan suatu penetapan), maka hukum acara perdata yang bersumber dari Hersine Inlandsch Reglement (HIR) yang termuat dalam staatsblad tahun 1941 nomor 44, dan Rechtrsrlehment tahun 1927 nomor 227, keduanya tidak mengatur acara penetapan pengangkatan anak. Namun untuk pemecahannya sudah terbiasa majelis hakim yang memutuskan penetapan ini berpedoman pada hukum acara singkat.

 

D.    ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM BARAT

1.      Menurut Hukum Adat Minangkabau

Pengangkatan anak sejak zaman dahulu sampai sekarang terdapat merata di seluruh wilayah Indonesia, ialah suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kekerabatan, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan sebagaimana halnya anak kandung.

 

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Adat Minangkabau tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, sebagaimana halnya juga Hukum Islam yang tidak mengenal lembaga anak angkat.

 

Anak angkat dalam Hukum Adat Minangkabau, sebagaimana halnya hukum Islam, hanya memandang anak angkat sebagaimana definisi anak asuh sekarang, yakni memelihara anak orang lain untuk dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi manusia yang mandiri, namun akar kehidupannya tidak tercabut dari uratnya, artinya hubungan antara anak asuh dengan orangtua kandungnya tidak putus, tetap seperti semula, dan hubungan dengan orangtua angkatnya pun tidak tercipta, artinya si anak angkat tidak serta merta menjadi ahli waris dari orangtua asuhnya, hubungan bersifat sosial semata.

 

Apabila kita mencoba membahas persoalan pengangkatan anak menurut hukum Islam, maka ditemukan dalam QS. AlAhzab: 4-5:

“...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 4-5)

 

Dari ayat-ayat tersebut di atas jelaslah bahwa mengangkat anak orang lain sebagai anak kandung adalah dilarang oleh Allah, tetapi bila mengangkat anak sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya dalam arti memberikan keperluankeperluannya, pendidikannya, maka hal tersebut tidaklah dilarang, malah dianjurkan sebagaimana saudara seagama.

 

Ayat di atas diterima ketika anak asuh Nabi Muhammad Saw., bernama Zaid bin Haritsah, seorang tawanan perang anak pimpinan suku, dimerdekakan oleh beliau dan dengan kesadaran sendiri ikut dengan beliau. Begitu sayangnya Nabi Muhammad Saw. kepada Zaid bin Haritsah, sehingga sahabatsahabatnya menamai Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad. Dan ternyata dilarang oleh Allah, dengan keluarnya ayat tersebut di atas. Artinya, seorang anak yang bukan anak kandung, maka pemeliharaan ataupun diasuh sebagai anak angkat tidak akan mengubah kedudukan anak tersebut menjadi anak sendiri, karena dia bukanlah nasab si orangtua angkat. Dengan kata lain bahwa si anak angkat atau anak asuh tidak dapat dimasukkan sebagai ahli waris dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orangtua angkatnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi orang suku adat Minangkabau, yang menetapkan juga bahwa anak angkat ataupun anak asuh dalam masyarakat Minangkabau tidak mewarisi terhadap harta warisan orangtua angkatnya.

 

Walaupun hukum Adat Minangkabau tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, namun tidak ada larangan bagi anggota masyarakat Minangkabau melakukan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri, karena anak angkat tersebut dalam hukum adat Minangkabau tidak mengubah posisi apapun terhadap kewarisan adat. Anak yang diangkat, ataupun anak yang diasuh tetap mempunyai hubungan seperti semula dengan orangtua kandungnya, mewarisi harta orangtua kandungnya, namun tidak mewarisi warisan orangtua angkatnya. Anak angkat atau anak asuh adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari suami istri yang mengangkatnya, dan kaumnya yang lain terlepas dari kewajiban untuk mengasuh atau memelihara anak angkat sendiri.

 

Di samping itu, dalam adat Minangkabau dikenal adanya Kemenakan bertali budi, yaitu seseorang yang karena baik budinya terhadap kaum tersebut, maka diangkatlah dia sebagai anggota kaum, yaitu kemenakan bertali budi. Orang tersebut bisa jadi orang Minangkabau sendiri ataupun di luar Minangkabau sendiri, suku Jawa atau Aceh dan lain-lain.

 

Perbedaannya dengan anak yang diangkat melalui Pengadilan Negeri adalah bahwa kemenakan bertali budi ini oleh mamak kepala waris diberikan sebidang tanahs sebagai tempat mata pencahariannya, atau sawah, ladang maupun kolam ikan. Yang bertanggung jawab terhadap anak yang diangkat sebagai kemenakan bertali budi ini adalah anggota kaum secara keseluruhan, karena secara hukum adat dia adalah anggota kaum dan kemenakan mereka. Kemenakan bertali budi ini sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, berhak mewarisi harta warisan dari kaum tersebut, baik sako maupun pusako,  tentunya dengan catatan bahwa tidak ada lagi kemenakan atau anggota kaum yang bertali darah dan bertali air. Berbeda halnya dengan anak angkat yang diangkat melalui Pengadilan Negeri.

 

Perbedaan ketiga adalah bahwa kemenakan bertali budi tidak bisa lagi kawin dengan anggota kaum tempat dia telah diangkat dan diakui sebagai kemenakan, karena secara hukum adat seluruh anggota kaum tersebut adalah dunsanaknya, familinya. Dan apabila dia tetap melaukan perkawinan, maka kemenakan bertali budi ini akan dikenakan sanksi sebagaimana menurut hukum adat. Berbeda halnya dengan anak yang diangkat melalui penetapan Pengadilan Negeri, apabila yang diangkat itu bukan anak dari anggota kaum menurut garis ibu, maka boleh saja dia melakukan perkawinan dengan wanita yang berasal dari kaum orangtua angkat atau orangtua asuhnya tersebut, karena secara hukum adat dia bukanlah anggota dari kaum orangtua angkatnya, dia dianggap sebagai orang luar kaum.

 

Jadi terlihat perbedaannya di sini, bahwa anak angkat dalam pengertian hukum adat Minangkabau, hanya dapat menikmati hasil dari harta pencaharian orangtua angkatnya saja, dan itupun berlaku selama orangtua angkatnya masih hidup, apabila orangtua angkatnya meninggal dunia maka harta warisan jatuh kepada ahli waris menurut hukum adat Minangkabau. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), konsekuensi yuridis dari pengangkatan anak melalui Penetapan Pengadilan Negeri, dapat dilihat pada pasal 209 ayat (1) dan (2). Pasal ini memberikan hak kepada anak angkat (demikian juga sebaliknya) untuk mendapatkan wasiat wajibah sepertiga dari warisan orangtua angkatnya, apabila sebelumnya tidak menerima wasiat dari orangtua angkatnya tersebut.

 

Demikian juga dengan hasil penelitian dari Pengadilan Tinggi Sumbar-Riau ditahun 1976, bekerja sama dengan Fakultas Hukum Andalas Padang, yang mengungkapkan bahwa, “sesuai tradisi yang umum dikenal bahwa dalam adat Minangkabau tidak dikenal lembaga pengangkatan anak, yang ada hanya pengambilan anak untuk dipelihara dan diasuh sebagai anak sendiri. Tetapi anak bersangkutan biasanya masih mempunyai hubungan keluarga dengan si pengambil anak. Hubungan anak tersebut dengan orangtuanya tidak terputus dan Ia tetap ahli waris dari orangtua kandungnya”.

 

Dalam laporan penelitian tentang Pola Pengangkatan Anak Minangkabau tahun 1986 yang dilakukan di daerah Kurai Limo Jorong (Bukittinggi), Singkarak, Kubang Sirakuk (Sawahlunto), Padang dan Painan, menemukan adanya polapola pengangkatan anak. Hasil penelitian tersebut menggambarkan pola-pola pengangkatan anak oleh masyarakat Minangkabau, yaitu:

a.    Pengangkatan anak orang lain (di luar masyarakat Minangkabau) sebagai anak sendiri, yang mana hubungan antara anak dan orangtua kandungnya terputus.

b.    Pengangkatan anak saudara atau famili sebagai anak sendiri, yang mana hubungan anak dengan orangtua kandungnya tidak terputus.

c.    Pengangkatan anak untuk dijadikan pembantu, sementara hubungan anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya tidak terputus.

d.   Pengangkatan anak untuk dipelihara karena kasihan hidup anak tersebut tidak beruntung, dalam hal ini hubungan anak dengan orangtua kandungnya tidak terputus.

Jadi dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, khususnya menyangkut lembaga pengangkatan anak tidak dikenal adanya lembaga ini, kenyataannya pola-pola pengangkatan anak dan kebiasaan melakukan pengangkatan anak telah berkembang dalam masyarakat. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya permohonan penetapan pengangkatan anak yang diajukan oleh masyarakat Minang ke Pengadilan Negeri di Sumatera Barat. Dari hasil penelitian yang dilakukan Edison di Pengadilan Negeri Lubuk Basung (Agam) dari rentang waktu tahun 2000-2004, di tahun 2000 tercatat 6 permohonan yang diajukan oleh suku Minangkabau, tahun 2001 sebanyak 9 pemohon, tahun 2002 sebanyak 10 pemohon, tahun 2003 sebanyak 11 pemohon, dan tahun 2004 sebanyak 14 pemohon. Dari data di atas terlihat bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan permohonan pengangkatan anak oleh masyarakat suku Minangkabau.

 

Sebagai perbandingan data dapat dikemukakan permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh masyarakat adat Minangkabau pada Pengadilan Negeri periode yang sama, yaitu dalam rentang waktu tahun 20002004. Di tahun 2000 tercatat sebanyak 15 pemohon, tahun 2001 sebanyak 13 pemohon, tahun 2002 sebanyak 20 pemohon, tahun 2003 sebanyak 18 pemohon, dan tahun 2004 sebanyak 22 pemohon.

 

Dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, 50% dari orangtua angkat tersebut telah menjalani kehidupan rumah tangga lebih dari 10 tahun, 40% dengan usia perkawinan 5-10 tahun, dan 10% telah menjalani kehidupan rumah tangga paling lama 5 tahun. Dan dapat disimpulkan dari data yang diperoleh bahwa 75% dari orangtua angkat lebih memilih anak perempuan sebagai anak angkatnya, sedangkan 25% memilih anak laki-laki.

 

Perihal hubungan antara orangtua angkat dengan anak angkat, dapat dikemukakan bahwa 75% anak angkat mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orangtua angkatnya, baik sekaum, sesuku ataupun anak dari mamak, sedangkan 25% tidak mempunyai hubungan kekeluargaan, artinya anak angkat berasal dari luar kaum atau di luar famili orangtua yang mengangkatnya. Namun dari hasil penelitian ini ditemukan jawaban bahwa anak angkat tersebut tidak putus hubungannya dengan orangtua kandungnya.

 

Alasan yang dijadikan sebagai dasar pengangkatan anak oleh orangtua angkat adalah bervariasi dan majemuk. Alasan utama adalah bahwa dalam perkawinan yang telah dijalani tidak dikaruniai anak (75%), sedangkan karena alasan lain seperti belas kasihan dan untuk membantu sanak keluarga yang tidak mampu 13%, untuk mengurus di hari tua sebanyak 7%, dan sebagai pemancing kelahiran anak kandung sendiri sebanyak 5%. Juga didapatkan kesimpulan bahwa dari sampel yang diteliti, 72% orangtua angkat merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan dari keterangannya diketahui bahwa anak angkat tersebut dimasukkan dalam daftar anak yang masuk dalam tanggungannya, dengan kata lain bahwa pengangkatan anak juga bertujuan untuk menambah jumlah gaji yang diterima oleh orangtua angkat yang notabene PNS tersebut.

 

Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa dengan adanya penetapan pengangkatan anak oleh Pengadilan Negeri, maka perbuatan pelaksanaan pengangkatan anak yang diajukan oleh sebahagiaan masyarakat Adat Minangkabau adalah sah menurut hukum, yaitu hukum nasional Indonesia. Keadaan demikian menggambarkan kepada kita bahwa telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat adat Minangkabau terhadap lembaga pengangkatan anak yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat, karena tidak adanya lembaga pengangkatan anak dalam hukum adat Minangkabau. Hal ini jelas terlihat dengan adanya kecenderungan peningkatan jumlah permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri dari waktu ke waktu, untuk mendapatkan penetapan hakim sebagai bukti yang sah telah terjadinya pengangkatan anak oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.

 

Penetapan hakim tentang pengangkatan anak yang dimohonkan oleh anggota masyarakat adat Minangkabau merupakan konkretisasi hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat sendiri untuk memenuhi keinginan masyarakat akan kehadiran seorang anak angkat dalam keluarganya, diakui dan disahkan secara hukum nasional.

Namun terlepas dari keinginan untuk membentuk keluarga yang dipandang utuh, yaitu mempunyai anak dalam perkawinannya, yang terpenting adalah bagaimana anak tersebut berubah kehidupannya setelah diangkat, yaitu terpelihara, lebih sejahtera dan mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk memeroleh pendidikan yang lebih tinggi dan bermutu, sehingga melahirkan anak angkat yang dapat membanggakan keluarga, bangsa dan negara.

 

2.      Menurut Hukum Barat

Pengangkatan anak oleh golongan Timur Asing (Tionghoa) sebelum berlakunya Staatsblad  1917 Nomor 129 Bab II Tentang Pengangkatan Anak yang menggunakan istilah Adopsi, dilakukan berdasarkan adatnya. Sebelumnya, pemerintah VOC mengeluarkan De Geberale Resulutien des Kasteels Batavia tentang: Bepalingen Betreffende de Adoptie Van Kinderen Van Chinezen, Mohamedanen en andere On Christenen tertanggal 9 Mei 1769. Akan tetapi setelah diundangkannya Staatsblad 1917-129 juncto Stb.1924-557, mengadopsi anak yang didasarkan pada hukum adatnya, akan tetapi harus berlandaskan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bab II, Pasal 5-15 dari Staatsblad tersebut.

 

Telah disinggung di atas bahwa Hukum Perdata Barat yang berlaku di Indonesia, yang terhimpun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda, dan telah diperbaiki sesuai dengan kebutuhan alam kemerdekaan Indonesia, tidak memuat satu pasal pun tentang Adopsi. Yang ada hanyalah pengaturan dan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan, sebagaimana diatur dalam Buku I Bab XII Bagian Ketiga, Pasal 280 – 289, dengan pertimbangan bahwa pengangkatan anak (Adopsi) merupakan perbuatan manusia di bidang perdata dan bagian dari hukum kekeluargaan.

 

Dalam Stb. 1917-129, pada pasal 9 ayat (2) menetapkan bahwa pengangkatan anak dilakukan dengan Akte Notaris, dan jika seorang janda tidak mempunyai anak maka ia dapat mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada

 

Pengadilan Negeri setempat. Dalam hukum barat ini menetapkan bahwa hubungan hukum anak angkat dengan orangtua kandungnya terputus sejak adanya pengasahan pengangkatan anak ini. Si anak tidak dapat lagi mewarisi harta dari orangtua kandungnya. Demikian sebaliknya dengan orangtua angkatnya, si anak angkat berhak mewarisi harta warisan dari orangtua angkatnya.      

 

Baca Juga: BUNDO KANDUANG