Berikut tulisan tentang industri logistik yang berlomba lomba memanfaatkan rekayasa teknologi yang dirangkum dari akun lokadata.id
Industri logistik berlomba memanfaatkan teknologi agar dapat menekan ongkos. Robot dipakai untuk menyortir paket barang, sesuai ukuran atau alamat. Cepat dan akurat. Dengan bantuan satelit, pergerakan barang dapat dipantau secara real time.
Baca Juga: UKM Harus Bisa Memahami Kebutuhan Pasar
Hingga dua dekade lalu, satu-satunya pengirim paket yang mengantar barang sampai ke pintu rumah, hanyalah Pak Pos.
Kala itu, industri logistik hanya dipahami sebatas urusan pengiriman
barang antargudang atau pabrik. Sekarang, semua berubah. Tiap hari, kini
ada jutaan barang yang dikirim langsung oleh industri logistik ke rumah
konsumen.
Perubahan itu sejalan dengan menjamurnya toko
online sejak 10 tahun terakhir. Statistik E-Commerce Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan, penjualan barang melalui internet mulai
marak pada 2010-2016. Puncaknya antara 2017-2018, ketika hampir separuh
dari gerai yang ada di e-commerce saat ini, mulai on-board alias buka toko, di lapak daring.
Kenyamanan
dan kemudahan yang ditawarkan belanja daring telah mengubah perilaku
konsumsi. Bukan hanya toko komputer, tapi juga gerai barang elektronik
dan aksesoris di toko-tapak (offline), kini mulai kehilangan
pengunjung. Konsumen makin rajin berbelanja menggunakan gawai sambil
bercengkerama di rumah maupun di kedai kopi.
Baca Juga: Dengan Branding Iko Sero, Randang Payo Dipasarkan Secara Online
Data iPrice mengonfirmasi, jumlah pengunjung belanja online cenderung meningkat, setidaknya pada lima pemain besar: Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli. Pada kuartal II-2020, rata-rata kunjungan pada lima lapak tersebut mencapai 255 juta per bulan, tertinggi sejak kuartal III-2019.
Menurut Lisa Widodo, Senior Vice President of Operations and Product
Management Blibli.com, konsumen bukan hanya rajin berbelanja, tapi juga
semakin tak sabar menunggu kedatangan barang. Pengiriman barang di hari
yang sama melalui transaksi same day dan instant delivery, meningkat tiga kali lipat.
“Baru
beres transaksi satu dua jam, konsumen sudah tanya kapan barangnya
sampai," kata Lisa di kantornya, pertengahan Juli lalu.
Blibli
juga mencatat adanya pergeseran barang yang paling diminati konsumen.
Jika sebelumnya lebih banyak mengincar barang elektronik, kini pelanggan
mulai belanja produk makanan dan minuman. Beruntung Blibli telah
memiliki BlibliMart, yang khusus menyediakan consumer goods, yang bekerja sama dengan pemilik lapak offline.
Baca Juga: Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Ini Sejarah pacu Itiak
E-commerce
yang didirikan pada 2010 itu memiliki dua model usaha: penjualan produk
langsung ke konsumen dengan barang milik sendiri (istilahnya business to customer alias B2C), dan berperan sebagai lapak bagi pebisnis lain atau marketplace.
Kian maraknya belanja online ikut memacu transaksi elektronik. Kendati sempat turun dari sisi volume pada Januari-Juli 2020 dibandingkan periode sebelumnya, namun dari sisi nilai transaksi justru melonjak. Bank Indonesia mencatat, nilai belanja pada semester I/2020 itu tumbuh 59 persen, menjadi Rp110 triliun. Bahkan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali 2019 yang mencapai Rp145 triliun.
Sistem robotik di gudang
Untuk mendukung transaksi jual-beli yang terus tumbuh, kini Blibli memiliki 20 gudang untuk menampung barang sendiri dan milik mitra. Demi efisiensi, proses pengemasan barang di gudang yang jumlahnya ratusan ribu telah dilakukan melalui sistem robotik.
“Kami memiliki sedikitnya 20 ukuran kemasan paket yang ditangani langsung dengan sistem robotik,” ungkap Lisa Widodo, dari Blibli.
Dalam proses kerja sistem robotik, pekerja gudang cukup memberikan kode pada barang, selanjutnya robot yang memilih ukuran kemasan. Teknologi robotik ini dilakukan sejak first mile, yaitu pergerakan barang dari penjual ke gudang mitra, hingga last mile, yaitu dari gudang perusahaan logistik ke konsumen.
Mengingat pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam pengiriman barang ekspres, Blibli memiliki dua jalur pengiriman. Pertama, diangkut ke konsumen oleh sistem distribusi sendiri atau kerja sama dengan perusahaan logistik. Kedua, langsung dikirim ke konsumen oleh penyedia barang yang berdagang di lapak Blibli.
Dalam rantai terakhir industri logistik, yaitu distribusi barang ke konsumen, perusahaan pengiriman barang memainkan peran penting. Sistem pergudangannya pun sudah menggunakan robot untuk memilah barang sesuai lokasi antaran.
Pada rantai last mile itu, penggunaan teknologi penyortiran di gudang dikenal dengan sebutan Automatic Sorting.
Amazon, toko online asal Amerika Serikat dengan kapitalisasi pasar
sekitar AS$1 triliun per Juli 2020, misalnya, telah menggunakan sistem
robot penyortir sejak 2018. Sebanyak 800 robot yang disebut Pegasus
bekerja di 40 pusat penyortiran barang untuk dikirim ke 175 lokasi
penampungan sebelum paket diantar ke konsumen.
Teknologi
tersebut bekerja dalam hitungan menit untuk menyortir ribuan barang yang
sebelumnya dipindai oleh tenaga kerja. Dengan membaca hasil pindai
berisi kode lokasi pengiriman, robot langsung menempatkan barang di
klaster yang telah disiapkan sesuai tujuan pengiriman barang.
“Dengan
sistem robot, kami mampu mengurangi potensi kesalahan dalam penyortiran
(oleh manusia) hingga 50 persen,” ujar Brad Porter, eksekutif Amazon
yang menangani kerja robot tersebut.
Robotik pula dalam pengiriman
Model seperti ini juga sedang berkembang dalam sistem pergudangan di Indonesia. PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir alias JNE sedang siap-siap memakai sistem robotik untuk penyortiran barang di gudang mega hub.
Salah
satu perusahaan logistik terbesar di Tanah Air dengan 55.000 karyawan
ini telah membangun gudang di Kota Tangerang, di atas lahan 40 hektar.
Gudang raksasa ini bertugas menyambut barang-barang yang datang melalui
jalur bandara Soekarno-Hatta.
Dengan sistem robotik,
penyortiran barang menjadi lebih cepat dan akurat. Setelah dipindai
untuk membaca kode pos, barang tersebut langsung dikumpulkan berdasarkan
zona pengiriman. “Robot itu mampu menangani hingga 1 juta barang per
hari,” papar Eri Palgunadi, Vice President Marketing JNE kepada Lokadata.
Untuk
pemantauan dan perkiraan waktu tiba pengiriman barang, perusahaan
menyediakan aplikasi MyJNE. Dengan aplikasi ini, pergerakan 4.000 armada
kendaraan pengiriman barang, mayoritas roda dua, jadi mudah terpantau.
Digitalisasi proses bisnis industri logistik ekspres tampaknya telah terjadi sejak first mile hingga last mile, kecuali dalam kendaraan pengiriman tadi.
Dengan
teknologi digital, JNE mengurus 1,5 juta paket ukuran di bawah dua
kilogram, setiap hari. Krisis akibat pandemi virus korona yang
menurunkan gairah ekonomi nasional saat ini, agaknya tak berpengaruh
pada bisnis pengiriman barang.
Bahkan, kata Eri, hingga Hari
Raya Lebaran 2020, kondisinya masih normal seperti sebelum ada musibah
korona. Setelah itu, “Alhamdulilah, ada peningkatan. Surplus lah,”
katanya.
Sebelum pandemi, pengiriman pada Sabtu biasanya
selalu menurun tajam. Tapi kini, Sabtu seperti hari biasa lainnya.
Pengiriman barang ekspres tetap semarak dengan durasi pengiriman pagi,
siang, sore dan malam.
Untuk mendukung volume pekerjaan yang
setiap tahun tumbuh minimal 25 persen, JNE juga membangun gudang-gudang
penghubung. Contohnya di Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah yang
memudahkan akses pengiriman ke wilayah Jawa Tengah. Intinya, membangun
hub atau penghubung di Zona B: kota kedua, bukan kota utama.
Dalam rantai bisnis logistik, teknologi telah menjadi alat silaturahmi penjual, pembeli dan pengantar barang yang efektif.
PT Paxel Algorita Unggul, perusahaan rintisan dalam industri logistik
juga telah memanfaatkan pintarnya teknologi untuk mendukung proses
bisnisnya. Menurut Zaldy Ilham Masita, Direktur Utama Paxel, aplikasi
digital diterapkan mulai dari sistem penyortiran hingga pengaturan rute
pengiriman dan penempatan barang di loker.
Perusahaan yang
didirikan pada 2017 ini sudah memiliki 1.400 kurir yang mengantarkan 10
ribu barang per hari. Perusahaan ini sudah beroperasi pada 18 kota di
Jawa, Bali dan Sulawesi dengan mengusung layanan yang sama: same day delivery.
Menurut
Zaldy, Paxel berupaya bersaing pada sisi harga mengingat variasi biaya
logistik berada dalam rentang yang besar, antara 3-10 persen dari harga
barang. Untuk produk makanan atau barang segar misalnya, porsi biayanya
mendekati angka maksimal.
Kini, tak sedikit pemain bertarung
di industri logistik ekspres yang terus berkembang. Dalam catatan
Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia
(Asperindo), ada 513 perusahaan yang telah menjadi anggota.
Dalam
rantai bisnis logistik, teknologi telah menjadi alat silaturahmi
penjual, pembeli dan pengantar barang yang efektif. Di hulu ada
teknologi transaksi jual-beli dalam e-commerce. Selanjutnya
barang disambut oleh robot di pergudangan dan akhirnya teknologi
pengaturan rute memilih jalur paling efektif sampai ke konsumen.
Teknologi
pemantauan pengiriman barang yang 10 tahun silam tampak istimewa, kini
menjadi lumrah. Sistem robotik di pergudangan pun mulai menjadi warna
dalam bisnis logistik di Tanah Air. Entah teknologi apalagi yang akan
berkembang.
Satu hal yang pasti, industri logistik ekspres ini akan terus tumbuh seiring dengan makin giatnya transaksi jual-beli online. Bersamaan dengan itu, nama “Pak Pos” lama-lama akan menghilang dan terlupakan.
Industri logistik merupakan sektor usaha yang sangat luas. Cakupannya bukan sekadar urusan transportasi pengiriman barang dan pergudangan, tapi juga terbagi dalam banyak segmen yang berbeda.
Untuk perusahaan-perusahaan yang menangani paket kecil yang dikirim langsung ke konsumen (biasa disebut sebagai logistik ekspres), umumnya berkumpul pada Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia atau Asperindo, yang berada di bawah “naungan” Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sementara itu, kelompok perusahaan paket besar, yang melayani pengiriman barang dari dan ke gudang atau pabrik, berkumpul di Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia atau ALFI, yang berada di bawah binaan Kementerian Perhubungan.
Di tengah krisis, secara umum kinerja perusahaan logistik ikut terpukul – tapi tidak demikian dengan industri logistik ekspres yang tetap bergairah.
BPS mencatat, pada Juni 2020, sub sektor pergudangan serta jasa penunjang transportasi yang merupakan indikator industri logistik mengalami kontraksi, yaitu tumbuh minus 38,69 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year). Nilai ekonominya pun turun dari Rp15,6 triliun menjadi Rp11,6 triliun.
Tekanan pada kinerja logistik tersebut, terutama akibat menurunnya
lalu lintas pengiriman barang yang sepanjang tahun ini juga mengalami
kontraksi. Pada Januari-Juli 2020, total barang yang dibongkar di
pelabuhan utama dalam negeri rata-rata tumbuh minus 31,87 persen setiap
bulan jika dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya. Sedangkan untuk
barang yang dimuat di pelabuhan utama terkontraksi 19,34 persen.
Jumlah
barang yang dimuat di bandara utama juga tumbuh minus 24,02 persen pada
periode tersebut. Hanya barang melalui transportasi kereta api yang
terkontraksi paling kecil, yaitu hanya 3,86 persen.
Situasi
yang sedang lesu, rupanya tak menyurutkan para penanam modal untuk
membenamkan dananya di industri logistik: sektor pos dan kurir.
Gairah
investasi di bidang logistik lebih banyak dipicu oleh penanaman modal
asing (PMA) yang jauh melampaui penanaman modal dalam negeri. Secara
keseluruhan pada 2016 - 2019, proporsi PMA mencapai 95,79 persen dari
total investasi di sektor pos dan kurir dan menjadi 93,54 persen pada
kuartal II-2020.
Dari sisi negara, peminat terbesar berasal dari Cina, dengan total realisasi investasi AS$57 juta atau 58 persen dari total investasi subsektor pos dan kurir. Kemudian, disusul oleh Belanda berkontribusi 39 persen, dan Hong Kong dua persen, serta Singapura satu persen.
Firma konsultan Price Waterhouse Coopers (PwC) mencatat perkembangan
yang senada dengan industri logistik di Tanah Air: digitalisasi telah
mengiringi perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja.
Temuan
PwC tersebut tertuang dalam hasil riset bertajuk: Five Forces
Transforming Transport & Logistics 2019, yang diperoleh dari survei
terhadap 1.239 pemimpin perusahaan dari 85 negara sebagai responden.
Lima
pendorong yang akan menciptakan transformasi dalam industri logistik
adalah digitalisasi, pergeseran pada perdagangan internasional,
perubahan proses bisnis yang didorong oleh piranti lunak, pergeseran
pasar perdagangan domestik dan perubahan pada bidang permesinan seperti
transportasi. Tiga di antaranya berkaitan langsung dengan teknologi
informasi.
Itulah yang dipercayai bakal terjadi pada industri
logistik ke depan. Bahkan perusahaan seperti JNE, Paxel dan Blibli telah
menggunakan sistem robotik di penampungan barang mereka. Sejalan dengan
perubahan tersebut, industri logistik ekspres saat ini pun telah
menemukan jalannya untuk terus berkembang.
Karena itu, sulit bagi para pelaku industri jasa pengiriman untuk mengabaikan dukungan teknologi yang telah mengubah perilaku masyarakat, baik terkait cara berbelanja, maupun dalam pengiriman barang. (sumber: lokadata.id )