Wahyudi Thamrin

Teknologi dan Dunia Industri

Industri logistik mulai menggunakan teknologi robotik agar lebih cepat, hemat, dan akurat. Fadhlan Aulia/Lokadata.id

Tidak dapat dipungkiri semakin hari semakin pesat kemajuan teknologi didunia ini. Dan kemajuan teknologi ini akan berdampak kepada lapangan kerja. Penggunaan tenaga manusia makin diminimalisir oleh teknologi terkini. Bahkan untuk sekelas bangunan gedung berupa pertokoan sudah pada berlomba lomba memanfaatkan kemajuan teknologi dengan berjualan di dunia maya. 

Berikut tulisan tentang industri logistik yang berlomba lomba memanfaatkan rekayasa teknologi yang dirangkum dari akun lokadata.id

Industri logistik berlomba memanfaatkan teknologi agar dapat menekan ongkos. Robot dipakai untuk menyortir paket barang, sesuai ukuran atau alamat. Cepat dan akurat. Dengan bantuan satelit, pergerakan barang dapat dipantau secara real time.

Baca Juga: UKM Harus Bisa Memahami Kebutuhan Pasar

Hingga dua dekade lalu, satu-satunya pengirim paket yang mengantar barang sampai ke pintu rumah, hanyalah Pak Pos. Kala itu, industri logistik hanya dipahami sebatas urusan pengiriman barang antargudang atau pabrik. Sekarang, semua berubah. Tiap hari, kini ada jutaan barang yang dikirim langsung oleh industri logistik ke rumah konsumen.

Perubahan itu sejalan dengan menjamurnya toko online sejak 10 tahun terakhir. Statistik E-Commerce Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penjualan barang melalui internet mulai marak pada 2010-2016. Puncaknya antara 2017-2018, ketika hampir separuh dari gerai yang ada di e-commerce saat ini, mulai on-board alias buka toko, di lapak daring.

Kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan belanja daring telah mengubah perilaku konsumsi. Bukan hanya toko komputer, tapi juga gerai barang elektronik dan aksesoris di toko-tapak (offline), kini mulai kehilangan pengunjung. Konsumen makin rajin berbelanja menggunakan gawai sambil bercengkerama di rumah maupun di kedai kopi.

Baca Juga: Dengan Branding Iko Sero, Randang Payo Dipasarkan Secara Online

Data iPrice mengonfirmasi, jumlah pengunjung belanja online cenderung meningkat, setidaknya pada lima pemain besar: Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan Blibli. Pada kuartal II-2020, rata-rata kunjungan pada lima lapak tersebut mencapai 255 juta per bulan, tertinggi sejak kuartal III-2019.

Menurut Lisa Widodo, Senior Vice President of Operations and Product Management Blibli.com, konsumen bukan hanya rajin berbelanja, tapi juga semakin tak sabar menunggu kedatangan barang. Pengiriman barang di hari yang sama melalui transaksi same day dan instant delivery, meningkat tiga kali lipat.

“Baru beres transaksi satu dua jam, konsumen sudah tanya kapan barangnya sampai," kata Lisa di kantornya, pertengahan Juli lalu.

Blibli juga mencatat adanya pergeseran barang yang paling diminati konsumen. Jika sebelumnya lebih banyak mengincar barang elektronik, kini pelanggan mulai belanja produk makanan dan minuman. Beruntung Blibli telah memiliki BlibliMart, yang khusus menyediakan consumer goods, yang bekerja sama dengan pemilik lapak offline.

Baca Juga: Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Ini Sejarah pacu Itiak

E-commerce yang didirikan pada 2010 itu memiliki dua model usaha: penjualan produk langsung ke konsumen dengan barang milik sendiri (istilahnya business to customer alias B2C), dan berperan sebagai lapak bagi pebisnis lain atau marketplace.

Kian maraknya belanja online ikut memacu transaksi elektronik. Kendati sempat turun dari sisi volume pada Januari-Juli 2020 dibandingkan periode sebelumnya, namun dari sisi nilai transaksi justru melonjak. Bank Indonesia mencatat, nilai belanja pada semester I/2020 itu tumbuh 59 persen, menjadi Rp110 triliun. Bahkan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali 2019 yang mencapai Rp145 triliun.

Sistem robotik di gudang

Untuk mendukung transaksi jual-beli yang terus tumbuh, kini Blibli memiliki 20 gudang untuk menampung barang sendiri dan milik mitra. Demi efisiensi, proses pengemasan barang di gudang yang jumlahnya ratusan ribu telah dilakukan melalui sistem robotik.

“Kami memiliki sedikitnya 20 ukuran kemasan paket yang ditangani langsung dengan sistem robotik,” ungkap Lisa Widodo, dari Blibli.

Dalam proses kerja sistem robotik, pekerja gudang cukup memberikan kode pada barang, selanjutnya robot yang memilih ukuran kemasan. Teknologi robotik ini dilakukan sejak first mile, yaitu pergerakan barang dari penjual ke gudang mitra, hingga last mile, yaitu dari gudang perusahaan logistik ke konsumen.

Mengingat pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam pengiriman barang ekspres, Blibli memiliki dua jalur pengiriman. Pertama, diangkut ke konsumen oleh sistem distribusi sendiri atau kerja sama dengan perusahaan logistik. Kedua, langsung dikirim ke konsumen oleh penyedia barang yang berdagang di lapak Blibli.

Dalam rantai terakhir industri logistik, yaitu distribusi barang ke konsumen, perusahaan pengiriman barang memainkan peran penting. Sistem pergudangannya pun sudah menggunakan robot untuk memilah barang sesuai lokasi antaran.

Pada rantai last mile itu, penggunaan teknologi penyortiran di gudang dikenal dengan sebutan Automatic Sorting. Amazon, toko online asal Amerika Serikat dengan kapitalisasi pasar sekitar AS$1 triliun per Juli 2020, misalnya, telah menggunakan sistem robot penyortir sejak 2018. Sebanyak 800 robot yang disebut Pegasus bekerja di 40 pusat penyortiran barang untuk dikirim ke 175 lokasi penampungan sebelum paket diantar ke konsumen.

Teknologi tersebut bekerja dalam hitungan menit untuk menyortir ribuan barang yang sebelumnya dipindai oleh tenaga kerja. Dengan membaca hasil pindai berisi kode lokasi pengiriman, robot langsung menempatkan barang di klaster yang telah disiapkan sesuai tujuan pengiriman barang.

“Dengan sistem robot, kami mampu mengurangi potensi kesalahan dalam penyortiran (oleh manusia) hingga 50 persen,” ujar Brad Porter, eksekutif Amazon yang menangani kerja robot tersebut.

Robotik pula dalam pengiriman

Model seperti ini juga sedang berkembang dalam sistem pergudangan di Indonesia. PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir alias JNE sedang siap-siap memakai sistem robotik untuk penyortiran barang di gudang mega hub.

Salah satu perusahaan logistik terbesar di Tanah Air dengan 55.000 karyawan ini telah membangun gudang di Kota Tangerang, di atas lahan 40 hektar. Gudang raksasa ini bertugas menyambut barang-barang yang datang melalui jalur bandara Soekarno-Hatta.

Dengan sistem robotik, penyortiran barang menjadi lebih cepat dan akurat. Setelah dipindai untuk membaca kode pos, barang tersebut langsung dikumpulkan berdasarkan zona pengiriman. “Robot itu mampu menangani hingga 1 juta barang per hari,” papar Eri Palgunadi, Vice President Marketing JNE kepada Lokadata.

Untuk pemantauan dan perkiraan waktu tiba pengiriman barang, perusahaan menyediakan aplikasi MyJNE. Dengan aplikasi ini, pergerakan 4.000 armada kendaraan pengiriman barang, mayoritas roda dua, jadi mudah terpantau.

Digitalisasi proses bisnis industri logistik ekspres tampaknya telah terjadi sejak first mile hingga last mile, kecuali dalam kendaraan pengiriman tadi.

Dengan teknologi digital, JNE mengurus 1,5 juta paket ukuran di bawah dua kilogram, setiap hari. Krisis akibat pandemi virus korona yang menurunkan gairah ekonomi nasional saat ini, agaknya tak berpengaruh pada bisnis pengiriman barang.

Bahkan, kata Eri, hingga Hari Raya Lebaran 2020, kondisinya masih normal seperti sebelum ada musibah korona. Setelah itu, “Alhamdulilah, ada peningkatan. Surplus lah,” katanya.

Sebelum pandemi, pengiriman pada Sabtu biasanya selalu menurun tajam. Tapi kini, Sabtu seperti hari biasa lainnya. Pengiriman barang ekspres tetap semarak dengan durasi pengiriman pagi, siang, sore dan malam.

Untuk mendukung volume pekerjaan yang setiap tahun tumbuh minimal 25 persen, JNE juga membangun gudang-gudang penghubung. Contohnya di Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah yang memudahkan akses pengiriman ke wilayah Jawa Tengah. Intinya, membangun hub atau penghubung di Zona B: kota kedua, bukan kota utama.

Dalam rantai bisnis logistik, teknologi telah menjadi alat silaturahmi penjual, pembeli dan pengantar barang yang efektif.

PT Paxel Algorita Unggul, perusahaan rintisan dalam industri logistik juga telah memanfaatkan pintarnya teknologi untuk mendukung proses bisnisnya. Menurut Zaldy Ilham Masita, Direktur Utama Paxel, aplikasi digital diterapkan mulai dari sistem penyortiran hingga pengaturan rute pengiriman dan penempatan barang di loker.

Perusahaan yang didirikan pada 2017 ini sudah memiliki 1.400 kurir yang mengantarkan 10 ribu barang per hari. Perusahaan ini sudah beroperasi pada 18 kota di Jawa, Bali dan Sulawesi dengan mengusung layanan yang sama: same day delivery.

Menurut Zaldy, Paxel berupaya bersaing pada sisi harga mengingat variasi biaya logistik berada dalam rentang yang besar, antara 3-10 persen dari harga barang. Untuk produk makanan atau barang segar misalnya, porsi biayanya mendekati angka maksimal.

Kini, tak sedikit pemain bertarung di industri logistik ekspres yang terus berkembang. Dalam catatan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo), ada 513 perusahaan yang telah menjadi anggota.

Dalam rantai bisnis logistik, teknologi telah menjadi alat silaturahmi penjual, pembeli dan pengantar barang yang efektif. Di hulu ada teknologi transaksi jual-beli dalam e-commerce. Selanjutnya barang disambut oleh robot di pergudangan dan akhirnya teknologi pengaturan rute memilih jalur paling efektif sampai ke konsumen.

Teknologi pemantauan pengiriman barang yang 10 tahun silam tampak istimewa, kini menjadi lumrah. Sistem robotik di pergudangan pun mulai menjadi warna dalam bisnis logistik di Tanah Air. Entah teknologi apalagi yang akan berkembang.

Satu hal yang pasti, industri logistik ekspres ini akan terus tumbuh seiring dengan makin giatnya transaksi jual-beli online. Bersamaan dengan itu, nama “Pak Pos” lama-lama akan menghilang dan terlupakan.

Industri logistik merupakan sektor usaha yang sangat luas. Cakupannya bukan sekadar urusan transportasi pengiriman barang dan pergudangan, tapi juga terbagi dalam banyak segmen yang berbeda.

Untuk perusahaan-perusahaan yang menangani paket kecil yang dikirim langsung ke konsumen (biasa disebut sebagai logistik ekspres), umumnya berkumpul pada Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia atau Asperindo, yang berada di bawah “naungan” Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sementara itu, kelompok perusahaan paket besar, yang melayani pengiriman barang dari dan ke gudang atau pabrik, berkumpul di Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia atau ALFI, yang berada di bawah binaan Kementerian Perhubungan.

Di tengah krisis, secara umum kinerja perusahaan logistik ikut terpukul – tapi tidak demikian dengan industri logistik ekspres yang tetap bergairah.

BPS mencatat, pada Juni 2020, sub sektor pergudangan serta jasa penunjang transportasi yang merupakan indikator industri logistik mengalami kontraksi, yaitu tumbuh minus 38,69 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year). Nilai ekonominya pun turun dari Rp15,6 triliun menjadi Rp11,6 triliun.

Tekanan pada kinerja logistik tersebut, terutama akibat menurunnya lalu lintas pengiriman barang yang sepanjang tahun ini juga mengalami kontraksi. Pada Januari-Juli 2020, total barang yang dibongkar di pelabuhan utama dalam negeri rata-rata tumbuh minus 31,87 persen setiap bulan jika dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya. Sedangkan untuk barang yang dimuat di pelabuhan utama terkontraksi 19,34 persen.

Jumlah barang yang dimuat di bandara utama juga tumbuh minus 24,02 persen pada periode tersebut. Hanya barang melalui transportasi kereta api yang terkontraksi paling kecil, yaitu hanya 3,86 persen.

Situasi yang sedang lesu, rupanya tak menyurutkan para penanam modal untuk membenamkan dananya di industri logistik: sektor pos dan kurir.

Gairah investasi di bidang logistik lebih banyak dipicu oleh penanaman modal asing (PMA) yang jauh melampaui penanaman modal dalam negeri. Secara keseluruhan pada 2016 - 2019, proporsi PMA mencapai 95,79 persen dari total investasi di sektor pos dan kurir dan menjadi 93,54 persen pada kuartal II-2020.

Dari sisi negara, peminat terbesar berasal dari Cina, dengan total realisasi investasi AS$57 juta atau 58 persen dari total investasi subsektor pos dan kurir. Kemudian, disusul oleh Belanda berkontribusi 39 persen, dan Hong Kong dua persen, serta Singapura satu persen.

Firma konsultan Price Waterhouse Coopers (PwC) mencatat perkembangan yang senada dengan industri logistik di Tanah Air: digitalisasi telah mengiringi perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja.

Temuan PwC tersebut tertuang dalam hasil riset bertajuk: Five Forces Transforming Transport & Logistics 2019, yang diperoleh dari survei terhadap 1.239 pemimpin perusahaan dari 85 negara sebagai responden.

Lima pendorong yang akan menciptakan transformasi dalam industri logistik adalah digitalisasi, pergeseran pada perdagangan internasional, perubahan proses bisnis yang didorong oleh piranti lunak, pergeseran pasar perdagangan domestik dan perubahan pada bidang permesinan seperti transportasi. Tiga di antaranya berkaitan langsung dengan teknologi informasi.

Itulah yang dipercayai bakal terjadi pada industri logistik ke depan. Bahkan perusahaan seperti JNE, Paxel dan Blibli telah menggunakan sistem robotik di penampungan barang mereka. Sejalan dengan perubahan tersebut, industri logistik ekspres saat ini pun telah menemukan jalannya untuk terus berkembang.

Karena itu, sulit bagi para pelaku industri jasa pengiriman untuk mengabaikan dukungan teknologi yang telah mengubah perilaku masyarakat, baik terkait cara berbelanja, maupun dalam pengiriman barang. (sumber: lokadata.id )