Search

Sistem LEISA Dalam Perancangan Pertanian Terpadu Tanaman Dan Ternak Lele



Oleh: Dr. Silvia Permata Sari, SP., MP.
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

Dalam beternak lele ada beberapa pola yang bisa di terapkan. Termasuk perpaduan teknik pertanian dan perikanan. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah sistem LEISA (low-external input and sustainable agriculture). 

Sistem tersebut mengombinasikan komponen tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia dalam sistem produksi agar saling melengkapi dan bersinergi (Das,2013). LEISA dapat berbentuk sistem pertanian terpadu yang layak secara ekonomis dan ekologis. Kathleen (2011) menyatakan bahwa pertanian integrasi tanaman-ternak dapat memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan hasil, menghasilkan pangan beragam dan memperbaiki efesiensi penggunaan lahan. 

Manfaat integrasi tanaman-ternak dan tanaman-ikan dapat disintesis melalui: (1) aspek agronomi yaitu peningkatan kapasitas tanah untuk berpoduksi, (2) aspek ekonomi yaitu dibersifikasi produk, hasil dan kualitas yang lebih tinggi, serta menurunkan biaya, (3) aspek ekologi yaitu menurunkan serangan hama dan penggunaan pestisida, dan pengendalian erosi, dan (4) aspek sosial yaitu distribusi pendapatan lebih merata.

Pertanian terpadu, menurut Tipraqsa et al. (2007) juga bisa menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan sehingga urbanisasi berkurang. Alternatif pola pertanian terpadu yakni kombinasi tanaman-ternak-ikan, jumlahnya bisa ngat banyak. Meurut Mugnisjah et al. (2000) keberlanjutan LEISA lebih cepat dicapai jika komoditi yang diusahakan telah beradaptasi dengan lingkungannya dan biasa disuahakan masyarakat. Berdasarkan kajian karakteristik lahan, praktik usaha pertanian, dan pasar produk maka diduga komoditi tanaman berumur pendek, ternak, dan ikan berpotensi dikembangkan. Oleh karena itu, pertanian terpadu dalam penelitian ini dirancang dengan komponen bayam,kangkong,cabai,ternak sapi,itik petelur,ikan patin dan ikan nila.

Berdasarkan data lapangan,bayam, kangkung dan cabai adalah tanaman yang mempunyai pasar cukup baik, banyak diusahakan masyarakat, teknis budidaya sudah  dikuasi, dan siklus produksinya pendek. Siklus produksi bayam dan kangkung adalah 40 hari dan cabai 180 hari. Siklus produksi yang pendek ini memungkinkan petani segera memperoleh pendapatan u=dan dapat mengatur jadwal tanam dan panen harian. Daya dukung lahan untuk budidaya cukup baik. Sapi potong sudah umum diusahakan oleh petani setempat, itik petelur dipilih karena peluang pasar yang tinggi di Kabupaten Kampar. Sapi potong dapat diberi pakan dari limbah pertanian, menghasilkan pupuk kandang dan menjadi sumber biogas. Ikan patin dan nila dipilih karean sejalan dengan prioritas pengembangan perikanan di Kabupaten Kampar. Uji kualitas air pendukung perikanan yakni air di kolam bekas galian C, bendungan dan Sungai mempunyai Ph 6,5-7,0 dan total dissolve solid (TDS) layak untuk budidaya ikan.

Lahan untuk bayam 1.100 m2 (efektif ditanami 900 m2), kandang itik 150 m2, rumah 60 m2, Gudang sarana produksi dan peralatan 75 m2. Sisanya seluas 615 m2 untuk halakan bermain itik dan usaha lainnya. Usaha bayam,kangkung,dan cabai monokultur pada lahan 1,200-1,500 m2 bernilai layak ekonomis 1.0, namun memiliki ketergantungan penuh dpada penyediaan pupuk kandang dari luar usahatani, nilai layak ekologis=0. Ternak sapi dan itik masing-masiang minimal 7 ekor dan 900 ekor bernilai layak ekonomis 1.2. sisa lahan seluas 600-1,200 m2 dapat dimanfaatkan oleh RTP untuk perumahan, penggunaan lain, dan budidaya hijauan. Pakan ternak. Ikan patin dan nila tidak dapat dikelola secara monokultur karena ukuran kolam secara beruturt turut perlu 4,000 m2 dan 2,000 m2 untuk memperoleh pendapatan minimal Rp 125.000 per hari. Tetapi bila kedua jenis ikan tersebut dipadukan dengan kangkung,bayam, atau cabai hanya perlu lahan 1,400-1,900 m2.

 

Sumber:

Suwarto, Aryanto Agustinus Tri, dan Effendi Irzal. 2015. Perancangan Model Pertanian Terpadu Tanaman-Ternak dan Tanaman -Ikan di Perkampungan Teknologi Telo Riau. J. Agron. Indonesia 43 (2): 168-177