Payakumbuh,Salingkaluak.com,-Bulan November akan selalu mengingatkan kita akan kisah heroik pejuang pejuang kemerdekaan bangsa ini. Yang mana setiap tanggal 10 November selalu diperingati sebagai hari Pahlawan.
Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pejuang bertaruh nyawa untuk mempertahankan apa yang telah diproklamirkan oleh dwi tunggal Sukarno-Hatta.
Seluruh penjuru negeri bergejolak berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan dirampas kembali oleh Belanda.
Tidak ketinggalan juga di Payakumbuh dan Limapuluh Kota. Walau daerah ini tidak berada di bibir pantai atau pusat pusat pemerintahan utama masa itu namun tidak luput dari serangan penjajah Belanda. Dua kali Agresi Militer negera kincir angin tersebut sempat porak porandakan daerah ini.
Para pemuda pemudi Luak Limopuluah (Payakumbuh dan Limapuluh Kota) masa itu tidak tinggal diam. Mereka bersatu bahu membahu angkat senjata mengusir penjajah.
Mardisun, seorang pemuda dari Koto Nan Godang Payakumbuh utara menggalang pasukan untuk angkat senjata melawan tentaraa Belanda. Perlawan tersengit yang dilakukan Mardisun dan kawan kawan tercatat pada agresi Militer Belanda ke II.
Menjelang akhir Desember 1948 pasukan Belanda sudah memasuki Kota Payakumbuh. Tepatnya sore hari di 23 Desember 1948 pasukan Belanda memborbardir pusat kota Payakumbuh. Tentu kejadian ini membuat panik seluruh lapisan masyarakat waktu itu.
Memasuki tengah malam di tanggal 23 Desember 1948 tersebut Mardisun bergerak cepat mengumpulkan para pemuda Koto Nan Godang untuk menyusun kekuatan gua bergerilya melawan tentara Belanda. Walau dengan persenjataan alakadarnya namun semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan tidak menyurutkan nyali para pemuda melawan Belanda yang bersenjata lengkap.
Pasukan Gerilyawan yang diberi nama Gerilyawan Antara. Mereka berjuang bersenjatakan apa saja yang bisa dipakai melawan musuh., Selain senjata tajam juga dengan senjata api hasil rampasan dan ada yang di beli ke daerah Riau oleh perantara gerilyawan masa itu.
Perjuangan Mardisun memimpin pasukan Gerilya Antara semakin berat karena tidak hanya melawan pasukan Belanda, tapi juga masyarakat lokal yang berkhianat kepada negeri ini dengan memihak Belanda. Seperti Wali Nagari Koto Nan Godang masa itu Dt Karaiang dan Dubalang Paduko Dewa beserta kawan kawannya.
Belanda memanfaatkan tokoh masyarakat lokal untuk membujuk para gerilyawan dan warga agar tunduk kepada Belanda. Berbagai langkah dan ancaman ditebar oleh kaki tangan Belanda kepada masyarakat dan pejuang masa itu. Tentu kejadian ini memantik amarah pejuang terutama pemuda tangguh yang bernama Mardisun.
ketika berhadapan lansung dengan kaki tangan penjajah, dengan lantang Mardisun mengatakan, "Saudara takut dengan Belanda atau dengan takut Kepada Pemuda Gerilya? Kalau perlu Seluruh negeri kami bumi hanguskan demi tercapainya kemerdekaan negara Republik Indonesia ini"kata Mardisun dihadapan Rombongan kaki tangan Belanda Tersebut.
Pasca kejadian tersebut, Koto Nan Godang makin memanas. Darah suhada pun bertumpahan dibumi Koto Nan Godang. Diawali dengan gugurnya 3 suhada diujung peluru tentara Belanda pada Jumat 11 februari 1949. 3 Orang pemuda Koto Nan Godang diambil Belanda diatas Masjid Gadang koto Nan Godang ketika sedang melaksanakan sholat Jumat.
3 Pemuda ini ini sempat ditahan Belanda sampai menjelang subuh Sabtu dan akhirnya di eksekusi di Gerbang Masjid Gadang Nagari Koto Nan Godang. kejadian ini menjadi pemicu emosi pejuang untuk bertempur habis habisan melawan Belanda.
Penyerangan dan penyergapan pasukan Belanda oleh pejuang berlansung setiap hari. Bahkan pasokan sembako menuju pusat kota Payakumbuh yang menjadi barak tentara Belanda di blokir habis. Tidak boleh ada kebutuhan bahan pokok masuk Pasar Payakumbuh walau sebijipun. Para pejuang akan melakukan sweeping disetiap pintu masuk pusat kota Payakumbuh.
Jalan jendral Soedirman Payakumbuh yang membentang mulai dari pasar Payakumbuh sampai perbatasan dengan Tanjung Pati kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota menjadi saksi bisu perjuangan Pasukan Gerilyawan Antara yang dipimpin Mardisun. Tidak sedikit darah para suhada tertumpah di sepanjang jalan ini.
Untuk mengenang kawan kawan seperjuangan Ditahun 1980 Mardisun mengumpulkan tulang belulang teman temannya yang gugur dimasa perjuangan untuk dimakamkan di Makam Pejuang di Balai jariang Kelurahan balai Tangah koto Payakumbuh Utara. Makam pahlawan yang diberi nama Makam Pahlawan Pejuang 45 tersebut sudah dirintis oleh H Mardisun semenjak pemerintahan orde lama. Baru pada tanggal 21 Februari 1980 rencana tersebut bisa terwujud.
Seluruh makam teman temannya yang bertebaran di beberapa kelurahan di Koto Nan Gadang dibongkar dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Pejuang 45. Pemindahan makam tersebut ditandai dengan serah terima peti berselimut merah putih berisi tulang belulang pejuang yang syahid dalam mempertahankan kemerdekaan oleh Gubernur Sumbar Letjend H Azwar Anas di kantor KAN Balai Gadang koto Nan Gadang. Panglima Kodam 17 Agustus Mayjend Soelarso.
Pada tahun 1987 makam dipugar oleh H Marlius gelar Imam Pandito Ibrahim ex anggota Pasukan Gerilya Antara. H Marlius ini juga yang membangun tugu di Jembatan batang agam yang sampai sekarang dikenal dengan nama Tugu Ratapan Ibu. Tugu seorang perempuan yang menunjuk ke arah aliran batang agam disisi jembatan yang dibangun belanda pada tahun 1830an tersebut.
Tugu ini dibangun untuk mengenang para pemuda pejuang yang gugur dieksekusi Belanda tengah malam dan jasad mereka hanyut terbawa arus aliran Batang Agam.
Selain sebagai komandan gerilya, mardisun juga ditunjuk sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Di Kota Payakumbuh pada 1 Maret 1949. Sesuai dengan SK Gubenur Militer Pe.Ma./M.P2 Gubernur Militer No,001/Ist.Rahasia Tanggal 1 Maret 1949. Dengan Tugas membentuk dan menjalankan pemerintahan darurat Di Kota Payakumbuh.
Sebagai wakil yang berkedudukan dalam kota ditunjuk Dr Adnan WD, dengan anggota Djoefri yang waktu itu menjabat sebagai jaksa di daerah pendudukan Belanda dibantu Damir Djanid - Zaidar Noerdin dan Chadir ditunjuk sebagai penghubung.